Kamis, 21 Juni 2012

S K R I P S I

KEPASTIAN HUKUM HAK GADAI
SEBAGAI JAMINAN KEBENDAAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang Masalah
Dalam menjalankan aktivitas bisnis tidak terlepas dari tersedianya dana untuk menggerakkan usaha. Bila dalam kegiatan operasional perusahaan dana cukup tersedia, baik dana yang dimiliki perusahaan maupun pribadi-pribadi, maka tidak akan ada masalah.
Namun seiring dengan berkembang pesatnya kegiatan bisnis dan kemajuan kemajuan perekonomian, hal ini membuat naiknya kebutuhan hidup masyarakat meningkat. Sehingga membuat masyarakat mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan dana tambahan baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk melaksanakan suatu usaha. Persaingan antar pelaku usaha sangat ketat dan semakin sulit untuk dijangkau dengan modal yang minim, pelaku usaha berlomba-lomba untuk mencari modal tambahan dan mendapatkan modal tambahan sehingga perusahaan akan dengan mudah dapat membeli barang-barang modal untuk mengembangkan usahanya, dan konsumen akan mudah membeli barang kebutuhannya.[1] 
Untuk keluar dari permasalahan keuangan yang ada mencari pinjaman atau kredit dari lembaga keuangan, atau membeli barang secara angsuran adalah solusi yang banyak dipilih saat ini. Perkembangan perekonomian saat ini memang menuntut kemudahan tersedianya dana.  Dana yang berasal dari luar (perusahaan atau pribadi konsumen) bersumber dari pinjaman ini memerlukan jaminan. Dengan adanya jaminan maka kreditur yang memberikan pinjaman akan merasa aman artinya uang yang dipinjamkan pasti akan kembali.  Dengan kata lain jaminan akan memberi keamanan dan kepastian hukum bagi kreditur.  Karena dengan adanya jaminan ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga bila debitur tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang atau angsuran maka barang jaminan dapat dijual oleh kreditur dan hasil penjualan digunakan untuk melunasi hutangnya debitur.[2]
Pada masyarakat adat yang ekonominya tergolong menengah kebawah, masih merasa sulit untuk mendapatkan pinjaman dana dari lembaga perbankan yang sifatnya kecil, kosumtif dan dengan waktu yang cepat. Kesulitan ini disebabkan karena lembaga perbankan sangat penerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam menyalurkan kreditnya dengan prosedur yang cukup rumit, membutuhkan waktu dengan jaminan barang-barang tersebut.[3]
Hal tersebut diatas menyebabkan masyarakat adat khususnya golongan menengah kebawah untuk tetap melakukan pinjaman uang. Selain itu pula, dipilihnya cara dengan menggadaikan tanah untuk mendapatkan pinjaman dana dikarenakan belum adanya kepastian waktu mengenai pengembalian uang pinjaman.
Hak gadai tanah merupakan salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara. Hal ini di atur dalam ketentuan pasal 53 ayat 1
 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa:
 “Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat”[4]

Berdasarkan ketentuan dan uraian yang dikemukakan diatas, maka dapat dikemukakan bahwa sifat sementara hak gadai dikaitkan dengan upaya menghindari adanya unsure-unsur pemerasan dalam pelaksanaan gadai tanah. Oleh karena itu hak gadai diupayakan untuk dihapuskan sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut. Pelaksanaan gadai tanah hingaa saat ini masih tetap dilakukan dan diakui keberadaannya.
Konflik seperti yang dikemukakan tersebut diatas menyulitkan pemberi pinjaman gadai tidak mempunyai kepastian hukum seperti yang diatur dalam ketentuan pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah bahwa apabila debitur cedera janji, maka pemegang hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan.
Di dalam hukum perdata diatur tentang hak dan kewajiban orang-orang yang mengadakan hubungan hukum. Semua peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan atau badan hukum dalam suatu hubungan hukum disebut hukum perdata (civil law). Karena hukum perdata mengatur subtansi hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan hukum antara orang yang satu dan orang yang lain, disebut juga hukum perdata materil (substantive civil law)
Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan bahwa segala kebendaan yang berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya pribadi.
Salah satu bentuk jaminan yang dapat diberikan pada sebuah pinjaman yaitu objek jaminan yang pengikatannya dilakukan melalui gadai.  Pemahaman secara yuridis gadai merupakan suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian, biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.[5]
Objek jaminan gadai dapat berupa benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Benda bergerak tidak berwujud antara lain adalah hak tagihan (vorderingsrecht). Yang termasuk dalam benda bergerak berwujud yaitu emas, arloji, sepeda motor, dll. Lahirnya gadai di dalam sistem hukum jaminan menurut KUHPerdata adalah konsekuensi pembedaan benda atas benda tetap dan benda bergerak. Benda tetap menjadi objek dari hipotik atau credietverband. Penerima gadai (pandnemer) adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever).
Konsekuensi dari pembedaan benda tersebut di atas, yaitu adanya lembaga jaminan tertentu untuk tiap jenis benda tersebut. Untuk benda tak bergerak dikenal lembaga jaminan hipotik dan credietverband. Sekarang dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dikenal Hak Tanggungan dan dengan Undang-Undang Rumah Susun dikenal Fidusia. Untuk benda bergerak dikenal lembaga jaminan gadai dan fidusia. Selain itu dalam praktek perbankan ditemukan pada beberapa bank dibuat perjanjian cessie sebagai jaminan.
Sebagai suatu lembaga fidusia yang selama ini digunakan mempunyai sifat sederhana, mudah, dan cepat, tetapi dilain pihak, lembaga ini tidak menjamin adanya kepastian hukum. Adapun yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia.
Seperti telah diuraikan sebelumnnya, lembaga jaminan untuk benda bergerak adalah gadai dan fidusia. Dengan demikian maka untuk piutang dan saham harus dibebani hak gadai dan tidak fidusia. Konsep akhirnya fidusia adalah karena benda bergerak yang akan dijadikan jaminan, sehingga butuh perhatian pemerintah terhadap barang-barang yang akan dijadikan sebagai objek jaminan. bila digadaikan berarti akan lepas dari kekuasaan debitur (sebagai suatu asas dalam gadai bahwa barang gadai yang tetap berada dalam kekuasaan debitur, maka gadai batal) dan akhirnya debitur tidak akan dapat mencapai tujuan untuk mengembangkan usahanya.
Karena barang yang dijadikan jaminan adalah barang yang diperlukan untuk kegiatan usahanya. Jaminan yang telah digadaikan tersebut, tentunya secara hukum memiliki hak-hak dan kewajiban yang melekat baik bagi pihak debitur sebagai pemberi gadai maupun pihak kreditur sebagai penerima gadai, sehingga sulit memperhitungkan resiko yang timbul oleh kreditur.[6]
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa sangat tertarik untuk mengkaji aspek hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan kebendaan untuk dituangkan dalam bentuk karya ilmiah yaitu skripsi, khususnya menyangkut “Kepastian Hukum Hak Gadai Sebagai Jaminan Kebendaan”.

B.     Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang diuraikan diatas maka dapatlah diidentifikasi beberapa masalah:
1.      Kurangnya perhatian perhatian kreditur dan debitur terhadap barang-barang yang menjadi objek jaminan.
2.      Lemahnya kepastian hukum gadai sebagai salah satu jaminan kebendaan.
3.      Kurangnya penegakan hukum dan perhatian terhadap resiko yang timbul oleh kreditur.
4.      Lemahnya kepastian hukum lembaga fidusia sebagai salah satu jaminan kebendaan.
5.      Lemahnya  aturan terhadap penggunaan gadai saham dan piutang.
C.  Perumusan Masalah
Dari  uraian-uraian  yang telah dikemukakan di atas penulis
berusaha merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1.   Bagaimanakah kepastian hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan kebendaan ?
2.   Bagaimanakah aturan hukum terhadap penggunaan gadai saham dan piutang ?

D. Tujuan Penelitian
            Adapun tujuan daripada penulisan skripsi ini adalah :
1.   Untuk mengetahui kepastian hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan kebendaan.
2.   Untuk mengetahui aturan hukum terhadap penggunaan gadai saham dan piutang.

E.     Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.



1.      Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis yang menjadi harapan setelah penelitian ini dilaksanakan, adalah:
a.       Hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharan bahan bacaan guna pengembangan ilmu terkait.
b.      Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dan/atau pembanding bagi pihak lain yang ingin mengangkat kembali konsep penelitian ini terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menujuh kearah penelitian yang lebih baik.
2.      Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan setelah penelitian ini dilaksanakan adalah:
a.       Dapat   bermanfaat   bagi    para    praktisi   hukum,   dalam memberikan perlindungan hukum terhadap permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan gadai sebagai objek jaminan
b.      Untuk memberikan gambaran mengenai penggunaan gadai saham dan piutang dalam praktek.
 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Kajian Teori
Laisses Fire atau persaingan bebas. Paham ini berpendapat bahwa individu pada umumnya mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya. Kemampuan tersebut diperoleh karena manusia mempergunakan akalnya. Oleh karena menurut hukum alam individu-individu harus diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya, untuk mencapai kesejahteraan yang seoptimal mungkin.[7]
 “Jeremy Bentham (1748-1832), Ia berpendapat bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Konsepnya tentang hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna mencapai hidup bahagia.  Demikian pula dengan perundang-undangan, baik buruknya ditentukan pula memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasanya. Daya guna hukum menyangkut tiga sarana penting yaitu : individu, masyarakat dan budaya. Ketiga hal tersebut merupakan kebutuhan manusia untuk harus dijamin dan dijaga oleh hukum.
Bentham juga mengemukakan bahwa secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui tentang apa yang baik untuk kepentingan dirinya, kecuali dirinya sendiri, dan pemerinta tidak bole camur tangan dalam hal yang Pemerinta sendiri tidak memahaminya. “the motto of watchword of Government ought to be-Be Quite”, demikianlah yang di katakana Bentham. Jika Bentham berbicara tentang tidak turut campur tangannya Pemerintah hanya sebagai prinsip-prinsi umum saja, dan menekankan bahwa hal itu dapat di simpangi oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu, Artinya, dalam hal tertentu ia tidak perna berkeberatan bila campur tangan Pemerintah memang di perlukan. Ini di tunjukannya pada saat Inggris di tahun 1801 menderita kekurangan gandum dan roti. Bentham mengusulkan perlunya ditentukan harga maksimal untuk roti.[8]
Selanjudnya Hans Kelsen yang tidak menerima adanya pembedaan antara hukum dan negara, dalam konteks nasional menolak pembebanan kewajiban dan pemberian hak kepada negara. Beliau mengemukakan “sebenarnya tidak ada kewajiban dan hak negara. Kewajiban dan hak selalu merupakan kewajiban dan hak para individu” Namun demikian, beliau tidak menyangkal keterikatan dari pemerintah atau orang-orang yang mewakili negara terhadap norma-norma hukum dalam hal berhubungan dengan warga negara. Dengan kata lain, penyangkalan Hans Kelsen terhadap keterikatan negara dengan hukum tidak bersifat absolut, karena organ-organ negara (dalam arti sempit/materiil) tetap terikat perbuatannya dengan norma-norma hukum. Disamping itu, dalam kaitan dengan pergaulan masyarakat dunia dikemukakan bahwa negara dapat juga dibebankan kewajiban yang tercermin dari sanksi yang harus dipertanggungjawabkannya.[9]
Hans Kelsen mengemukakan bahwa dalam perlindungan hukum ada beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan yaitu: Negara, masyarakat dan individu. Perlindungan hukum pada individu yaitu menyangkut hak tubuh, jiwa/raga, kekayaan seperti harta benda. Jadi dalam kaitanya dengan kepatian hukum hak gadai sebagai jaminan kebendaan adalah KUH Perdata diibaratkan seperti Negara sedangkan pemegang gadai dan penerima gadai atau antara kreditur dengan debitur adalah masyarakat yang didalamnya ada individu-individu yang harus dilindungi. Bagaikan Negara yang melindungi rakyatnya begitu juga regulasi harus memberikan kepastian hukum. Jadi semua peraturan perundang-undangnan yang berhubungan dengan gadai harus member perlindungan apabila terjadi wanprestasi dari salah satu pihak.
Menurut buku Adam Smith yang berjudul The Wealth of Nations, yang merupakan fondasi dari pemikiran ekonomi modern, maka ada tiga prinsip dasar yang diketengahkannya. Pertama, Smith berpendapat bahwa dorongan psikologis yang utama dari manusia sebagai makhluk ekonomi adalah dorongan untuk memenuhi kepentingan dirinya. Kedua, ia berpendapat bahwa adanya keteraturan atau ketertiban alami (natural order) di alam semesta ini, yang menyebabkan setiap orang berusaha untuk memperoleh kepentingannya sendiri, telah menambah kebaikan social (social good). Ketiga, dari kedua postulat tersebut ia berkesimpulan bahwa program yang terbaik adalah membiarkan proses ekonomi berjalan tanpa campur tangan, yaitu sebagaimana yang kemudian sebagai laissezfaire, ekonomi liberal, atau non intervensionisme.[10]
         Menurut  L.J.  Van  Apeldom faktor-faktor yang membuat  terbentuknya hukum adalah terdiri dari:
a.          Perjanjian;
b.         Pengadilan;
c.          Ilmu pengetahuan hukum (ajaran hukum).
Perjanjian dikategorikan sebagai faktor pembantu dalam pembentukan hukum karena jika perjanjian itu sudah disepakati oleh para pihak yang berkepentingan, dilaksanakan sebagai mereka melaksanakan ketentuan   undang-undang.[11]
        Menurut Hugo Grotius bahwa hak untuk mengadakan perjanjian adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia. Grotiuslah yang mengemukakan bahwa ada suatu supreme body of  law yang dilandasi oleh nalar manusia (human reason) yang disebutkan sebagai hukum alam (natural law) ia berpendapat bahwa suatu kontrak adalah suatu tidakan sukarela dari seseorang dimana ia berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud bahwa orang lain itu akan menerimanya. Kontrak tersebut adalah lebih dari sekedar suatu janji, karena suatu janji tidak memberikan hak kepada pihak yang lain atas pelaksanaan janji itu.[12]
Berdasarkan beberapa teori yang ada di atas maka peneliti menggunakan teori yang di kemukakan oleh Hans Kelsen menurutnya dalam perlindungan hukum ada beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan yaitu: Negara, masyarakat dan individu. Perlindungan hukum pada individu yaitu menyangkut hak tubuh, jiwa/raga, kekayaan seperti harta benda. Jadi dalam kaitanya dengan kepastian hukum hak gadai sebagai jaminan kebendaan adalah KUH Perdata diibaratkan seperti Negara sedangkan pemegang gadai dan penerima gadai atau antara kreditur dengan debitur adalah masyarakat yang didalamnya ada individu-individu yang harus dilindungi. Bagaikan Negara yang melindungi rakyatnya begitu juga regulasi harus memberikan kepastian hukum.

B.     Kajian Konseptual
1.      Pengertian Jaminan
Jaminan yang digunakan untuk memperoleh sebuah pinjaman dari kreditor pada dasarnya dapat diuraikan sebagai berikut :
Menurut Indrawati Soewarso, pada dasarnya harta kekayaan seseorang merupakan jaminan dari utang-utangnya, seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi: Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan.[13]

Kebendaan bergerak, disebut demikian karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan seperti mesin, perkakas rumah dan ada pula yang ditetapkan Undang-undang atau dianggap sebagai kebendaan bergerak seperti hak tagih atas sejumlah uang, saham obligasi dan sebagainya.
Bila dilihat, saat ini pengaturan mengenai Hukum Jaminan di Indonesia masih bersifat sporadis di samping kurang memberikan kepastian hukum bagi pelaku perusahaan. Dalam rangka menunjang kegiatan bisnis yang semakin marak di Indonesia di  pandang   perlu   adanya  penyempurnaan  Hukum Jaminan sehingga dapat dihasilkan Hukum Jaminan yang komprehensif dan mengandung kepastian hukum.  Sedangkan menurut Hartono Hadisoeprapto dalam bukunya yang berjudul “Pokok-pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan”, pengertian jaminan adalah :
“Segala sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. Di dalam praktek masalah jaminan ini sangat penting sekali terutama yang berhubungan dengan kredit yang dilepas kepada nasabahnya”.[14]

Ketika diadakan Seminar Hukum Jaminan pada tanggal 9 sampai 11 Oktober 1978 di Yogyakarta telah dicapai suatu kesepakatan tentang apa yang dinamakan “jaminan”. Disebutkan bahwa yang dinamakan “jaminan adalah  menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”.[15]

Jaminan erat sekali kaitannya dengan kredit perbankan. Salah satu faktor terpenting dalam pemberian kredit adalah kepercayaan. Kepercayaan bank terhadap calon nasabah pada umumnya didasarkan atas keyakinan pihak bank terhadap beberapa faktor. Di antaranya ialah adanya jaminan.
Bahwa kepercayaan bank sehubungan dengan pemberian kredit didasarkan atas :
1.      Kejujuran dan itikad baik nasabah;
Bahwa Dana Kredit yang akan digunakan nasabah sesuai dengan yang telah disetujui dalam perjanjian kredit.
2.      Permodalan;
Keadaan permodalan nasabah yang memadai bagi asas-asas pembiayaan yang sehat.
3.      Kemampuan;
Kemampuan nasabah untuk melunasi kredit beserta bunga pada waktunya sesuai dengan yang telah dijanjikan.
4.      Hukum dan Poleksosbudhankam;
Baik  nasional  maupun   internasional   yang   memungkinkan
dapat dilaksanakan dan berkembangnya usaha.
5.      Jaminan;
Merupakan suatu tambahan untuk mengamankan kepentingan bank dalam hal sumber pelunasan kredit.
Bagaimana dengan hukum jaminan ? Sri Soedewi Masjchun Sofwan, yang mengutip pendapat Djojo Mulyadi, mengatakan :
“Hukum Jaminan tergolong bidang hukum yang akhir-akhir ini secara populer disebut The Economic Law (Hukum Ekonomi), Wiertschaftrecht atau Droit Economique yang mempunyai fungsi menunjang kemajuan ekonomi dan kemajuan pembangunan pada umumnya”.[16]
            Sedangkan dalam seminar Hukum Jaminan dikemukakan bahwa istilah Hukum Jaminan (Security, Zekerheidsstelling), meliputi pengertian baik jaminan perorangan maupun jaminan kebendaan. Hal ini berarti bahwa dalam membahas Hukum Jaminan, tidak pula lepas kaitannya dengan pembahasan mengenai hak-hak kebendaan khususnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yakni UU No. 5 Tahun 1960.
            Seperti yang diketahui, bahwa berlakunya UUPA telah membawa pengaruh yang besar terhadap Buku II KUHPerdata. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, mengemukakan sehubungan dengan berlakunya UUPA dengan lembaga jaminan sebagai berikut :
“Dengan berlakunya UUPA yaitu UU No. 5 Tahun 1960,  mengenai peraturan tentang lembaga jaminan yang bertalian dengan tanah diatur dalam pasal-pasal tertentu, beserta peraturan-peraturan  pelaksananya.  Menurut  pasal  51   UUPA   dinyatakan bahwa :  hak  tanggungan  yang  dapat  dibebankan  kepada   Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 25, 33, 39 diatur dengan undang-undang”.
            Selanjutnya menurut ketentuan pasal 57 UUPA disebutkan “selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan mengenai hipotik tersebut dalam KUHPerdata dan Credietverband tersebut dalam Stb. 1908 No. 52 yang telah diubah dengan Stb. 1937 No. 190. Menarik pula untuk diungkapkan, tentang jaminan yang dikaitkan dengan perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.
            Pasal 1754 KUHPerdata menyatakan: “Pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang setuju memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat habis karena pemakaian dengan syarat, bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari keadaan yang sama pula”. Ketentuan yang serupa dapat dilihat dari pasal 1820 KUHPerdata yang menyatakan: “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.
Sehubungan dengan persoalan pinjam meminjam yang telah penulis paparkan di atas, Subekti mengemukakan bahwa :
“Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur adalah KUHPerdata 1754 sampai dengan pasal 1769”.[17] Oleh karena persoalan perkreditan erat sekali kaitannya dengan jaminan agar kredit itu dapat diberikan, maka dengan sendirinya pembahasan mengenai perkreditan dan jaminan adalah sejalan dan searah pada tiap-tiap pembahasan, hal mana karena dalam ketentuan pasal 24 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan dinyatakan bahwa “Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”.
            Pembahasan mengenai perkreditan mempunyai kaitan erat dengan pembahasan tentang jaminan. Perkataan kredit itu sendiri erat kaitannya dengan perbankan, karena istilah kredit banyak dipakai di kalangan perbankan. Demikian pula pandangan dari Mariam Darus Badrulzaman, yang menyatakan bahwa :
“………, mengenai istilah kredit ini, penulis lebih cenderung untuk menamakannya Perjanjian Kredit Bank. Istilah Bank dilekatkan di sini untuk membedakannya dengan perjanjian pinjam uang yang memberi pinjaman bukan bank”.[18]
            Bagaimana halnya dengan Hukum Jaminan ? Hukum Jaminan   adalah   bertalian   dengan   aspek-aspek   hukum   dari jaminan, baik terhadap para pihak atau mengenai subjeknya  maupun mengenai benda/barang yang dijadikan jaminan atau objeknya.
            Hal ini pada gilirannya terakhir akan tiba pada pembahasan mengenai akibat-akibat hukum terhadap jaminan itu sendiri, seperti dalam hal kredit yang diberikan oleh bank tidak dapat dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama, maka akan diadakan pelelangan oleh bank.
Pengertian Kredit
             Istilah kredit adalah berasal dari bahasa Yunani credere yang berarti kepercayaan. Kredit tanpa kepercayaan tidak mungkin bisa terjadi. Dalam dunia perdagangan kepercayaan dapat diberikan atau diterima, dalam bentuk uang, barang atau jasa. Dikatakan dapat diberikan atau diterima, dalam arti bahwa mutlak adanya dua pihak yang berhubungan satu sama lain. Satu pihak yang memberikan kredit dan pihak lainnya yang menerima kredit.[19]

            Dalam dunia perdagangan pihak yang memberikan kredit disebut juga penjual, sedang yang menerima kredit disebut pembeli. Dalam transaksi jual-bali pembeli dengan menggunakan kedudukan atau pengaruhnya memperoleh izin dari penjual untuk mempergunakan modalnya. Pada akhir transaksi ini  akan  timbul hak bagi penjual untuk menerima pembayaran (pada waktu yang akan datang) dari pembeli dan di lain pihak timbul kewajiban  bagi pembeli untuk membayar (pada waktu yang akan datang) kepada penjual.
            Dalam dunia perbankan, kepercayaan dapat diberikan atau diterima dalam bentuk uang. Pihak-pihak yang berhubungan dalam transaksi kredit itu ialah yang memberikan kredit, biasanya berbentuk lembaga keuangan, baik Lembaga Keuangan Bank maupun Lembaga Keuangan Non Bank; sedangkan pihak-pihak yang menerima kredit, biasanya adalah anggota masyarakat yang berbentuk perseorangan maupun badan usaha atau hukum (Perseroan Terbatas, CV, Firma dan sebagainya yang serupa dengan itu). Istilah yang biasa dipergunakan dalam dunia perbankan adalah untuk pemberi kredit disebut kreditur, sedangkan penerima kedit disebut debitur.
            Kreditur mempercayai debitur dengan cara memberi kredit. Kredit yang diberikan dalam hal ini berbentuk uang. Kreditur memberikan kredit kepada debitur dengan harapan agar di kemudian hari (pada waktu tertentu), debitur pula dapat membayar kembali hutangnya kepada kreditur.
Dalam hal ini timbul adanya hubungan timbal balik, di mana kreditur mempunyai kelebihan uang, sedangkan debitur membutuhkan uang.
2.Perkembangan Hukum Jaminan
Bila dilihat perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia tidak lepas dari perkembangan hukum jaminan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Jepang dan zaman kemerdekaan sampai saat ini. Pada zaman pemerintah Hindia Belanda, ketentuan hukum yang mengatur tentang hukum jaminan dapat kita kaji dalam buku II KUHPerdata dan Stb. 1908 No. 542 sebagai mana telah diubah menjadi Stb. 1937 No. 190 tentang Credietverband. Dalam buku II KUHPerdata, ketentuan­-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hukum jaminan adalah Gadai (pand) dan hipotik.
Pand diatur dalam Pasal 1150 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata, sedangkan hipotik diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata. Credietverband merupakan ketentuan hukum yang berkaitan dengan pembebanan jaminan bagi orang bumi putra (Indonesia Asli). Pada zaman Jepang, ketentuan hukum jaminan tidak berkembang, karena pada zaman ini ketentuan-ketentuan hukum yang diberlakukan dalam pembebanan jaminan didasarkan pada ketentuan hukum yang tercantum dalam KUHPerdata dan Credietverband, hal ini dapat kita ketahui dari bunyi Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1942, yang berbunyi :
"Semua badan-badan pemerintah, kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah terdahulu, tetap diakui buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan pemerintahan militer".
Berdasarkan ketentuan ini, jelaslah bahwa hukum dan undang-­undang yang berlaku pada zaman Hindia Belanda masih tetap diakui sah oleh pemerintah Dai Nippon. Tujuan adanya ketentuan ini untuk mencegah terjadi kekosongan hukum (Rechtvacuum).
            Sejak zaman kemerdekaan sampai dengan saat ini (1945 - 2003) telah banyak ketentuan hukum tentang jaminan yang telah disahkan menjadi undang-undang. Pada zaman kemerdekaan sampai dengan saat ini, kita dapat memilihnya menjadi dua era, yaitu era sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Pada era sebelum reformasi, ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam ketentuan ini juga merujuk pada berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini terlihat pada konsideran UU No. 5 Tahun 1960 yang mencabut berlakunya buku II KUHPerdata Indonesia mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku sejak berlakunya undang-undang ini.
Pada era reformasi, kini telah diundangkannya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak, khususnya rumah-rumah susun. Objek fidusia ini masih digunakan oleh penerima fidusia untuk pengembangan usahanya, sedangkan para pihaknya pemberi fidusia dan penerima fidusia.
            Walaupun pada zaman kemerdekaan sampai dengan saat ini, permerintah kita telah banyak menetapkan undang-undang yang berkaitan dengan jaminan, namun kita masih memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum yang tercantum dalam buku II KUHPerdata. Ketentuan hukum yang masih berlaku dalam buku II KUHPerdata adalah yang berkaitan dengan gadai (pand) dan hipotik (terutama yang berkaitan dengan pembebanan atas hipotik kapal laut yang beratnya 20 m3 dan pesawat udara). Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan Hak Atas Tanah berlaku ketentuan hukum tercantum dalm UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
            Bila kita lihat ke belakang, sebenarnya lembaga jaminan fidusia ini mulanya timbul dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Belanda yaitu Arrest Hoge Raad 20 Januari 1929 yang dikenal sebagai Bierbrouwerij Arrest.
            Lembaga fidusia di Indonesia untuk pertama kalinya mendapat pengakuan yaitu dalam keputusan Hogerechtshof (HgH) tanggal 18 Agustus 1932 dalam perkara antara B.P.M melawan Clignet dalam hal mana dikatakan bahwa title XX Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata memang mengatur tentang gadai, akan tetapi tidak menghalangi para pihak untuk mengadakan perjanjian yang lain daripada perjanjian gadai bilamana perjanjian gadai tidak cocok untuk mengatur hubungan hukum antara mereka.
Perjanjian fidusia dianggap bersifat memberikan jaminan dan tidak dimasukkan sebagai perjanjian gadai. Jadi menurut HgH, karena fidusia bukan perjanjian gadai, maka tidak wajib memiliki unsur-unsur gadai.
            Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk pertama kali sesudah mengakui lembaga fidusia ini tapi khusus masih dalam benda-benda bergerak dalam yurisprudensi MA. No. 372 K/Sip/1970 dalam perkara antara BNI melawan Lo Ding Siang di Semarang. Bahwa sebelumnya sejarah perkembangan lembaga fidusia ini sudah mulai pada zaman Romwi, di mana pemberian jaminan dimaksudkan adalah untuk pelaksanaan suatu perjanjian.  “Pada zaman Romawi pemberian jaminan untuk menjamin pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan jalan mengalihkan hak milik atas benda jaminan kepada kreditur, yang dinamakan, Fiducia Cum Creditore”.[20]
            Dari kata “Cum Creditore” sebenarnya kita sudah dapat menduga bahwa penyerahan tersebut bukan dimaksudkan untuk sungguh-sungguh merupakan peralihan pemilikan, tetapi hanya sebagai jaminan saja, bukan untuk dimiliki kreditur dan memang menurut lembaga tersebut kreditur tidak mempunyai wewenang penuh seperti yang dipunyai seorang pemilik.
Setelah debitur memenuhi kewajiban perikatannya, maka kreditur wajib untuk menyerahkan kembali ke dalam pemilikan debiturnya. Karena debitur bertindak dengan kepercayaan, bahwa kreditur setelah debitur melunasi kewajibannya tidak akan mengingkari janjinya dengan tetap memiliki benda jaminan (dan menganggap dirinya telah menjadi pemilik penuh yang sah), maka hubungan seperti itu dinamakan hubungan yang didasarkan atas Fides atau hubungan fiduciair.
            Setelah di kemudian hari berkembang lembaga jaminan yang disebut gadai dan hipotik, maka cara perjanjian seperti tersebut di atas fiducia cum creditore menjadi tidak populer lagi dan hilang dari peredaran. Pada akhir abad 19 muncul suatu keadaan  yang  menimbulkan  suatu   kebutuhan   akan   lembaga jaminan yang lain daripada gadai, sekalipun benda jaminannya merupakan benda bergerak. Pada masa itu ada krisis dalam bidang usaha pertanian sebagai akibat dan serangan hama, sehingga para pengusaha pertanian membutuhkan bantuan modal yang diharapkan datang dari pihak bank.[21]
Bank pada masa itu hanya mau memberikan kredit dengan jaminan gadai alat-alat pertanian yang sulit untuk dipenuhi, karena para pengusaha sendiri membutuhkan alat-alat tersebut untuk menjalankan usahanya. Padahal banyak dan mereka yang dapat memberikan jaminan hipotik, karena mereka tak mempunyai tanah milik. Di samping itu bank juga mensyaratkan jaminan tambahan di samping hipotik.
Keadaan inilah yang melahirkan lembaga jaminan baru yang disebut Oogstverband (ikatan panen), di mana hasil panen dijadikan jaminan sebagai jaminan tambahan. Karena hasil panen merupakan benda bergerak, maka seharusnya kalau belum lahir lembaga Oogstverband, maka lembaga yang dipakai adalah gadai dengan konsekuensinya bahwa benda gadai harus dikeluarkan dan kekuasaan pemberi jaminan. Sekarang Oogstverband justru mungkin untuk adanya jaminan benda bergerak untuk tetap dalam kekuasaan pemberi jaminan. Inilah langkah pertama untuk lahirnya lembaga fidusia seperti sekarang kita kenal telah diambil.
            Orang melihat Oogstverband sebagai perluasan dari hak gadai melalui campur tangan pembuat undang-undang. Karena benda jaminan di dalam gadai dikuasai oleh penerima gadai, maka dikatakan, bahwa penerima gadai mempunyai Pandbezit untuk membedakannya dari Burgerlijk Bezit yang selama ini kita kenal dan karena pada jaminan ikatan panen (Oogstverband) benda jaminannya benda bergrak, tetapi tidak diserahkan ke dalam kekuasaan penerima gadai, maka orang menyebutnya gadai tanpa bezit (bezitloos pandrecht). Dengan demikian muncul suatu keadaan, di mana di satu pihak ada kebutuhan untuk dimungkinkannya gadai tanpa menguasai jaminan, tetapi di lain pihak tidak menghendaki adanya ketentuan baru tentang pendaftaran benda gadai. Jalan keluarnya ditemukan sendiri oleh praktek, yaitu melalui lembaga yang sekarang ini kita kenal dengan penyerahan hak milik secara kepercayaan (Fiduciar Eigendoms Overdracht atau disingkat FIDUCIA).[22]
Lahirnya gadai di dalam sistem hukum jaminan menurut KUH Perdata merupakan konsekuensi pembedaan benda atas benda tetap dan bergerak. Benda tetap menjadi objek dari hipotik atau credietverband. Sesuai dengan definisi benda gadai yaitu sebagai benda bergerak, maka harus ada hubungan yang nyata antara benda dan pemegang gadai.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
“Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research).”[23] Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.”[24]
“Penelitian tipe ini lazim disebut sebagai “studi dogmatik” atau yang dikenal dengan doctrinal research.”[25] “Penelitian tipe doktrinal (doctrinal research) adalah mirip dengan tipe penelitian hukum normatif.”[26] “Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik.”[27] “Dogmatik hukum bersifat teoritis-rasional, sehingga pengungkapannya terikat pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika deduktif. Disamping itu, maka dogmatik hukum memperhitungkan kecermatan, ketetapan dan kejelasan.”[28] “Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research) ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka.”[29] Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan tersebut mencakup:
1.      Penelitian terhadap asas-asas hukum
2.      Penelitian terhadap sitematik hukum
3.      Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4.      Perbandingan hukum
5.      Sejarah hukum.[30]

B. Variabel Penelitian
“variable penelitian ini adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.”[31] Menurut Abdulkadir Muhammad, “rumusan masalah dibuat sekhusus mungkin, tetapi tetap mencerminkan adanya hubungan antara variable.”[32] Berdasarkan masalah yang dirumuskan pada bab satu, maka dapatlah ditetapkan variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:
1.     Bagaimanakah kepastian hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan kebendaan ?
2.     Bagaimanakah aturan hukum terhadap penggunaan gadai saham dan piutang ?
C. Data dan Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data sekunder berdasarkan studi pustaka / studi literatur (library research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan antara:
1.      Bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang terdiri dari:
a.    Norma dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule) UUD 1945;
b.   Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
c.    Kitab Undang-undang Hukum Perdata Khususnta Buku II.
d.   Yurisprodensi yang ada hubunganya dengan gadai.
2.    Bahan hukum sekunder yaitu yang memberi Penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian, makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.    Bahan hukum Tertier
Yaitu Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri
a. Kamus hukum
b. Kamus bahasa Indonesia
c. Kamus Bahasa Inggris
d. Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat kabar , jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya ).[33]

D. Lagkah-Langkah Penelitian
1. Pengumpulan Data[34]
Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan, studi dokumen, dan studi catatan hukum.[35] Kepustakaan yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, buku karya tulis bidang hukum.
Kegiatan studi kepustakaan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.       Penentuan sumber data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier), berupa perundang-undangan, literatur di bidang ilmu pengetahuan hukum, dan kamus.
b.      Identifikasi data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier) yang diperlukan, yaitu proses mencari dan menemukan bahan hukum berupa ketentuan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan; judul buku, nama pengarang, cetakan, kota penerbit, penerbit, tahun terbit dan nomor halaman karya tulis bidang hukum.
c.       Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah (pokok bahasan atau subpokok bahasan), dengan cara pengutipan atau pencatatan.
d.      Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.[36]

2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
a.       Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah/variabel penelitian.
b.      Penandaan data (coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan, atau dokumen); pemegang hak cipta (penulis, tahun penerbitan); atau rumusan masalah/variabel penelitian (masalah pertama tanda A, masalah kedua tanda B, dan seterusnya).
c.       Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis mehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.
d.      Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah/variabel penelitian.[37]
3. Analisis Data dan Pembahasan
Menurut Abdulkadir Muhammad, “Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: (1) Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; (2) Data yang terkumpul umumnya berupa informasi; (3) Hubungan antara variabel tidak dapat diukur dengan angka ….”[38]
Kemudian menurut Hilman Hadikusuma, “penelitian yang hanya melakukan studi kepustakaan (data sekunder) tanpa melakukan penelitian lapangan (data primer). Penelitian ini juga memusatkan perhatiannya pada hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang abstrak, hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan perundang-undangan. Menurut Bambang Sunggono, “Pemusatan perhatian yang demikian ini akan membawa kepada penggunaan metode normatif dalam menggarap hukum. Sesuai dengan cara pembahasan yang bersifat analitis, maka metode ini disebut sebagai normatif analitis.”[39]
Menurut Dengan demikian, analisis data dilakukan secara kualitatif, konprehensif, dan lengkap. Analisis kualitatif artinya menuraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Konprehensif artinya analisis data dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlewatkan atau terlupakan, semuanya masuk dalam analisis.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.     KEPASTIAN HUKUM GADAI, SEBAGAI SALAH SATU BENTUK JAMINAN KEBENDAAN.
Untuk melihat kepastian hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan kebendaan maka sebaiknya terlebih dahulu kita melihat aturan-aturan hukum yang mengatur mengenai jaminan gadai tersebut.  Untuk itulah alangkah baiknya bila kita kaji mengenai hak-hak gadai yang diatur dalam KUHPerdata khususnya pada Bab XX KUHPerdata Buku II Pasal 1150 s/d Pasal 1160.
Ketentuan dalam KUHPerdata Pasal 1150 menetapkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian, biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Dalam hal ini biaya-biaya tersebut harus dikurangkan atau dibayarkan terlebih dahulu sebelum hasil penjualan barang tersebut diserahkan kepada kreditor.  Singkatnya hak pemegang gadai adalah menjual barang yang dikuasai dengan hak gadai dan mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang tersebut setelah dikurangi dengan berbagai biaya terutang, apabila debitor ingkar janji.
Kedudukan kreditor pemegang gadai disebut juga kreditor separatis, didahulukan dalam mendapatkan pelunasan dari kreditor konkuren.  Dikalangan perbankan kreditor separatis lebih dikenal dengan sebutan kreditor preferen yaitu kreditor yang mempunyai hak preferen dalam pembayaran piutangnya. [40]

            Benda-benda yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud. Benda bergerak tidak berwujud antara lain adalah hak tagihan (vorderingsrecht).
            Lahirnya gadai di dalam sistem hukum jaminan menurut KUH Perdata merupakan sebuah konsekuensi pembedaan benda atas benda tetap dan bergerak. Benda tetap menjadi objek dari hipotik atau credietverband.  Sesuai dengan definisi benda gadai yaitu sebagai benda bergerak, maka harus ada hubungan yang nyata antara benda dan pemegang gadai.
Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai. Benda gadai tidak boleh berada dalam kekuasaan wakil atau petugas pemberi gadai. Ratio dan penguasaan ini ialah sebagai publikasi untuk umum, bahwa hak kebendaan (jaminan) atas benda bergerak itu ada pada pemegang gadai.
            Demikian juga hak gadai hapus, apabila barang gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai, kecuali jika barang itu hilang atau dicuri padanya (Pasal 1152 ayat (3) KUHPerdata). Pemegang gadai berhak menjual sendiri benda gadai dalam hal yang berutang ingkar janji. Dari hasil penjualan, ia berhak mengambil pelunasan piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan itu. Hal itu juga berlaku, dalam hal pemberi gadai pailit (Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata).
Pemegang gadai juga memperoleh Hak yang didahulukan (Ps. 1133 KUHPerdata) serta Hak Asesor. Yang dimaksud dengan hak asesor ialah gadai ini bergantung kepada perjanjian pokok, misalnya perjanjian kredit.  Di samping itu pemegang gadai mempunyai juga beberapa hak sebagai berikut :
1)      Menjual dengan kekuasaan sendiri (Parate Eksekusi)
Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, si berpiutang adalah berhak, jika si berutang atau si pemberi gadai cedera janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau atau jika tidak telah ditentukan suatu, menjual benda gadai.
Yang dimaksud hak melakukan parate eksekusi, yaitu wewenang yang diberikan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutang dan kekayaan debitur, tanpa memiliki eksekutoriale titel.
Hak pemegang gadai ini tidak lahir dari perjanjian yang secara tegas dinyatakan para pihak, tetapi terjadi demi hukum, kecuali kalau diperjanjikan lain. Hak pemegang gadai untuk menjual barang dengan kekuasaan sendiri ini tidak tunduk pada aturan umum tentang eksekusi yang diatur dalam Hukum Acara Perdata (R.V) akan tetapi diatur secara khusus, seperti halnya dengan hipotik (Pasal 1178 KUHPerdata jo Pasal 7 ayat (2) PMA No. 15 Tahun 1961).
Untuk melakukan penjualan ini, pemegang gadai harus terlebih dahulu memberikan peringatan (sommatie) kepada pemberi gadai supaya utangnya dibayar. Penjualan harus dilakukan di depan umum, menurut kebiasaan setempat serta atas syarat yang lazim berlaku (Pasal 1150, ayat (1) KUHPerdata).
Ketentuan ini bersifat memaksa, karena berhubungan dengan ketertiban umum. Setelah penjualan dilakukan, pemegang gadai memberikan pertanggung-jawaban tentang hasil penjualan itu kepada pemberi gadai.
Jika barang gadai terdiri atas barang-barang perdagangan atau efek-efek yang dapat dipergunakan di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut asal dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan barang-barang itu (Pasal II ayat (2) KUHPerdata).
2)      Menjual benda gadai dengan perantaraan hakim
Penjualan benda gadai untuk mengambil pelunasan dapat juga terjadi jika si berpiutang menuntut di muka Hakim supaya barang gadai dijual menurut cara yang ditentukan untuk melunasi utang beserta bunga dan biaya.
3)      Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai
Pemegang gadai dapat menuntut agar benda gadai akan tetap pada si pemegang gadai untuk suatu jumlah yang akan ditetapkan dalam vonis hingga sebesar utangnya, beserta bunga dan biaya (Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata).
4)      Hak untuk mendapat ganti rugi
Pemegang gadai berhak mendapat ganti rugi berupa biaya yang perlu dan berguna, yang telah dikeluarkan oleh kreditur guna keselamatan barang gadai (Pasal 1157 ayat (2) KUHPerdata).
5)      Hak retensi (recht van Terughouden)
Selama pemegang gadai tidak menyalahgunakan barang yang diberikan dalam gadai, yang berutang tidak berkuasa menuntut pengembaliannya, sebelum la membayar sepenuhnya baik uang pokok maupun bunga dan biaya utangnya, untuk menjamin barang gadai yang telah diberikannya, beserta segala biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadai (Pasal 1159 ayat 1 KUH Perdata). Ketentuan ini memberikan wewenang kepada pemegang gadai untuk , menahan barang gadai. Tujuannya ialah melindungi pemegang gadai dari biaya yang perlu dikeluarkannya untuk merawat benda gadai (Pasal 1159 ayat (2) KUHPerdata), kecuali jika pemegang gadai menyalahgunakan barang gadai misalnya, pemegang gadai mempergunakan barang gadai atau tidak menjaga barang gadai dengan baik sehingga nilainya merosot.
6)      Hak didahulukan (Recht van voorrang)
Kreditur (pemegang gadai) mempunyai hak didahulukan terhadap tagihan-tagihannya, baik terhadap utang pokok, bunga, dan biaya (Pasal 1150 KUHPerdata), hak mana diwujudkan dalam hal kreditur menjual barang gadai sendiri ataupun melalui bantuan hakim (Pasal 1155 dan 1156 KUHPerdata). Terhadap hak didahulukan ini ada pengecualiannya, yaitu biaya lelang dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadai (Pasal 1150 KUHPerdata).[41]
Adapun kewajiban-kewajiban kreditur pemegang gadai ada!ah sebagai berikut :
1.      Bertanggung jawab untuk hilangnya atau merosotnya barang gadai, sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata).
2.      Kewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai, jika barang gadai dijual (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).
Kewajiban memberitahukan itu selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya apabila ada sesuatu perhubungan pos harian ataupun suatu perhubungan telegraf, atau jika tidak demikian halnya, dengan pos yang berangkat pertama (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).
Pemberitahuan dengan telegraf atau dengan surat tercatat, berlaku sebagai pemberitahuan yang sah (Pasal 1156 ayat (3) KUHPerdata).
Di atas dikatakan bahwa gadai dapat diadakan atas benda bergerak (berwujud atau tidak berwujud) yang dapat dialihkan. Benda bergerak tidak berwujud adalah hak-hak (rechter). Hak-hak yang dapat digadaikan yang dibahas di sini adalah hak tagihan atau piutang (varderingsrech ten). Piutang adalah hak menagih prestasi oleh seorang kreditur terhadap debitur tertentu, berdasarkan suatu perikatan. Biasanya prestasi itu berwujud pemenuhan sejumlah uang. Hak atas piutang ini dapat dibedakan dalam piutang atas nama (vordering op) atas bawa (vordering aan toonder).
Menurut Pasal 1153 KUHPerdata, gadai atas benda bergerak yang kepada siapa hak gadai itu harus dilaksanakan. Oleh orang ini tentang pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya, pemberi gadai dapat dimintai suatu bukti tertulis.
Di sini terlihat bahwa terjadinya hak gadai atas benda tidak bertubuh berbeda dengan benda bergerak, karena untuk benda bergerak hak gadai terjadi dengan penguasaan yang nyata.
Undang-undang tidak menentukan bagaimana pembe-ritahuan itu dilakukan, jadi dapat tertulis atau lisan. Pemberitahuan dengan exploit juru sita diadakan, jika debitur tidak bersedia memberikan keterangan tertulis tentang persetujuan pemberian gadai itu. Jika pemberi gadai ingkar janji, pemegang gadai berhak melakukan penagihan pada pihak yang berutang kepada pemberi gadai. Jika pembayaran itu lebih banyak dari piutang pemegang gadai, kelebihannya dikembalikan pemegang gadai kepada pemberi gadai.
Hak gadai surat atas tunjuk terjadi dengan endosemen dan penyerahan suratnya (Pasal 1152 bis KUHPerdata).  Endosemen adalah pernyataan penyerahan yang ditandatangani kreditur yang bertindak sebagai pemberi gadai dan harus memuat nama pemegang gadai (geendosseerde).
Bentuk hak gadai surat atas tunjuk antara lain misalnya pada wesel. Wesel adalah surat yang mengandung perintah dari penerbit kepada tersangkut untuk membayar sejumlah uang terhadap pemegang. Hak yang timbul dari wesel itu oleh pemegang wesel dapat diletakkan sebagai jaminan kredit terhadap pemberi kredit.
Surat (piutang) atas bawa adalah surat yang dibuat debitur. Isi surat itu menerangkan bahwa ia berutang sejumlah uang tertentu kepada pemegang gadai. Surat ini kemudian diserahkan ke tangan pemegang gadai.
Pemegang gadai berhak menagih pembayaran dari debitur, dengan mengembalikan surat atas bawa itu kepada debitur. Gadai surat atas bawa terjadi dengan menyerahkan surat itu ke dalam tangan pemegang gadai atau pihak ketiga yang disetujui kedua pihak (Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata).[42]

A.1.  BENDA-BENDA YANG MENJADI OBJEK GADAI
Benda yang dapat diserahkan dan menjadi objek gadai adalah benda bergerak berwujud seperti mesin-mesin, inventaris kantor dan benda bergerak tidak berwujud. Benda bergerak tidak berwujud antara lain adalah hak tagihan atau piutang.  Hak gadai juga dapat mencakup piutang yang masih akan ada dengan ketentuan bahwa hubungan hukum, yang menimbulkan piutang sudah ada pada waktu perjanjian pemberian gadai dibuat.
Sehubungan dengan mesin-mesin dan inventaris kantor yang dijaminkan kepada bank adakalanya barang-barang jaminan tersebut dimasukkan kedalam golongan benda tetap, mengingat fungsinya sebagai hulpzaak (inventaris) atau melekat, terpaku erat (nagelfast) pada tanah (mesin-mesin).[43]

Pendapat dan praktik ini didasarkan pada prinsip aksesi (accessie beginsel) yang dapat disimak pada Pasal 571, 601 dan 588 KUH Perdata, namun sejak berlakunya UUPA 1960 Tahun 1960 prinsip tersebut sudah ditinggalkan.  
Lahirnya gadai di dalam sistem hukum jaminan menurut KUHPerdata adalah konsekuensi pembedaan benda atas benda tetap dan benda bergerak. Benda tetap menjadi objek dari hak tanggungan. Sekarang hukum Indonesia di samping pembedaan benda tetap dan benda  bergerak,  mengenai  benda  terdaftar  dan tidak terdaftar.  Pengelompokan ini tidak mempengaruhi lembaga jaminan, sebab benda terdaftar dan diletakkan sebagai objek hak tanggungan sedangkan gadai memiliki objek benda bergerak baik terdaftar maupun tidak terdaftar.[44]
Aturan Dasar Pegadaian menentukan ukuran dari barang-barang yang dapat digadaikan. Semua barang bergerak dapat diterima gadai, jika untuk itu dapat diberikan pinjaman uang sedikit-dikitnya Rp. 0,10 (sepuluh sen = tien, centen). Pengecualian-pengecualian terhadap barang-barang ini adalah :
a.    Barang milik negara;
b.   Surat hutang, surat actie, surat effek dan surat-surat berharga lainnya;
c.    Hewan yang hidup dan tanaman;
d.   Segala makanan dan benda yang mudah busuk;
e.    Benda-benda yang kotor;
f.    Benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari suatu tempat ke tempat lain memerlukan izin;
g.   Barang yang karena ukurannya yang besar tidak dapat disimpan dalam gudang Pegadaian;
h. Barang yang berbau busuk dan mudah merusakkan barang lain jika disimpan bersama-sama;
i.    Benda-benda yang berharga sementara atau yang harganya naik turun dengan cepat, sehingga sulit ditaksirkan oleh pejabat gadai;
j.    Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk atau seorang yang kurang ingatan atau seorang yang tidak dapat memberi keterangan-­keterangan cukup tentang barang yang mau digadaikan itu;[45]
Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa benda-benda yang dapat digadaikan adalah benda bergerak dengan beberapa pengecualian. Di dalam praktek, maka benda-benda gadai itu terdiri dari emas, permata, kain, jam, sepeda, kendaraan roda dua, bahkan di beberapa cabang pegadaian tertentu di terima juga mobil, yang usianya tidak boleh lebih dari 5 tahun misalnya untuk sepeda motor yang digadaikan pada tahun 1979, dapat diterima sepeda motor yang dibeli tahun 1975. Emas dan permata berharga, disimpan di dalam tempat khusus (kamar emas, goudkammer atau khasanah).[46]
Yang berhak menyatakan penolakan benda-benda digadaikan adalah pejabat pegadaian. Pejabat itu berhak juga menolak benda-benda, walaupun tidak disebutkan dalam ketentuan di atas. Penolakan itu harus diberitahukan kepada orang banyak melalui suatu pengumuman.

B. GADAI SAHAM DAN PIUTANG
Dalam hal harta yang digadaikan berupa saham, perlu diperhatikan bahwa selain surat saham dimaksud diperlukan pencatatan gadai dalam buku saham perseroan ditandatangani oleh pihak yang berwenang.  Maksud pencatatan dalam hal ini adalah agar diketahui dan mendapatkan pengakuan perseroan tentang penjaminan saham-saham tersebut.  Dalam pada itu ketentuan Anggaran Dasar perlu diamati khususnya yang berkaitan dengan kewenangan dalam menggadaikan saham, misalnya diperlukan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham.  
Bila dilihat piutang dan saham menurut pengertian Hukum Benda termasuk dalam jenis benda bergerak. Pasal 511 KUH Perdata menyebutkan satu persatu apa yang dianggap sebagai benda bergerak menurut ketentuan undang-undang. Angka 3, 4, 5 dan 6 dari Pasal 511 KUHPerdata berbunyi :
3.   Perikatan-perikatan dan tuntutan-tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau yang mengenai benda-benda bergerak;
4.   Sero-sero, atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan dagang atau perusahaan, sekalipun benda-benda persekutuan yang bersangkutan dan perusahaan itu adalah kebendaan yang tak bergerak. Sero-sero atau andil-andil dianggap merupakan kebendaan bergerak, akan tetapi hanya terhadap para pesertanya selama persekutuan berjalan;
5.   Andil dalam perutangan atas beban Negara Indonesia, baik andil-andil karena pendaftaran dalam buku besar, maupun sertifikat-sertifikat, surat-surat pengakuan hutang, obligasi atau surat-surat lain yang berharga, beserta kupon-kupon atau surat tanda bunga yang termasuk di dalamnya
6.   Sero-sero atau kupon obligasi dalam perutangan lain, termasuk juga perutangan yang dilakukan negara-negara asing.[47]
Sebagaimana telah disebut di atas lembaga jaminan untuk benda bergerak adalah Gadai dan fidusia. Dengan demikian maka untuk piutang dan saham harus dibebani hak gadai dan tidak fidusia. Konsep akhirnya fidusia adalah karena benda bergerak yang akan dijadikan jaminan, bila digadaikan berarti akan lepas dari kekuasaan debitur (sebagai suatu asas dalam gadai bahwa barang gadai yang tetap berada dalam kekuasaan debitur, maka gadai batal) dan akhirnya debitur tidak akan dapat mencapai tujuan untuk mengembangkan usahanya. Karena barang yang dijadikan jaminan adalah barang yang diperlukan untuk kegiatan usahanya.
            Sementara saham atau piutang tidak diperlukan untuk suatu kegiatan usaha (produksi) debitur. Karena itu atas saham atau piutang hanya dapat digadaikan dan tidak difidusiakan. Ketentuan yang mengatur gadai dapat dilihat pada KUHPerdata Pasal 1150-1160.
Karakteristik dari gadai adalah barang yang dijadikan jaminan dilepaskan dari kekuasaan pemberi gadai (debitur) dan harus diserahkan (secara fisik) kepada penerima gadai (kreditur). Pasal 1152 ayat (2) menyatakan bahwa tidak sah hak gadai atas benda yang dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan, pemberi gadai (debitur), sekalipun kembalinya barang itu kepada debitur atas kemauan kreditur.[48]
            Kreditur dilarang memiliki barang gadai, hal ini untuk melindungi kaum lemah yang memerlukan pinjaman dari perbuatan curang pemilik uang yang akan memberikan pinjaman kepada pemilik barang gadai yang ingin dan berusaha untuk memiliki barang gadai. Walaupun dalam pelaksanaannya masih ditemukan cara yang tidak terpuji dari pemilik uang yang menghendaki barang gadai milik peminjam uang. Yaitu dengan diperjanjikan bahwa bila telah lewat waktu gadai tidak ditebus, maka barang gadai segera dijual untuk melunasi hutang.
Kelicikan yang sering terjadi adalah bila telah jatuh tempo untuk membayar hutang dan harus menebus barang gadai, pemilik uang sulit dijumpai, sehingga telah lewat waktu seolah-olah ada kelalaian debitur, dan pemilik uang menjual barang untuk melunasi hutang debitur. Barang gadai dijual kepada diri pemilik uang itu sendiri.
Dalam ketentuan yang tercantum pada Pasal 1155 KUHPerdata, bila si berutang cidera janji, maka barang gadai harus dijual di muka umum. Jika barang gadai berupa saham atau efek maka penjualan dilakukan di bursa atau di pasar di mana saham atau efek diperjualbelikan, melalui makelar yang ahli. Berbeda dengan gadai atau cekelan dalam hukum adat yang mengizinkan penerima jaminan untuk menjadi pemilik dari barang yang jaminan kalau tidak ditebus. Namun ini juga harus diperjanjikan lebih dulu.
Karena barang gadai berada di tangan kreditur, maka kreditur pemegang gadai mempunyai kedudukan yang kuat, terlebih lagi tata cara terjadi hak gadai dan cara pencairan mudah.
Jaminan gadai bersifat accessoir, adanya gadai tergantung dari perjanjian pinjam meminjam uang yang dijamin dengan benda bergerak. Bila debitur telah melunasi hutangnya atau telah memenuhi kewajiban menurut perjanjian pinjam meminjam uang, maka berakhir pula perjanjian gadai. Dan barang gadai harus dikembalikan kepada debitur. Badan Usaha Milik Negara Pegadaian sebagai badan yang memberi pinjaman kepada masyarakat, namun kurang banyak digunakan oleh masyarakat umum.
Dalam Anggaran Dasar Pegadaian ditentukan jenis barang yang dapat dijadikan obyek gadai, hak dan kewajiban pejabat pegadaian, tentang golongan benda gadai menurut besarnya pinjaman, bunga, dan jangka waktu pinjaman. Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan Jawatan Pegadaian ini merupakan lembaga yang berperan dalam memberi pinjaman uang bagi yang membutuhkan. Jawatan Pegadaian masih belum banyak dimanfaatkan, karena ada kecenderungan masyarakat malu mempunyai hutang dengan menggadaikan barang. Lain halnya bila mempunyai hutang dari bank tidak dirasakan malu.[49]
          Obyek Lembaga gadai selain benda bergerak bewujud juga dapat berupa surat-surat berharga. Dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor 242/Kep/Dir dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 24/1/UKU tanggal 12 Agustus 1991, kepada bank diizinkan memberi kredit dengan agunan tambahan berupa saham dari perusahaan yang dibiayainya tetapi bila saham bukan dari perusahaan yang dibiayai maka tak dapat diterima sebagai agunan atas kredit yang dimohon.
          Perkembangan pada akhir tahun 1993 terbit Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/68/KEP/DIR jo. Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/l/ UKU keduanya tertanggal 7 September 1993 yang mencabut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia tanggal 12 Agustus 1991 di atas. Diterbitkannya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia bulan September 1993 tersebut bukan saja merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata jo. Pasal 511 KUH Perdata, tetapi juga sebagai sarana untuk ikut menunjang berkembangnya pasar modal.
          Jaminan merupakan suatu faktor penting yang harus diperhatikan oleh lembaga atau orang yang memberikan kredit. Pasal 8 UU Perbankan Tahun 1992 beserta penjelasannya mewajibkan bank untuk memperhatikan agunan sebagai salah satu unsur jaminan, mengingat kredit yang diberikan selalu mengandung resiko. Pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak lagi mensyaratkan bahwa pemberian kredit harus diikuti dengan kewajiban pemohon kredit menyediakan jaminan materiil atau in-materiil.[50]
Dalam Pasal 8 Undang-undang undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang baru hanya menegaskan bahwa dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan debitur serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan hutang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dari pasal ini persyaratan adanya jaminan untuk memberikan kredit tidak menjadi keharusan. Bank hanya diminta untuk meyakini berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik debitur dan kemampuan dari debitur. Ukuran itikad baik sifatnya kualitatif tidak mudah untuk mengukurnya, sedangkan kemampuan dapat di analisa dari pendapatan debitur dalam berusaha atau pendapatan dari pekerjaannya seorang pemohon kredit.
          Bank diperbolehkan memberikan kredit dengan agunan tambahan berupa saham yang telah terdaftar di bursa efek (Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/68/KEP/DIR tanggal 7 September 1993). Yang dimaksud saham di sini sebagaimana yang disebut pada Pasal 1 huruf c Surat Keputusan tersebut di atas.
          Saham adalah surat bukti pemilikan suatu perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. Walaupun sudah terdaftar di bursa efek, namun ada pengecualian yaitu saham dalam 3 bulan berturut-turut sebelum akad kredit ditandatangani tidak mengalami transaksi atau harga pasar saham yang akan dijadikan agunan berada di bawah nominalnya. Atas saham yang tersebut di atas tidak dapat diterima sebagai agunan tambahan. Saham yang dapat dijadikan agunan tambahan hanya dinilai 50 % dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan di bursa efek, pada saat akad kredit ditandatangani.
          Selanjutnya saham yang belum terdaftar di bursa efek hanya dapat dijadikan agunan tambahan untuk pemohon kredit yang melakukan ekspansi atau akuisisi, dan hanya untuk perusahaan penerbit saham yang bersangkutan. Dan nilai saham maksimum sebesar nilai nominal saham sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tanggal Perusahaan tersebut.[51]
Saham sebagai benda bergerak, maka lembaga jaminan yang membebaninya adalah Gadai. Di bawah ini akan di analisis suatu akta gadai saham yang berasal dari salah satu kantor notaris di Medan. Dalam membuat Perjanjian Gadai Saham harus diperhatikan ketentuan yang berlaku untuk gadai, yaitu mulai Pasal 1150 hingga Pasal 1160 KUHPerdata, juga harus memperhatikan ketentuan untuk membuat suatu perjanjian misalnya ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
      Dalam suatu akta perjanjian gadai saham yang ditemukan ketentuan berikut :
-     "Bahwa tidak ada pemegang saham lain selain yang telah disebut dalam akta tersebut';­
-     "Bahwa saham-saham tersebut belum dicetak, akan tetapi oleh direksi perseroan untuk saham-saham tersebut diselenggarakan buku-buku daftar saham yang di dalamnya dicatat nama, tempat tinggal dari pihak pemegang saharn dan keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu".
          Perjanjian Gadai Saham dalam perjanjian accesoir, karenanya baru sah bila ada perjanjian pokok. Dalam akta Perjanjian Gadai Saham, terlihat pada salah satu Pasalnya yang berbunyi :
"Perianjian gadai Saham ini rnerupakan bagian. penting dan tidak terpisahkan dari Perjanjian Kredit beserta perubahan dan/ atau perpanjangannya  kemudian".
          Saham merupakan tanda bukti pemilikan suatu perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. Pemegang saham sebagai pemilik dari perusahaan tentu mempunyai hak dan kewajiban. Dengan digadaikan saham yang dipunyai itu apakah seluruh hak dan kewajiban pemegang saham menjadi beralih kepada pemegang gadai saham ? Ini merupakan pertanyaan yang sering diajukan.
          Dengan Gadai Saham maka kreditur mendapat preferensi dan hak yang kuat untuk mendapat pelunasan dari debitur lebih dahulu dari hasil penjualan saham yang digadaikan tersebut, bila debitur wanprestasi atau ingkar janji. Untuk memberi jaminan yang kuat bagi kreditur beberapa ketentuan dicantumkan dalam Perjanjian Gadai Saham. Dari beberapa akta Perjanjian Gadai Saham yang terdapat pada beberapa kantor notaris di Medan, ditemukan salah satu akta yang mencantumkan ketentuan yang memberi jaminan kuat bagi kreditur antara lain yang berbunyi :
-     Bila debitur lalai dalam memenuhi salah satu kewajibannya, berdasarkan Perjanjian Hutang atau Perjanjian Jaminan, maka bank berhak untuk menjual saham-saham di hadapan umum atau di bawah tangan menurut kebiasaan setempat dengan harga dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank.
-     Dalam hal demikian, Bank berhak sepenuhnya untuk menggunakan hasil-hasil, penjualan Saham-saham untuk melunasi hutang dengan cara dan prioritas pelunasan yang ditetapkan bank sendiri.
-     Pemilik saham dengan ini, memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dan bertindak untuk dan atas nama Pemilik Saham dalam memberitahukan tentang jaminan gadai ini secara tertulis pada debitur, untuk memenuhi ketentuan Pasal 1153 KUHPerdata.
       Juga Pemilik Saham memberi kuasa kepada bank sebagai pemegang gadai. Kuasa yang diberikan ini sangat luas, seperti terlihat dalam salah satu pasal yang berbunyi :
Pihak Pertama dengan ini memberi kuasa kepada Pihak Kedua selama hutang debitur kepada bank belum lunas seluruhnya; untuk mewakili Pihak Pertama dalam arti seluas-luasnya terhadap saham-saham rnereka dan tentang hal itu  melakukan  tindakan-tindakan apapun, baik, tindakan pengurusan maupun tindakan pemilikan, tiada suatupun tindakan yang dikecualikan, diantaranya :
a. Menerima segala pembayaran deviden atas saham-saham yang berkenaan;
b.  Menerima pembayaran likuidasi dalam hal debitur dilikuidasi;
c.  Menggunakan segala penerimaan tersebut untuk melunasi segala pembayaran yang harus dilakukan oleh debitur kepada bank, berdasarkan Perjanjian Kredit beserta perubahan dan/atau perpanjangannya di kemudian atau karena apapun juga;
d.  Mengundang, menghadiri semua Rapat Umum Pemegang Saham Debitur, mengeluarkan pendapat dan memberikan suara dalam pemungutan suara serta mengambil keputusan dalam rapat-rapat tersebut, semuanya itu apabila dianggap perlu oleh bank;
e.  Melakukan segala sesuatu yang dianggap perlu dalam melak­sana.kan Surat Kuasa yang dimaksud pasal ini.[52]
Pihak Pertama sekarang untuk nantinya dengan ini mensahkan segala tindakan yang dilakukan oleh pihak kedua berdasarkan akta ini dan Pihak Pertama berjanji dan mengikat diri untuk tidak melakukan sesuatu tindakan yang dikuasakannya kepada Pihak Kedua dengan akta ini.
Ketentuan sebagaimana tercantum dalam Akta Notaris tersebut memberi gambaran bahwa pemegang gadai mempunyai hak bulat penuh seperti pemilik saham. Berbeda yang ditemukan pada akta notaris yang lain tentang kuasa yang diberikan oleh pemberi gadai terbatas dalam arti dapat digunakan haknya bila debitur telah cidera janji. Hal ini terlihat dari kelanjutan bunyi ketentuan yang memberi kuasa seperti tersebut di atas, dengan redaksi sebagai berikut :
“Pemberian kuasa ini berlaku sejak saat terjadinya cidera janji, apabila debitur secara bagaimanapun juga berdasarkan Perjanjian Hutang dan Perjanjian Jamninan”.
Selanjutnya dalam akta disebutkan pula :
Pemilik dengan ini melepaskan :
a.    Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1802 sampai dengan Pasal 1806 KUHPerdata sepanjang ketentuan-ketentuan itu maksudnya untuk mewajibkan Bank memberi pertanggungan jawab kepada Pemilik tentang pelaksanaan kuasa ini; dan
b.   Hak-hak pemilik untuk menentukan dilaksanakannya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1807 sampai dengan Pasal 1812 KUHPerdata, dan
c.  Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1470 KUHPerdata
Kuasa ini diberikan dengan hak substitusi.
Masih banyak saham-saham perseroan terbatas di Indonesia belum diterbitkan karena itu bukti pemilikan saham hanya berupa catatan dalam buku khusus yang terdapat dalam perseroan tersebut. Dalam hal ini maka yang diserahkan ternyata adalah buku daftar saham tersebut. Terlihat dalam Akta Notaris pada salah satu Pasal yang berbunyi :
“Direksi debitur berjanji dan rnengikat diri untuk menyerahkan buku-buku daftar saham mengenai saham yang dimaksud di atas, pada saat Perjanjian Gadai Saham  ini ditandataragani oleh pihak Kedua”.
Dan bila nantinya terbit surat-surat saham maka harus diserahkan kepada pemegang gadai seperti terlihat berikut ini :
“Pihak pertama berjanji dan mengikat diri untuk menyerahkan surat-surat saham yang berkenaan dan/atau akan dimiliki kemudian oleh Pihak Pertama. kepada Pihak Kedua segera setelah surat-surat saham itu dikeluarkan dan dicetak oleh debitur”;
Saham yang digadai harus diberi catatan dalam buku daftar saham seperti berikut :
“Pemilik dan debitur menegaskan bahwa daftar para pemegang saham yarzg telah dibubuhi catatan bahwa saham-saham pemilik telah digadaikan. kepada Bank yang diserahkan kepada Bank adalah satu-satunya yang sah dan merupakan satu-satunya bukti tentang komposisi Pemilik saham-saham".
          Hal yang harus diperhatikan oleh penerima gadai saham ialah adanya jenis-jenis saham. Saham yang telah go public mempunyai nilai untuk dijadikan agunan tambahan. Saham yang tidak terdaftar di bursa efek sulit dinilai harganya. Selain itu pengikatan saham sebagai agunan juga tergantung pada jenis saham sebagai yang dikenal dalam KUHDagang Pasal 40 menyebut bahwa modal perseroan dibagi atas saham-saham atas nama dan saham atas bawa atau blanko. Saham blanko dapat diagunkan dengan cara gadai seperti yang diatur oleh KUHPerdata dan segala ketentuan tentang gadai tersebut berlaku sepenuhnya untuk gadai saham atas bawa.  Pasal 42 KUHDagang :
“Dalam akta ditentukan cara bagaimana sero-sero atau saham­-saham atas nama dioperkan hal itu dapat dilakukan dengan pemberitahuan suatu pernyataan kepada para pengurus dari persero bersangkutan dari pihak penerima pengoperan, atau dengan pernyataan seperti itu yang dimuat dalam buku-buku perseroan itu dan ditandatangani oleh atau atas nama kedua belah pihak”.
      Jadi untuk saham atas nama dapat dijadikan agunan dengan cara pemberitahuan pernyataan kepada pengurus perseroan. Namun dalam praktek ada yang mempergunakan lembaga Cessie. Sebagaimana diketahui Cessie adalah suatu cara pengalihan piutang atau tagihan. Saham bukan bukti tagihan piutang,tetapi bukti pemilikan saham dalam suatu perseroan atau bukti penyertaan modal pada suatu perseroan dan lembaga jaminan untuk saham atas nama bukan dengan cessie. Menurut penulis dibuat akta perjanjian gadai saham. Gadai saham atas nama diatur dalam Pasal 1153 KUHPerdata.  Ketentuan Pasal 1153 menyebutkan :
“Hak gadai atas benda-benda bergerak tak bertubuh, keeuali surat-surat tunjuk atau surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya, kepada orang-orang terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. Oleh orang ini tentang hal pernberitahuan tersebut serta tentang izinnya si pemberi gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis”.[53]
          Dari Pasal 1153 tersebut terlihat bahwa untuk mengagunkan benda bergerak tak bertubuh atas nama tidak diharuskan dengan cessie, namun cukup dilakukan dengan pemberitahuan dan tidak perlu dengan eksploit. Kekeliruan gadai saham atas nama dengan menggunakan cessie adalah memasukkan saham atas nama sebagai piutang atas nama. Sedang saham adalah bukti penyertaan modal dalam suatu perusahaan atau bukti pemilikan atas asset suatu perusahaan. Saham bukan merupakan tagihan. Jadi keliru kalau mengagunkan saham atas nama dengan menggunakan lembaga cessie.
      Saat ini telah mulai dikembangkan gadai saham, namun masih banyak saham yang belum dicetak, dan untuk memenuhi persyaratan sahnya suatu gadai (yaitu barang gadai harus dilepaskan dari pemberi gadai dan diserahkan kepada penerima gadai) maka seyogyanya bank-bank yang akan menerima saham sebagai agunan (tambahan) menganjurkan agar saham segera dicetak. Saham yang dijadikan jaminan, harus diserahkan kepada bank dan disimpan oleh bank. Dan pemilik saham memberi kuasa kepada bank untuk menjual sahamnya bila debitur cidera janji.
          Tagihan-tagihan merupakan harta kekayaan perusahaan dan ini hak yang dapat dijadikan obyek agunan. Bukti adanya tagihan dapat berupa surat sebagai legitimasi dari perbuatan hukum yang tercantum dalam surat tersebut. Yang digadai tentu bukan surat itu sebagai benda yang tak berwujud, tetapi hak yang dikandung dalam surat tersebut, yaitu hak tagih. Orang ketiga yang menerima gadai hak atas tagih tersebut bila akan menagih harus menunjukkan bukti, yaitu surat yang dibuat antara pihak pertama (debitur) dan kedua (kreditur, pemberi gadai). Dengan surat yang dibawa atau yang ditunjukkan itu, maka orang ketiga ini mempunyai legitimasi untuk menagih (berkedudukan sebagai kreditur) debitur.
          Surat tagih yang menunjuk kepada siapa perikatan harus dilunasi, berpindahnya hak tagih harus melalui endosemen dan disertai penyerahan surat tersebut. Pasal 1153 KUHPerdata menyebutkan bahwa harus ada pemberitahuan kepada debitur.
Pemberitahuan tidak harus dengan eksploit juru sita. Dengan pemberitahuan ini sudah dianggap dilepaskannya hak tagih dari pemberi gadai (kreditur) kepada penerima gadai (orang ketiga). Dengan pemberitahuan ini berarti debitur tidak boleh lagi membayar kepada kreditur (asal) tetapi sudah berpindah kepada orang ketiga. Untuk alat pembuktian debitur dapat, meminta dibuat pemberitahuan secara tertulis, dan adakalanya untuk keamanan, diminta pula eksploit juru sita.
      Bila debitur cidera janji, penjualan barang gadai hanya dapat dilakukan di depan umum atau dibursa. Sebagai pemegang gadai surat tagihan, kreditur tidak menjadi pemilik dari surat tagih tersebut. Sehingga kreditur tidak berhak menagih langsung kepada debiturnya debitur. Maka untuk menjaga agar debitur tidak menarik kembali apa yang telah dijanjikan, maka kreditur meminta surat kuasa yang tidak dapat dicabut kembali atau kuasa mutlak.[54]


BAB  IV
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.   Kepastian hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan kebendaan diatur dalam KUHPerdata khususnya pada Bab XX KUHPerdata Buku II Pasal 1150 s/d Pasal 1160. Pasal 1150 KUHPerdata menetapkan gadai merupakan hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian, biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Benda yang dapat diserahkan dan menjadi objek gadai adalah benda bergerak berwujud seperti mesin-mesin, inventaris kantor dan benda bergerak tidak berwujud. Benda bergerak tidak berwujud antara lain adalah hak tagihan atau piutang.  Hak gadai juga dapat mencakup piutang yang masih akan ada dengan ketentuan bahwa hubungan hukum, yang menimbulkan piutang sudah ada pada waktu perjanjian pemberian gadai dibuat.  Benda tetap menjadi objek dari hak tanggungan.
3.   Pembebanan jaminan terhadap piutang dan saham, mengacu pada Hukum Benda dimana piutang dan saham termasuk dalam jenis benda bergerak seperti dijabarkan pada Pasal 511 KUHPerdata mengenai apa yang dianggap sebagai benda bergerak. Karena lembaga jaminan untuk benda bergerak adalah gadai dan fidusia, maka untuk piutang dan saham harus dibebani hak gadai dan bukan fidusia.
B. SARAN
1.      Sebaiknya bagi orang yang berpiutang dan yang berutang atas barang yang diserahkan lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam pasal 1150 s/d Pasal 1160 KUHPerdata. Sehingga hak dan kewajiban para pihak tidak dilanggar supaya barang gadai tidak batal demi hukum. Untuk itu pemegang gadai dan penerima memperhatikan objek gadai seperti benda bergerak berwujud dan tidak berwujud, supaya jangan sampai benda yang digadaikan itu bukan objek gadai yang sebenarnya. Sehingga tidak batal demi hukum.
2.      Sebaiknya kreditor penerima gadai khususnya yang berupa berupa saham, memperhatikan bahwa selain surat saham, juga  diperlukan pencatatan gadai dalam buku saham perseroan yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang. Karena maksud pencatatan ini, agar diketahui dan mendapatkan pengakuan perseroan tentang penjaminan saham-saham tersebut kepada kreditor. 



DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1981. Seminar Hukum Jaminan. Bandung: Alumni.

Anwari. Achmad. 1981.  Praktek Perbankan Di Indonesia (Kredit Investasi). Jakarta: Balai Aksara.

Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6. Jakarta: Bina Aksara.

Aronstam,Peter. 1979.  Consumer Protektion, Freedom of Contract And The Law. Cape Town: Juta & Company Limited.

Badrulzaman, Darus Mariam. 1994.. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni.

Badrulzaman, Mariam Darus. 1980. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Alumni.

Hadikumsuma, Hilman. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1. Bandung: Mandar Maju.
             
Hadisoeprapto, Hartono.  1984.  Pokok-pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan. Yogyakarta: Liberty.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5, LN 1960, TLN No. 2043.

Indrawati, Soewarso. 2002. Aspek Hukum Jaminan Kredit. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Remy, Sutan. Sjahdeini. 1993.  Kebebasan Berkontrak Dan Perindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: IBI.

Salim. H. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Satrio. J. 1997. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Smith. Adam. 1965.  The Wealth of Nations. New York: The Modem Library.
Soedewi, Sri dan Sofwan, Masjchun. 1977. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia didalam Praktek dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta:  FH-UGM.

___________. 1980. Hukum Jaminan Di Indonesia Dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 1995.  Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soewarso, Indrawati. 2002. Aspek Hukum Jaminan Kredit. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Subekti, R. 1978. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. Bandung: Alumni yaihrani, Riduan. 2008.  Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

www.yahoo.com, Teori Hukum Hans Kelsen. Di akses 15 Juli 2010.

www.google.com pengembalian uang pinjaman, diakses pada tanggal 9   Maret 2011.

www.google.com. Jaminan Kebendaan Sebagai Salah Satu Hak Hukum. Diakses pada tanggal 11 Maret 2011.

www.google.com. Konflik dan Penyelesaian Masalah Gadai. Diakses pada tanggal 9 Maret 2011.

www.Google.com. Hak atas gadai. Diakses pada tanggal  20 Maret 2011.


           
             





            [1] Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. (Bandung: Alumni, 1994), hal.34.

                [2] Ibid. hal. 56-57.
                [3] www.google.com pengembalian uang pinjaman, diakses pada tanggal 9   Maret 2011.

[4] Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5, LN 1960, TLN No. 2043, ps. 53.
                [5] J. Satrio. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 67- 69.
                [6]Ibid. hal. 23.
[7] Sutan Remy Sjahdeini,  Kebebasan Berkontrak Dan Perindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: IBI, 1993), hal. 8.

                [8] Ibid. hal. 24.
[9] www.yahoo.com, Teori Hukum Hans Kelsen. Di akses 15 Juli 2010.
                [10] Adam Smith.  The Wealth of Nations. New York: The Modem Library, 1965, hal. 8
                [11] Riduan Syaihrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 13.

                [12] Peter Aronstam,  Consumer Protektion, Freedom of Contract And The Law. (Cape Town: Juta & Company Limited, 1979), hal. 1.
[13]Indrawati Soewarso, Aspek Hukum Jaminan Kredit. (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 2002), hal. 7.

[14] Hartono Hadisoeprapto. Pokok-pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan. (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal. 50.

[15] Anonimous, Seminar Hukum Jaminan. (Bandung: Alumni, 1981), hal. 201.

[16] Sri  Soedewi  Masjchun  Sofwan. Hukum Jaminan Di Indonesia Dan Jaminan Perorangan. (Yogyakarta: Liberty, 1980), hal. 1.

[17] R. Subekti,  Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. (Bandung: Alumni, 1978), hal. 13.

[18] Mariam Darus Badrulzaman. Perjanjian Kredit Bank. (Bandung: Alumni,  1980), hal. 20.

[19] Achmad Anwari. Praktek Perbankan Di Indonesia (Kredit Investasi). (Jakarta: Balai Aksara, 1981), hal. 13.

[20] J. Satrio,  Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 67.
                [21] Ibid. hal. 69.
                [22] Ibid. hal. 72.

[23] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13-14; Lihat juga Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 184.

[24] Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 52.

[25] Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 86.

[26] Bambang Sunggono, Ibid., hal. 93.

[27] Abdulkadir Muhammad, Op. cit.

[28] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc. cit., hal. 4; Bandingkan dengan “rechtsdogmatiek” dari K. F. von Gerber dan Paul Laban, lihat, Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), cet. 8, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 85.

[29] Ibid., hal. 13-14; Lihat, Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.,; Lihat Juga, Hilman Hadikumsuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 65-66.

[30] Ibid., hal. 13-14.

[31] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6, (Jakarta: Bina Aksara, 1989) hal. 89, 90, 92.

[32]  Abdulkadir Muhammaad, Loc. cit., hal. 62.
[33]  Abdulkadir, Op. cit., hal. 56.

[34] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125; Lihat juga, Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184.

[35] Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184; Lihat juga Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 125.

[36] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125.

[37] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125.

[38] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 92.

[39] Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 68, 186;
[40] Indrawati Soewarso. Aspek Hukum Jaminan Kredit. (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 2002), hal. 45.

                [41]Ibid. hal. 76.
                [42] www.Google.com. Hak atas gadai. Diakses pada tanggal  20 Maret 2011.
[43] Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia didalam Praktek dan Perkembangannya di Indonesia. , Yogyakarta:  FH-UGM, 1977), hal. 44.

                [44] H. Salim. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 64.
                [45] Ibid.
                [46] Ibid. hal. 46.
                [47] R. Subekti. Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. (Bandung: Alumni, 1978), hal. 223.
                [48]Ibid. hal. 228.
                [49] Masjchun Sofwan dan Sri Soedewi. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khusus Fidusia Didalam Praktek Dan Perkembangannya Di Indonesia. (Yogyakarta: FH-UGM, 1977), hal. 227.
                [50] Ibid. hal. 25.
                [51] R Subekti, Op. Cit. hal. 45.
                [52] Ibid. hal. 35.
                [53]www.google.com. Jaminan Kebendaan Sebagai Salah Satu Hak Hukum. Diakses pada tanggal 11 Maret 2011.
                [54] www.google.com. Konflik dan Penyelesaian Masalah Gadai. Diakses pada tanggal 9 Maret 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar