KEPASTIAN HUKUM HAK GADAI
SEBAGAI JAMINAN KEBENDAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Dalam
menjalankan aktivitas bisnis tidak terlepas dari tersedianya dana untuk
menggerakkan usaha. Bila dalam kegiatan operasional perusahaan dana cukup
tersedia, baik dana yang dimiliki perusahaan maupun pribadi-pribadi, maka tidak
akan ada masalah.
Namun
seiring dengan berkembang pesatnya kegiatan bisnis dan kemajuan kemajuan
perekonomian, hal ini membuat naiknya kebutuhan hidup masyarakat meningkat.
Sehingga membuat masyarakat mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan dana
tambahan baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk melaksanakan suatu
usaha. Persaingan antar pelaku usaha sangat ketat dan semakin sulit untuk
dijangkau dengan modal yang minim, pelaku usaha berlomba-lomba untuk mencari
modal tambahan dan mendapatkan modal tambahan sehingga perusahaan akan dengan
mudah dapat membeli barang-barang modal untuk mengembangkan usahanya, dan
konsumen akan mudah membeli barang kebutuhannya.[1]
Untuk
keluar dari permasalahan keuangan yang ada mencari pinjaman atau kredit dari
lembaga keuangan, atau membeli barang secara angsuran adalah solusi yang banyak
dipilih saat ini. Perkembangan perekonomian saat ini memang menuntut kemudahan
tersedianya dana. Dana yang berasal dari
luar (perusahaan atau pribadi konsumen) bersumber dari pinjaman ini memerlukan
jaminan. Dengan adanya jaminan maka kreditur yang memberikan pinjaman akan
merasa aman artinya uang yang dipinjamkan pasti akan kembali. Dengan kata lain jaminan akan memberi
keamanan dan kepastian hukum bagi kreditur.
Karena dengan adanya jaminan ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga bila
debitur tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang atau
angsuran maka barang jaminan dapat dijual oleh kreditur dan hasil penjualan
digunakan untuk melunasi hutangnya debitur.[2]
Pada
masyarakat adat yang ekonominya tergolong menengah kebawah, masih merasa sulit
untuk mendapatkan pinjaman dana dari lembaga perbankan yang sifatnya kecil,
kosumtif dan dengan waktu yang cepat. Kesulitan ini disebabkan karena lembaga
perbankan sangat penerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam menyalurkan kreditnya dengan prosedur
yang cukup rumit, membutuhkan waktu dengan jaminan barang-barang tersebut.[3]
Hal
tersebut diatas menyebabkan masyarakat adat khususnya golongan menengah kebawah
untuk tetap melakukan pinjaman uang. Selain itu pula, dipilihnya cara dengan
menggadaikan tanah untuk mendapatkan pinjaman dana dikarenakan belum adanya
kepastian waktu mengenai pengembalian uang pinjaman.
Hak
gadai tanah merupakan salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara. Hal
ini di atur dalam ketentuan pasal 53 ayat 1
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa:
“Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang
dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil,
hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi
sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan hak-hak tersebut
diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat”[4]
Berdasarkan
ketentuan dan uraian yang dikemukakan diatas, maka dapat dikemukakan bahwa
sifat sementara hak gadai dikaitkan dengan upaya menghindari adanya
unsure-unsur pemerasan dalam pelaksanaan gadai tanah. Oleh karena itu hak gadai
diupayakan untuk dihapuskan sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut.
Pelaksanaan gadai tanah hingaa saat ini masih tetap dilakukan dan diakui
keberadaannya.
Konflik
seperti yang dikemukakan tersebut diatas menyulitkan pemberi pinjaman gadai
tidak mempunyai kepastian hukum seperti yang diatur dalam ketentuan pasal 6
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah bahwa apabila debitur cedera janji,
maka pemegang hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan dari hasil penjualan.
Di
dalam hukum perdata diatur tentang hak dan kewajiban orang-orang yang
mengadakan hubungan hukum. Semua peraturan hukum yang mengatur hak dan
kewajiban orang perseorangan atau badan hukum dalam suatu hubungan hukum
disebut hukum perdata (civil law).
Karena hukum perdata mengatur subtansi hak dan kewajiban pihak-pihak dalam
hubungan hukum antara orang yang satu dan orang yang lain, disebut juga hukum
perdata materil (substantive civil law)
Pasal
1131 KUH Perdata menyebutkan bahwa segala kebendaan yang berutang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan
ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya pribadi.
Salah satu bentuk jaminan yang dapat diberikan pada sebuah
pinjaman yaitu objek jaminan yang pengikatannya dilakukan melalui gadai. Pemahaman secara yuridis gadai merupakan suatu hak yang diperoleh seorang
berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan
kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian, biaya
untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan.[5]
Objek
jaminan gadai dapat berupa benda bergerak,
baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Benda bergerak tidak berwujud antara
lain adalah hak tagihan (vorderingsrecht).
Yang
termasuk dalam benda bergerak berwujud yaitu emas, arloji, sepeda motor, dll.
Lahirnya gadai di dalam sistem hukum jaminan
menurut KUHPerdata adalah konsekuensi pembedaan benda atas benda tetap dan benda
bergerak. Benda tetap menjadi objek dari hipotik atau credietverband. Penerima gadai (pandnemer) adalah
orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang
yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever).
Konsekuensi dari
pembedaan benda tersebut di atas, yaitu adanya lembaga jaminan tertentu untuk
tiap jenis benda tersebut. Untuk benda tak bergerak dikenal lembaga jaminan
hipotik dan credietverband. Sekarang dengan Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) dikenal Hak Tanggungan dan dengan Undang-Undang Rumah Susun dikenal
Fidusia. Untuk benda bergerak dikenal lembaga jaminan gadai dan fidusia. Selain
itu dalam praktek perbankan ditemukan pada beberapa bank dibuat perjanjian cessie
sebagai jaminan.
Sebagai suatu lembaga
fidusia yang selama ini digunakan mempunyai sifat sederhana, mudah, dan cepat,
tetapi dilain pihak, lembaga ini tidak menjamin adanya kepastian hukum. Adapun
yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak,
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia.
Seperti telah diuraikan sebelumnnya, lembaga jaminan untuk
benda bergerak adalah gadai dan fidusia. Dengan demikian maka untuk piutang dan
saham harus dibebani hak gadai dan tidak fidusia. Konsep akhirnya fidusia
adalah karena benda bergerak yang akan dijadikan jaminan, sehingga butuh
perhatian pemerintah terhadap barang-barang yang akan dijadikan sebagai objek
jaminan. bila digadaikan berarti akan lepas dari kekuasaan debitur (sebagai
suatu asas dalam gadai bahwa barang gadai yang tetap berada dalam kekuasaan
debitur, maka gadai batal) dan akhirnya debitur tidak akan dapat mencapai tujuan
untuk mengembangkan usahanya.
Karena barang yang dijadikan jaminan adalah barang yang
diperlukan untuk kegiatan usahanya. Jaminan yang telah digadaikan tersebut,
tentunya secara hukum memiliki hak-hak dan kewajiban yang melekat baik bagi
pihak debitur sebagai pemberi gadai maupun pihak kreditur sebagai penerima
gadai, sehingga sulit memperhitungkan resiko yang timbul oleh kreditur.[6]
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa sangat
tertarik untuk mengkaji aspek hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan
kebendaan untuk dituangkan dalam bentuk karya ilmiah yaitu skripsi, khususnya
menyangkut “Kepastian Hukum Hak Gadai Sebagai Jaminan Kebendaan”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang diuraikan diatas maka
dapatlah diidentifikasi beberapa masalah:
1.
Kurangnya perhatian perhatian kreditur dan debitur
terhadap barang-barang yang menjadi objek jaminan.
2.
Lemahnya kepastian hukum gadai sebagai salah satu
jaminan kebendaan.
3.
Kurangnya penegakan hukum dan perhatian terhadap resiko
yang timbul oleh kreditur.
4.
Lemahnya kepastian hukum lembaga fidusia sebagai salah
satu jaminan kebendaan.
5.
Lemahnya aturan
terhadap penggunaan gadai saham dan piutang.
C.
Perumusan Masalah
Dari uraian-uraian
yang telah dikemukakan di atas penulis
berusaha
merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
kepastian hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan kebendaan ?
2. Bagaimanakah
aturan hukum terhadap penggunaan gadai saham dan piutang ?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan daripada penulisan
skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui
kepastian hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan kebendaan.
2. Untuk
mengetahui aturan hukum terhadap penggunaan gadai saham dan piutang.
E. Manfaat Penelitian
Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
Adapun
manfaat teoritis yang menjadi harapan setelah penelitian ini dilaksanakan,
adalah:
a.
Hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharan bahan
bacaan guna pengembangan ilmu terkait.
b.
Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dan/atau
pembanding bagi pihak lain yang ingin mengangkat kembali konsep penelitian ini
terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menujuh kearah penelitian yang
lebih baik.
2. Manfaat Praktis
Sedangkan
manfaat praktis yang diharapkan setelah penelitian ini dilaksanakan adalah:
a.
Dapat
bermanfaat bagi para
praktisi hukum, dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan gadai sebagai objek jaminan
b.
Untuk memberikan gambaran mengenai penggunaan gadai
saham dan piutang dalam praktek.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kajian Teori
Laisses
Fire atau persaingan bebas. Paham ini berpendapat bahwa individu pada umumnya
mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya. Kemampuan
tersebut diperoleh karena manusia mempergunakan akalnya. Oleh karena menurut
hukum alam individu-individu harus diberi kebebasan untuk menetapkan
langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya, untuk mencapai kesejahteraan yang
seoptimal mungkin.[7]
“Jeremy Bentham (1748-1832), Ia berpendapat
bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
penderitaan. Konsepnya tentang hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna
mencapai hidup bahagia. Demikian pula
dengan perundang-undangan, baik buruknya ditentukan pula memberikan kepada
setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasanya. Daya guna
hukum menyangkut tiga sarana penting yaitu : individu, masyarakat dan budaya.
Ketiga hal tersebut merupakan kebutuhan manusia untuk harus dijamin dan dijaga
oleh hukum.
Bentham juga
mengemukakan bahwa secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui tentang apa
yang baik untuk kepentingan dirinya, kecuali dirinya sendiri, dan pemerinta
tidak bole camur tangan dalam hal yang Pemerinta sendiri tidak memahaminya. “the motto of watchword of Government ought
to be-Be Quite”, demikianlah yang di katakana Bentham. Jika Bentham
berbicara tentang tidak turut campur tangannya Pemerintah hanya sebagai
prinsip-prinsi umum saja, dan menekankan bahwa hal itu dapat di simpangi oleh
pertimbangan-pertimbangan tertentu, Artinya, dalam hal tertentu ia tidak perna
berkeberatan bila campur tangan Pemerintah memang di perlukan. Ini di tunjukannya
pada saat Inggris di tahun 1801 menderita kekurangan gandum dan roti. Bentham
mengusulkan perlunya ditentukan harga maksimal untuk roti.[8]
Selanjudnya
Hans Kelsen yang tidak menerima adanya pembedaan antara hukum dan negara, dalam
konteks nasional menolak pembebanan kewajiban dan pemberian hak kepada negara.
Beliau mengemukakan “sebenarnya tidak ada kewajiban dan hak negara. Kewajiban
dan hak selalu merupakan kewajiban dan hak para individu” Namun demikian,
beliau tidak menyangkal keterikatan dari pemerintah atau orang-orang yang
mewakili negara terhadap norma-norma hukum dalam hal berhubungan dengan warga
negara. Dengan kata lain, penyangkalan Hans Kelsen terhadap keterikatan
negara dengan hukum tidak bersifat absolut, karena organ-organ negara (dalam
arti sempit/materiil) tetap terikat perbuatannya dengan norma-norma hukum.
Disamping itu, dalam kaitan dengan pergaulan masyarakat dunia dikemukakan bahwa
negara dapat juga dibebankan kewajiban yang tercermin dari sanksi yang harus
dipertanggungjawabkannya.[9]
Hans Kelsen mengemukakan bahwa
dalam perlindungan hukum ada beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan
yaitu: Negara, masyarakat dan individu. Perlindungan hukum pada individu yaitu
menyangkut hak tubuh, jiwa/raga, kekayaan seperti harta benda. Jadi dalam
kaitanya dengan kepatian hukum hak gadai sebagai jaminan kebendaan adalah KUH
Perdata diibaratkan seperti Negara sedangkan pemegang gadai dan penerima gadai
atau antara kreditur dengan debitur adalah masyarakat yang didalamnya ada
individu-individu yang harus dilindungi. Bagaikan Negara yang melindungi
rakyatnya begitu juga regulasi harus memberikan kepastian hukum. Jadi semua
peraturan perundang-undangnan yang berhubungan dengan gadai harus member
perlindungan apabila terjadi wanprestasi dari salah satu pihak.
Menurut buku
Adam Smith yang berjudul The Wealth of
Nations, yang merupakan fondasi dari pemikiran ekonomi modern, maka ada
tiga prinsip dasar yang diketengahkannya. Pertama, Smith berpendapat bahwa dorongan psikologis yang utama dari
manusia sebagai makhluk ekonomi adalah dorongan untuk memenuhi kepentingan
dirinya. Kedua, ia berpendapat bahwa
adanya keteraturan atau ketertiban alami (natural
order) di alam semesta ini, yang menyebabkan setiap orang berusaha untuk
memperoleh kepentingannya sendiri, telah menambah kebaikan social (social good). Ketiga, dari kedua
postulat tersebut ia berkesimpulan bahwa program yang terbaik adalah membiarkan
proses ekonomi berjalan tanpa campur tangan, yaitu sebagaimana yang kemudian
sebagai laissezfaire, ekonomi
liberal, atau non intervensionisme.[10]
Menurut L.J.
Van Apeldom faktor-faktor yang
membuat terbentuknya hukum adalah
terdiri dari:
a.
Perjanjian;
b.
Pengadilan;
c.
Ilmu pengetahuan hukum (ajaran hukum).
Perjanjian
dikategorikan sebagai faktor pembantu dalam pembentukan hukum karena jika
perjanjian itu sudah disepakati oleh para pihak yang berkepentingan,
dilaksanakan sebagai mereka melaksanakan ketentuan undang-undang.[11]
Menurut Hugo Grotius bahwa hak untuk
mengadakan perjanjian adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia. Grotiuslah
yang mengemukakan bahwa ada suatu supreme
body of law yang dilandasi oleh
nalar manusia (human reason) yang
disebutkan sebagai hukum alam (natural
law) ia berpendapat bahwa suatu kontrak adalah suatu tidakan sukarela dari
seseorang dimana ia berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud bahwa
orang lain itu akan menerimanya. Kontrak tersebut adalah lebih dari sekedar
suatu janji, karena suatu janji tidak memberikan hak kepada pihak yang lain
atas pelaksanaan janji itu.[12]
Berdasarkan beberapa teori yang ada di atas maka peneliti menggunakan
teori yang di kemukakan oleh Hans Kelsen menurutnya dalam perlindungan hukum
ada beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan yaitu: Negara, masyarakat dan
individu. Perlindungan hukum pada individu yaitu menyangkut hak tubuh,
jiwa/raga, kekayaan seperti harta benda. Jadi dalam kaitanya dengan kepastian
hukum hak gadai sebagai jaminan kebendaan adalah KUH Perdata diibaratkan
seperti Negara sedangkan pemegang gadai dan penerima gadai atau antara kreditur
dengan debitur adalah masyarakat yang didalamnya ada individu-individu yang
harus dilindungi. Bagaikan Negara yang melindungi rakyatnya begitu juga regulasi
harus memberikan kepastian hukum.
B. Kajian Konseptual
1. Pengertian Jaminan
Jaminan yang digunakan untuk memperoleh sebuah pinjaman dari kreditor
pada dasarnya dapat diuraikan sebagai berikut :
Menurut Indrawati Soewarso,
pada dasarnya harta kekayaan seseorang merupakan jaminan dari utang-utangnya,
seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi:
Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perorangan.[13]
Kebendaan bergerak, disebut demikian karena sifatnya dapat
berpindah atau dipindahkan seperti mesin, perkakas rumah dan ada pula yang
ditetapkan Undang-undang atau dianggap sebagai kebendaan bergerak seperti hak
tagih atas sejumlah uang, saham obligasi dan sebagainya.
Bila dilihat, saat ini pengaturan mengenai Hukum Jaminan di
Indonesia masih bersifat sporadis di samping kurang memberikan kepastian hukum
bagi pelaku perusahaan. Dalam rangka menunjang kegiatan bisnis yang semakin
marak di Indonesia di pandang perlu
adanya penyempurnaan Hukum Jaminan sehingga dapat dihasilkan Hukum
Jaminan yang komprehensif dan mengandung kepastian hukum. Sedangkan menurut Hartono Hadisoeprapto dalam
bukunya yang berjudul “Pokok-pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan”, pengertian jaminan adalah :
“Segala sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk
menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. Di dalam praktek masalah jaminan
ini sangat penting sekali terutama yang berhubungan dengan kredit yang dilepas
kepada nasabahnya”.[14]
Ketika diadakan Seminar Hukum Jaminan pada tanggal 9 sampai
11 Oktober 1978 di Yogyakarta telah dicapai suatu kesepakatan tentang apa yang dinamakan
“jaminan”. Disebutkan bahwa yang dinamakan “jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”.[15]
Jaminan erat sekali kaitannya dengan kredit perbankan. Salah
satu faktor terpenting dalam pemberian kredit adalah kepercayaan. Kepercayaan bank
terhadap calon nasabah pada umumnya didasarkan atas keyakinan pihak bank
terhadap beberapa faktor. Di antaranya ialah adanya jaminan.
Bahwa kepercayaan bank sehubungan dengan pemberian kredit
didasarkan atas :
1.
Kejujuran dan itikad baik
nasabah;
Bahwa Dana Kredit yang akan digunakan nasabah
sesuai dengan yang telah disetujui dalam perjanjian kredit.
2.
Permodalan;
Keadaan permodalan nasabah yang memadai bagi asas-asas
pembiayaan yang sehat.
3.
Kemampuan;
Kemampuan nasabah untuk melunasi kredit beserta
bunga pada waktunya sesuai dengan yang telah dijanjikan.
4.
Hukum dan
Poleksosbudhankam;
Baik nasional
maupun internasional yang memungkinkan
dapat dilaksanakan dan berkembangnya usaha.
5.
Jaminan;
Merupakan suatu tambahan untuk mengamankan
kepentingan bank dalam hal sumber pelunasan kredit.
Bagaimana dengan hukum jaminan ? Sri Soedewi Masjchun
Sofwan, yang mengutip pendapat Djojo Mulyadi, mengatakan :
“Hukum Jaminan tergolong bidang hukum yang akhir-akhir ini
secara populer disebut The Economic Law (Hukum
Ekonomi), Wiertschaftrecht atau Droit Economique yang mempunyai fungsi
menunjang kemajuan ekonomi dan kemajuan pembangunan pada umumnya”.[16]
Sedangkan
dalam seminar Hukum Jaminan dikemukakan bahwa istilah Hukum Jaminan (Security, Zekerheidsstelling), meliputi
pengertian baik jaminan perorangan maupun jaminan kebendaan. Hal ini berarti
bahwa dalam membahas Hukum Jaminan, tidak pula lepas kaitannya dengan
pembahasan mengenai hak-hak kebendaan khususnya Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA), yakni UU No. 5 Tahun 1960.
Seperti
yang diketahui, bahwa berlakunya UUPA telah membawa pengaruh yang besar
terhadap Buku II KUHPerdata. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, mengemukakan
sehubungan dengan berlakunya UUPA dengan lembaga jaminan sebagai berikut :
“Dengan berlakunya UUPA yaitu UU No. 5 Tahun 1960, mengenai peraturan tentang lembaga jaminan
yang bertalian dengan tanah diatur dalam pasal-pasal tertentu, beserta
peraturan-peraturan pelaksananya. Menurut pasal 51
UUPA dinyatakan bahwa : hak tanggungan
yang dapat dibebankan
kepada Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan tersebut dalam
pasal 25, 33, 39 diatur dengan undang-undang”.
Selanjutnya
menurut ketentuan pasal 57 UUPA disebutkan “selama undang-undang mengenai hak
tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan mengenai hipotik tersebut dalam KUHPerdata dan Credietverband tersebut dalam Stb. 1908
No. 52 yang telah diubah dengan Stb. 1937 No. 190. Menarik pula untuk diungkapkan,
tentang jaminan yang dikaitkan dengan perjanjian pinjam meminjam yang diatur
dalam Buku III KUHPerdata.
Pasal 1754
KUHPerdata menyatakan: “Pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak
yang setuju memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang
yang dapat habis karena pemakaian dengan syarat, bahwa pihak yang belakangan
ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari keadaan yang sama pula”. Ketentuan
yang serupa dapat dilihat dari pasal 1820 KUHPerdata yang menyatakan: “Penanggungan
adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si
berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala
orang ini sendiri tidak memenuhinya”.
Sehubungan dengan persoalan pinjam meminjam yang telah
penulis paparkan di atas, Subekti mengemukakan bahwa :
“Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu
diadakan, dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu
perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur adalah KUHPerdata 1754
sampai dengan pasal 1769”.[17]
Oleh karena persoalan perkreditan erat sekali kaitannya dengan jaminan agar
kredit itu dapat diberikan, maka dengan sendirinya pembahasan mengenai
perkreditan dan jaminan adalah sejalan dan searah pada tiap-tiap pembahasan,
hal mana karena dalam ketentuan pasal 24 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-pokok Perbankan dinyatakan bahwa “Bank Umum tidak memberi kredit tanpa
jaminan kepada siapapun juga”.
Pembahasan
mengenai perkreditan mempunyai kaitan erat dengan pembahasan tentang jaminan.
Perkataan kredit itu sendiri erat kaitannya dengan perbankan, karena istilah
kredit banyak dipakai di kalangan perbankan. Demikian pula pandangan dari
Mariam Darus Badrulzaman, yang menyatakan bahwa :
“………, mengenai istilah kredit ini, penulis lebih cenderung
untuk menamakannya Perjanjian Kredit Bank. Istilah Bank dilekatkan di sini
untuk membedakannya dengan perjanjian pinjam uang yang memberi pinjaman bukan bank”.[18]
Bagaimana
halnya dengan Hukum Jaminan ? Hukum Jaminan adalah bertalian dengan aspek-aspek hukum dari jaminan, baik terhadap para pihak atau
mengenai subjeknya maupun mengenai
benda/barang yang dijadikan jaminan atau objeknya.
Hal ini
pada gilirannya terakhir akan tiba pada pembahasan mengenai akibat-akibat hukum
terhadap jaminan itu sendiri, seperti dalam hal kredit yang diberikan oleh bank
tidak dapat dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
bersama, maka akan diadakan pelelangan oleh bank.
Pengertian Kredit
Istilah
kredit adalah berasal dari bahasa Yunani credere
yang berarti kepercayaan. Kredit tanpa kepercayaan tidak mungkin bisa
terjadi. Dalam dunia perdagangan kepercayaan dapat diberikan atau diterima,
dalam bentuk uang, barang atau jasa. Dikatakan dapat diberikan atau diterima,
dalam arti bahwa mutlak adanya dua pihak yang berhubungan satu sama lain. Satu
pihak yang memberikan kredit dan pihak lainnya yang menerima kredit.[19]
Dalam
dunia perdagangan pihak yang memberikan kredit disebut juga penjual, sedang
yang menerima kredit disebut pembeli. Dalam transaksi jual-bali pembeli dengan
menggunakan kedudukan atau pengaruhnya memperoleh izin dari penjual untuk
mempergunakan modalnya. Pada akhir transaksi ini akan timbul
hak bagi penjual untuk menerima pembayaran (pada waktu yang akan datang) dari
pembeli dan di lain pihak timbul kewajiban bagi pembeli untuk membayar (pada waktu yang
akan datang) kepada penjual.
Dalam
dunia perbankan, kepercayaan dapat diberikan atau diterima dalam bentuk uang. Pihak-pihak
yang berhubungan dalam transaksi kredit itu ialah yang memberikan kredit,
biasanya berbentuk lembaga keuangan, baik Lembaga Keuangan Bank maupun Lembaga
Keuangan Non Bank; sedangkan pihak-pihak yang menerima kredit, biasanya adalah
anggota masyarakat yang berbentuk perseorangan maupun badan usaha atau hukum
(Perseroan Terbatas, CV, Firma dan sebagainya yang serupa dengan itu). Istilah
yang biasa dipergunakan dalam dunia perbankan adalah untuk pemberi kredit
disebut kreditur, sedangkan penerima kedit disebut debitur.
Kreditur mempercayai
debitur dengan cara memberi kredit. Kredit yang diberikan dalam hal ini
berbentuk uang. Kreditur memberikan kredit kepada debitur dengan harapan agar
di kemudian hari (pada waktu tertentu), debitur pula dapat membayar kembali
hutangnya kepada kreditur.
Dalam hal ini timbul adanya hubungan timbal balik, di mana
kreditur mempunyai kelebihan uang, sedangkan debitur membutuhkan uang.
2.Perkembangan Hukum Jaminan
Bila dilihat perkembangan
Hukum Jaminan di Indonesia tidak lepas dari perkembangan hukum jaminan pada
masa pemerintahan Hindia Belanda, Jepang dan zaman kemerdekaan sampai saat ini.
Pada zaman pemerintah Hindia Belanda, ketentuan hukum yang mengatur tentang
hukum jaminan dapat kita kaji dalam buku II KUHPerdata dan Stb. 1908 No. 542
sebagai mana telah diubah menjadi Stb. 1937 No. 190 tentang Credietverband. Dalam
buku II KUHPerdata, ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hukum
jaminan adalah Gadai (pand) dan
hipotik.
Pand diatur dalam Pasal
1150 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata, sedangkan hipotik diatur
dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata. Credietverband merupakan
ketentuan hukum yang berkaitan dengan pembebanan jaminan bagi orang bumi putra
(Indonesia Asli). Pada zaman Jepang, ketentuan hukum jaminan tidak berkembang,
karena pada zaman ini ketentuan-ketentuan hukum yang diberlakukan dalam
pembebanan jaminan didasarkan pada ketentuan hukum yang tercantum dalam
KUHPerdata dan Credietverband, hal ini dapat kita ketahui dari bunyi
Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1942, yang berbunyi :
"Semua badan-badan pemerintah,
kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah terdahulu, tetap diakui
buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan pemerintahan
militer".
Berdasarkan ketentuan
ini, jelaslah bahwa hukum dan undang-undang yang berlaku pada zaman Hindia
Belanda masih tetap diakui sah oleh pemerintah Dai Nippon. Tujuan adanya
ketentuan ini untuk mencegah terjadi kekosongan hukum (Rechtvacuum).
Sejak
zaman kemerdekaan sampai dengan saat ini (1945 - 2003) telah banyak ketentuan
hukum tentang jaminan yang telah disahkan menjadi undang-undang. Pada zaman
kemerdekaan sampai dengan saat ini, kita dapat memilihnya menjadi dua era,
yaitu era sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Pada era sebelum reformasi,
ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan adalah UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam ketentuan ini juga merujuk
pada berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini terlihat pada
konsideran UU No. 5 Tahun 1960 yang mencabut berlakunya buku II KUHPerdata
Indonesia mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku sejak berlakunya undang-undang
ini.
Pada era reformasi, kini
telah diundangkannya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Yang menjadi
objek jaminan fidusia adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak, khususnya
rumah-rumah susun. Objek fidusia ini masih digunakan oleh penerima fidusia
untuk pengembangan usahanya, sedangkan para pihaknya pemberi fidusia dan
penerima fidusia.
Walaupun
pada zaman kemerdekaan sampai dengan saat ini, permerintah kita telah banyak
menetapkan undang-undang yang berkaitan dengan jaminan, namun kita masih
memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum yang tercantum dalam buku II KUHPerdata.
Ketentuan hukum yang masih berlaku dalam buku II KUHPerdata adalah yang
berkaitan dengan gadai (pand) dan hipotik
(terutama yang berkaitan dengan pembebanan atas hipotik kapal laut yang
beratnya 20 m3 dan pesawat udara). Sedangkan hal-hal yang berkaitan
dengan Hak Atas Tanah berlaku ketentuan hukum tercantum dalm UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan.
Bila kita lihat ke belakang,
sebenarnya lembaga jaminan fidusia ini mulanya timbul dengan yurisprudensi
Mahkamah Agung Belanda yaitu Arrest Hoge Raad 20 Januari 1929 yang dikenal
sebagai Bierbrouwerij Arrest.
Lembaga fidusia di Indonesia untuk
pertama kalinya mendapat pengakuan yaitu dalam keputusan Hogerechtshof (HgH) tanggal 18 Agustus 1932 dalam perkara antara
B.P.M melawan Clignet dalam hal mana dikatakan bahwa title XX Buku II Kitab
Undang-undang Hukum Perdata memang mengatur tentang gadai, akan tetapi tidak
menghalangi para pihak untuk mengadakan perjanjian yang lain daripada
perjanjian gadai bilamana perjanjian gadai tidak cocok untuk mengatur hubungan
hukum antara mereka.
Perjanjian
fidusia dianggap bersifat memberikan jaminan dan tidak dimasukkan sebagai
perjanjian gadai. Jadi menurut HgH, karena fidusia bukan perjanjian gadai, maka
tidak wajib memiliki unsur-unsur gadai.
Mahkamah Agung Republik Indonesia
untuk pertama kali sesudah mengakui lembaga fidusia ini tapi khusus masih dalam
benda-benda bergerak dalam yurisprudensi MA. No. 372 K/Sip/1970 dalam perkara
antara BNI melawan Lo Ding Siang di Semarang. Bahwa sebelumnya sejarah
perkembangan lembaga fidusia ini sudah mulai pada zaman Romwi, di mana
pemberian jaminan dimaksudkan adalah untuk pelaksanaan suatu perjanjian. “Pada zaman Romawi pemberian jaminan untuk
menjamin pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan jalan mengalihkan
hak milik atas benda jaminan kepada kreditur, yang dinamakan, Fiducia Cum Creditore”.[20]
Dari kata “Cum Creditore” sebenarnya kita sudah dapat menduga bahwa
penyerahan tersebut bukan dimaksudkan untuk sungguh-sungguh merupakan peralihan
pemilikan, tetapi hanya sebagai jaminan saja, bukan untuk dimiliki kreditur dan
memang menurut lembaga tersebut kreditur tidak mempunyai wewenang penuh seperti
yang dipunyai seorang pemilik.
Setelah
debitur memenuhi kewajiban perikatannya, maka kreditur wajib untuk menyerahkan
kembali ke dalam pemilikan debiturnya. Karena debitur bertindak dengan
kepercayaan, bahwa kreditur setelah debitur melunasi kewajibannya tidak akan
mengingkari janjinya dengan tetap memiliki benda jaminan (dan menganggap
dirinya telah menjadi pemilik penuh yang sah), maka hubungan seperti itu
dinamakan hubungan yang didasarkan atas Fides
atau hubungan fiduciair.
Setelah di kemudian hari berkembang
lembaga jaminan yang disebut gadai dan hipotik, maka cara perjanjian seperti
tersebut di atas fiducia cum creditore menjadi
tidak populer lagi dan hilang dari peredaran. Pada akhir abad 19 muncul suatu
keadaan yang menimbulkan suatu kebutuhan
akan lembaga jaminan yang lain daripada gadai,
sekalipun benda jaminannya merupakan benda bergerak. Pada masa itu ada krisis
dalam bidang usaha pertanian sebagai akibat dan serangan hama, sehingga para
pengusaha pertanian membutuhkan bantuan modal yang diharapkan datang dari pihak
bank.[21]
Bank
pada masa itu hanya mau memberikan kredit dengan jaminan gadai alat-alat
pertanian yang sulit untuk dipenuhi, karena para pengusaha sendiri membutuhkan
alat-alat tersebut untuk menjalankan usahanya. Padahal banyak dan mereka yang
dapat memberikan jaminan hipotik, karena mereka tak mempunyai tanah milik. Di
samping itu bank juga mensyaratkan jaminan tambahan di samping hipotik.
Keadaan
inilah yang melahirkan lembaga jaminan baru yang disebut Oogstverband (ikatan panen), di mana hasil panen dijadikan jaminan
sebagai jaminan tambahan. Karena hasil panen merupakan benda bergerak, maka
seharusnya kalau belum lahir lembaga Oogstverband,
maka lembaga yang dipakai adalah gadai dengan konsekuensinya bahwa benda gadai
harus dikeluarkan dan kekuasaan pemberi jaminan. Sekarang Oogstverband justru mungkin untuk adanya jaminan benda bergerak
untuk tetap dalam kekuasaan pemberi jaminan. Inilah langkah pertama untuk
lahirnya lembaga fidusia seperti sekarang kita kenal telah diambil.
Orang melihat Oogstverband sebagai perluasan dari hak gadai melalui campur tangan
pembuat undang-undang. Karena benda jaminan di dalam gadai dikuasai oleh
penerima gadai, maka dikatakan, bahwa penerima gadai mempunyai Pandbezit untuk membedakannya dari Burgerlijk Bezit yang selama ini kita
kenal dan karena pada jaminan ikatan panen (Oogstverband)
benda jaminannya benda bergrak, tetapi tidak diserahkan ke dalam kekuasaan
penerima gadai, maka orang menyebutnya gadai tanpa bezit (bezitloos pandrecht). Dengan demikian muncul suatu keadaan,
di mana di satu pihak ada kebutuhan untuk dimungkinkannya gadai tanpa menguasai
jaminan, tetapi di lain pihak tidak menghendaki adanya ketentuan baru tentang
pendaftaran benda gadai. Jalan keluarnya ditemukan sendiri oleh praktek, yaitu
melalui lembaga yang sekarang ini kita kenal dengan penyerahan hak milik secara
kepercayaan (Fiduciar Eigendoms
Overdracht atau disingkat FIDUCIA).[22]
Lahirnya gadai di dalam
sistem hukum jaminan menurut KUH Perdata merupakan konsekuensi pembedaan benda
atas benda tetap dan bergerak. Benda tetap menjadi objek dari hipotik atau credietverband. Sesuai dengan definisi benda gadai yaitu sebagai benda bergerak, maka
harus ada hubungan yang nyata antara benda dan pemegang gadai.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
“Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan (library research).”[23] Penelitian hukum normatif
mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku. Norma
hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga
perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi, undang-undang, peraturan
pemerintah, dan sebagainya.”[24]
“Penelitian tipe ini
lazim disebut sebagai “studi dogmatik” atau yang dikenal dengan doctrinal
research.”[25]
“Penelitian tipe doktrinal (doctrinal research) adalah mirip dengan tipe
penelitian hukum normatif.”[26] “Penelitian hukum
normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik.”[27]
“Dogmatik hukum bersifat teoritis-rasional, sehingga pengungkapannya terikat
pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika deduktif. Disamping itu,
maka dogmatik hukum memperhitungkan kecermatan, ketetapan dan kejelasan.”[28] “Penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research) ini
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka.”[29] Menurut Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji,
Penelitian
hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan tersebut mencakup:
1. Penelitian
terhadap asas-asas hukum
2. Penelitian
terhadap sitematik hukum
3. Penelitian
terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4. Perbandingan
hukum
5. Sejarah
hukum.[30]
B. Variabel Penelitian
“variable
penelitian ini adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian.”[31]
Menurut Abdulkadir Muhammad, “rumusan masalah dibuat sekhusus mungkin, tetapi
tetap mencerminkan adanya hubungan antara variable.”[32]
Berdasarkan masalah yang dirumuskan pada bab satu, maka dapatlah ditetapkan
variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:
1.
Bagaimanakah kepastian hukum gadai, sebagai salah satu
bentuk jaminan kebendaan ?
2.
Bagaimanakah aturan hukum terhadap penggunaan gadai
saham dan piutang ?
C. Data dan Sumber Data
Adapun
yang menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data
sekunder berdasarkan studi pustaka / studi literatur (library research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan
antara:
1. Bahan
hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang terdiri dari:
a. Norma
dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule)
UUD 1945;
b. Undang-undang
No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
c. Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Khususnta Buku II.
d. Yurisprodensi
yang ada hubunganya dengan gadai.
2. Bahan
hukum sekunder yaitu yang memberi Penjelasan mengenai bahan hukum primer
seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian,
makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Bahan
hukum Tertier
Yaitu Bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
yang mana terdiri
a. Kamus hukum
b. Kamus bahasa Indonesia
c. Kamus Bahasa Inggris
d. Artikel artikel dan laporan dari media massa (
surat kabar , jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya ).[33]
D. Lagkah-Langkah Penelitian
Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan, studi
dokumen, dan studi catatan hukum.[35]
Kepustakaan yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, buku karya tulis
bidang hukum.
Kegiatan studi kepustakaan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.
Penentuan sumber data sekunder (sumber hukum primer,
sumber hukum sekunder, dan sumber tertier), berupa perundang-undangan,
literatur di bidang ilmu pengetahuan hukum, dan kamus.
b.
Identifikasi data sekunder (sumber hukum primer, sumber
hukum sekunder, dan sumber tertier) yang diperlukan, yaitu proses mencari dan
menemukan bahan hukum berupa ketentuan dalam pasal-pasal peraturan
perundang-undangan; judul buku, nama pengarang, cetakan, kota penerbit,
penerbit, tahun terbit dan nomor halaman karya tulis bidang hukum.
c.
Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah
(pokok bahasan atau subpokok bahasan), dengan cara pengutipan atau pencatatan.
d.
Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan
relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.[36]
2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul
kemudian diolah. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data
yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan
dengan masalah/variabel penelitian.
b. Penandaan data (coding), yaitu memberikan catatan atau
tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan,
atau dokumen); pemegang hak cipta (penulis, tahun penerbitan); atau rumusan
masalah/variabel penelitian (masalah pertama tanda A, masalah kedua tanda B,
dan seterusnya).
c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang
data secara teratur, berurutan, logis mehingga mudah dipahami dan
diinterpretasikan.
d. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data
menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah/variabel
penelitian.[37]
3. Analisis Data dan Pembahasan
Menurut Abdulkadir Muhammad,
“Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: (1)
Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; (2) Data yang terkumpul
umumnya berupa informasi; (3) Hubungan antara variabel tidak dapat diukur
dengan angka ….”[38]
Kemudian menurut Hilman
Hadikusuma, “penelitian yang hanya melakukan studi kepustakaan (data sekunder)
tanpa melakukan penelitian lapangan (data primer). Penelitian ini juga
memusatkan perhatiannya pada hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang
abstrak, hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, terlepas dari
kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan perundang-undangan. Menurut Bambang
Sunggono, “Pemusatan perhatian yang demikian ini akan membawa kepada penggunaan
metode normatif dalam menggarap hukum. Sesuai dengan cara pembahasan yang
bersifat analitis, maka metode ini disebut sebagai normatif analitis.”[39]
Menurut Dengan demikian, analisis
data dilakukan secara kualitatif, konprehensif, dan lengkap. Analisis
kualitatif artinya menuraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang
teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Konprehensif artinya
analisis data dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek sesuai dengan
lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlewatkan atau
terlupakan, semuanya masuk dalam analisis.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. KEPASTIAN HUKUM GADAI, SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK JAMINAN KEBENDAAN.
Untuk melihat kepastian
hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan kebendaan maka sebaiknya terlebih
dahulu kita melihat aturan-aturan hukum yang
mengatur mengenai jaminan gadai tersebut.
Untuk itulah alangkah baiknya bila kita kaji mengenai hak-hak gadai yang
diatur dalam KUHPerdata khususnya pada Bab XX KUHPerdata Buku II Pasal 1150 s/d
Pasal 1160.
Ketentuan dalam
KUHPerdata Pasal 1150 menetapkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh
seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan
kekecualian, biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya
mana harus didahulukan.
Dalam hal ini
biaya-biaya tersebut harus dikurangkan atau dibayarkan terlebih dahulu sebelum
hasil penjualan barang tersebut diserahkan kepada kreditor. Singkatnya hak pemegang gadai adalah menjual
barang yang dikuasai dengan hak gadai dan mengambil pelunasan dari hasil
penjualan barang tersebut setelah dikurangi dengan berbagai biaya terutang,
apabila debitor ingkar janji.
Kedudukan kreditor pemegang gadai
disebut juga kreditor separatis, didahulukan dalam mendapatkan pelunasan dari
kreditor konkuren. Dikalangan perbankan
kreditor separatis lebih dikenal dengan sebutan kreditor preferen yaitu kreditor
yang mempunyai hak preferen dalam pembayaran piutangnya. [40]
Benda-benda
yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak, baik berwujud maupun tidak
berwujud. Benda bergerak tidak berwujud antara lain adalah hak tagihan (vorderingsrecht).
Lahirnya
gadai di dalam sistem hukum jaminan menurut KUH Perdata merupakan sebuah
konsekuensi pembedaan benda atas benda tetap dan bergerak. Benda tetap menjadi
objek dari hipotik atau credietverband. Sesuai
dengan definisi benda gadai yaitu sebagai benda bergerak, maka harus ada
hubungan yang nyata antara benda dan pemegang gadai.
Benda gadai harus
diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai. Benda gadai tidak boleh
berada dalam kekuasaan wakil atau petugas pemberi gadai. Ratio dan penguasaan
ini ialah sebagai publikasi untuk umum, bahwa hak kebendaan (jaminan) atas
benda bergerak itu ada pada pemegang gadai.
Demikian
juga hak gadai hapus, apabila barang gadai keluar dari kekuasaan penerima
gadai, kecuali jika barang itu hilang atau dicuri padanya (Pasal 1152 ayat (3)
KUHPerdata). Pemegang gadai berhak menjual sendiri benda gadai dalam hal yang
berutang ingkar janji. Dari hasil penjualan, ia berhak mengambil pelunasan
piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan itu. Hal itu juga
berlaku, dalam hal pemberi gadai pailit (Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata).
Pemegang gadai juga
memperoleh Hak yang didahulukan (Ps. 1133 KUHPerdata) serta Hak Asesor. Yang dimaksud dengan hak asesor
ialah gadai ini bergantung kepada perjanjian pokok, misalnya perjanjian kredit. Di samping itu pemegang gadai mempunyai juga
beberapa hak sebagai berikut :
1) Menjual
dengan kekuasaan sendiri (Parate Eksekusi)
Apabila oleh para
pihak tidak telah diperjanjikan lain, si berpiutang adalah berhak, jika si
berutang atau si pemberi gadai cedera janji, setelah tenggang waktu yang
ditentukan lampau atau jika tidak telah ditentukan suatu, menjual benda gadai.
Yang dimaksud hak
melakukan parate eksekusi, yaitu wewenang yang diberikan kepada kreditur untuk
mengambil pelunasan piutang dan kekayaan debitur, tanpa memiliki eksekutoriale
titel.
Hak pemegang gadai
ini tidak lahir dari perjanjian yang secara tegas dinyatakan para pihak, tetapi
terjadi demi hukum, kecuali kalau diperjanjikan lain. Hak pemegang gadai untuk
menjual barang dengan kekuasaan sendiri ini tidak tunduk pada aturan umum
tentang eksekusi yang diatur dalam Hukum Acara Perdata (R.V) akan tetapi diatur
secara khusus, seperti halnya dengan hipotik (Pasal 1178 KUHPerdata jo Pasal 7
ayat (2) PMA No. 15 Tahun 1961).
Untuk melakukan
penjualan ini, pemegang gadai harus terlebih dahulu memberikan peringatan (sommatie)
kepada pemberi gadai supaya utangnya dibayar. Penjualan harus dilakukan di
depan umum, menurut kebiasaan setempat serta atas syarat yang lazim berlaku
(Pasal 1150, ayat (1) KUHPerdata).
Ketentuan ini
bersifat memaksa, karena berhubungan dengan ketertiban umum. Setelah penjualan
dilakukan, pemegang gadai memberikan pertanggung-jawaban tentang hasil
penjualan itu kepada pemberi gadai.
Jika barang gadai terdiri atas barang-barang
perdagangan atau efek-efek yang dapat dipergunakan di pasar atau di bursa,
penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut asal dengan perantaraan
dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan barang-barang itu (Pasal II ayat (2)
KUHPerdata).
2) Menjual benda gadai dengan
perantaraan hakim
Penjualan benda
gadai untuk mengambil pelunasan dapat juga terjadi jika si berpiutang menuntut
di muka Hakim supaya barang gadai dijual menurut cara yang ditentukan untuk
melunasi utang beserta bunga dan biaya.
3) Atas izin hakim tetap
menguasai benda gadai
Pemegang gadai
dapat menuntut agar benda gadai akan tetap pada si pemegang gadai untuk suatu
jumlah yang akan ditetapkan dalam vonis hingga sebesar utangnya, beserta bunga
dan biaya (Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata).
4) Hak untuk mendapat ganti
rugi
Pemegang gadai
berhak mendapat ganti rugi berupa biaya yang perlu dan berguna, yang telah
dikeluarkan oleh kreditur guna keselamatan barang gadai (Pasal 1157 ayat (2)
KUHPerdata).
5) Hak retensi (recht van
Terughouden)
Selama pemegang gadai tidak
menyalahgunakan barang yang diberikan dalam gadai, yang berutang tidak berkuasa
menuntut pengembaliannya, sebelum la membayar sepenuhnya baik uang pokok maupun
bunga dan biaya utangnya, untuk menjamin barang gadai yang telah diberikannya,
beserta segala biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadai
(Pasal 1159 ayat 1 KUH Perdata). Ketentuan ini memberikan wewenang kepada
pemegang gadai untuk , menahan barang gadai. Tujuannya ialah melindungi
pemegang gadai dari biaya yang perlu dikeluarkannya untuk merawat benda gadai
(Pasal 1159 ayat (2) KUHPerdata), kecuali jika pemegang gadai menyalahgunakan
barang gadai misalnya, pemegang gadai mempergunakan barang gadai atau tidak
menjaga barang gadai dengan baik sehingga nilainya merosot.
6) Hak
didahulukan (Recht van voorrang)
Kreditur (pemegang
gadai) mempunyai hak didahulukan terhadap tagihan-tagihannya, baik terhadap
utang pokok, bunga, dan biaya (Pasal 1150 KUHPerdata), hak mana diwujudkan
dalam hal kreditur menjual barang gadai sendiri ataupun melalui bantuan hakim
(Pasal 1155 dan 1156 KUHPerdata). Terhadap hak didahulukan ini ada
pengecualiannya, yaitu biaya lelang dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkan barang gadai (Pasal 1150 KUHPerdata).[41]
Adapun
kewajiban-kewajiban kreditur pemegang gadai ada!ah sebagai berikut :
1. Bertanggung jawab untuk
hilangnya atau merosotnya barang gadai, sekedar itu telah terjadi karena
kelalaiannya (Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata).
2. Kewajiban untuk
memberitahukan pemberi gadai, jika barang gadai dijual (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).
Kewajiban memberitahukan
itu selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya apabila ada sesuatu
perhubungan pos harian ataupun suatu perhubungan telegraf, atau jika tidak
demikian halnya, dengan pos yang berangkat pertama (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).
Pemberitahuan dengan
telegraf atau dengan surat tercatat, berlaku sebagai pemberitahuan yang sah
(Pasal 1156 ayat (3) KUHPerdata).
Di atas dikatakan bahwa
gadai dapat diadakan atas benda bergerak (berwujud atau tidak berwujud) yang
dapat dialihkan. Benda bergerak tidak berwujud adalah hak-hak (rechter). Hak-hak
yang dapat digadaikan yang dibahas di sini adalah hak tagihan atau piutang (varderingsrech
ten). Piutang adalah hak menagih prestasi oleh seorang kreditur terhadap
debitur tertentu, berdasarkan suatu perikatan. Biasanya prestasi itu berwujud
pemenuhan sejumlah uang. Hak atas piutang ini dapat dibedakan dalam piutang
atas nama (vordering op) atas bawa (vordering aan toonder).
Menurut Pasal 1153 KUHPerdata, gadai atas benda
bergerak yang kepada siapa hak gadai itu harus dilaksanakan. Oleh orang
ini tentang pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya, pemberi gadai dapat
dimintai suatu bukti tertulis.
Di sini terlihat bahwa terjadinya hak gadai atas benda
tidak bertubuh berbeda dengan benda bergerak, karena untuk benda bergerak hak
gadai terjadi dengan penguasaan yang nyata.
Undang-undang tidak menentukan bagaimana pembe-ritahuan
itu dilakukan, jadi dapat tertulis atau lisan. Pemberitahuan dengan exploit juru sita diadakan, jika debitur
tidak bersedia memberikan keterangan tertulis tentang persetujuan pemberian
gadai itu. Jika pemberi gadai ingkar janji, pemegang gadai berhak melakukan
penagihan pada pihak yang berutang kepada pemberi gadai. Jika pembayaran itu
lebih banyak dari piutang pemegang gadai, kelebihannya dikembalikan pemegang
gadai kepada pemberi gadai.
Hak gadai surat atas tunjuk terjadi dengan endosemen
dan penyerahan suratnya (Pasal 1152 bis KUHPerdata). Endosemen adalah pernyataan penyerahan yang
ditandatangani kreditur yang bertindak sebagai pemberi gadai dan harus memuat
nama pemegang gadai (geendosseerde).
Bentuk hak gadai surat atas tunjuk antara lain misalnya
pada wesel. Wesel adalah surat yang mengandung perintah dari penerbit kepada
tersangkut untuk membayar sejumlah uang terhadap pemegang. Hak yang timbul dari
wesel itu oleh pemegang wesel dapat diletakkan sebagai jaminan kredit terhadap
pemberi kredit.
Surat (piutang) atas bawa adalah surat yang dibuat
debitur. Isi surat itu menerangkan bahwa ia berutang sejumlah uang tertentu
kepada pemegang gadai. Surat ini kemudian diserahkan ke tangan pemegang gadai.
Pemegang gadai berhak menagih pembayaran dari debitur,
dengan mengembalikan surat atas bawa itu kepada debitur. Gadai surat atas bawa
terjadi dengan menyerahkan surat itu ke dalam tangan pemegang gadai atau pihak
ketiga yang disetujui kedua pihak (Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata).[42]
A.1. BENDA-BENDA YANG MENJADI OBJEK GADAI
Benda yang dapat diserahkan dan menjadi objek gadai adalah
benda bergerak berwujud seperti mesin-mesin, inventaris kantor dan benda
bergerak tidak berwujud. Benda bergerak tidak berwujud antara lain adalah hak
tagihan atau piutang. Hak gadai juga
dapat mencakup piutang yang masih akan ada dengan ketentuan bahwa hubungan
hukum, yang menimbulkan piutang sudah ada pada waktu perjanjian pemberian gadai
dibuat.
Sehubungan dengan mesin-mesin dan inventaris kantor yang dijaminkan
kepada bank adakalanya barang-barang jaminan tersebut dimasukkan kedalam golongan
benda tetap, mengingat fungsinya sebagai hulpzaak
(inventaris) atau melekat, terpaku erat (nagelfast) pada tanah (mesin-mesin).[43]
Pendapat dan praktik ini didasarkan pada prinsip aksesi
(accessie beginsel) yang dapat disimak pada Pasal 571, 601 dan 588 KUH Perdata,
namun sejak berlakunya UUPA 1960 Tahun 1960 prinsip tersebut sudah
ditinggalkan.
Lahirnya gadai di dalam sistem hukum jaminan menurut KUHPerdata
adalah konsekuensi pembedaan benda atas benda tetap dan benda bergerak. Benda
tetap menjadi objek dari hak tanggungan. Sekarang hukum Indonesia di samping
pembedaan benda tetap dan benda bergerak,
mengenai benda terdaftar
dan tidak terdaftar. Pengelompokan ini tidak mempengaruhi lembaga
jaminan, sebab benda terdaftar dan diletakkan sebagai objek hak tanggungan
sedangkan gadai memiliki objek benda bergerak baik terdaftar maupun tidak
terdaftar.[44]
Aturan Dasar Pegadaian menentukan ukuran dari
barang-barang yang dapat digadaikan. Semua barang bergerak dapat diterima
gadai, jika untuk itu dapat diberikan pinjaman uang sedikit-dikitnya Rp. 0,10
(sepuluh sen = tien, centen). Pengecualian-pengecualian terhadap barang-barang
ini adalah :
a. Barang
milik negara;
b. Surat
hutang, surat actie, surat effek dan
surat-surat berharga lainnya;
c. Hewan
yang hidup dan tanaman;
d. Segala makanan dan benda yang mudah busuk;
e. Benda-benda yang kotor;
f. Benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari suatu
tempat ke tempat lain memerlukan izin;
g. Barang yang karena ukurannya yang besar tidak dapat disimpan dalam
gudang Pegadaian;
h. Barang yang berbau busuk dan
mudah merusakkan barang lain jika disimpan bersama-sama;
i. Benda-benda
yang berharga sementara atau yang harganya naik turun dengan cepat, sehingga
sulit ditaksirkan oleh pejabat gadai;
j. Benda yang digadaikan oleh seseorang yang
mabuk atau seorang yang kurang ingatan atau seorang yang tidak dapat memberi
keterangan-keterangan cukup tentang barang yang mau digadaikan itu;[45]
Dari ketentuan di
atas, dapat disimpulkan bahwa benda-benda yang dapat digadaikan adalah benda
bergerak dengan beberapa pengecualian. Di dalam praktek, maka benda-benda gadai
itu terdiri dari emas, permata, kain, jam, sepeda, kendaraan roda dua, bahkan
di beberapa cabang pegadaian tertentu di terima juga mobil, yang usianya tidak
boleh lebih dari 5 tahun misalnya untuk sepeda motor yang digadaikan pada tahun
1979, dapat diterima sepeda motor yang dibeli tahun 1975. Emas dan permata
berharga, disimpan di dalam tempat khusus (kamar emas, goudkammer atau
khasanah).[46]
Yang berhak menyatakan
penolakan benda-benda digadaikan adalah pejabat pegadaian. Pejabat itu berhak
juga menolak benda-benda, walaupun tidak disebutkan dalam ketentuan di atas.
Penolakan itu harus diberitahukan kepada orang banyak melalui suatu pengumuman.
B. GADAI SAHAM DAN PIUTANG
Dalam hal harta yang
digadaikan berupa saham, perlu diperhatikan bahwa selain surat saham dimaksud diperlukan
pencatatan gadai dalam buku saham perseroan ditandatangani oleh pihak yang
berwenang. Maksud pencatatan dalam hal
ini adalah agar diketahui dan mendapatkan pengakuan perseroan tentang
penjaminan saham-saham tersebut. Dalam
pada itu ketentuan Anggaran Dasar perlu diamati khususnya yang berkaitan dengan
kewenangan dalam menggadaikan saham, misalnya diperlukan persetujuan Rapat Umum
Pemegang Saham.
Bila dilihat piutang dan
saham menurut pengertian Hukum Benda termasuk dalam jenis benda bergerak. Pasal
511 KUH Perdata menyebutkan satu persatu apa yang dianggap sebagai benda
bergerak menurut ketentuan undang-undang. Angka 3, 4, 5 dan 6 dari Pasal 511
KUHPerdata berbunyi :
3. Perikatan-perikatan
dan tuntutan-tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau yang
mengenai benda-benda bergerak;
4. Sero-sero, atau andil-andil
dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan dagang atau perusahaan,
sekalipun benda-benda persekutuan yang bersangkutan dan perusahaan itu adalah
kebendaan yang tak bergerak. Sero-sero atau andil-andil dianggap merupakan
kebendaan bergerak, akan tetapi hanya terhadap para pesertanya selama
persekutuan berjalan;
5. Andil
dalam perutangan atas beban Negara Indonesia, baik andil-andil karena
pendaftaran dalam buku besar, maupun sertifikat-sertifikat, surat-surat
pengakuan hutang, obligasi atau surat-surat lain yang berharga, beserta
kupon-kupon atau surat tanda bunga yang termasuk di dalamnya
6. Sero-sero
atau kupon obligasi dalam perutangan lain, termasuk juga perutangan yang
dilakukan negara-negara asing.[47]
Sebagaimana telah disebut di atas lembaga
jaminan untuk benda bergerak adalah Gadai dan fidusia. Dengan demikian maka
untuk piutang dan saham harus dibebani hak gadai dan tidak fidusia. Konsep
akhirnya fidusia adalah karena benda bergerak yang akan dijadikan jaminan, bila
digadaikan berarti akan lepas dari kekuasaan debitur (sebagai suatu asas dalam
gadai bahwa barang gadai yang tetap berada dalam kekuasaan debitur, maka gadai
batal) dan akhirnya debitur tidak akan dapat mencapai tujuan untuk
mengembangkan usahanya. Karena barang yang dijadikan jaminan adalah barang yang
diperlukan untuk kegiatan usahanya.
Sementara saham atau
piutang tidak diperlukan untuk suatu kegiatan usaha (produksi) debitur. Karena
itu atas saham atau piutang hanya dapat digadaikan dan tidak difidusiakan.
Ketentuan yang mengatur gadai dapat dilihat pada KUHPerdata Pasal 1150-1160.
Karakteristik dari gadai adalah barang yang dijadikan
jaminan dilepaskan dari kekuasaan pemberi gadai (debitur) dan harus diserahkan
(secara fisik) kepada penerima gadai (kreditur). Pasal 1152 ayat (2) menyatakan
bahwa tidak sah hak gadai atas benda yang dibiarkan tetap berada dalam
kekuasaan, pemberi gadai (debitur), sekalipun kembalinya barang itu kepada
debitur atas kemauan kreditur.[48]
Kreditur dilarang memiliki barang
gadai, hal ini untuk melindungi kaum lemah yang memerlukan pinjaman dari
perbuatan curang pemilik uang yang akan memberikan pinjaman kepada pemilik
barang gadai yang ingin dan berusaha untuk memiliki barang gadai. Walaupun
dalam pelaksanaannya masih ditemukan cara yang tidak terpuji dari pemilik uang
yang menghendaki barang gadai milik peminjam uang. Yaitu dengan diperjanjikan
bahwa bila telah lewat waktu gadai tidak ditebus, maka barang gadai segera
dijual untuk melunasi hutang.
Kelicikan
yang sering terjadi adalah bila telah jatuh tempo untuk membayar hutang dan
harus menebus barang gadai, pemilik uang sulit dijumpai, sehingga telah lewat
waktu seolah-olah ada kelalaian debitur, dan pemilik uang menjual barang untuk
melunasi hutang debitur. Barang gadai dijual kepada diri pemilik uang itu
sendiri.
Dalam ketentuan yang tercantum pada Pasal 1155 KUHPerdata,
bila si berutang cidera janji, maka barang gadai harus dijual di muka umum.
Jika barang gadai berupa saham atau efek maka penjualan dilakukan di bursa atau
di pasar di mana saham atau efek diperjualbelikan, melalui makelar yang ahli.
Berbeda dengan gadai atau cekelan dalam hukum adat yang mengizinkan penerima
jaminan untuk menjadi pemilik dari barang yang jaminan kalau tidak ditebus.
Namun ini juga harus diperjanjikan lebih dulu.
Karena barang gadai berada di tangan kreditur, maka
kreditur pemegang gadai mempunyai kedudukan yang kuat, terlebih lagi tata cara
terjadi hak gadai dan cara pencairan mudah.
Jaminan
gadai bersifat accessoir, adanya gadai tergantung dari perjanjian pinjam
meminjam uang yang dijamin dengan benda bergerak. Bila debitur telah melunasi
hutangnya atau telah memenuhi kewajiban menurut perjanjian pinjam meminjam
uang, maka berakhir pula perjanjian gadai. Dan barang gadai harus dikembalikan
kepada debitur. Badan Usaha Milik Negara Pegadaian sebagai badan yang memberi
pinjaman kepada masyarakat, namun kurang banyak digunakan oleh masyarakat umum.
Dalam Anggaran Dasar
Pegadaian ditentukan jenis barang yang dapat dijadikan obyek gadai, hak dan
kewajiban pejabat pegadaian, tentang golongan benda gadai menurut besarnya
pinjaman, bunga, dan jangka waktu pinjaman. Badan Usaha Milik Negara,
Perusahaan Jawatan Pegadaian ini merupakan lembaga yang berperan dalam memberi
pinjaman uang bagi yang membutuhkan. Jawatan Pegadaian masih belum banyak
dimanfaatkan, karena ada kecenderungan masyarakat malu mempunyai hutang dengan
menggadaikan barang. Lain halnya bila mempunyai hutang dari bank tidak
dirasakan malu.[49]
Obyek
Lembaga gadai selain benda bergerak bewujud juga dapat berupa surat-surat
berharga. Dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor 242/Kep/Dir dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 24/1/UKU tanggal 12 Agustus 1991, kepada bank
diizinkan memberi kredit dengan agunan tambahan berupa saham dari perusahaan
yang dibiayainya tetapi bila saham bukan dari perusahaan yang dibiayai maka tak
dapat diterima sebagai agunan atas kredit yang dimohon.
Perkembangan pada akhir tahun 1993
terbit Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/68/KEP/DIR jo. Surat
Edaran Bank Indonesia No. 26/l/ UKU keduanya tertanggal 7 September 1993 yang
mencabut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia
tanggal 12 Agustus 1991 di atas. Diterbitkannya Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia bulan September 1993 tersebut bukan
saja merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata jo. Pasal 511
KUH Perdata, tetapi juga sebagai sarana untuk ikut menunjang berkembangnya
pasar modal.
Jaminan
merupakan suatu faktor penting yang harus diperhatikan oleh lembaga atau orang
yang memberikan kredit. Pasal 8 UU Perbankan Tahun 1992 beserta penjelasannya
mewajibkan bank untuk memperhatikan agunan sebagai salah satu unsur jaminan,
mengingat kredit yang diberikan selalu mengandung resiko. Pada Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, tidak lagi mensyaratkan bahwa pemberian kredit harus
diikuti dengan kewajiban pemohon kredit menyediakan jaminan materiil atau
in-materiil.[50]
Dalam Pasal 8 Undang-undang undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan yang baru hanya menegaskan bahwa dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan
debitur serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan hutang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dari pasal ini
persyaratan adanya jaminan untuk memberikan kredit tidak menjadi keharusan.
Bank hanya diminta untuk meyakini berdasarkan analisis yang mendalam atas
itikad baik debitur dan kemampuan dari debitur. Ukuran itikad baik sifatnya
kualitatif tidak mudah untuk mengukurnya, sedangkan kemampuan dapat di analisa
dari pendapatan debitur dalam berusaha atau pendapatan dari pekerjaannya
seorang pemohon kredit.
Bank
diperbolehkan memberikan kredit dengan agunan tambahan berupa saham yang telah
terdaftar di bursa efek (Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 26/68/KEP/DIR tanggal 7 September 1993). Yang dimaksud saham di
sini sebagaimana yang disebut pada Pasal 1 huruf c Surat Keputusan tersebut di
atas.
Saham
adalah surat bukti pemilikan suatu perusahaan yang berbadan hukum Indonesia.
Walaupun sudah terdaftar di bursa efek, namun ada pengecualian yaitu saham
dalam 3 bulan berturut-turut sebelum akad kredit ditandatangani tidak mengalami
transaksi atau harga pasar saham yang akan dijadikan agunan berada di bawah
nominalnya. Atas saham yang tersebut di atas tidak dapat diterima sebagai
agunan tambahan. Saham yang dapat dijadikan agunan tambahan hanya dinilai 50 %
dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan di bursa efek, pada saat
akad kredit ditandatangani.
Selanjutnya
saham yang belum terdaftar di bursa efek hanya dapat dijadikan agunan tambahan
untuk pemohon kredit yang melakukan ekspansi atau akuisisi, dan hanya untuk
perusahaan penerbit saham yang bersangkutan. Dan nilai saham maksimum sebesar
nilai nominal saham sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tanggal Perusahaan tersebut.[51]
Saham sebagai benda
bergerak, maka lembaga jaminan yang membebaninya adalah Gadai. Di bawah ini
akan di analisis suatu akta gadai saham yang berasal dari salah satu kantor
notaris di Medan. Dalam membuat Perjanjian Gadai Saham harus diperhatikan
ketentuan yang berlaku untuk gadai, yaitu mulai Pasal 1150 hingga Pasal 1160
KUHPerdata, juga harus memperhatikan ketentuan untuk membuat suatu perjanjian
misalnya ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam suatu akta perjanjian gadai saham yang ditemukan
ketentuan berikut :
- "Bahwa tidak ada
pemegang saham lain selain yang telah disebut dalam akta tersebut';
- "Bahwa saham-saham
tersebut belum dicetak, akan tetapi oleh direksi perseroan untuk saham-saham
tersebut diselenggarakan buku-buku daftar saham yang di dalamnya dicatat nama,
tempat tinggal dari pihak pemegang saharn dan keterangan-keterangan lain yang
dianggap perlu".
Perjanjian
Gadai Saham dalam perjanjian accesoir, karenanya baru sah bila ada perjanjian
pokok. Dalam akta Perjanjian Gadai Saham, terlihat pada salah satu Pasalnya
yang berbunyi :
"Perianjian
gadai Saham ini rnerupakan bagian. penting dan tidak terpisahkan dari
Perjanjian Kredit beserta perubahan dan/ atau perpanjangannya kemudian".
Saham
merupakan tanda bukti pemilikan suatu perusahaan yang berbadan hukum Indonesia.
Pemegang saham sebagai pemilik dari perusahaan tentu mempunyai hak dan
kewajiban. Dengan digadaikan saham yang dipunyai itu apakah seluruh hak dan kewajiban
pemegang saham menjadi beralih kepada pemegang gadai saham ? Ini merupakan
pertanyaan yang sering diajukan.
Dengan
Gadai Saham maka kreditur mendapat preferensi dan hak yang kuat untuk mendapat
pelunasan dari debitur lebih dahulu dari hasil penjualan saham yang digadaikan
tersebut, bila debitur wanprestasi atau ingkar janji. Untuk memberi jaminan
yang kuat bagi kreditur beberapa ketentuan dicantumkan dalam Perjanjian Gadai
Saham. Dari beberapa akta Perjanjian Gadai Saham yang terdapat pada beberapa
kantor notaris di Medan, ditemukan salah satu akta yang mencantumkan ketentuan
yang memberi jaminan kuat bagi kreditur antara lain yang berbunyi :
- Bila debitur lalai dalam
memenuhi salah satu kewajibannya, berdasarkan Perjanjian Hutang atau Perjanjian
Jaminan, maka bank berhak untuk menjual saham-saham di hadapan umum atau di
bawah tangan menurut kebiasaan setempat dengan harga dan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh bank.
- Dalam hal demikian, Bank
berhak sepenuhnya untuk menggunakan hasil-hasil, penjualan Saham-saham untuk
melunasi hutang dengan cara dan prioritas pelunasan yang ditetapkan bank
sendiri.
- Pemilik saham dengan ini, memberi kuasa kepada bank
untuk mewakili dan bertindak untuk dan atas nama Pemilik Saham dalam memberitahukan
tentang jaminan gadai ini secara tertulis pada debitur, untuk memenuhi
ketentuan Pasal 1153 KUHPerdata.
Juga Pemilik Saham memberi kuasa kepada bank sebagai pemegang
gadai. Kuasa yang diberikan ini sangat luas, seperti terlihat dalam salah satu pasal
yang berbunyi :
Pihak
Pertama dengan ini memberi kuasa kepada Pihak Kedua selama
hutang debitur kepada bank belum lunas seluruhnya; untuk mewakili Pihak Pertama
dalam arti seluas-luasnya terhadap saham-saham rnereka dan tentang hal itu melakukan
tindakan-tindakan apapun, baik, tindakan pengurusan maupun tindakan
pemilikan, tiada suatupun tindakan yang dikecualikan, diantaranya :
a. Menerima segala pembayaran deviden atas
saham-saham yang berkenaan;
b. Menerima
pembayaran likuidasi dalam hal debitur dilikuidasi;
c. Menggunakan
segala penerimaan tersebut untuk melunasi segala pembayaran yang harus
dilakukan oleh debitur kepada bank, berdasarkan Perjanjian Kredit beserta
perubahan dan/atau perpanjangannya di kemudian atau karena apapun juga;
d. Mengundang,
menghadiri semua Rapat Umum Pemegang Saham Debitur, mengeluarkan pendapat dan
memberikan suara dalam pemungutan suara serta mengambil keputusan dalam
rapat-rapat tersebut, semuanya itu apabila dianggap perlu oleh bank;
e. Melakukan
segala sesuatu yang dianggap perlu dalam melaksana.kan Surat Kuasa yang
dimaksud pasal ini.[52]
Pihak Pertama
sekarang untuk nantinya dengan ini mensahkan segala tindakan yang dilakukan
oleh pihak kedua berdasarkan akta ini dan Pihak Pertama berjanji dan mengikat
diri untuk tidak melakukan sesuatu tindakan yang dikuasakannya kepada Pihak
Kedua dengan akta ini.
Ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Akta Notaris tersebut memberi gambaran bahwa
pemegang gadai mempunyai hak bulat penuh seperti pemilik saham. Berbeda yang
ditemukan pada akta notaris yang lain tentang kuasa yang diberikan oleh pemberi
gadai terbatas dalam arti dapat digunakan haknya bila debitur telah cidera
janji. Hal ini terlihat dari kelanjutan bunyi ketentuan yang memberi kuasa
seperti tersebut di atas, dengan redaksi sebagai berikut :
“Pemberian kuasa ini berlaku sejak saat terjadinya cidera janji,
apabila debitur secara bagaimanapun juga berdasarkan Perjanjian Hutang dan
Perjanjian Jamninan”.
Selanjutnya dalam
akta disebutkan pula :
Pemilik dengan ini
melepaskan :
a.
Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1802
sampai dengan Pasal 1806 KUHPerdata sepanjang ketentuan-ketentuan itu maksudnya
untuk mewajibkan Bank memberi pertanggungan jawab kepada Pemilik tentang
pelaksanaan kuasa ini; dan
b.
Hak-hak pemilik untuk menentukan
dilaksanakannya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1807 sampai dengan Pasal 1812
KUHPerdata, dan
c. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1470 KUHPerdata
Kuasa ini diberikan
dengan hak substitusi.
Masih banyak
saham-saham perseroan terbatas di Indonesia belum diterbitkan karena itu bukti
pemilikan saham hanya berupa catatan dalam buku khusus yang terdapat dalam
perseroan tersebut. Dalam hal ini maka yang diserahkan ternyata adalah buku
daftar saham tersebut. Terlihat dalam Akta Notaris pada salah satu Pasal yang
berbunyi :
“Direksi
debitur berjanji dan rnengikat diri untuk menyerahkan buku-buku daftar saham
mengenai saham yang dimaksud di atas, pada saat Perjanjian Gadai Saham ini ditandataragani oleh pihak Kedua”.
Dan bila nantinya terbit surat-surat
saham maka harus diserahkan kepada pemegang gadai seperti terlihat berikut ini
:
“Pihak
pertama berjanji dan mengikat diri untuk menyerahkan surat-surat saham yang
berkenaan dan/atau akan dimiliki kemudian oleh Pihak Pertama. kepada Pihak
Kedua segera setelah surat-surat saham itu dikeluarkan dan dicetak oleh
debitur”;
Saham yang digadai harus diberi catatan
dalam buku daftar saham seperti berikut :
“Pemilik dan debitur
menegaskan bahwa daftar para pemegang saham yarzg telah dibubuhi catatan bahwa
saham-saham pemilik
telah digadaikan. kepada Bank yang diserahkan kepada Bank adalah satu-satunya
yang sah dan merupakan satu-satunya bukti tentang komposisi Pemilik
saham-saham".
Hal
yang harus diperhatikan oleh penerima gadai saham ialah adanya jenis-jenis
saham. Saham yang telah go public mempunyai nilai untuk dijadikan agunan
tambahan. Saham yang tidak terdaftar di bursa efek sulit dinilai harganya.
Selain itu pengikatan saham sebagai
agunan juga tergantung pada jenis saham sebagai yang dikenal dalam KUHDagang
Pasal 40 menyebut bahwa modal perseroan dibagi atas saham-saham atas nama dan
saham atas bawa atau blanko. Saham blanko dapat diagunkan dengan cara gadai
seperti yang diatur oleh KUHPerdata dan segala ketentuan tentang gadai tersebut
berlaku sepenuhnya untuk gadai saham atas bawa.
Pasal
42 KUHDagang :
“Dalam akta
ditentukan cara bagaimana sero-sero atau saham-saham atas nama dioperkan hal
itu dapat dilakukan dengan pemberitahuan suatu pernyataan kepada para pengurus
dari persero bersangkutan dari pihak penerima pengoperan, atau dengan
pernyataan seperti itu yang dimuat dalam buku-buku perseroan itu dan
ditandatangani oleh atau atas nama kedua belah pihak”.
Jadi untuk saham atas nama dapat dijadikan agunan dengan cara
pemberitahuan pernyataan kepada pengurus perseroan. Namun dalam praktek ada
yang mempergunakan lembaga Cessie.
Sebagaimana diketahui Cessie adalah
suatu cara pengalihan piutang atau tagihan. Saham bukan bukti tagihan
piutang,tetapi bukti pemilikan saham dalam suatu perseroan atau bukti
penyertaan modal pada suatu perseroan dan lembaga jaminan untuk saham atas nama
bukan dengan cessie. Menurut penulis
dibuat akta perjanjian gadai saham. Gadai saham atas nama diatur dalam Pasal
1153 KUHPerdata. Ketentuan Pasal 1153
menyebutkan :
“Hak gadai
atas benda-benda bergerak tak bertubuh, keeuali surat-surat tunjuk atau surat
bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya, kepada
orang-orang terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. Oleh
orang ini tentang hal pernberitahuan tersebut serta tentang izinnya si pemberi
gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis”.[53]
Dari
Pasal 1153 tersebut terlihat bahwa untuk mengagunkan benda bergerak tak
bertubuh atas nama tidak diharuskan dengan cessie,
namun cukup dilakukan dengan pemberitahuan dan tidak perlu dengan eksploit.
Kekeliruan gadai saham atas nama dengan menggunakan cessie adalah memasukkan
saham atas nama sebagai piutang atas nama. Sedang saham adalah bukti penyertaan
modal dalam suatu perusahaan atau bukti pemilikan atas asset suatu perusahaan.
Saham bukan merupakan tagihan. Jadi keliru kalau mengagunkan saham atas nama
dengan menggunakan lembaga cessie.
Saat
ini telah mulai dikembangkan gadai saham, namun masih banyak saham yang belum
dicetak, dan untuk memenuhi persyaratan sahnya suatu gadai (yaitu barang gadai
harus dilepaskan dari pemberi gadai dan diserahkan kepada penerima gadai) maka
seyogyanya bank-bank yang akan menerima saham sebagai agunan (tambahan)
menganjurkan agar saham segera dicetak. Saham yang dijadikan jaminan, harus
diserahkan kepada bank dan disimpan oleh bank. Dan pemilik saham memberi kuasa
kepada bank untuk menjual sahamnya bila debitur cidera janji.
Tagihan-tagihan
merupakan harta kekayaan perusahaan dan ini hak yang dapat dijadikan obyek
agunan. Bukti adanya tagihan dapat berupa surat sebagai legitimasi dari
perbuatan hukum yang tercantum dalam surat tersebut. Yang digadai tentu bukan
surat itu sebagai benda yang tak berwujud, tetapi hak yang dikandung dalam
surat tersebut, yaitu hak tagih. Orang ketiga yang menerima gadai hak atas
tagih tersebut bila akan menagih harus menunjukkan bukti, yaitu surat yang
dibuat antara pihak pertama (debitur) dan kedua (kreditur, pemberi gadai).
Dengan surat yang dibawa atau yang ditunjukkan itu, maka orang ketiga ini
mempunyai legitimasi untuk menagih (berkedudukan sebagai kreditur) debitur.
Surat
tagih yang menunjuk kepada siapa perikatan harus dilunasi, berpindahnya hak
tagih harus melalui endosemen dan disertai
penyerahan surat tersebut. Pasal 1153 KUHPerdata menyebutkan bahwa harus ada
pemberitahuan kepada debitur.
Pemberitahuan tidak harus dengan
eksploit juru sita. Dengan pemberitahuan ini sudah dianggap dilepaskannya hak
tagih dari pemberi gadai (kreditur) kepada penerima gadai (orang ketiga).
Dengan pemberitahuan ini berarti debitur tidak boleh lagi membayar kepada
kreditur (asal) tetapi sudah berpindah kepada orang ketiga. Untuk alat
pembuktian debitur dapat, meminta dibuat pemberitahuan secara tertulis, dan adakalanya
untuk keamanan, diminta pula eksploit juru sita.
Bila debitur cidera janji, penjualan barang gadai hanya dapat
dilakukan di depan umum atau dibursa. Sebagai pemegang gadai surat tagihan,
kreditur tidak menjadi pemilik dari surat tagih tersebut. Sehingga kreditur
tidak berhak menagih langsung kepada debiturnya debitur. Maka untuk menjaga
agar debitur tidak menarik kembali apa yang telah dijanjikan, maka kreditur
meminta surat kuasa yang tidak dapat dicabut kembali atau kuasa mutlak.[54]
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kepastian
hukum gadai, sebagai salah satu bentuk jaminan kebendaan diatur dalam KUHPerdata khususnya pada Bab XX
KUHPerdata Buku II Pasal 1150 s/d Pasal 1160. Pasal 1150 KUHPerdata menetapkan
gadai merupakan hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang
lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada
orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian, biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang
itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Benda yang dapat
diserahkan dan menjadi objek gadai adalah benda bergerak berwujud seperti
mesin-mesin, inventaris kantor dan benda bergerak tidak berwujud. Benda
bergerak tidak berwujud antara lain adalah hak tagihan atau piutang. Hak gadai juga dapat mencakup piutang yang
masih akan ada dengan ketentuan bahwa hubungan hukum, yang menimbulkan piutang
sudah ada pada waktu perjanjian pemberian gadai dibuat. Benda tetap menjadi objek dari hak
tanggungan.
3. Pembebanan
jaminan terhadap piutang dan saham, mengacu pada Hukum Benda dimana piutang dan
saham termasuk dalam jenis benda bergerak seperti dijabarkan pada Pasal 511
KUHPerdata mengenai apa yang dianggap sebagai benda bergerak. Karena lembaga jaminan untuk benda bergerak
adalah gadai dan fidusia, maka untuk piutang dan saham harus dibebani hak gadai
dan bukan fidusia.
B. SARAN
1.
Sebaiknya bagi orang yang berpiutang dan yang berutang
atas barang yang diserahkan lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada
dalam pasal 1150 s/d Pasal 1160 KUHPerdata. Sehingga hak dan kewajiban para
pihak tidak dilanggar supaya barang gadai tidak batal demi hukum. Untuk itu pemegang
gadai dan penerima memperhatikan objek gadai seperti benda bergerak berwujud
dan tidak berwujud, supaya jangan sampai benda yang digadaikan itu bukan objek
gadai yang sebenarnya. Sehingga tidak batal demi hukum.
2.
Sebaiknya kreditor
penerima gadai khususnya yang berupa berupa saham, memperhatikan bahwa selain
surat saham, juga diperlukan pencatatan
gadai dalam buku saham perseroan yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang.
Karena maksud pencatatan ini, agar diketahui dan mendapatkan pengakuan
perseroan tentang penjaminan saham-saham tersebut kepada kreditor.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1981. Seminar Hukum
Jaminan. Bandung: Alumni.
Anwari. Achmad. 1981. Praktek
Perbankan Di Indonesia (Kredit Investasi).
Jakarta: Balai Aksara.
Arikunto, Suharsimi.
1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6. Jakarta: Bina
Aksara.
Aronstam,Peter. 1979. Consumer
Protektion, Freedom of Contract And The Law. Cape Town: Juta & Company Limited.
Badrulzaman, Darus Mariam. 1994..
Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni.
Badrulzaman, Mariam Darus. 1980. Perjanjian
Kredit Bank. Bandung: Alumni.
Hadikumsuma, Hilman.
1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1.
Bandung: Mandar Maju.
Hadisoeprapto,
Hartono. 1984. Pokok-pokok
Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan. Yogyakarta: Liberty.
Indonesia, Undang-Undang
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5, LN 1960, TLN No. 2043.
Indrawati, Soewarso. 2002. Aspek Hukum Jaminan Kredit. Jakarta:
Institut Bankir Indonesia.
Muhammad, Abdulkadir.
2004. Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Remy, Sutan. Sjahdeini.
1993. Kebebasan Berkontrak Dan Perindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak
Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: IBI.
Salim. H. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Satrio. J. 1997. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak
Tanggungan, Buku I. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Smith. Adam. 1965. The
Wealth of Nations. New York: The Modem Library.
Soedewi, Sri dan Sofwan, Masjchun. 1977. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan
Khususnya Fiducia didalam Praktek dan Perkembangannya di Indonesia.
Yogyakarta: FH-UGM.
___________. 1980. Hukum Jaminan Di Indonesia Dan Jaminan
Perorangan. Yogyakarta: Liberty.
Soekanto, Soerjono dan
Mamudji, Sri. 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Soewarso, Indrawati.
2002. Aspek Hukum Jaminan Kredit.
Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Subekti, R. 1978. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia.
Bandung: Alumni yaihrani, Riduan. 2008. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Sunggono, Bambang.
2003. Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
www.yahoo.com, Teori Hukum Hans Kelsen. Di akses 15 Juli 2010.
www.google.com pengembalian uang pinjaman, diakses pada tanggal 9 Maret 2011.
www.google.com. Jaminan
Kebendaan Sebagai Salah Satu Hak Hukum. Diakses pada tanggal 11 Maret 2011.
www.google.com. Konflik
dan Penyelesaian Masalah Gadai. Diakses pada tanggal 9 Maret 2011.
www.Google.com. Hak atas gadai. Diakses pada tanggal 20 Maret 2011.
[3] www.google.com
pengembalian uang pinjaman, diakses
pada tanggal 9 Maret 2011.
[4]
Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5,
LN 1960, TLN No. 2043, ps. 53.
[7] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan
Berkontrak Dan Perindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian
Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: IBI, 1993), hal. 8.
[9]
www.yahoo.com, Teori Hukum Hans Kelsen.
Di akses 15 Juli 2010.
[13]Indrawati Soewarso, Aspek Hukum Jaminan Kredit. (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,
2002), hal. 7.
[14] Hartono Hadisoeprapto. Pokok-pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan. (Yogyakarta:
Liberty, 1984), hal. 50.
[15] Anonimous, Seminar
Hukum Jaminan. (Bandung: Alumni, 1981), hal. 201.
[16] Sri
Soedewi Masjchun Sofwan. Hukum
Jaminan Di Indonesia Dan Jaminan Perorangan. (Yogyakarta: Liberty, 1980),
hal. 1.
[17] R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit
Menurut Hukum Indonesia. (Bandung: Alumni, 1978), hal. 13.
[18] Mariam Darus Badrulzaman. Perjanjian Kredit Bank. (Bandung: Alumni, 1980), hal. 20.
[19] Achmad Anwari. Praktek
Perbankan Di Indonesia (Kredit Investasi).
(Jakarta: Balai Aksara, 1981), hal. 13.
[20] J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak
Tanggungan, Buku I. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 67.
[23]
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), hal. 13-14; Lihat juga Bambang Sunggono, Metodologi
Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 184.
[24]
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004), hal. 52.
[25]
Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 86.
[26]
Bambang Sunggono, Ibid., hal. 93.
[27]
Abdulkadir Muhammad, Op. cit.
[28]
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc.
cit., hal. 4; Bandingkan
dengan “rechtsdogmatiek” dari K. F. von Gerber dan Paul Laban, lihat,
Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah
Perkembangan), cet. 8, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 85.
[29] Ibid.,
hal. 13-14; Lihat, Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.,; Lihat Juga, Hilman
Hadikumsuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet.
1, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 65-66.
[30] Ibid.,
hal. 13-14.
[31]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6,
(Jakarta: Bina Aksara, 1989) hal. 89, 90, 92.
[32] Abdulkadir Muhammaad, Loc. cit., hal. 62.
[33] Abdulkadir, Op. cit., hal. 56.
[34]
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125; Lihat juga, Bambang Sunggono, Loc.
cit., hal. 184.
[35]
Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184; Lihat juga Abdulkadir Muhammad, Loc.
cit., hal. 125.
[36]
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125.
[37]
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125.
[38]
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 92.
[39]
Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 68, 186;
[40] Indrawati Soewarso. Aspek Hukum Jaminan Kredit. (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,
2002), hal. 45.
[43] Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia didalam
Praktek dan Perkembangannya di Indonesia. , Yogyakarta: FH-UGM, 1977), hal. 44.
[53]www.google.com. Jaminan Kebendaan Sebagai Salah Satu Hak Hukum. Diakses pada
tanggal 11 Maret 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar