Senin, 14 Mei 2012

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN PADA PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT BADAN KREDIT KECAMATAN TENGARAN KABUPATEN SEMARANG



ABSTRAKSI

            Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Untuk itu, praktik pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam kegiatan dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam UUHT. Permasalahan yang akan diteliti adalah mengenai tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan pada PD BPR BKK Tengaran, serta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan beserta cara mengatasinya.
Metode  yang  digunakan  dalam  penelitian  hukum ini  adalah       metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum dan berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah PD BPR BKK Tengaran yang berada di Kabupaten Semarang. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik non random sampling, karena tidak semua unsur dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi wakil dari populasi. Jenis sampel yang digunakan adalah purposive  sampling, yaitu penelitian dengan menggunakan pertimbangan dalam menentukan sampel berdasarkan pengetahuan yang cukup serta ciri-ciri tertentu yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
Dari penelitian yang dilakukan pada PD PBR BKK Tengaran diperoleh hasil mengenai tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang meliputi pemberian kredit oleh PD BPR BKK Tengaran yang menimbulkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak (kreditur dan debitur), pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan, pendaftaran Akta pemberian Hak Tanggungan  dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum antara pihak kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pihak debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan serta mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, serta hambatan-hambatan yang dihadapi oleh PD BPR BKK Tengaran dan cara mengatasinya. Hambatan-hambatan tersebut adalah mengenai tanaha yang belum bersertifikat dijadikan sebagai jaminan kredit cara mengatasinya adalah dengan memberikan kredit kepercayaan (kredit tanpa jaminan) dan upaya yang dilakukan PD BPR BKK Tengaran dalam mengatasi kredit macet antara lain dengan melakukan pelelangan terhadap benda jaminan debitur dan restrukturisasi kredit. Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan yaitu kredit perbankan mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang perekonomian terutama praktik pengikatan jaminan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum antar kedua belah pihak.

Key words: Kredit, Jaminan, Hak Tanggungan.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i  
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ ii  
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................ iv
KATA PENGANTAR......................................................................................... v
ABSTRAKSI.................................................................................................... viii
DAFTAR ISI....................................................................................................... ix
BAB I :     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.............................................................................. 1
B.     Perumusan Masalah...................................................................... 6
C.     Tujuan Penelitian.......................................................................... 6
D.    Kegunanaan Penelitian................................................................. 7
E.     Metode Penelitian......................................................................... 7
F.      Sistematika Penulisan................................................................. 10
BAB II :    TINJAUAN PUSTAKA
A.    Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit............................................ 12
1.      Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Kredit......................... 12
2.      Bentuk Perjanjian Kredit...................................................... 18
3.      Prinsip-prinsip Perkreditan.................................................... 19
4.      Kredit Dilihat Dari Sudut Pandang Islam............................ 23
B.     Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan................................ 27
1.      Pengertian Hak Tanggungan................................................. 27
2.      Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan...................................... 30
3.      Objek Hak Tanggungan........................................................ 33
4.      Subjek Hak Tanggungan....................................................... 35
5.      Proses Pembebanan Hak Tanggungan.................................. 36
6.      Eksekusi Hak Tanggungan................................................... 46
BAB III :   HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.    Gambaran Objek Penelitian........................................................ 50
B.     Tata Cara Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan
pada PD BPR BKK Tengaran.................................................... 58
1.      Pemberian Kredit oleh PD BPR BKK Tengaran.................. 58
2.      Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan..................... 62
3.      Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan................... 62
C.     Hambatan-hambatan yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Pemberian
Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan dan Cara Mengatasi
pada PD BPR BKK Tengaran.................................................... 66
BAB IV :   PENUTUP
A.    Simpulan..................................................................................... 72
B.     Saran........................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
 
BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar belakang             

Pembagunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana tersebut adalah Perbankan. Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit perbankan merupakan salah satu usaha bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana.
Pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998[1] tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama Perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanan pembangunan nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit.
Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pembukaan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam atau dengan istilah lain harus didahului dengan adanya perjanjian kredit. 
Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa risiko, karena suatu risiko mungkin saja terjadi. Risiko yang umumnya terjadi adalah risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan. Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang dipinjamkan kepada debitor berasal atau bersumber dari masyarakat yang disimpan pada bank itu sehingga risiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut.
Kredit yang diberikan oleh bank tentu saja mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal agunan, dan prospek usaha dari debitur. Apabila unsur-unsur yang ada telah dapat meyakinkan kreditur atas kemampuan debitur maka jaminan cukup hanya berupa jaminan pokok saja dan bank tidak wajib meminta jaminan tambahan. [2]
Jaminan pokok yang dimaksud dalam pemberian kredit tersebut  adalah jaminan yang berupa sesuatu atau benda yang berkaitan langsung dengan kredit yang dimohon. Sesuatu yang dimaksud di sini adalah proyek atau prospek usaha yang dibiayai dengan kredit yang dimohon, sementara itu yang dimaksud benda di sini adalah benda yang dibiayai atau dibeli dengan kredit yang dimohon. Jenis tambahan yang dimaksud adalah jaminan yang tidak bersangkutan langsung dengan kredit yang dimohon. Jaminan ini berupa jaminan kebendaan yang objeknya adalah benda milik debitur maupun perorangan, yaitu kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur.[3]
Kita mengenal dua jenis hak jaminan kredit dalam praktik di masyarakat, yaitu:
1.      Hak-hak jaminan kredit perorangan (personal guarantly), yaitu jaminan sesorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban- kewajiban debitur. Termasuk dalam golongan ini antara lain “borg” yaitu pihak ketiga yang menjamin bahwa hutang orang lain pasti dibayar;
2.      Hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid), yaitu jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk golongan ini apabila yang bersangkutan didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya dalam hal pembagian penjualan hasil harta benda debitur, meliputi: previlege (hak istimewa), gadai, dan hipotek.
Praktik jaminan yang sering digunakan pada perbankan Indonesia, adalah jaminan kebendaan yang meliputi:
1.      Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan (pasal 1162 KUH Perdata);
2.      Credietverband, yaitu suatu jaminan atas tanah berdasarkan Koninklijk Besluit (KB) tanggal 6 Juli Tahun 1908 No. 50 (Stbl 1908 No. 542);
3.      Fiducia (fiduciare eigendomsoverdracht), yaitu pemindahan milik secara kepercayaan.[4]
Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Tahun 1996, maka hipotek yang diatur oleh KUH Perdata dan credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan hutang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyaraat untuk mengikat tanah. Pengikatan objek jaminan hutang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan.[5] Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang untuk selanjutnya disebut UUHT memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT sebagai berikut
“Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”

Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Untuk itu, praktik pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam UUHT. Dari hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di lingkungan perbankan, khususnya bagi masyarakat kecil yang membutuhkan modal yang tidak terlalu besar, beserta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak Tanggungan dalam praktik. Untuk mengetahui lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam praktik maka penulis mengadakan penelitian dengan judul: “Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan pada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang ”.
B.     Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan alasan pemilihan judul penelitian, maka dirumuskan masalah-masalah untuk dijadikan pedoman penelitian agar mencapai sasarannya. Adapun masalah-masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PD BPR BKK Tengaran?
2.      Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan cara mengatasi di PD BPR BKK Tengaran?
C.    Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan penulisan hukum ini mempunyai tujuan yaitu:
1.      Untuk mengetahui tata cara pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PD BPR BKK Tengaran;
2.      Untuk mengetahui apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan cara penyelesaiannya di PD BPR BKK Tengaran.
D.      Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini antara lain:
1.    Kegunaan Teoretis
Diharapkan hasil penelitian ini mempunyai kegunaan bagi keberadaan dan perkembangan ilmu hukum.
2.    Kegunaan Praktis
a.    Menambah wawasan dan cakrawala bagi penulis dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam praktik;
b.    Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan materi penulisan hukum ini;
c.    Dapat digunakan sebagai pedoman bagi penelitian-penelitian berikutnya.
E.     Metode Penelitian
1. Metode pendekatan
Di dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum dan berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.[6]
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian deskriptif analitis. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang permasalahan yang ada pada masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku, sehingga akhirnya dapat diperoleh simpulan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin data yang diperoleh guna penyusunan penulisan hukum lebih lanjut yang meliputi : a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan dengan cara wawancara bebas terpimpin, yaitu dengan terlebih dahulu mempersiapkan pokok-pokok pertanyaan (guide interview) sebagai pedoman dan variasi-variasi dengan situasi ketika wawancara.
b. Data Sekunder
Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoretis terhadap pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan. Disamping itu tidak menutup kemungkinan diperoleh bahan hukum lain, dimana pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data yang terdapat dalam buku, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, dokumen-dokumen hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian. Bahan-bahan hukum tersebut berupa:
1)      Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri atas:
(a)    Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(b)   Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
(c)    Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
2)      Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer antara lain buku, tulisan ilmiah, hasil penelitian ilmiah, laporan makalah lain yang berkaitan dengan materi penelitian.
3)      Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri atas:
(a)    Kamus Hukum
(b)   Kamus Umum Bahasa Indonesia
4. Populasi dan Teknik Sampling
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah PD BPR BKK Tengaran yang berada di Kabupaten Semarang. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik non random sampling, karena tidak semua unsur dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi wakil dari populasi. Jenis sampel yang digunakan adalah purposive  sampling, yaitu penelitian dengan menggunakan pertimbangan dalam menentukan sampel berdasarkan pengetahuan yang cukup serta ciri-ciri tertentu yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini informannya ialah bapak Sudanar, S.E. selaku Direktur dan bapak Edi Suprobo selaku Kasie Kredit PD BPR BKK Tengaran.
5.      Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan akan dihubungkan dengan studi kepustakaan. Kemudian data tersebut dianalisis secara logis dan disusun dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis maupun lisan diteliti dan dipelajari kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif yang tersusun dalam kalimat yang sistematis.
F.     Sistematika Penulisan
Di dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat bab. Masing-masing perinciannya sebagai berikut.
Bab I tentang Pendahuluan, di dalamnya berisi uraian latar belakang pemilihan judul, ruang lingkup penelitian, perumusan masalah, tujuan, kegunaan penelitian dan diakhiri dengan sistematika skripsi yang bertujuan untuk mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan yang akan dibahas.
Bab II tentang Tinjauan Pusaka, Bab ini berisi teori dan kerangka berpikir yang berkaitan dengan masalah pokok yang diteliti. Di sini penulis menguraikan tinjauan tentang perjanjian kredit yang meliputi pengertian, bentuk perjanjian kredit, prinsip-prinsip dari perjanjian kredit, dan kredit dilihat dari sudut pandang islam. Dalam bab II ini juga diuraikan pengertian dari Hak Tanggungan, ciri-ciri dan sifat Hak Tanggungan, objek Hak Tanggungan, subjek Hak Tanggungan, proses pembebanan Hak Tanggungan, dan Eksekusi Hak Tanggungan.
Bab III tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam Bab ini berisi hasil penelitian yang telah penulis lakukan di PD BPR BKK Tengaran dan pembahasannya. Pembahasan tersebut menguraikan tentang gambaran objek penelitian menyangkut sejarah dan dasar hukum berdirinya beserta struktur organisasi PD BPR BKK Tengaran. Dalam bab III ini juga menjawab permasalahan yang terkait mengenai tata cara pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan, hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit, dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan cara mengatasi di PD BPR BKK Tengaran.
Bab IV tentang Penutup, pada bab IV ini berisi simpulan dan saran mengenai pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dengan harapan dapat dijadikan masukan bagi praktisi hukum dan bagi masyarakat yang membutuhkan.
Halaman Daftar Pustaka berisi daftar judul buku-buku yang digunakan sebagai referensi dan pedoman oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini. Buku-buku tersebut berkaitan dengan pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan.
Halaman Lampiran berisi tentang lampiran-lampiran antara lain: surat keterangan riset sebagai bukti bahwa penulis telah melakukan penelitian pada PD BPR BKK Tengaran, surat-surat perjanjian kreditur dengan debitur, formulir pengambilan kredit,dan lain sebagainya.


[1] LN. RI Tahun 1992 No. 31, TLN No. 3472
LN. RI Tahun 1998 No. 182, TLN No. 3790
[2] Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, hal. 68
[3] Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal,  Citra Aditya Bakti, Jakarata, hal. 206
[4] Muhamad Djumhana, 1996, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,  hal. 248-249
[5] M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 22

[6] Roni Hanitijo Soemitro, 1988, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang, 1988, hal. 106

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit
1.    Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Kredit
Pengertian perjanjian secara umum dapat dilihat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut menurut para ahli hukum dianggap kurang lengkap dan mengandung banyak kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : [7]
a.       Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja
Hal ini dapat diketahui dari rumusan “ satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.
b.      Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa kesepakatan
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum. Kedua tindakan tersebut merupakan perbuatan yang tidak mengandung adanya kesepakatan atau tanpa adanya kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Pengertian perbuatan sendiri sangat luas, sementara maksud “perbuatan” dalam rumusan Pasal 1313 KUH Perdata adalah perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.
c.       Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam rumusan Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas karena dapat juga diartikan pengertian perjanjian perkawinan, padahal perjanjian perkawinan telah diatur sendiri dalam hukum keluarga.
Dalam pelaksanaan perjanjian perkawinan disyaratkan ikut sertanya pejabat tertentu, sedangkan yang dimaksud perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah hubungan antara kreditur dan debitur tidak diwajibkan ikut sertanya pejabat tertentu. Hubungan antara kreditur dan debitur ini terletak dalam lapangan harta kekayaan.
d.      Pengertian perjanjian tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan Pasal 1313 KUH Perdata tidak disebutkan mengenai tujuan diadakannya perjanjian sehingga tidak jelas maksud para pihak mengikatkan dirinya tersebut
 Atas dasar alasan tersebut di atas maka para ahli hukum merasa perlu untuk merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian.
R. Subekti memberikan rumusan perjanjian yaitu suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. [8]
Abdul Kadir Muhammad memberikan rumusan perjanjian yaitu suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. [9]
Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian perjanjian sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. [10]
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan syarat sahnya suatu perjanjian adalah :
a.       Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c.       Suatu hal tertentu; dan
d.      Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat tersebut di atas, dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu :
1)      Syarat Subjektif
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh subjek perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah dapat dibatalkannya perjanjian (vernietigbaar).
2)      Syarat Objektif
Syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh objek perjanjian. Apabila syarat objektif tidak dapat dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah bahwa perjanjian itu batal demi hukum (van rechtswege nietig). [11]
Perjanjian ada berbagai macam, salah satunya adalah perjanjian kredit. Dalam Pasal 3 dan 4 Undang-undang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dalam menyalurkan dana masyarakat tersebut, bank memberikan berbagai macam kredit kepada masyarakat.
 Kosakata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu dari kosakata credere yang berarti kepercayaan, sehingga hubungan yang terjalin dalam kegiatan perkreditan diantara dua pihak, sepenuhnya juga harus dilandasi oleh adanya rasa saling mempercayai, yaitu bahwa kreditur yang memberikan kredit percaya bahwa penerima kredit (debitur) sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik menyangkut jangka waktunya, maupun prestasi, dan kontra prestasinya. Berjalannya kegiatan perkreditan dapat terlaksana secara lancar apabila disertai dengan rasa saling percaya antar para pihak yang terkait dalam kegiatan tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-undang Perbankan  menyatakan bahwa yang dimaksud kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga.
Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana tersebut di atas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
a.    Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah pihak penyedia dana dengan menyetujui pemberian sejumlah dana yang kemudian disebut sebagai jumlah kredit atau plafon kredit. Sementara tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang dalam praktik perbankan misalnya berupa pemberian (penerbitan) garansi bank dan penyediaan fasilitas dana untuk pembukaan letter of credit (LC).
b.    Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
Persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam merupakan dasar dari penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang tersebut. Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam dibuat oleh bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit. Perjanjian kredit sebagai salah satu jenis perjanjian, tunduk kepada ketentuan hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan tentang perjanjian terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUH Perdata, Buku Ketiga tentang Perikatan. Perjanjian kredit yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (antara lain memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata) merupakan undang-undang bagi bank dan debitur. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata menetapkan suatu perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang berjanji.
c.       Adanya kewajiban melunasi hutang
Pinjam-meminjam uang adalah suatu hutang bagi peminjam. Pinjam meminjam wajib melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pemberian kredit oleh bank kepada debitur wajib melakukan pembayaran pelunasan kredit sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah disepakatinya, yang biasanya terdapat dalam ketentuan perjanjian kredit. Dengan demikian, kredit perbankan bukan suatu bantuan dana yang diberikan secara cuma-cuma. Kredit perbankan adalah suatu hutang yang harus dibayar kembali oleh debitur.
d.   Adanya jangka waktu tertentu
Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan jangka waktu tertentu yang ditetapkan atas pemberian kredit, maka kredit perbankan dapat dibedakan atas kredit jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Kredit jangka pendek adalah kredit yang mempunyai jangka waktu satu tahun atau dibawah satu tahun. Kredit jangka menengah adalah yang mempunyai jangka waktu di atas satu tahun sampai dengan tiga tahun, dan kredit jangka panjang adalah kredit yang mempunyai jangka waktu di atas tiga tahun. Jangka waktu suatu kredit ditetapkan berdasarkan kebijakan yang berlaku pada masing-masing bank dan mempertimbangkan tujuan penggunaan kredit serta kemampuan membayar dari calon debitur setelah dinilai kelayakannya. Berdasarkan pengertian kredit tentang jangka waktu tertentu dapat disimpulkan bahwa jangka waktu kredit harus ditetapkan secara tegas karena menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak.
e.    Adanya pemberian bunga kredit
Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman uang ditetapkan adanya pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas pinjaman uang yang diberikannya. Suku bunga merupakan harga atas uang yang dipinjamkan dan disetujui bank kepada debitur. Namun, sering pula disebut sebagai balas jasa atas penggunaan uang bank oleh debitur. Sepanjang terhadap bunga kredit yang ditetapkan dalam perjanjian kredit dilakukan pembayarannya oleh debitur, merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama bagi bank.[12]
2. Bentuk Perjanjian Kredit
Pasal 8 ayat (2) huruf a Undang-undang Perbankan menjelaskan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan dalam bentuk tertulis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bank dalam memberikan kredit wajib mempergunakan perjanjian kredit dalam bentuk tertulis.
Bentuk perjanjian kredit secara tertulis tersebut bertujuan untuk memudahkan pihak bank maupun nasabah dalam pelaksanaan kredit, karena dalam isi perjanjian dapat diketahui secara jelas mengenai subjek, objek, maupun hal-hal lain yang diperjanjikan. Bentuk perjanjian ini juga dianggap lebih aman bagi para pihak apabila dibandingkan dengan bentuk lisan, karena dengan bentuk tertulis tersebut para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan, dan ini merupakan bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu terhadap kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh para pihak.
3.  Prinsip-prinsip Perkreditan
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-undang Perbankan, bank dalam menjalankan usahanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat harus menggunakan prinsip kehati-hatian. Dalam penjelasan Pasal 8 Undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa dalam melakukan perjanjian kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan. Dari penjelasan dua pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa prinsip utama perkreditan adalah bersandar pada kepercayaan dan kehati-hatian.
Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 menegaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka sebelum melakukan kredit bank harus melakukan penilaian-penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha dari nasabah. Dalam praktik perbankan hal tersebut dikenal dengan istilah “The Five C’s of Analysis”.
Prinsip-prinsip yang biasa dijadikan acuan dalam penilaian pemberian kredit perbankan tersebut adalah: [13]
a. Prinsip Kepercayaan
Setiap pemberian kredit sebenarnya harus selalu disertai oleh kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditur akan bermanfaatnya kredit bagi debitur sekaligus kepercayaan bahwa debitur dapat membayar kembali kreditnya.
b. Prinsip Kehati-hatian
Prinsip kehati-hatian (prudent) adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Untuk mewujudkan prinsip ini maka berbagai jenis usaha pengawasan dilakukan, baik oleh bank yang bersangkutan (internal) maupun oleh bank luar (eksternal) yang dalam hal ini adalah bank sentral.
c. Prinsip 5 C
1. Character (Kepribadian)
Bank sebagai kreditur harus terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap watak atau kepribadian calon debiturnya sebelum kredit diberikan. Jika debitur memiliki watak yang buruk maka akan menimbulkan perilaku yang buruk pula, dan hal ini sangat berpengaruh kepada perilaku debitur dalam hal membayar hutangnya.
2. Capacity (Kemampuan)
Seorang calon debitur harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk membayar hutangnya.
3. Capital (Modal)
Permodalan yang dimiliki debitur juga merupakan hal penting yang harus diketahui calon krediturnya, karena permodalan dan kemampuan keuangan seorang debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan dalam pembayaran kredit. Hal ini dapat diketahui melalui laporan keuangan bisnis atau perusahaan debitur.
4. Condition of Economy (Kondisi Ekonomi)
Kondisi perekonomian secara makro maupun mikro merupakan faktor penting untuk dianalisis sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur.
5. Colateral (Agunan)
Agunan dalam setiap pemberian kredit sangatlah penting, bahkan Undang-undang mensyaratkan bahwa agunan itu harus ada dalam setiap perjanjian kredit. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi terhadap debitur yang benar-benar mengalami kredit macet, sehingga agunan dapat dieksekusi.
d. Prinsip 5P
1.    Party (Para pihak)
Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Debitur harus memperoleh suatu kepercayaan dari kreditur mengenai karakter, kemampuan, dan sebagainya.
2.      Purpose (Tujuan)
Kreditur harus dapat melihat dan mencermati apakah kredit yang akan disalurkan untuk hal-hal yang positf dan benar-benar dapat menaikkan income usaha debitur. Perlu pula dilakukan pengawasan terhadap penggunaan dana pinjaman tersebut, apakah benar-benar digunakan untuk tujuan sesuai dengan yang diperjanjikan.
3.      Payment (Pembayaran)
Kreditur harus dapat melihat dan menganalisis sumber pendapatan debitur dan apakah sumber pendapatannya mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.
4.      Profability (Perolehan laba)
Kreditur harus dapat mengantisipasi, apakah laba yang akan diperoleh oleh debitur lebih besar dari biaya pinjaman dan apakah pendapatan debitur lebih besar dari biaya pinjaman dan apakah pendapatan debitur dapat menutupi pembayaran kembali kredit.
5. Protection (Perlidungan)
Dalam hal ini dilakukan analisis tentang cukup tidaknya jaminan yang diberikan untuk calon debitur sebagai upaya pengamanan terhadap kredit yang akan diberikan.
e. Prinsip 3R
1. Return (Hasil yang diperoleh)
Penilaian harus dilakukan terhadap hasil usaha yang akan dapat dicapai oleh calon debitur. Terhadap hasil usaha yang akan dicapai tersebut kemudian dianalisis tentang adanya kemungkinan pengembalian kredit beserta bunganya.
2. Repayment (Pembayaran kembali)
Kemampuan calon debitur untuk mengembalikan kredit harus sudah diperkirakan sejak dini oleh pihak kreditur.
3. Risk Bearing Ability (Kemampuan Mengandung Risiko)
Analisis harus dilakukan juga terhadap kemampuan calon debitur untuk menanggung risiko. Hal ini dimungkinkan apabila terjadi kegagalan pada usaha calon debitur, atau kemungkinan terjadinya kerugian yang mungkin terjadi karena hal-hal yang tidak dapat diperkirakan sejak semula.
4. Kredit Dilihat dari Sudut Pandang Islam
Hubungan pinjam-meminjam dalam Islam tidak dilarang, bahkan dianjurkan agar tejadi hubungan saling menguntungkan yang pada gilirannya berakibat pada hubungan persaudaraan. Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila hubungan itu tidak mengikuti aturan yang diajarkan oleh Islam. Dalam perbankan syariah sebenarnya penggunaan kata “pinjam-meminjam” kurang tepat digunakan. Disebabkan dalam Islam pinjam-meminjam adalah akad sosial, bukan akad komersial. Artinya, apabila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi, yang berisi bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba. Sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu, dalam perbankan syariah pinjaman tidak disebut kredit melainkan disebut pembiayaan (financing).[14]
Dalam Islam, pinjaman diartikan sebagai Al-Qardh (Pinjaman Kebajikan dan Lunak/Soft Loan) yaitu pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling bantu-membantu dan bukan transaksi komersial.
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan hadist riwayat Ibnu Majjah dan Ijma’ ulama. Sungguhpun demikian, Allah mengajarkan kepada kepada kita, agar meminjamkan sesuatu bagi agama “Allah”. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”(Q,S. Al Hadid: 11)

Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta di jalan Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah maka kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada sesama manusia” sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat (civil society).
Dalam al-Hadist disebutkan:
“Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) shadaqah.” (HR. Ibnu Majjah)

Dalam Ijma’ para ulama menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak biasa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.[15]
Di dalam aplikasi perbankan, akad qardh diterapkan sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitasnya yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang relatif pendek. Di samping itu juga sebagai produk untuk menyumbang usaha kecil atau membantu sektor sosial. Sifat al-qardh tidak memberi keuntungan financial. Karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori sebagai berikut:
a.    Al-qardh yang diperlukan untuk  membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Talangan dana tersebut dapat diambilkan dari modal bank.
b.    Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan shadaqah. [16]
Didalam perkembangannya, bunga bank pada kegiatan perbankan konvensional dikatakan halal dan bukanlah riba dengan alasan bahwa bunga bank yang diambil dan diberikan kepada nasabah tidak berlipat ganda, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 130;
“Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”.
Ungkapan ayat tersebut sesuai dengan riba yang berlaku pada zaman jahiliyah.
Para Ulama Muhammadiyah dalam sidang di Sidoharjo pada tahun 1968 yang membolehkan umat berhubungan dan melakukan transaksi dengan bank-bank pemerintah dan menghalalkan bunga bank. Bunga bank dianggap boleh karena bunganya relatif rendah dan pemberian bunga masih berada dalam batas-batas wajar. Dalam hal ini Ulama Muhammadiyah berkesimpulan bahwa bunga bank diperbolehkan sepanjang berhubungan dengan bank negara/milik negara dan hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak tidak melampaui laju inflasi. Selain itu juga untuk kepentingan umum.[17]
Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama memutuskan masalah mengenai bank dan pembungaan uang melalui beberapa kali sidang. Lajnah menghalalkan bunga dengan alasan bunga bank tidak haram jika bank menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.[18]
Beberapa cendekiawan Muslim memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang dengan alasan bunga diperbolehkan dalam keadaan darurat dan hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang wajar (tidak menzalimi) diperbolehkan[19]
Jadi, menurut perkembangannya kredit dengan bunga pada kegiatan perbankan konvensional menurut pandangan Islam diperbolehkan berdasarkan hasil keputusan sidang para Ulama Muhammadiyah, Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama, dan para cendekiawan Muslim.
B.     Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
1.        Pengertian Hak Tanggungan
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalam bumi digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang dasar 1945 yang berkenaan dengan tanah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Undang-undang ini mencabut Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai hipotik. Namun demikian ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.    Dengan meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan pertisipasi masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
b.    Sejak berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan-ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk;
c.    Ketentuan mengenai hipotik sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai credietverband dalam staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan-kebutuhan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia;
d.   Mengingat perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak selain hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hak pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan. [20]
Berhubungan dengan hal tersebut dengan hal-hal tersebut diatas, pemerintah Republik Indonesia memandang perlu membentuk Undang-undang yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi hukum tanah nasional. Pada tanggal 9 April 1996, dengan persetujuan DPR, Presiden Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. Undang-undang ini diundangkan dalam Lembaran Negara RI No. 3632.[21]
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, yang secara resmi menurut Pasal 30 Undang-undang tersebut yang selanjutnya disebut Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT), ditetapkan untuk memenuhi ketentuan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 51 tersebut menyatakan:
“Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan Undang-undang.”

Dengan berlakunya UUHT, maka ketentuan mengenai hipotek yang diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, serta ketentuan tentang credietverband yang diatur dalam staatsblad 1908-542 dan staatsblad 1937-190 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Menurut Pasal 1 angka 1 UUHT, Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang untuk selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah:
“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan merupakan lembaga jaminan yang kuat karena Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.[22]
2.    Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, Hak Tanggungan harus mengandung ciri-ciri:
a. Droit de preferent, artinya memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat 1).
Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur memperoleh hak didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan (pencairan) objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditur yang mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain (kreditur preferen) akan sangat menguntungkan kepada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali (pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya kepada debitur yang ingkar janji (wanprestasi).
b. Droit de suite, artinya selalu mengikuti jaminan hutang dalam tangan  siapapun objek tersebut berada (Pasal 7).
Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek dari Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi, jika debitur cidera janji.
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan hal tersebut maka sahnya pembebanan Hak Tanggungan disyaratkan wajib disebutkan dengan jelas piutang mana dan berapa jumlahnya yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan jaminan (syarat spesialitas), dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga terbuka untuk umum (syarat publisitas).
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
 Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera janji. Meskipun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus mengenai eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur mengenai lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. [23]
Hak Tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh objek Hak tanggungan. Hal ini mengandung arti bahwa apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru dilunasi sebagian, maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan.[24]
Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam APHT” dalam Pasal 2 UUHT, dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan menggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objek Hak tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UUHT).
Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah Hak tanggungan merupakan accecoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu.[25] Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT yang memberikan penjelasan bahwa karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accecoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.
3.    Objek Hak Tanggungan
Terhadap benda-benda (tanah) yang akan dijadikan objek Hak Tanggungan, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a.    Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin berupa uang;
b.    Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;
c.    Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum;
d.   Perlu ditunjuk oleh Undang-undang sebagai hak yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.[26]
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 4 UUHT telah menentukan hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu meliputi:
a.    Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha sebagaimana  dimaksud dalam UUPA (Pasal 4 ayat (1) UUHT).
b.    Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan.
Terhadap hak pakai atas tanah negara, yang walaupun wajib didaftarkan, tetapi karena sifatnya tidak dapat dipindah tangankan, maka hak pakai tersebut tidak termasuk dalam objek Hak Tanggungan.
c.    Hak atas tanah berikut bangunan (baik yang berada di atas maupun di bawah tanah), tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada, yamg merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut diatas harus dinyatakan dengan tegas di dalam APHT (Pasal 4 ayat (4) UUHT). Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana disebut diatas tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dilakukan dengan penandatanganan serta (bersama) pada APHT yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa oleh pemilik benda-benda tersebut untuk menandatangani serta (bersama) APHT dengan akta otentik. Yang dimaksud akta otentik di sini adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atas benda-benda di atas tanah tersebut yang dibebani Hak Tanggungan (Pasal 4 ayat (5) UUHT).[27]
Objek Hak Tanggungan menjadi lebih luas jika dikaitkan dengan Pasal 12 UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 UUHT, yang menyatakan bahwa ketentuan Hak Tanggungan berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas rumah susun. Hak jaminan atas rumah susun tersebut meliputi:
a.    Rumah susun yang berdiri atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai yang diberikan oleh negara; dan
b.    Hak milik atas satuan rumah susun yang bangunannya berdiri di atas tanah hak-hak yang tersebut di atas.
4.    Subjek Hak Tanggungan
Yang dimaksud subjek Hak Tanggungan dalam hal ini adalah pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
a.    Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Kewenangan tersebut harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan (Pasal 8 UUHT).
Dari penjelasan umum UUHT antara lain dijelaskan bahwa pada saat pembuatan SKMHT dan APHT, harus sudah ada keyakinan pada Notaris atau PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang dibebankan. Meskipun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian Hak Tanggungan itu didaftar.
b.    Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9 UUHT). Karena Hak Tanggungan sebagai lembaga hak atas tanah tidak mengandung kewenagan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan pemberi Hak Tanggungan kecuali dalam keadaan yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c, maka pemegang Hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia atau Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing.[28]
5.    Proses Pembebanan Hak Tanggungan
Secara umum prosedur pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang diajukan calon debitur kepada kreditur, yang dalam hal ini adalah pihak bank yaitu dengan melalui tahap sebagai berikut:
a.    Calon debitur mengajukan permohonan kredit dan menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan  dan telah ditentukan pihak bank dalam pengajuan kredit;
b.    Calon debitur mengisi formulir permohonan kredit yang telah disediakan oleh pihak bank. Setelah formulir diisi dengan lengkap dan benar, formulir tersebut kemudian diserahkan kembali kepada bank;
c.    Pihak bank kemudian melakukan analisis dan evaluasi kredit atas dasar data yang tercantum dalam formulir permohonan kredit tersebut. Tujuan analisis ini adalah untuk memastikan kebenaran data dan informasi yang diberikan dalam permohonan kredit. Selain itu, hasil analisis dan evaluasi kredit ini digunakan sebagai dasar pertimbangan akan diterima atau ditolaknya permohonan kredit tersebut.;
d.   Apabila terhadap hasil analisis dan evaluasi kredit calon debitur dinyatakan layak oleh pihak bank untuk memperoleh kredit, maka kemudian dilakukan negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan calon debitur. Negosiasi kredit ini antara lain mengenai maksimal kredit yang akan diberikan, keperluan kredit, jangka waktu kredit, biaya administrasi, denda, bunga dan sebagainya;
e.    Apabila telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak maka dilakukan penandatanganan perjanjian kredit yang berupa surat pengakuan hutang dengan pengikatan jaminan, dalam hal ini berupa jaminan Hak Tanggungan, dihadapan PPAT dan pejabat bank;
f.     Setelah dilakukan pengikatan jaminan Hak Tanggungan dan PPAT telah memberikan keterangan bahwa calon debitur dinyatakan telah memenuhi persyaratan, baru kemudian bank merealisasikan kredit kepada calon debitur.[29]
Pengikatan jaminan Hak Tanggungan yang dilakukan dalam perjanjian kredit yang dimaksud di sini adalah melalui proses pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana telah ditentukan dalam UUHT yaitu melalui dua tahap berupa:
a.    Tahap pemberian Hak Tanggungan yang dilakukan di hadapan PPAT;
b.    Tahap pendaftaran Hak tanggungan yang dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota setempat, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan.
Menurut Pasal 1 angka 4 UUHT disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan. Dalam penjelasan umum angka 7 dijelaskan pula bahwa dalam kedudukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 4, maka akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.
a.    Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Sesuai dengan sifat Accecoir dari Hak Tanggungan, Maka pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan.
Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT pemberian Hak Tanggungan yang wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan dan dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku. APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik (Penjelasan Umum angka 7 UUHT).
Terhadap objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, artinya hak atas tanah tersebut belum bersertifikat, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Hak lama yang dimaksud disini adalah hak yang kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[30]
Terhadap objek Hak Tanggungan yang terdiri lebih dari satu bidang tanah dan diantaranya ada yang letaknya diluar daerah kerjanya, untuk pembuatan pemberian APHT yang bersangkutan PPAT memerlukan ijin dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi. Dengan ketentuan bahwa bidang-bidang tanah tersebut harus terletak dalam satu daerah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota (Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 dan Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal Agraria No. SK. 67/DDA/1968).[31]
Selanjutnya Undang-undang menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya APHT. Dengan tidak mencantumkannya secara lengkap hal-hal yang wajib disebut dalam APHT. Maka mengakibatkan akta yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. Dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT, yaitu:
1.    Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
2.    Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Apabila domisili pilihan itu tidak dicantumkan dalam APHT maka kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih;
3.    Penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;
4.    Nilai tanggungan;
5.    Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan, yakni meliputi rincian mengenai sertfikat hak atas tanah yang bersangkutan, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai pemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanah.
Selain hal tersebut di atas, dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji yang sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya APHT (Pasal 11 ayat (2) UUHT). Dalam hal ini pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan janji-janji tersebut dalam APHT. Dalam dimuatnya janji-janji itu dalam APHT yang kemudian di daftar pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji terdebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.[32]
Adapun janji-janji yang disebutkan dalam APHT sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat (2), antara lain:
1.    Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/ atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
2.    Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
3.    Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji;
4.    Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan Undang-undang;
5.    Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji;
6.    Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
7.    Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
8.    Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan dari haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
9.    Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
10.     Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
11.     Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tetap berada di tangan kreditur sampai seluruh kewajiban debitur dipenuhi sebagaimana mestinya.
Ada janji yang dilarang untuk dilakukan, yaitu janji yang disebutkan dalam Pasal 12 UUHT, yaitu dilarang diperjanjikan pemberian kewenangan kepada debitur untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji. Ketentuan tersebut diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitur dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya hutang yang dijamin. Oleh karena itu pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk serta merta menjadi pemilik objek Hak Tanggungan jika debitur cidera janji.
b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 UUHT, pamberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT. PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan berkas lainnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Dengan pengiriman oleh PPAT berarti akta dan berkas lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi di daerah dan fasilitas yang ada, serta selalu berpedoman pada tujuannya untuk didaftarkannya Hak Tanggungan itu secepat mungkin. Berkas lain yang dimaksud di sini adalah meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek Hak Tanggungan, dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/ atau surat-surat keterangan mengenai objek Hak Tanggungan. PPAT wajib melaksanakan ketentuan tersebut karena jabatannya. Sanksi atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan PPAT. [33]
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997.[34] Dengan dibuatnya buku tanah tersebut, Hak Tanggungan lahir dan kreditur menjadi kreditur pemegang Hak Tanggungan, dengan kedudukan mendahului dari kreditur-kreditur lain.
Menurut Pasal 13 ayat (4) UUHT tanggal pembuatan buku tanah Hak Tanggungan adalah hari ke-7 setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan. Jika hari ke-7 jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum.
Dalam hal hak atas tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat terlebih dahulu sebelum dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Waktu hari ketujuh yang ditetapkan sebagai tanggal buku tanah Hak Tanggungan tersebut dalam hal yang demikian, dihitung sejak selesainya pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.
Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sertifikat Hak Tanggungan diberi irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT). Dengan pencantuman irah-irah tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan, maka untuk itu dapat dipergunakan Lembaga Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan 258 Rbg.
Setelah sertifikat Hak Tanggungan selesai dibuat, kemudian sertifikat Hak Tanggungan tersebut diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan.

6.    Eksekusi Hak Tanggungan
Salah satu ciri dari Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam  pelaksanaan eksekusinya apabila dikemudian hari debitur wanprestasi. Eksekusi Hak Tanggungan yaitu terjadi apabila debitur cidera janji sehingga objek Hak Tanggungan kemudian dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain. [35] Menurut Pasal 20 ayat (1) UUHT, eksekusi Hak Tanggungan dilakukan berdasarkan:
a.    Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas dasar kewenangan dan janji yang disebut dalam Pasal 6 UUHT;
b.    Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT.
Berdasarkan Pasal 6 UUHT disebutkan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Penjualan objek Hak Tanggungan dapat juga dilakukan di bawah tangan asalkan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
Penjualan barang secara prosedural ini dimungkinkan dapat diperoleh harga yang tertinggi sehingga menguntungkan semua pihak. Hal ini dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media masa setempat, serta tidak ada pernyataan keberatan (Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUHT).
Eksekusi Hak Tanggungan dengan titel eksekutorial dapat dilakukan karena berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUHT, sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda atau alat bukti adanya Hak Tanggungan yang memuat irah-irah yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan irah-irah tersebut, sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
a.    Parate Eksekusi (Pasal 14 ayat (2) UUHT)
Dalam hal ini kreditur pemegang Hak Tanggungan harus menunjukkan bukti bahwa debitur ingkar janji dalam memenuhi kewajibannya dan dengan menyerahkan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan sebagai dasarnya. Permohonan eksekusi ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi kemudian dilakukan atas dasar perintah dan dengan Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara.
b.    Pelelangan Umum (Pasal 6 UUHT)
Pelaksanaan pelelangan umum berdasarkan pada Pasal 6 UUHT ini lebih mudah daripada “Parate Eksekusi”, karena dalam pelelangan ini tidak diperlukan perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan penjualan terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pelelangan ini langsung dapat dilakukan karena dimilikinya kekuatan eksekutorial yang termuat pada irah-irah sertfikat Hak Tanggungan tersebut, sehingga dalam hal ini kreditur pemegang Hak Tanggungan langsung dapat mengajukan permintaan penjualan objek Hak Tanggungan yang bersangkutan kepada Kantor Lelang Negara.
c.    Penjualan di Bawah Tangan (Pasal 6 UUHT)
Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, maka atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan ini wajib dilakukan menurut ketentuan PP No. 14 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, yaitu harus dilakukan dihadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.


[7] Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang, Mandar Maju, Jakarta , hal. 45-47
[8] R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermasa, Bandung, hal. 1
[9] Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 95
[10] Sudikno Mertokusumo, 1983,  Mengenal Hukum, Suatu Pengantar,  Liberty, Yogyakarta, hal. 97

[11] Soeyono dan Siti Ummu Adillah, 2003,  Diktat Mata Kuliah Hukum Kontrak,  Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Unissula, Semarang, hal. 1
[12] M. Bahsan, 2007, Op.Cit,  hal. 75-78
[13] Munir Fuadi, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra aditya Bakti, Bandung, hal. 24-28
[14] Muhammad Syafi’i Antonio, 1999, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum,  Central Bank of Indonesia dan tazkia Institut, Jakarta, hal. 218
[15] Muhammad Syafi’I Antonio, Op.Cit, hal. 185-187
[16] Ibid
[17] Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Daud Dahlan, Bunga Bank: Halal atau Haram, Makalah
[18] Muhammad Syafi’I Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 63-64.
[19] Ibrahim Hosen, dalam Muhammad Syafi’I Antonio, Op.Cit, hal. 54.
[20] Rachmadi Usman, 1999, Pasal-pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djambatan, Jakarta, hal. 41-42
[21] Subekti, 1996, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit, termasuk Hak Tanggungan, Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 39
[22] Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 70
[23] M. Bahsan , Op.Cit, hal.23-25
[24] Subekti, Op.Cit, hal. 41
[25] Sutan Remi Syahdeini, 1996, Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah yang dihadapi Oleh Pihak Perbankan, suatu Kajian Mengenai UUHT, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 20

[26] Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal. 40
[27] Subekti, Op.Cit, hal. 45-46
[28] M.Bahsan Op. Cit, hal.29-30
[29] Thomas Suyatno, 1993, Dasar-dasar Hukum Perkreditan Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 32
[30] M. Bahsan, Op. Cit, hal. 31
[31] Bambang Setijoprodjo dalam Lembaga Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum USU Medan, 1996, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan (Hasil Seminar), Citra Aditya Bakti,Bandung,  hal. 58-59

[32] Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 110
[33] Bambang Setijoprodjo dalam Lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU Medan, Op.Cit, hal. 69
[34] J. Satrio, 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 143
[35] Habib Ajie, 2000, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, hal. 22

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.    Gambaran Objek Penelitian
Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Tengaran (PD BPR BKK Tengaran) adalah sebuah perusahaan daerah milik pemerintah daerah tingkat II Kabupaten Semarang yang berkedudukan dan melaksanakan operasionalnya di kecamatan Tengaran. Secara resmi berdiri pada tanggal 21 Juni 1976 dengan nama Badan Kredit Pedesaan (BKPD), atas dasar Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Semarang Nomor 1/BKPD/ 1971. Pada tanggal 1 Januari 1973 BKPD diubah menjadi Badan Kredit Kecamatan (BKK) atas dasar Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Semarang Nomor G322/1970 yang didukung Peraturan Daerah Nomor II Tahun 1981. Pada Tanggal 8 Oktober 1991 BKK Tengaran dikukuhkan sebagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atas dasar Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 330/km.B/1991. Pada tanggal 18 April  1995 PD BPR BKK dalam pelaksanaan operasionalnya diatur Peraturan Daerah Provinsi Dati II Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 1995.
PD BPR BKK Tengaran merupakan suatu usaha pemerintah dibidang perbankan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan. Tugas pokok PD BPR BKK Tengaran hampir sama dengan tugas-tugas bank-bank lain pada umumnya, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Latar belakang dibentuknya PD BPR BKK Tengaran adalah untuk “Pembangunan Desa” (Rural Development). Khususnya diwilayah kecamatan Tengaran. Tujuan PD BPR BKK Tengaran antara lain: [36]
a.       Memberikan modal pada golongan masyarakat ekonomi lemah di wilayah pedesaan melalui kredit;
b.      Melindungi pengusaha kecil dari jeratan lintah darat;
c.       Menggerakkan prinsip gemar menabung pada masyarakat pedesaan.
Untuk melaksanakan kegiatan operasionalnya PD BPR BKK Tengaran membutuhkan sarana yang dapat menunjang tujuan pokoknya yaitu pembangunan BKK secara merata dan seragam yang ditinjau dari aspek filosofis, fungsi, dan fisik di seluruh wilayah jawa tengah. [37]
Struktur organisasi dapat diperlukan sebagai gambaran secara sistematis tentang hubungan-hubungan kerjasama dari orang-orang dalam rangka mencapai suatu tujuan. Setiap badan usaha harus mempunyai struktur organisasi yang tepat dan memuat pembagian tugas serta wewenang .
Struktur organisasi dapat menggambarkan kedudukan masing-masimg jabatan dalam suatu badan usaha sehubungan dengan wewenang dan tanggung jawab yang ada pada masing-masing bidang kerja. Sementara itu, struktur organisasi yang tepat dan jelas akan memudahkan pimpinan dalam mengadakan pengawasan maupun meminta pertanggung jawaban pada bawahannya.
BUPATI SEMARANG
 
Adapun bentuk struktur organisasi PD BPR BKK Tengaran adalah sebagai berikut: [38]

KASIE
KREDIT
 
KASIE
DANA
 
PIT SEKSI UMUM
 
BAGIAN PEMASARAN
 














 





Keterangan:
a.       Bupati Semarang
Bupati Semarang merupakan pemilik sekaligus pemegang saham PD BPR BKK. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa PD BPR BKK adalah suatu perusahaan daerah yang dimiliki oleh pemerintah daerah tingkat II Kabupaten Semarang.
b.       Dewan Komisaris
Dewan Komisaris merupakan pengawas yang mempunyai tugas menetapkan kebijaksanaan umum yang digariskan oleh pemegang saham, melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, dan pembinaan terhadap PD BPR BKK. Dewan komisaris mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
1)      Menyusun tata cara pengawasan dan pengelolaan PD BPR BKK;
2)      Melakukan pengawasan terhadap pengurusan PD BPR BKK;
3)      Menetapkan kebijaksanaan anggaran dan keuangan PD BPR BKK;
4)      Melakukan pembinaan dan pengembangan PD BPR BKK.
c.       Direksi
Direksi mempunyai tugas menyusun perencanaan, melaksanakan koordinasi dalam pelaksanaan tugas antar anggota Direksi dan melakukan pembinaan serta pengendalian terhadap bidang, sekretariat, sub bagian, seksi, cabang atau unit pelayanan berdasarkan azas keseimbangan dan keserasian. Fungsi Direksi adalah sebagai berikut:
1)      Pelaksanaan manajemen PD BPR BKK berdasarkan kebijaksanaan umum pemegang saham yang ditetapkan oleh dewan pengawas;
2)      Penetapan kebijaksanaan untuk melaksanakan pengurusan dan pengelolaan PD BPR BKK berdasarkan kebijaksanaan umum pemegang saham yang ditetapkan oleh dewan pengawas;
3)      Penyusunan dan penyampaian RKAP dan perubahannya kepada Bupati/Walikota melalui dewan pengawas untuk mendapatkan pengesahan setelah melalui pembahasan dalam rapat pemegang saham;
4)      Penyusunan dan penyampaian laporan bulanan, laporan keuangan tahunan, dan laporan-laporan lainnya yang diperlukan kepada kantor Bank Indonesia setempat dan tindasannya disampaikan kepada Badan Pembina Propinsi dan Badan Pembina Kabupaten/Kota;
5)      Penyusunan dan pengumuman laporan keuangan publikasi dan melaporkannya kepada kantor Bank Indonesia setempat dan tindasannya disampaikan kepada Badan Pembina Propinsi dan Badan Pembina Kabupaten/Kota;
6)      Penyusunan dan penyampaian laporan pertanggungjawaban tahunan kepada pemegang saham;
7)      Penyusunan dan penyampaian laporan akhir masa jabatan kepada pemegang saham.
d.      Bagian Pemasaran
 Bagian pemasaran mempunyai tugas menghimpun dana dan menyalurkannya dalam bentuk kredit sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian pemasaran membawahi bagian-bagian sebagai berikut:
1)      Seksi Kredit
Seksi kredit mempunyai tugas melaksanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan usaha perkreditan diantaranya pemasaran, pemberian kredit, penagihan, pengadministrasian, dan pemantauan kolektibilitas. Untuk melaksanakan tugasnya seksi kredit mempunyai fungsi sebagai berikut:
a)      Pelaksanaan perencanaan kredit;
b)      Penyelenggaraan usaha dengan kolektibilitas yang tinggi;
c)      Pemberian penjelasan tentang syarat-syarat dan prosedur kepada calon nasabah;
d)     Penelitian syarat-syarat calon nasabah kredit;
e)      Penganalisaan calon nasabah yang mengajukan kredit;
f)       Pemberian rekomendasi permohonan kredit yang diajukan oleh nasabah;
g)      Pelaksanaan administrasi kredit, mempersiapkan, dan meneliti perjanjian kredit;
h)      Pelaksanaan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen;
i)        Pembinaan kredit usaha kecil, kredit investasi, kredit konsumsi, program hubungan PD BPR BKK dengan kelompok peminjam, dan penanganan kredit bermasalah;
j)        Pembinaan nasabah yang kreditnya dihapusbukukan;
k)      Penagihan secara intensif dan semaksimal mungkin atas kredit yang telah dihapusbukukan;
l)        Pemberian saran dan pertimbangan mengenai langkah-langkah dan atau tindakan-tindakan yang perlu diambil di bidang tugasnya.
2)      Seksi Dana
Seksi dana mempunyai tugas melakukan usaha dan koordinasi pengembangan dana dan pembinaan hubungan nasabah PD BPR BKK. Dalam melakukan tugasnya seksi dana mempunyai fungsi sebagai berikut:
a)      Penyelenggaraan usaha pengembangan dana;
b)      Pelaksanaan administrasi keluar masuk dana;
c)      Pengelolaan rekening nasabah;
d)     Pemberian saran dan pertimbangan mengenai langkah-langkah dan atau tindakan-tindakan yang perlu diambil di bidang tugasnya.
e.       Bagian Pelayanan
Bagian pelayanan mempunyai tugas melakukan pengkoordinasian kegiatan-kegiatan pemasukan dan pengeluaran dana serta melakukan pembukuan dan penerimaan laporan dari bagian-bagian lain. Bagian pelayanan membawahi bagian-bagian sebagai berikut:

1)      Pembukuan
Seksi pembukuan mempunyai tugas melakukan pembukuan dan menerima laporan dari bagian-bagian lain. Dalam melaksanakan tugasnya seksi pembukuan mempunyai fungsi sebagai berikut:
a)      Pencatatan atas seluruh transaksi;
b)      Penyusunan laporan keuangan;
c)      Pemberian saran dan pertimbangan-pertimbangan mengenai langkah-langkah dan atau tindakan-tindakan yang perlu diambil di bidang tugasnya.
2)      Kasir
Seksi kas mempunyai tugas melaksanakan koordinasi kegiatan-kegiatan pemasukan dan pengeluaran uang. Dalam melaksanakan tugasnya seksi kas mempunyai fungsi sebagai berikut:
a)      Pengkoordinasian pengawasan, pengarahan terhadap kegiatan dan pelaksanaan tugas:
b)      Penelitian kebenaran laporan kas harian;
c)      Penyetoran dan penarikan uang antar bank;
d)     Pemegang kunci brankas;
e)      Pemberian saran dan pertimbangan-pertimbangan mengenai langkah-langkah dan atau tindakan-tindakan yang perlu diambil di bidang tugasnya.

B.  Tata Cara Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan
1.      Pemberian Kredit oleh PD BPR BKK Tengaran
PD BPR BKK dalam memberikan kredit harus mendasarkan pada prinsip kehati-hatian. Sebagai lembaga keuangan yang melepaskan uangnya kepada masyarakat, PD BPR BKK Tengaran harus bertindak hati-hati dalam menentukan siapa yang patut untuk diberikan kredit dan berapa besarnya jumlah kredit yang diberikan setelah mengetahui apa jaminan yang diberikan oleh calon debitur dan juga penerapan prinsip 5 C (Collateral, Capital, Capacity, Character, Condition of Economy)[39] dengan baik. Selain hal tersebut, PD BPR BKK Tengaran juga harus menjaga bahwa perjanjian yang dibuat dengan calon debitur tidak cacat dan memenuhi syarat-syarat sah perjanjian. Apabila sejak dini bank sudah bertindak hati-hati, dapatlah diharapkan bahwa kredit yang diberikan kepada debitur terjamin dalam pengembaliannya, yaitu dikembalikan sebelum atau tepat pada waktu yang telah diperjanjikan.
Di dalam praktik permohonan yang diajukan oleh calon debitur terlalu berlebihan. Oleh karena itu dalam mengajukan permohonan kredit perlu diperhitungkan tentang adanya penyimpangan atau hal-hal yang tidak diinginkan.[40] Dalam menyikapi hal ini PD BPR BKK Tengaran mengadakan “Survey on The Spot” atau peninjauan tempat dimana barang jaminan berada. Dari hasil “Survey on The Spot” petugas dapat membuat laporan penilaian jaminan kredit yang kemudian diserahkan kepada direksi. Syarat calon debitur yang mengajukan kredit antara lain:[41]
a.  Syarat Permohonan Kredit
1)      Calon debitur merupakan penduduk yang berdomisili di kecamatan Tengaran  dan sekitarnya yang berpenghasilan rendah;
2)      Calon debitur memiliki usaha yang produktif.
b. Syarat Pengajuan Kredit
1)   Calon debitur mengisi formulir pengambilan kredit yang telah disediakan;
2)   Formulir diketahui dan diperkuat oleh Kepala Desa atau Kepala Kelurahan setempat.
Selain syarat tersebut calon debitur juga harus melengkapi syarat sebagai berikut:
a.       Formulir tanda penerimaan jaminan yang berisi tentang barang yang dijadikan jaminan, apabila barang jaminan berupa hak atas tanah maka terlebih dahulu harus dibuatkan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak tanggungan) atau APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) pada Notaris yang ditunjuk;
b.      Formulir penyerahan hak milik jaminan. Formulir ini berisi daftar barang-barang jaminan. Selanjutnya yang menerangkan sebagai kuasa adalah PD BPR BKK Tengaran dan surat ini dikuatkan oleh pihak yang berwenang;
c.       Surat kuasa menjual. Yaitu surat yang menerangkan kesanggupan calon debitur apabila ia tidak dapat melunasi hutangnya setelah jatuh tempo maka barang yang dijadikan jaminan tersebut menjadi milik PD BPR BKK, yang kemudian jaminan tersebut dapat dilelang secara umum. Dari hasil pelelangan tersebut, digunakan untuk melunasi biaya pokok kredit dan kelebihannya dikembalikan kepada debitur.
Pada saat pengambilan kredit oleh debitur tidak dapat dikuasakan kepada orang lain namun harus secara langsung oleh yang bersangkutan dan harus menunjukkan identitas diri. Jika ingin mengajukan tambahan kredit maka debitur harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Pinjaman kredit yang terdahulu telah lunas;
b.      Angsuran kredit yang terdahulu baik, lancar, dan pengembaliannya sesuai jangka waktu yang telah ditentukan;
c.       Usaha yang dilakukan debitur mengalami perkembangan dengan pemberian kredit yang terdahulu.
Apabila syarat-syarat tersebut telah dipenuhi maka untuk selanjutnya surat perjanjian pinjaman penandatanganannya dilakukan oleh petugas dan surat kuasa tidak berlaku lagi. Pemberian kredit oleh PD BPR BKK Tengaran kepada masyarakat dilaksanakan dengan mudah, murah, dan cepat hal ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat menengah ke bawah.[42]
Di dalam pelaksanaan perjanjian kredit tersebut menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu kreditur (PD BPR BKK Tengaran) dan debitur  memiliki beberapa hak dan terikat pada beberapa kewajiban yang wajib dipenuhi guna menjamin rasa saling percaya oleh para pihak serta kegiatan perkreditan dapat dilaksanakan dengan lancar. Beberapa hak dan kewajiban tersebut antara lain sebagai berikut: [43]
a.       Hak Kreditur
1)      Menerima bunga sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama;
2)      Menegur atau memperingatkan apabila dalam pembayaran angsuran kredit dinyatakan kurang lancar atau diragukan;
3)      Menerima administrasi dan provisi.
b.      Kewajiban Kreditur
1)      Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada debitur;
2)      Memberikan informasi mengenai kredit;
3)      Mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian kredit;
c.       Hak Debitur
1)      Menerima Kredit yang diberikan oleh kreditur;
2)      Menerima tabungan di akhir pelunasan;
3)      Debitur diasuransikan. Artinya, kredit yang ditanggung oleh pihak asuransi. Yang dijaminkan adalah jumlah plafon kreditnya. Apabila debitur meninggal dunia sebelum jatuh tempo pembayaran kredit maka kredit dapat diklaim oleh pihak asuransi.
d.      Kewajiban Debitur
1)      Membayar kredit dengan tertib;
2)      Membayar kredit tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang telah diperjanjikan;
3)      Mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian kredit.
2.   Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Bagi debitur yang melakukan kredit di PD BPR BKK Tengaran, jaminan Hak Tanggungan yang berupa hak atas tanah harus dibuatkan APHT pada Notaris. Dalam hal ini subjek dari Hak Tanggungan yaitu orang perseorangan atau badan hukum yang wajib membuat APHT kepada pejabat yang berwenang yaitu PPAT. Subjek Hak Tanggungan yaitu pemilik hak atas tanah mendaftarkan Objek Hak Tanggungan yang berupa tanah. Di dalam mendaftarkan tanah wajib dilakukan sendiri oleh pemilik hak atas tanah kecuali yang bersangkutan tidak dapat hadir pada penandatanganan APHT, maka oleh pemilik hak atas tanah dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) secara otentik.[44]
3.   Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan
Setelah kredit debitur disetujui oleh pihak PD BPR BKK Tengaran dengan syarat yang telah ditentukan, maka pihak PD BPR BKK Tengaran bersama-sama dengan debitur mengadakan penandatanganan perjanjian kredit yang mencantumkan mengenai: [45]
a.       Jumlah kredit yang diberikan;
b.      Addendum kredit yang berisi tentang perubahan kredit, penambahan kredit, dan nomor perjanjian;
c.       Jangka waktu kredit;
d.      Agunan yang diserahkan yang meliputi tempat dan siapa pemiliknya guna pengikatan barang jaminan.
Setelah semua berkas-berkas telah lengkap, maka dikeluarkanlah APHT. APHT ini dibuat di hadapan PPAT dimana tanah tersebut berada.[46]
UUHT merupakan Undang-undang yang diamanatkan oleh Pasal 51 UUPA dan diharapkan dapat memenuhi tuntutan pembangunan bagi mereka yang membutuhkan dana yang sebagian pembiayaannya diperoleh dari kegiatan pemberian fasilitas kredit.
Dalam kegiatan tersebut diperlukan adanya jaminan yang mempunyai kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah sebagai pemberian Hak Tanggungan yang nantinya akan memperoleh kedudukan yang diutamakan (droit de preference). Di dalam membebankan Hak Tanggungan tersebut melibatkan pejabat-pejabat yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris dalam hal pembuatan akta serta kepala kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal pencatatan keterangan dalam buku tanah. Ketua Pengadilan Negeri apabila terjadi sengketa, yang pada setiap tahap pemberian Hak Tanggungan dapat memenuhi ciri-ciri yang tercantum dalam penjelasan UUHT dalam butir 3 sub c dan d, yaitu memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan juga mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Kegiatan pembebanan Hak Tanggungan yang dimaksudkan untuk menjamin hutang debitur dan kreditur dimulai dengan janji akan memberikan Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan hutang tertentu dari debitur kepada kreditur. Janji tersebut wajib dituangkan dalam perjanjian hutang piutang atau perjanjian lainnya yang tidak dapat dipisahkan, kemudian disusul dengan pemberian Hak Tanggungan oleh pemegang hak atas tanah, setelah itu dibuat APHT dihadapan PPAT yang wilayah kerjanya meliputi letak bidang tanah yang dijaminkan, selanjutnya diikuti dengan pendaftaran Hak Tanggungan di kantor pertanahan. Dengan dibuatnya buku tanah Hak tanggungan dan pencatatan dalam buku tanah hak atas tanah menjadi objek Hak Tanggungan maka lahirlah Hak Tanggungan
Pada umumnya pemberian Hak Tanggungan oleh debitur atau orang yang memberikan jaminan Hak Tanggungan kepada kreditur atau bank karena adanya transaksi kredit, dimana bank menilai atau merasa yakin bahwa nasabah layak diberi kredit dan dilain pihak untuk menjamin pelunasan kredit tersebut nasabah menyerahkan agunan berupa tanah beserta benda yang melekat diatasnya.
Benda jaminan diberikan oleh debitur kepada bank sebagai jaminan atas kredit yang diambil oleh debitur. Pengikatan jaminan kredit yang berupa harta milik debitur yang dilakukan oleh pihak bank, tentunya debitur yang bersangkutan takut akan kehilangan hartanya tersebut. Hal ini akan mendorong debitur berupaya untuk melunasi kreditnya kepada bank agar harta yang dijadikan jaminan kredit tersebut tidak hilang karena harus dicairkan oleh bank.
Nilai jaminan kredit yang diserahkan debitur kepada bank lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kredit yang diberikan bank kepada debitur yang bersangkutan. Hal ini memberikan motivasi kepada debitur untuk menggunakan kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usahanya secara baik, mengelola kondisi keuangan secara hati-hati sehingga dapat melunasi kreditnya agar dapat menguasai kembali hartanya. Tidak dapat dipungkiri siapapun juga pasti tidak ingin kehilangan harta/asset karena merupakan sesuatu yang dibutuhkan dan mempunyai nilai-nilai tertentu.
Pemberian kredit oleh PD BPR BKK Tengaran didasarkan pada prinsip kehati-hatian yaitu bank harus bertindak hati-hati dalam menentukan siapa yang patut untuk diberikan kredit dan berapa besarnya jumlah kredit yang diberikan setelah mengetahui jaminan yang diberikan oleh calon debitur. Bank juga harus menjaga bahwa perjanjian yang dibuat dengan calon debitur tidak cacat dan memenuhi syarat-syarat sah perjanjian. Hal ini dilakukan oleh PD BPR BKK Tengaran tidak semata-mata untuk mencapai keuntungan, akan tetapi tujuan yang lebih penting adalah untuk mempertahankan kelangsungan usahanya dan menjaga kepercayaan masyarakat pada PD BPR BKK Tengaran sendiri.
Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan bertujuan untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan agar kepastian hukumnya terjamin, baik itu meliputi kepastian tentang subjek haknya maupun objek haknya.
Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum antara pihak kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pihak debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan serta mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

C.  Hambatan-Hambatan yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan pada PD BPR BKK Tengaran dan Cara Mengatasi pada PD BPR BKK Tengaran
PD BPR BKK Tengaran menghendaki bahwa setiap kredit yang diberikan akan mengalami kelancaran. Di dalam operasionalnya tidak selamanya PD BPR BKK Tengaran kelancaran, namun juga terdapat kendala-kendala atau permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh PD BPR BKK Tengaran  dalam pemberian kredit khususnya dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan. Guna menjamin kelancaran kreditnya, PD BPR BKK Tengaran melakukan upaya-upaya untuk mengatasi setiap permasalahan-permasalahan yang timbul. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Tanah yang Belum Bersertifikat Dijadikan Jaminan Hak Tanggungan dalam Perjanjian Kredit
Dalam pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan, objek Hak Tanggungan yaitu tanah harus mempunyai sertifikat. Namun di dalam kenyataannya banyak tanah-tanah di daerah pedesaan yang belum didaftarkan, sehingga masyarakat pedesaan tidak mempunyai sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah. Ketika masyarakat membutuhkan dana untuk kelancaran  kegiatan usahanya, mereka melakukan pinjaman kredit kepada bank. Namun di dalam pemberian kredit, bank meminta jaminan berupa benda bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan untuk jaminan kreditnya. Sementara itu, sebagian besar harta yang dimiliki masyarakat adalah tanah sehingga mereka memberikan tanahnya sebagai jaminan kredit pada bank. Dalam hal ini, PD BPR BKK Tengaran tidak menerima kredit dengan jaminan tanah yang belum memiliki sertifikat kecuali dengan pemberian kredit kepercayaan. Kredit kepercayaan yaitu kredit yang diberikan oleh PD BPR BKK Tengaran kepada masyarakat tanpa adanya barang jaminan tetapi jangka waktu pengembalian kreditnya hanya 3 (tiga) bulan saja.[47]
b.      Upaya yang Dilakukan PD BPR BKK Tengaran dalam Mengatasi Kredit Macet
Di dalam praktik tidak semua kredit yang diberikan oleh bank berjalan lancar. Sebagian ada yang kurang lancar dan sebagian macet. Dalam mengatasi hal ini, PD BPR BKK Tengaran telah mempersiapkan kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi hal tersebut. Untuk mengatasi debitur yang mulai tersendat-sendat dalam melakukan kewajibannya membayar kredit, maka PD BPR BKK Tengaran mengupayakan pendekatan kepada debitur dengan cara memperingatkan secara lisan sebagai peringatan pertama. Apabila hal ini tidak ditanggapi oleh debitur, maka PD BPR BKK Tengaran melayangkan surat tertulis sebagai peringatan kedua dan apabila hal ini tidak ditanggapi juga oleh debitur, maka barang jaminan yang digunakan sebagai jaminan kredit akan dilelang secara umum oleh PD BPR BKK Tengaran sebagai pengganti pelunasan kredit dan sisa dari hasil pelelangan tersebut dikembalikan kepada debitur. Sebelum pelelangan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pemberitahuan mengenai pelelangan terhadap barang jaminan debitur, seperti yang telah diperjanjikan pada perjanjian kredit. Dalam pelelangan tersebut debitur ikut serta dalam pelaksanaan lelang.[48]
Dalam hal kredit dengan jaminan tanah, belum pernah dilakukan pelelangan maupun penjualan terhadap tanah jaminan yang dikarenakan kredit macet. Pada umumnya kredit dengan jaminan tanah sebagian besar mengalami kelancaran meskipun dalam pembayarannya sebagian melewati batas jangka waktu yang telah diperjanjikan. Hal ini dikarenakan PD BPR BKK Tengaran masih mengacu pada Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK), jadi pemberian kredit ditentukan oleh besar kecilnya nilai dari jaminan kredit yang diberikan oleh debitur.
Akan tetapi sebelum melakukan upaya tersebut diatas, terlebih dahulu PD BPR BKK Tengaran mengadakan penyelidikan terhadap sebab-sebab terjadinya kemacetan kredit tersebut. Jika penyebabnya adalah faktor eksternal seperti debitur tertimpa musibah bencana alam, maka PD BPR BKK Tengaran tidak perlu lagi mengadakan analisis. Yang perlu dilakukan adalah membantu debitur agar segera memperoleh penggantian dari pihak asuransi dan menawarkan apakah debitur masih menghendaki berjalannya usaha atau debitur akan menutup kredit yang masih tersisa.
Apabila sebab terjadinya kemacetan kredit dikarenakan faktor internal, misalnya debitur pailit maka, PD BPR BKK Tengaran masih dapat mencarikan jalan keluar untuk menormalisasi keadaan sehingga usaha yang dijalankan oleh debitur dapat stabil dan PD BPR BKK Tengaran melakukan restrukturisasi kredit terhadap kredit debitur yang bersangkutan dengan catatan usaha yang dijalankan oleh debitur produktif dan berkembang dengan baik. Dengan dilakukannya upaya-upaya tersebut diharapkan debitur dapat memenuhi kewajibannya dalam membayar kreditnya.[49]
Guna kelancaran kreditnya, PD BPR BKK Tengaran melakukan upaya-upaya untuk mengatasi setiap hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan. PD BPR BKK Tengaran memberikan kredit kepercayaan yaitu kredit tanpa jaminan yang jangka waktunya hanya tiga (3) bulan saja dalam hal debitur memberikan jaminan tanah yang belum bersertifikat. Akan tetapi pada akhir tahun 1998, pemberian kredit kepeercayaan dihapuskan hal ini dilakukan karena banyaknya kredit macet yang terjadi pada waktu itu.
Pelelangan umum terhadap barang jaminan debitur yang berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak dilakukan apabila debitur tidak dapat melunasi kreditnya pada jangka waktu yang telah ditentukan, yang sebelumnya dilakukan pemberitahuan kepada debitur terhadap pelelangan benda jaminan kredit. Dalam hal ini debitur ikut serta dalam pelaksanaan lelang. Akan tetapi pelaksanaan lelang tidak dilakukan oleh badan lelang yang sah tetapi dilaksanakan sendiri oleh PD BPR BKK Tengaran dengan keikutsertaan debitur jadi kemungkinan dapat terjadi pelelangan secara illegal.
Dalam mengatasi kredit macet, PD BPR BKK Tengaran melakukan penyelidikan terhadap sebab-sebab terjadinya kemacetan kredit. Kemacetan kredit terjadi dikarenakan faktor eksternal misalnya debitur terkena bencana alam dan faktor internal misalnya debitur pailit. Dalam hal ini PD BPR BKK Tengaran berupaya untuk membantu debitur dengan cara menormalisasi keadaan sehingga usaha debitur kembali stabil dan melakukan restrukturisasi kredit yang bersangkutan dengan catatan usaha yang dijalankan oleh debitur berkembang dengan baik.



[36] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit, Tanggal 4 Pebruari 2008.
[37] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit, tanggal  4 Pebruari 2008.
[38] Arsip PD BPR BKK Tengaran.
[39] Hasil wawancara dengan bapak Sudanar, selaku Direktur, Tanggal 6 Pebruari 2008
[40] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo,  selaku Kasie Kredit, Tanggal 13 Pebruari 2008
[41] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie kredit, Tanggal 13 Pebruari 2008

[42] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo,  selaku Kasie Kredit, Tanggal 13 Pebruari 2008.
[43] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit, Tanggal 22 Pebruari 2008.
[44] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo,selaku Kasie Kredit, Tanggal 13 Pebruari 2008
[45] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo,selaku Kasie Kredit, Tanggal 13 Pebruari 2008
[46] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit, Tanggal 13 Pebruari 2008
[47] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit, Tanggal 29 Pebruari 2008. Pernah terjadi kemacetan kredit pada akhir Desember Tahun 1997 yang disebabkan  pemberian kredit kepercayaan melampaui batas pemberian dan banyak debitur ingkar janji. Untuk mengatasi hal ini PD BPR BKK Tengaran menghapuskan pemberian kredit kepercayaan pada akhir tahun 1998.
[48] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit, Tanggal 11 Maret 2008. Pernah terjadi pelelangan terhadap jaminan benda bergerak berupa motor milik nasabah yang bernama   X pada Tanggal 15 Juli 2006.

[49]Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit, Tanggal 22 Pebruari 2008.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, 1986. Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung.
Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Daud Dahlan, Bunga Bank: Halal atau Haram, Makalah.

Boedi Harsosno, 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi, dan Pelaksanaan. Djambatan, Jakarta.

Djuhaendah Hasan, 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal. Ctra Aditya Bakti, Bandung.

Habib Ajie, 2000. Hak Tanggugan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah. Mandar Maju, Bandung.

Hermansyah, 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Kencana, Jakarta.
J. Satrio, 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2. CitraAditya Bakti, Bandung.

Lembaga Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum USU Medan, 1996. Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan (Hasil Seminanar). Citra Aditya Bakti, Bandung.

M. Bahsan, 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Muhamad Djumhana, 1996. Hukum Perbankan Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhammad Syafi’I Antonio, 1999. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum. Central Bank of Indonesia dan Tazkia Institut, Jakarta.

                                                , 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Gema Insani, Jakarta.

Munir Fuadi, 1996. Hukum Perkreditan Kontemporer. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Purwahid Patrik, 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang. Mandar Maju, Bandung.
R. Subekti, 1987. Hukum Perjanjian. Intermasa, Bandung.
               , 1996. Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta.
               , 1996. Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Termasuk Hak Tanggungan, Menurut Hukum Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rachmadi Usman, 1999. Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah. Djambatan, Jakarta.

Roni Hanitijo Soemitro, 1998. Metode Penelitian Hukum. Gahalia Indonesia, Semarang.

Soeyono dan Siti Ummu Adillah, 2003. Diktat Mata Kuliah Hukum Kontrak. Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Unissula, Semarang.

Sudikno Mertokusumo, 1983. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty,  Yogyakarta.

Sutan Remi Syahdeini, 1996. Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-KetentuanPokok, dan Masalah-Masalah yang Dihadapi oleh Pihak Perbankan, Suatu Kajian Mengenai UUHT. Air Langga University Press, Surabaya.

Thomas Suyatno, 1993. Dasar-Dasar Hukum Perkreditan Edisi Ketiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yan Pramadya Puspa, 1977. Kamus Hukum. Aneka Ilmu, Semarang.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
BAB IV
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Berdasarkan data yang telah diperoleh serta hasil-hasil pembahasan permasalahan pada bab III, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1.      Tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan pada PD BPR BKK Tengaran adalah sebagai berikut:
a.       Pemberian kredit oleh PD BPR BKK Tengaran didasarkan pada prinsip kehati-hatian yaitu bank harus bertindak hati-hati dalam menentukan siapa yang patut untuk diberikan kredit dan berapa besarnya jumlah kredit yang diberikan setelah mengetahui jaminan yang diberikan oleh calon debitur. Bank juga harus menjaga bahwa perjanjian yang dibuat dengan calon debitur tidak cacat dan memenuhi syarat-syarat sah perjanjian.
b.      Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan bertujuan untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan agar kepastian hukumnya terjamin, baik itu meliputi kepastian tentang subjek haknya maupun objek haknya.
c.       Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum antara pihak kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pihak debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan serta mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
2.      PD BPR BKK Tengaran melakukan upaya-upaya untuk mengatasi setiap hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan guna kelancaran kredit yang dilepaskan dengan memberikan kredit kepercayaan. Dalam mengatasi kredit macet, PD BPR BKK Tengaran melakukan penyelidikan terhadap sebab-sebab terjadinya kemacetan kredit. Kemacetan kredit terjadi dikarenakan faktor eksternal (misalnya debitur terkena bencana alam) dan faktor internal (misalnya debitur pailit). Dalam hal ini PD BPR BKK Tengaran berupaya untuk membantu debitur dengan cara menormalisasi keadaan sehingga usaha debitur kembali stabil dan melakukan restrukturisasi kredit yang bersangkutan dengan catatan usaha yang dijalankan oleh debitur berkembang dengan baik. Dengan dilakukannya upaya-upaya tersebut diharapkan debitur dapat memenuhi kewajibannya dalam pembayaran kredit.

B.     SARAN
1.      Bank sebagai pemegang peranan dalam pembangunan di bidang perekonomian hendaknya terus mengupayakan langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kredit perbankan dengan tetap memelihara kestabilan ekonomi. Terutama dalam memperhatikan kelancaran kredit usaha kecil pada masyarakat pedesaan.
2.      Pelaksanaan pengikatan jaminan debitur dengan menggunakan ketentuan UUHT hendaknya semakin dipermudah bagi debitur, sehingga pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan ini tidak mempersulit pihak debitur dan pelaksanaannya dapat berjalan lancar. Dan dengan diundangkannya Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan dapat menampung sekaligus mengamankan kegiatan perkreditan dalam upaya memenuhi kebutuhan tersedianya dana untuk menunjang kegiatan pembangunan.
3.      PD BPR BKK Tengaran diharapkan untuk selalu menjaga kepercayaan nasabah yaitu dengan cara memberikan pelayanan yang baik dan meningkatkan profesionalisme baik dari segi manajemen, operasional, organisasi, serta administrasi.

1 komentar:


  1. Apakah Anda membutuhkan pinjaman untuk membayar tagihan, mengembangkan bisnis skala kecil atau menengah Anda? Ibu Elizabeth Louis Pinjaman Perusahaan memberikan kesempatan untuk membuat impian Anda menjadi kenyataan dengan memberikan pinjaman kepada individu swasta atau pemerintah dan Perusahaan dengan tingkat bunga 2% untuk awal untuk setiap jumlah yang dibutuhkan dan dengan jadwal pembayaran yang fleksibel. Hubungi Ibu Elizabeth Louis untuk LOAN Anda hari ini melalui email: elizabethlouisloancompany@gmail.com

    BalasHapus