BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan
spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas
sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal Pembangunan nasional
perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya.
Peningkatan derajat
kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan
kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan
narkotika dan obat-obatan jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai
obat-obatan untuk kesehatan, juga digunakan untuk percobaan dan penelitian yang
diselenggarakan pemerintah dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan
mendapat ijin dari Menteri Kesehatan.
Pada era
globalisasi ini masyarakat lambat laun berkembang, dimana perkembangan itu
selalu diikuti proses penyesuaian diri yang kadang-kadang proses tersebut
terjadi secara tidak seimbang. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap
norma-norma tersebut semakin sering terjadi dan kejahatan semakin bertambah,
baik jenis maupun bentuk polanya semakin kompleks. Perkembangan masyarakat itu
disebabkan karena ilmu pengetahuan dan pola pikir masyarakat yang semakin maju
Dan masyarakat
berusaha mengadakan pembaharuan-pembaharuan di segala bidang. Namun kemajuan teknologi tidak selalu
berdampak positif, bahkan ada kalanya
berdampak negatif. Maksudnya adalah dengan kemajuan teknologi juga ada
peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi yang canggih.
Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mampu
menciptakan penanggulangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan
terlarang.
Akhir-akhir ini
kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang
dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat
penegak hukum di harapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut
guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia
khususnya bagi generasi penerus bangsa.
Diantara aparat
penegak hukum yang juga mempunyai peran penting terhadap adanya kasus tindak
pidana narkoba ialah " Penyidik ", dalam hal ini penyidik POLRI,
dimana penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus
pelanggaran tindak pidana narkoba.
Dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika[1]
dan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika[2]
didalamnya diatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, dengan dikeluarkanya
Undang-Undang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses
penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak
pidana narkoba dewasa ini.
Efektifitas
berlakunya Undang-Undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak
umum, dalam hal ini seluruh intansi yang terkait langsung, yakni penyidik Polri
serta para penegak hukum yang lainnya. Disisi lain hal yang sangat penting
adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna
menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang No. 5 tahun
1997 dan Undang-Undang No. 22 tahun 1997. Maka peran penyidik bersama masyarakat
sangatlah penting dalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus tindak
pidana Narkoba yang semakin marak dewasa ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari
uraian latar belakang tersebut di atas , maka penulis ingin mengupas beberapa
Permasalahan yang dijadikan obyek di dalam penulisan skripsi ini adalah :
1.
Sampai sejauh mana
peranan penyidik dalam menjalankan tugas untuk menangani tindak pidana Narkoba?
2.
Bagaimana
langkah-langkah penyidik dalam mengungkap masalah terhadap seseorang yang
melakukan tindak pidana Narkoba?
3.
Hambatan-hambatan
apa yang ditemui para penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku tindak pidana
narkoba ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang
ingin dicapai dalam penyusunan atau penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk mengetahui
serta mempelajari secara lebih mendalam bagaimana peranan penyidik dalam
membantu proses penyelesaian kasus tindak pidana Narkoba.
2.
Penulis ingin
mengetahui bagaimana penjatuhan sanksi terhadap para pelaku dan pengedar
narkoba.
3.
Penulis ingin mengetahui
kendala-kendala apa yang dihadapi oleh penyidik dalam melaksanakan tugasnya
tersebut.
4.
Penulis ingin
mengetahui sejauh mana peranan penyidik didalam membantu proses penyelesaian
kasus tindak pidana narkoba yang terjadi didalam masyarakat.
D. Metode Penelitian
Sebagaimana
lazimnya dalam penulisan skripsi ini diperlukan data-data dimana data-data
tersebut diperoleh dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
1.
Sumber Data
a. Studi Kepustakaan
Yaitu dilakukan dengan cara mempelajari, mengumpulkan pendapat
para pakar hukum yang dapat dibaca dari literatur, yurisprudensi,
majalah-majalah dan koran-koran yang kebetulan memuat tentang masalah yang
diteliti.
b. Studi Lapangan
Yaitu dilakukan dengan cara melakukan penelitian langsung
pada obyek penelitian.
2. Pengumpulan data, yaitu pengumpulan
data dari lapangan dengan menggunakan beberapa teknik diantaranya adalah :
a. Teknik observasi,
Teknik pengumpulan data dengan cara melihat atau
mengamati langsung pada obyek penelitian di lapangan.
b. Teknik wawancara,
Adalah teknik pengumpulan data dengan cara wawancara
langsung dengan pihak yang erat hubungannya dengan penelitian agar data yang
diperoleh lebih jelas dan akurat.
c. Teknik Dokumentasi
Adalah teknik pengumpulan data yang diperoleh dari
dokumen yang berupa arsip atau naskah lainnya yang diperoleh dari instansi yang
berhubungan dengan penelitian
3. Analisa Data
Data-data yang
terkumpul akan disusun secara deskriptif kualilatif [3]
yaitu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan cara memaparkan data-data
yang diperoleh dari lapangan baik data primer maupun data sekunder. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan suatu kebenaran yaitu dengan menguraikan data
yang sudah terkumpul sehingga dengan demikian dapat dilakukan pemecahan
masalah.
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih
memudahkan mengikuti uraian skripsi ini, maka disusun menurut urutan sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan. Disini penulis terlebih dahulu
mengemukakan tentang latar belakang Permasalahan, selanjutnya diuraikan tentang
perumusan masalah yaitu peranan penyidik dalam membantu proses penyelesaian
tindak pidana narkoba, dimana hal itu sangat penting untuk menentukan
batas-batas yang akan dibahas dan untuk memberikan pengertian dan keterangan
yang dimaksud oleh judul penelitian ini. Dan selanjutnya bab ini ditutup dengan
sistematika penulisan, dimana didalamnya memuat pembahasan seluruh isi
penulisan
Bab II yaitu mengenai tinjauan umum tentang penyidikan
dan pengertian tentang narkoba, yang membahas pengertian penyidik dan
syarat-syarat penyidik, serta proses penyidikan perkara itu dilakukan dan upaya
penyidik dalam memperoleh kebenaran secara materiil terhadap barang bukti yang
didalamnya membahas pula mengenai macam-macam alat bukti serta upaya penyidik
dalam memperoleh kebenaran barang bukti, baik melalui pemeriksaan tempat
kejadian perkara, penggeledahan dan sebagainya oleh penyidik guna mencari
barang bukti yang tertinggal dalam suatu peristiwa pidana. Selanjutnya
pengertian tentang narkotika dan obat-obatan serta pembahasannya.
Bab III, yaitu mengenai peranan penyidik didalam membantu
proses penyelesaian terhadap kasus tindak pidana narkoba dan hambatan-hambatan
yang dihadapi oleh penyidik dalam melaksanakan tugasnya, serta dalam bab ini
membahas pula tentang penjatuhan sanksi terhadap para pelaku tindak pidana
narkoba.
Bab IV, atau bab penutup dari sistematika penulisan
skripsi ini, yakni menyangkut kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG PENYIDIK, SYARAT PENYIDIK, PROSES PENYIDIKAN PERKARA DAN PENGERTIAN
NARKOBA.
A. Pengertian
Penyidik
Menurut pasal 1
butir (1) KUHAP penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau
pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang
untuk melakukan penyidikan. Dan karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1.
menerima laporan
atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2.
melakukan tindakan
pertama pada saat ditempat kejadian;
3.
menyuruh berhenti
seorang tersangka serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
tersangka;
4.
melakukan
penangkapan,penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
5.
melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat;
6.
mengambil sidik
jari dan memotret seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana;
7.
memanggil orang
untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8.
mendatangkan
seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
pemeriksaan perkara;
9.
mendatangkan
seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
pemeriksaan perkara;
10.
mengadakan
penghentian penyidikan;
sedangkan pada pasal 6 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa:
“penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1)
huruf (b) mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing dan dalam Pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi
dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf (a) KUHAP.”
Sedangkan
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara-cara
yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangka. Menurut Gerson Bawengan bahwa, tujuan penyidikan adalah
untuk :
“Menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan
memberikan bukti-bukti mengenai kesalahan yang telah dilakukan. Untuk mencapai
maksud tersebut, maka penyidik akan menghimpun keterangan-keterangan dengan
fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu”.[4]
Selanjutnya yang dimaksud dengan menghimpun keterangan menurut Gerson Bawengan
adalah :
1
fakta tentang
terjadinya suatu kejahatan;
2
identitas daripada
sikorban;
3
tempat yang pasti dimana
kejahatan dilakukan;
4
waktu terjadinya
kejahatan;
5
motif, tujuan serta
niat;
6
identitas Pelaku
Kejahatan .[5]
a) Narkotika
Pengertian Narkotika adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
b) Psikotropika
Pengertian dari Psikotropika adalah zat atau obat, baik
alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
B. Syarat-Syarat Penyidik
Sebagaimana telah
disebutkan dalam pasal 1 butir (1) dan pasal 6 ayat (1) KUHAP bahwa yang dapat
dikatakan sebagai penyidik yaitu pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
Undang-Undang. Seseorang yang ditunjuk sebagai penyidik haruslah memenuhi
persyaratan-persyaratan yang mendukung tugas tersebut, seperti misalnya :
mempunyai pengetahuan, keah1ian disamping syarat kepangkatan. Namun demikian
KUHAP tidak mengatur masalah tersebut secara khusus. Menurut pasal 6 ayat (2)
KUHP, syarat kepangkatan pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang
berwenang menyidik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian dalam
penjelasan disebutkan kepangkatan yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah
itu diselaraskan dengan kepangkatan penuntut umum dan hakim pengadilan umum.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 ( PP No. 27 / 1983 )
tentang Pelaksanaan KUHAP ditetapkan kepangkatan penyidik Polri serendah
rendahnya Pembantu Letnan Dua sedangkan bagi Pegawai Negeri Sipil serendah
rendahnya Golongan II B. Selaku penyidik Polri yang diangkat Kepala Kepolisian
negara Republik Indonesia yang dapat melimpahkan wewenangnya pada pejabat
polisi yang lain.
Tugas Polri sebagai
penyidik dapat dikatakan menjangkau seluruh dunia . Kekuasaan dan wewenangnya
luar biasa penting dan sangat sulit Di Indonesia, polisi memegang peranan utama
penyidikan hukum pidana umum, yaitu pelanggaran pasal-pasal KUHP. Sedangkan
penyidikan terhadap tindak pidana khusus,misalnya : korupsi,penyelundupan dan
sebagainya menurut ketentuan pasal 284 ayat (2) KUHAP junto pasal 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 dilakukan oleh penyidik ( Polisi dan Pegawai
Negeri Sipil, Jaksa dan pejabat Penyidik lain yang berwenang ). Penyidik
Pegawai Negeri Sipil menurut penjelasan pasal 7 ayat (2), antara lain : Pejabat
Bea Cukai, Pejabat Imigrasi,Pejabat Kehutanan dan lain-lain.Suatu perkecualian
di KUHAP dan PP No.27 / 1983 adalah ketentuan dalam Undang-Undang Zona Ekonomi
Eksklusif Nomor 5 Tahun 1983 ( UU ZEE No. 5 /1983 ) yang menentukan bahwa
penyidik pelanggaran UU tersebut adalah Angkatan Laut Republik Indonesia. Jadi
bukan Pegawai Negeri Si pil.
Dalam penjelasan
pasal 17 PP No. 27 /1983 ditentukan bahwa penyidikan dalam perairan Indonesia,
Zona Tambahan , Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif dilakukan oleh
perwira Angkatan Laut dan penyidik lainnya yang ditentukan UU. Tetapi khusus
untuk pelanggaran ZEE sesuai dengan UU No. 5 / 1983 penyidikan hanya dilakukan
oleh Angkatan Laut Republik . Penyidikan terhadap ZEE tersebut diberikan khusus
secara mandiri kepada Angkatan Laut Republik Indonesia disebabkan batas wilayah
Republik Indonesia hanya 12 Mil saja sedangkan ZEE meliputi 200 Mil. Wajarlah
dengan peralatan yang memadai, penyidikan hanya diberikan kepada Angkatan Laut
Republik Indonesia.
Wewenang polisi
untuk menyidik meliputi pula menentukan kebijaksanaan. Hal ini sangat sulit
dilaksanakan karena harus membuat suatu pertimbangan , tindakan apa yang akan
diambil pada saat yang singkat sewaktu menangani pertama kali suatu tindak
pidana disamping harus mengetahui hukum pidananya. Sebelum penyidikan dimulai ,
penyidik harus dapat memperkirakan tindak pidana apa yang telah terjadi
.Perundang-undangan pidana mana yang mengaturnya agar penyidikan dapat terarah
pada kejadian yang sesuai dengan perumusan tindak pidana itu. Penyidikan
tentunya diarahkan ada pembuktian yang dapat mengakibatkan tersangka dapat
dituntut dan dihukum . Akan tetapi tidak jarang terjadi dalam proses peradilan
pidana, penyidikan telah dilakukan berakhir dengan pembebasan terdakwa. Hal ini
tentu saja akan merusak nama baik polisi dalam masyarakat seperti dikatakan
oleh Skolnick yang dikutip oleh Andi Hamzah, bahwa :
“Seringkali tujuan polisi ialah supaya hampir semua
tersangka yang dilahan dituntut.diadili dan dipidana dan menurut pandangan
polisi setiap kegagalan penuntutan dan pemidanaan merusak kewibawaannya dalam
masyarakat. Penuntut Umum pun tak mampu menuntut, manakala polisi memperkosa
hak-hak tersangka dalam proses, karena perkosaan yang demikian mengakibatkan
bebasnya perkara itu dipengadilan”.[6]
Apabila diperhatikan secara seksama.kegagalan suatu
penyidikan disebabkan karena faktor
kualitas pribadi penyidiknya karena berhasilnya suatu penyidikan , selain
memperhatikan kepangkatan perlu juga dilatar belakangi pendidikan yang memadai
mengingat kemajuan tekhnologi dan metode kejahatan yang terus berkembang mengikuti arus modernisasi sehingga jangan
sampai tingkat pengetahuan penyidik jauh
ketinggalan dari pelaku kejahatan . Penyidik dituntut pula agar menguasai
segi tekhnik hukum dan ilmu bantu
lainnya dalam Hukum Acara Pidana untuk
memperbaiki tekhnik pemeriksaan dengan tujuan meningkatkan keterampilan
dan disiplin hukum demi penerapan Hak
Asasi Manusia . Menurut Andi Hamzah, bahwa :
“Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik harus memiliki
pengetahuan yang mendukung karena Pelaksanaan penyidikan bertujuan memperoleh kebenaran
yang lengkap. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu penguasaan beberapa
pengetahuan tambahan disamping pengetahuan tentang hukum pidana dan hukum acara
pidana. Ilmu-ilmu yang dapat membantu dalam menemukan kebenaran material,antara
lain : logika psikologi, kriminalistik, psikiatri,dan khminologi.”[7]
Lebih lanjut
dijelaskan oleh Andi Hamzah, bahwa :
1.
Dengan pengetahuan
logika dimaksudkan agar diperoleh pembuktian yang logis berdasarkan penemuan
fakta yang sudah ada sehingga dapat membentuk kontruksi yang logis. Penguasaan
pengetahuan psikologi sangat penting dalam melakukan penyidikan terutama dalam
interogasi terhadap tersangka. Dimana penyidik harus menempatkan diri bukan
sebagai pemeriksa yang akan menggiring tersangka menuju penjara, tetapi sebagai
kawan yang berbicara dari hati ke hati;
2.
Dengan berbekal
pengetahuan kriminalistik, yaitu pengumpulan dan pengolahan data secara
sistematis yang dapat berguna bagi
penyidik untuk mengenal,mengidentifikasi,mengindividualisasi,dan
mengevaluasi bukti fisik.
Dalam hal
pembuktian, bagian-bagian kriminalislik yang sangat berperan seperti . Ilmu
Tulisan, Ilmu Kimia, Fisiologi , Anatomi Patologik, Toksikologi, Pengetahuan
tentang luka, Daktiloskopi ( Sidik Jari ), Jejak kaki, Antropometri dan
Antropologi.
Penelitian dan
pengusutan dalam usaha menemukan kebenaran materiel bukan hanya ditujukan pada
manusia atau situasi yang normal, tetapi kadang-kadang bisa juga dijumpai
hal-hal yang abnormal. Untuk itulah diperlukan ilmu bantu psikiatri yang
disebut psikiatri forensik. Selain tersebut diatas masih ada lagi ilmu yang
dapat membantu penyidik untuk mengetahui sebab-sebab atau latar belakang
timbulnya suatu kejahatan serta akibat-akibatnya terhadap masyarakal, yailu
kriminologi.
Dari uraian diatas,
tampak begitu luas dan sulitnya dan kewajiban penyidik dalam proses perkara
pidana karena penyidiklah yang akan berperan di garis depan dalam Pelaksanaan
penegakan hukum. Namun demikian, tugas berat yang dipikul tersebut bila
dijalankan dengan cermat dan hati-hati akan membuahkan hasil.
C. Tugas Dan Fungsi Penyidik Polri
Penyidik menurut KUHAP adalah pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang
untuk melakukan penyidikan. Penyidik berwenang untuk menerima laporan atau
pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan
pertama pada saat ditempat kejadian; menyuruh berhenti seorang tersangka
dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
melakukan pemeriksaan dan penyitaan
surat; untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
mendatangkan seorang ahli yang
diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; mengadakan penghentian mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung
jawab (pasal 7 KUHAP).
Dalam hal
penyidikan melakukan tindakan pemeriksaan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, pemasukan rumah, penyitaan benda, pemeriksaan surat, pemeriksaan
saksi , pemeriksaan ditempat kejadian, Pelaksanaan penetapan dan putusan
pengadilan atau tindakan lain menurut ketentuan KUHAP. la membuat berita acara
yang dikuatkan dengan sumpah jabatan dan ditandatangani oleh penyidik dan semua
orang yang terlibat. (pasal 8 jo 75 KUHAP).
Setiap pejabat
Polisi adalah penyidik yang karena kewajibannya berwenang untuk menerima
laporan atau pengaduan tentang tindak pidana, mencari keterangan dan barang
bukti menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri dan mengadakan tindakan lain menurut hukum, ia
dan barang bukti menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri dan mengadakan tindakan lain menurut hukum,
ia dapat pula bertindak atas perintah penyidik melakukan penangkapan, melarang
meninggalkan tempat penggeledahan dan menyita. Atas Pelaksanaan tindakan
tersebut penyelidik membuat dan menyampaikan laporan kepada penyidik (pasal 4-5
KUHAP). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pejabat penyelidik adalah merupakan
wewenang dan tugas utama polri dari pangkat prada sampai jendral dalam rangka
mencari kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut pasal 2 PP
Nomor 27 tahun 1983 syarat kepangkatan pejabat polisi republik Indonesia yang
diberi wewenang untuk menjadi penyidik adalah sekurang-kurangnya yang
berpangkat pengatur muda tingkat I atau golongan II B atau yang disamakan
dengan itu. Sedangkan menurut pasal 2 butir 2 PP No 27 tahun 1983 menentukan
adanya pengecualian bahwa jika suatu tempat tidak ada penyidik yang berpangkat
pembantu letnan dua polisi keatas maka komandan sektor kepolisian republik
Indonesia yang berpangkat bintara dibawah pembantu letnan dua polisi karena
karena jabatannya adalah penyidik. Penyidik pejabat polisi negara tersebut
diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat dilimpahkan wewenang
tersebut kepada pejabat polisi lain.
Sedangkan penyidik
pegawai negeri sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atau usul Departemen yang
membawahkan pegawai tersebut. Penyidik pegawai negeri sipil golongan dua yang
dimaksudkan misalnya instansi-instansi :
- Bea
cukai
- Badan
geofisika dan Meterologi
- Pegawai
Imigrasi
- Angkatan
Laut dan lain-lainya
Selanjutnya pasal 3 PP No. 27 tahun 1983 penyidik
pembantu adalah pejabat Polisi Republik Indonesia yang berpangkat sersan dua
polisi dan pejabat pegawai sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara.[8]
Menurut
Undang-Undang Kepolisian Indonesia Nomor 28 tahun 1997, yang dimaksud dengan
kepolisian adalah segala hal ikwal yang berkaitan dengan fungsi dan tugas
lembaga kepolisian seseuai dengan peraturan Perundang-undangan pasal I UU No 28
tahun 1997. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif
(butir 2 dari pasal 1 UU No.28 tahun 1997)
Kepolisian Negara
republik Indonesia bertujuan untuk menjamin ketertiban dan tegaknya hukum serta
terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan Negara dan tercapainya tujuan
Nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (pasal 2 UU No.2 tahun
1997).
Fungsi Kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang Penegakan hukum, serta
perlindungan dan pelayanan masyarakat,[9]
serta pembimbingan masyarakat dalam rangka terjaminnya tertib dan tegaknya
hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat, guna terwujudnya keamanan dan ketertiban
masyarakat (pasal 3 UU No. 28 tahun 1997).
Menurut pasal 15 UU
Nomor 28 tahun 1997 tugas dari Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum
berwenang:
a. Menerima
laporan dan pengaduan.
b. Melakukan
Tindakan pertama ditempat kejadian
c. Menganbil
sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang
d. Mencari
keterangan dan barang bukti
e. Menyelenggarakan
pusat informasi kriminal nasional
f. Membantu menyelesaikan perselisihan
warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum.
g. Mencegah dan menanggulangi timbulnya
penyakit masyarakat
h. Memberikan bantuan pengamanan dalam
sidang dan Pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta
kegiatan masyarakat
D. Proses penyidikan Perkara
Menurut Gerson
Bawengan, bahwa :
Untuk dapat mencapai tujuan penyidikan, penyidik dapat
menggunakan metode yang lazim digunakan dalam melakukan penyidikan yaitu :
1.
Identifikasi;
2.
Sidik jari;
3.
Modus operandi;
4.
Files;
5.
Informan;
6.
Interogasi;
7.
Bantuan ilmiah[10]
Ad.1. Identifikasi
Dalam identifikasi,
perhatian utama diarahkan kepada pelaku-pelaku kejahatan yang sudah tergolong
profesional maupuh yang tergolong residivis. Nama-nama pelaku tersebut sudah
harus ada dalam catatan penegak hukum. Disamping nama-nama, juga harus
diperhatikan identitas yang lain. Misalnya tatto, bentuk tubuh, maupun
ciri-ciri yang lain. Menurut Andi Hamzah, bahwa dengan melakukan identifikasi
tersebut maka :
“ Mempermudah penyidik atau setidak-tidaknya dapat
membantu pihak penyidik dalam melakukan penyidikan karena bila terdapat pelaku
kejahatan yang termasuk jenis kambuhan, maka penyidik tinggal mencocokkan
ciri-ciri dengan identitas yang telah direkam dalam data-data kepolisian “.[11]
ad.2. Sidik Jari
Sidik jari
merupakan terjemahan dari bahasa Yunani yaitu Daktiloskopi. Terdiri dari kata
" Daktulos " yang berarti jari sedangkan "Skopioo " berati mengamati.[12]
Dari terjemahan tersebut, daktuloskopi berarti mengamati jari, kemudian
disama-artikan dengan sidik jari. Dengan sidik jari ditemukan identitas
tersangka secara pasti oleh karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang
berbeda. Cara ini baru dapat dimanfaatkan, jika si tersangka sebelumnya telah
diambil sidik jarinya. Andi Hamzah menguraikan pula beberapa golongan sidik
jari, yaitu :
1.
Golongan loops yang
berarti sangkutan ;
2.
Golongan Whoris
yang berarti putaran ;
3.
Golongan Arches
yang berarti lingkungan.
Ad.
3. Modus Operandi
Modus Operandi
merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti “cara kerja”. Penelitian
berdasarkan modus operandi, penelitian-penelitian yang diarahkan pada cara
kerjanya seseorang melakukan kejahatan. Menurut Gerson Bawengan, bahwa:
“ Seseorang terutama residivis yang telah berhasil
melakukan suatu kejahatan dengan menggunakan cara tertentu, maka ada tendensi
bahwa cara demikian itu akan diulanginya bila ia hendak melakukan suatu
kejahatan lagi pada peristiwa lain”.[13]
Dalam kasus pembunuhan dimana korban terikat dengan tali,
maka cara-cara yang digunakan untuk membuka simpul tali pengikat dapat
dibedakan antara yang ahli dengan yang tidak ahli. Dapat juga dibedakan antara
cara yang digunakan oleh pelaut dengan cara yang digunakan oleh pramuka. Walau
modus operandi ini tidak selalu menolong untuk menyingkap pelaku kejahatan,
namun banyak penegak hukum tetap menyelenggarakan file modus operandi.
Penyelenggaraan file modus operandi tersebut dipandang perlu untuk mengetahui
pola tingkah laku penjahat tertentu, menghimpun keterangan -keterangan mereka
didalam satu kesatuan dan bahkan merupakan bahan analisa mengenai kemungkinan
akan terjadi satu kejahatan.
Ad.4. Files
Menurut Gerson
Bawengan, bahwa yang dimaksud files adalah :
“Himpunan secara sistematis dari identifikasi, sidik jari
dan modus operandi. Dari kesemuanya itu hanya merupakan peralatan yang berguna
bagi penyidik. Apabila disusun secara sistematis dalam bentuk files yang
menyajikan keterangan-keterangan serta petunjuk-petunjuk bahkan barang bukti
untuk digunakan dalampenyidikan sampai pada peradilan”.[14]
ad.5. Informan
Infoman ialah
seseorang yang pekerjaannya memberikan keterangan kepada penegak hukum yang
mana keterangan itu bermanfaat untuk membongkar terjadinya atau kemungkinan
terjadinya tindak pidana
Ad.6. Interogasi
Menurut Gerson
Bawengan yang dimaksud dengan Interogasi adalah : “Suatu pemeriksaan yang
dilakukan oleh penyidik dengan jalan mengajukan pertanyaan-pertanyaan guna
memperoleh keterangan-keterangan yang bermanfaat bagi penyidik”.[15]
ad.7. Bantuan Ilmiah
Bantuan ilmiah
ialah sarana lain selain sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk membantu
proses penyidikan dan bersifat ilmiah.
Metode-metode itu
merupakan rangkaian usaha penyidik agar dapat mencari dan mengumpulkan barang
bukti sehingga dengan bukti itu membuat terang suatu tindak pidana yang
terjadi. Tentunya demi diketemukannya pelaku kejahatan. Terlepas dari
pemanfaatan metode-metode tersebut, penyidik oleh Undang-Undang diberi
kewenangan karena kewajibannya untuk:
a. Melakukan
tindakan pertama pada saat ditempat kejadian ;
b. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
c. Melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan ;
d. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan
surat;
e. Mengambil sidik jari;
f. Memanggil seseorang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka,saksi
g. Mendatangkaan orang ahli yang
diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ( periksa pasal 7 ayat
(1) KUHAP ).
Penyidik wajib
segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan jika penyidik mengetahui,
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut
diduga merupakan tindak pidana. Hal ini jelas diatur dalam pasal 106 KUHAP.
Bila penyidik memulai penyidikannya, maka penyidik memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum dan jika ternyata penyidikannya itu dihentikan oleh
penyidik karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik
memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum , tersangka atau keluarganya (
pasal 109 ayat (1) dan (2) KUHAP ). Berkas perkara wajib segera diserahkan
kepada penuntut umum setelah penyidikan selesai dilakukan . Namun jika hasil
penyidikan tersebut oleh penuntut umum dianggap belum lengkap, maka penuntut
umum segera mengembalikan berkas tersebut kepada penyidik disertai petunjuk
untuk melengkapinya. Kemudian penyidik melakukan penyidikan tambahan sesuai
dengan petunjuk penuntut umum.
Penyidikan dianggap
selesai jika dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan
hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada
pemberitahuan tentang hal itu dari Penuntut Umum kepada Penyidik. ( pasal 110
ayat ( I -4 ) KUHAP ).
Untuk dapat
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, maka
Hakim menurut pasal 183 KUHAP tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.
Dalam proses
peradilan pidana khususnya tahap pembuktian tidak terlepas dari peran serta
alat-alat bukti yang menunjang Pelaksanaan proses pembuktian tersebut.
Adapun alat-alat
bukti yang sah menurut Undang-Undang dapat dijumpai dalam pasal 184 KUHAP dalam
ayat (I), yaitu :
1.
Keterangan saksi
2.
Keterangan ahli
3.
Surat
4.
Petunjuk
5.
Keterangan terdakwa
Ad.1. Keterangan Saksi
Menurut pasal 185
ayat (I) KUHAP bahwa, keterangan saksi adalah apa yang dinyatakan oleh saksi
disidang pengadilan. Hal ini telah jelas diatur dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP
sedangkan pada ayat (2) pasal ini menetapkan bahwa keterangan seorang saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa seorang tersangka bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya Keterangan saksi akan merupakan bukti yang
sah, jika keterangan itu benar-benar didasarkan pada apa yang dia dengar
sendiri atau dia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya (
pasal 1 butir 27 ). Tidak merupakan keterangan saksi jika keterangan yang
diberikan oleh saksi hanya merupakan hasil pemikiran atau rekaan saksi belaka
saja (pasal 185 ayat (5) KUHAP ).Ketrangan saksi merupakan alat pembuktian yang
utama, karena seseorang yang melakukan suatu tindak pidana selalu memungkiri
adanya suatu bukti, sehingga bukti harus dicari dari keterangan orang-orang
yang secara kebetulan melihat atau mengalami kejadian-kejadian yang merupakan
bagian dari tindak pidana tersebut.
Ad.2. Keterangan Ahli
Yang dimaksud
dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal-hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam KUHAP pasal 1 butir 28
dinyatakan bahwa : keterangan ahli merupakan keterangan seorang ahli yang
dinyatakan dalam sidang pengadilan (lihat pasal 186 KUHAP ).
Ad.3. Surat
Mengenai surat
telah ditetapkan secara terperinci dalam pasal 187 ayat (1) huruf ( c ) KUHAP
dan dalam surat itu dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
Adapun maksud surat yang tercantum dalam pasal 187 ayal (1) huruf (c) adalah
sebagai berikut:
a. Berita acara dan surat lain dalam
bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya yang memuat keterangan-keterangan tentang kejadian atau keadaan
yang didengar, dilihat atau dialami sendiri serta dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangan itu ;
b. Surat-surat yang dimuat menurut
ketentuan peraturan Perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat
mengenai hal yang termasuk dalam data Pelaksanaan yang menjadi tanggung
jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan ;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku
jika ada hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Ad.4. Petunjuk
Mengenai petunjuk
ini dapat dijumpai dalam pasal 188 ayat (I) KUHAP yaitu “perbuatan, kejadian
atau keadaan yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain
maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa : petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam pasal 188 ayat (1) adalah:
a.
keterangan saksi
b.
surat
c.
keterangan terdakwa
ad.5. Keterangan Terdakwa
Yang dimaksud
dengan kerengan terdakwa adalah yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan
yang dia lakukan atau dia ketahui sendiri atau dia alami sendiri (lihat pasal
189 ayat (I) KUHAP) Sedangkan pada pasal 189 ayat (2) menerangkan bahwa:
keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang asalkan keterangan itu
didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya.
Dengan adanya
macam-macam alat bukti yang telah disebutkan, maka akan membantu penyidik dalam
melakukan penyidikan terhadap seorang tersangka yang melakukan tindak pidana.
Abdul Mun'im dan
Agung Legowo Tjiptomartono mengatakan: “fungsi penyidikan adalah merupakan
fungsi teknis reserse kepolisian yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara
menjadi jelas. Yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materil yang
selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan atau tindak pidana yang telah
terjadi”.[16] Untuk membuat jelas dan
terang suatu perkara, penyidik biasanya atau pada umumnya memanfaatkan
sumber-sumber informasi. Menurut Abdul Mun'im dan Agung Legowo Tjiptomartono,
yang dimaksud dengan sumber-sumber informasi ialah:
a. barang bukti atau Physical evidence,
seperti : anak peluru, brcak darah, jejak, narkotika dan tumbuh-tumbuhan ;
b. dokumen serta catatan, seperti : cek
palsu, surat penculikan, tanda-tanda pengenal diri lainnya dan catatan mengenai
ancaman;
c. orang-orang seperti : korban, saksi ,
korban, si tersangka pelaku kejahatan dan hal-hal yang berhubungan dengan
korban, tersangka dan keadaan ditempat kejadian peristiwa.[17]
Untuk dapat
memanfaatkan sumber-sumber informasi tersebut diperlukan pemahaman dan bantuan
dari ilmu-ilmu Kehakiman, seperti kriminalistik, kimia, fisika dan lain-lain.
Penyidikan adalah :
“pusat dan pimpinan dalam penyidikan semua aktifitas atau
kegiatan serta tindakan yang diambil dalam mencari kejelasan seperti yang dimaksud
dalam fungsi penyidikan adalah sepenuhnya tergantung dari kebutuhan. Bagi
penyidik, penyidikan juga menentukan perlu tidaknya suatu pemeriksaan”.[18]
Adapun upaya
penyidik dalam memperoleh kebenaran barang bukti menurut Ratna Nurul Afiah
dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu :
1.
Pemeriksaan di
tempat kejadian perkara;
2.
Penggeledahan;
3.
Diserahkan langsung
oleh saksi pelapor atau tersangka;[19]
4.
Diambil dari pihak
ketiga;
5.
Barang temuan;
Ad.l. Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara
Secara umum dapat
dikatakan bahwa setiap tempat dimana diduga telah terjadi pidana harus dianggap
sebagai tempat kejadian perkara ( TKP ), karena ditempat ini merupakan sumber
keterangan yang penting dan bukti-bukti yang dapat menunjukkan atau membuktikan
adanya hubungan antara korban, pelaku, barang bukti serta TKP. Tujuan
penanganan TKP menurut Departemen Hankam Mabes Polri adalah:
a. Menjaga agar TKP berada dalam keadaan
sebagaimana pada saat dilihat dan diketemukan petugas yang melakukan tindakan pertama
di TKP, serta memberikan pertolongan atau perlindungan kepada korban atau
anggota masyarakat bilamana diperlukan sambil menunggu pengolahan TKP ;
b. Melindungi agar barang bukti yang
diperlukan tidak hilang, rusak, tidak ada penambahan atau pengurangan dan tidak
berbeda letaknya yang berakibat menyulitkan atau mengaburkan pengolahan TKP dan
pemeriksaan secara tekhnis ilmiah ;
c. Untuk memperoleh keterangan dan fakta
sebagai bahan penyidikan lebih lanjut dalam menjajaki dan menentukan pelaku,
korban , saksi-saksi ,barang bukti., modus operandi dan alat yang dipergunakan
dalam rangka mengungkapkan tindak pidana.[20]
Langkah-langkah
penanganan TKP dari suatu tindak pidana terdiri atas tindakan pertama di TKP
yang meliputi pertolongan atau perlindungan korban atau anggota masyarakat,
penutupan dan pengamanan TKP, memberitahukan dan melaporkan segala sesuatu yang
telah dikerjakannya kepada penyidik. Pada waktu melakukan pemeriksaan pertama
kali di TKP, penyidik sedapat mungkin tidak mengubah dan merusak keadaan di
TKP. Maksudnya mencari, mengumpulkan, menganalisis, mengevaluasi petunjuk,
keterangan, bukti serta identitas pelaku. Semuanya dilakukan untuk mempermudah
dan memberi arah kepada penyidikan selanjutnya.
Kemudian menurut
Departemen Hankam Mabes Polri, apabila penyidik menerima pemberitahuan atau
mengetahui telah terjadi tindak pidana disuatu tempat, penyidik menyiapkan
segala sesuatunya dan segera datang ke tempat kejadian perkara guna melakukan
pengolahan dengan tindakan sebagai berikut:
a. Pengamatan umum terhadap obyek. Untuk
memperkirakan modus operandi, motif, waktu kejadian dan menentukan langkah yang
harus didahulukan ;
b. Pemotretan dan pembuatan sketsa untuk
mengabadikan dan memberi gambaran nyata tentang situasi TKP untuk membantu
melengkapi kekurangan dalam pengolahan TKP. Hal ini sangat berguna disamping
sebagai lampiran Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di TKP, juga merupakan bahan
untuk mengadakan rekonstruksi apabila diperlukan;
c. Penanganan korban, saksi, dan pelaku.
Untuk penanganan korban sangat diperlukan bantuan tekhnis seperti laboratorium
forensik, identifikasi dari dokter apabila ada alat-alat yang mungkin
digunakan maupun tanda-tanda bekas
perlawanan atau kekerasan , perlu dimintakan Visum et Repertum. Hal ini sesuai
ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf (h), bahwa : penyidik sebagaimana tersebut
dalam pasal 6 ayat ( 1) huruf (a) ( pejabat Polri) berwenang mendatangkan orang
ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. Dalam
penanganan saksi dapat dilakukan melalui pembicaraan dengan jalan mengajukan beberapa
pertanyaan kepada mereka yang diperkirakan melihat, mendengar dan mengetahui
sehubungan dengan kejadian tersebut. Selanjutnya menentukan saksi yang diduga
keras terlibat, kemudian mengadakan pemeriksaan singkat terhadapnya guna
mendapatkan keterangan dan petunjuk lebih lanjut;
d. Penanganan barang bukti; Untuk
menghindari tindakan tersangka yang mungkin saja berusaha menghilangkan jejak
sehingga mempersulit penyidik, maka mencari dan mengumpulkan barang bukti dan
saksi-saksi merupakan tujuan pemeriksaan TKP. Dalam usaha pencarian
barang-barang bukti lainnya di TKP dan
sekitamya, sangat berkaitan dengan wewenang penyidik yang apabila perlu dengan
ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat melakukan penggeledahan badan.[21]
E. PENGUMPULAN ALAT BUKTI.
Dalam pemeriksaan
di TKP untuk mengumpulkan barang bukti diperlukan perencanaan pencarian yang
meliputi seluruh tempat kejadian. Sebagai pedoman bagi penyidik dalam usaha
mengumpulkan barang bukti, untuk menentukan fakta-takta bahwa telah terjadi
suatu kejahatan, maka cara-cara pencariannya menggunakan beberapa metode,
sebagai berikut:
a. metode
membanjar;
b. metode
spiral;
c. metode
bidang ;
d. metode
roda.[22]
ad.a. Metode Membanjar.
Pada metode
pencarian secara membanjar, daerah tempat pencarian dibentuk empat persegi
panjang dengan tiga orang petugas membanjar sejajar didekat sudut salah satu
sisinya dan berjalan lurus kesisi yang berhadapan kemudian membelok, tetap
sejajar seperti semula. Demikian seterusnya hingga seluruh tempat dijelajahi
dan diperiksa. Jika salah seorang mendapatkan bukti,pencarian dihentikan sampai
bukti tersebut diamankan dan kalau perlu dibuat foto, kemudian bukti tersebut
dikumpulkan
ad.b. Metode Spiral
Pada metode spiral
, tiga orang petugas berbaris berurutan memulai pencarian pada bagian luas
spiral kemudian melingkar menuju ketengah spiral.
Ad.c. Metode bidang.
Pada metode bidang
tempatnya dibagi atas bidang-bidang segi empat dan para petugas bertugas
disuatu bidang yang telah ditentukan. Mula-mula tempat dibagi empat, kemudian
seperempat bagian itu dibagi empat lebih kecil lagi. Hal ini untuk mempermudah
pencarian ditempat-tempat yang lebih sempit.
Ad.d. MetodeRoda.
Sedangkan pada
metode roda ruangannya dibentuk lingkaran. Para petugas berkumpul dibagian
tengahnya, masing-masing berjalan membentuk jari-jari pada roda. Demikian
seterusnya bergantung pada luasnya tempat dan jumlah petugas.
Dalam mencari bukti
tersebut diperlukan ketelitian disamping imajinasi para petugas. Misalnya yang
diperiksa diruangan tertutup, harus diperhatikan segala sesuatu yang ada disitu
, seperti kunci pintu,tirai dan gorden, anak tangga, keranjang sampah, toilet
dan sebagainya untuk diteliti secara cermat tanpa merusak situasi setempat
Ad.2. Penggeledahan
Menurut Ratna Nurul
Allah yang dimaksud dengan penggeledahan adalah :
“suatu kewenangan penyidik untuk memasuki tempat-tempat
tertentu guna mencari tersangka dan atau barang yang tersangkut dalam suatu
tindak pidana untuk dijadikan barang bukti.”[23]
Kemudian menurut
Ratna Nurul Afiah, bahwa dalam KUHP dikenal Ada tiga macam penggeledahan,
antara lain :
1.
Penggeledahan
Rumah, yaitu tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat
tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan atau penyitaan atau
penangkapan (pasal 1 butir (18) KUHAP);
2.
Penggeledahan Badan
, yaitu tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian
tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau
dibawanya serta untuk disita ( pasal 1 butir (18)KUHAP);
3.
Penggeledahan
Pakaian, yaitu tindakan penyidik atau penyidik pembantu untuk memeriksa pakaian
yang dikenakan oleh tersangka pada saat itu termasuk barang yang dibawanya
serta untuk mencari barang yang dapat disita (Petunjuk Tekhnis No.POL
Juknis/05/11/1982 Tentang Penggeledahan).[24]
Ad.3. Diserahkah langsung oleh Saksi Pelapor atau
Tersangka
Menurut Ratna Nurul
Afiah, bahwa ada empat kemungkinan bagi penyidik atau penyidik pembantu untuk
memulai tindakan penyidikan, yaitu : a. Tertangkap
tangan (pasal 1 butir (19)KUHAP);
b. Laporan
(pasal 1 butir (24)KUHAP);
c. Pengaduan
(pasal 1 butir (25)KUHAP)
d. Mengetahui
sendiri atau dengan cara lain.[25]
Ad.4. Diambil atau diserahkan oleh pihak ketiga.
Menurut Ratna Nurul
Afiah, bahwa :
“Dapat pula terjadi bahwa barang yang tersangkut dalam
tindak pidana itu oleh tersangka tersangka telah dialihkan kepada orang atau
pihak lain, baik dengan cara menjual , menyewakan , menukar , menghadiahkan,
menggadaikan atau meminjamkan benda tersebut kepada orang lain atau pihak
ketiga”.[26]
Dengan demikian
dalam hal untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menyita benda tersebut
dari pihak ketiga dimaksud untuk dijadikan barang bukti.
Ad.5. Barang Temuan.
Menurut Ratna Nurul
Afiah, yang dimaksud dengan barang temuan ialah :
“Barang yang ditemui, diserahkan atau dilaporkan oleh
masyrakat kepada penyidik dimana benda tersebut tidak diketahui siapa
pemiliknya atau identitasnya”.[27]
Selanjutnya penyidik melakukan penyidikan atas dasar
penemuan barang tersebut. Dari hasil penyidikan yang dilakukan, dapat
disimpulkan apakah benda tersebut tersangkut dalam suatu tindak pidana atau
tidak.
F. UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR TENTANG
NARKOBA
Ketentuan
Pidana
Ketentuan Pidana UU
No 22 Thn 1997 tentang Narkotika terdapat didalam Pasal 78 sampai dengan Pasal
104 yang mengatur tentang pelarangan, peredaran dan penggunaannya yang
diperbolehkan maupun tidak diperbolehkan. Seperti yang terdapat didalam pasal
82 yang berbunyi:
(1) Barang
siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. mengimpor , mengekspor , menawarkan
untuk dijual , menyalurkan , menjual , membeli, menyerahkan, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, alat menukar narkotika Golongan I , dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup , atau pidana penjara paling lama
20 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000. ( satu milyar rupiah );
b. mengimpor , mengekspor , menawarkan
untuk dijual , menyalurkan , menjual , membeli, menyerahkan , menerima , menjadi
perantara dalam jual beli; atau menukar narkotika Golongan 11, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda
paling banyak Rp. 500.000.000. ( lima ratusjuta rupiah );
c. mengimpor , mengekspor , menawarkan
untuk dijual, menyalurkan , menjual , membeli, menyerahkan , menerima , menjadi
perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan III, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.3.00.000.000.
(tiga ratusjuta rupiah )
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (I) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a , dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua
ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000. ( dua milyar rupiah );
b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 18 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.
( satu milyar rupiah );
c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000.
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah );
(3) Apabila
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara
terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda
paling sedikit Rp. 500.000.000. ( lima ratus juta rupiah ) dan paling banyak
Rp.3.000.000.000.( tiga milyar rupiah ).
b. Ayat (1) huruf b dilakukan secara
terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan paling
banyak Rp. 4.000.000.000. ( empat milyar rupiah );
c. Ayat (1) huruf c dilakukan secara
terorgnisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling
banyak Rp. 2.000.000.000. ( dua milyar rupiah ).
(4) Apabila
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh
korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000. (tujuh milyar rupiah
);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh
korporasi , dipidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000. ( empat milyar
rupiah );
c. ayat (1) huruf c dilakukan korporasi ,
dipidana denda paling banyak Rp.3.000.000.000. (tiga milyar rupiah ).
Ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang nomor 5
tahun 1997 tentang psikotropika terdapat didalam bab XIV, Undang-Undang nomor 5
tahun 1997 didalam pasal 59 sampai pasal 72 yang didalamnya diatur secara jelas
dan lengkap mengenai sanksi-sanksi pelaku tindak pidana psikotropika, yang
didalam salah satu pasal 59 berbunyi:
(1) Barangsiapa:
a. menggunakan psikotropika golongan 1
selain dimaksud dalam pasal 4 ayat (2); atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam
proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6;
atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3); atau
d. mengimpor psikotropika golongan I
selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak milik, menyimpan
dan/atau membawa psikotropika golongan.
dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah), dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluhjutarupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta).
(3) jika tindak pidana dalam pasal ini
dilakukan oleh korporasi, maka di samping pidananya pelaku tindak pidana,
kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).[28]
Sedangkan yang
mengatur tentang narkotika diatur didalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997.
Yang ketentuan pidananya diatur didalam pasal 78 sampai dengan pasal 100 bab,
XII Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.[29]
Namun di dalam penulisan tentang Undang-Undang serta ketentuan Pidananya lebih
dijelaskan lagi di dalam lampiran skripsi ini disebabkan ketentuan pidana yang
diatur didalam tiap Undang-Undang mengatur bermacam-macam sanksi. Sanksi yang
dijelaskan di dalam skripsi ini sebatas beberapa pasal yang menyangkut
peredaran,maupun pemakaian narkoba belum keseluruhan, mengingat pasal-pasalnya
tidak saja mengatur tentang ketentuan pidana saja terbukti banyaknya pasal yang
diatur didalam bab-bab Undang-Undang Psikotropika dan Narkotika.
BAB III
PERANAN
PENYIDIK DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA
NARKOBA
A. Peranan
penyidik dalam Penyelesaian tindak pidana narkoba yang
dilakukan
oleh seseorang.
Kemajuan dibidang
ilmu pengetahuan dan teknologi semakin lama semakin bertambah pesat. Hal ini
akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan
tingkat kriminalitas, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Perkembangan kriminalitas dari bentuk perorangan menuju ke arah kriminalitas
menuju kearah kejahatan terorganisir yang memiliki teknik dan taktik yang
canggih.
Sebagai salah satu
kejahatan yang teroragnisir maka tindak pidana narkotika dan psikotropika tidak
terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang
farmasi. Dari tanaman-tanaman pokoknya ganja, kokain dan candu maka oleh
kemajuan farmasi dapat dihasilkan atau diturunkan zat-zat yang mempunyai efek
yang berlipat ganda.
Penyalahgunaan
narkotika merupakan bahaya yang amat merugikan bagi suatu negara. Hal ini
disebabkan tindak pidana narkotika oleh generasi muda akan memberikan dampak
buruk baik jasmani maupun rohani dari generasi muda, sehingga memberikan
kerugian yang amat besar bagi negara dan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu
setiap usaha yang mengarah pada dilakukannya tindak pidana narkotika haruslah
dapat ditiadakan . Hal ini berarti harus semakin ditingkatkan usaha-usaha
penanggulangan terhadap setiap jenis tindak pidana narkotika sebagai pelaksana
penegakan hukum di Indonesia.
Penyalahgunaan
narkotika merupakan tindak pidana yang mempunyai kekhususan tersendiri
dibandingkan tindak pidana pada umumnya. Ciri-ciri khusus tindak pidana
narkotika digambarkan oleh Suwanto Sebagai berikut:
1.
Suatu kejahatan
terorganisir dalam jaringan sindikat, jarang kasus narkotika tidak merupakan
sindikat terutama heroin.
2.
Berlingkup
internasional, tidak lokal sifatnya. Walaupun di Indonesia tanaman ganja dapat
tumbuh, tetapi konsumennya diseluruh dunia sehingga dapat dikirim keluar
negeri.
3.
Pelakunya dengan
sistem sel artinya antara konsumen dan pengedar tidak ada hubungan langsung
(terputus ) sehingga apabila konsumen tertangkap maka sulit untuk diketahui
pengedar, demikian pula sebaliknya.
4.
Dalam tindak pidana
narkotika pelaku juga korban sehingga kejahatan narkotika pelaporan sangat
minim.
Ciri-ciri khusus dari tindak pidana narkotika menjadikan
setiap kasus narkotika haruslah mendapat upaya penanggulangan secara terpadu.
Setiap kasus narkotika yang terdpat di daerah Kepolisian Resort atau Kepolisian
Wilayah haruslah segera dilaporkan ke Kepolisian Daerah Untuk segera
dilanjutkan ke Markas Besar kepolisian Republik Indonesia, sehingga setiap
kasus narkoba yang terdapat di suatu daerah dapat diketahui secara dini oleh
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, dan hal ini akan memudahkan
koordinasi antara seluruh kantor kepolisian yang ada di daerah-daerah di
Indonesia.
Usaha penanggulangannya
tindak pidana narkoba dapat dilakukan secara preventif juga secara represif.
Usaha penanggulangan secara preventif dari tindak pidana narkotika dilakukan
oleh Polres D.I.Y bekerjasama dengan Bappenkar melalui penyebaran brosur ,
papan himbauan, seminar-seminar tentang bahayanya penyalahgunaan narkotika.
Sedangkan penanggulangan tindak pidana narkotika secara represif dilakukan
dalam rangka usaha POLRI untuk mengungkapkan tindak pidana yang terjadi melalui
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika. Pada penyidikan tindak
pidana narkotika maka yang berperan menangani masalah adalah bagian reserse
narkotika dalam hal ini unit narkotika. Pembagian tugas semacam in: terdapat di
setiap Kepolisian Daerah di Indonesia . Untuk lebih memperjelas pembagian tugas
maka dapat kita lihat struktur organisasi yang ada di Polres Yogyakarta
dikhususkan pada bagian reserse
Sumber : Kabag Serse Narkotika Pokes D.I Yogyakarta.
Untuk lebih memperjelas struktur organisasi di atas, maka
penulis jelaskan singkatan-singkatan dari struktur organisasi tersebut sebagai
berikut : Kapolres D.I Yogyakarta ( Kepala Kepolsian resort Daerah Istimewa
Yogyakarta), Kadit Serse (Kepala Direktorat Reserse Narkotika), Sesdit Serse (
Sekretaris Direktorat Reserse), Kabag ( Kepala Bagian), Kanit ( Kepala unit).
Dari struktur organisasi yang ada di Polda Yogyakarta maka penyidikan tindak
pidana yang ada di daerah tersebut menjadi wewenang dari Kadit Serse. Dalam
melakukan penyidikan diadakan pembagian kerja sesuai dengan jenis tindak
pidana. Kabag Serse Narkotika berwenang mengkoordinir penyidikan pada tindak
yang menyangkut penyalahgunaan narkotika, obat-obatan dan barang berbahaya. Di
sini yang dimaksud dengan Narkotika adalah zat yang jika dimakan, diminum atau
dimasukkan (disuntikkan) ke dalam tubuh manusia, dapat menimbulkan
ketergantungan. Obat-obatan adalah suatu zat psykotropik yang mengandung unsur
MDMA (N, Alphadimentyl 3,4 Metty Lenedioxy - Phenethylamine) atau MDA
(Alphamethyl 3,4 - Methylenedioxy -Phetylamine) yang dapat menimbulkan pengaruh
neurotoksik, khususnya terhadap sel-sel neuron dari otak. Barang berbahaya
adalah barang yang dapat menimbulkan terganggunya keamanan dan ketertiban di
dalam masyarakat.
Dari struktur organisasi Polres Yogyakarta dapat
disimpulkan bahwa terdapat penanganan kasus-kasus tindak pidana narkotika yang
akan diberikan tugas secara khusus kepada KEPALA Unit Reserse Narkotika
Psykotropika. Unit Reserse Narkotika Psikotropika secara struktural
organisatoris berada dibawah Bagian Reserse Narkotika , sedangkan ditinjau dari
kepangkatannya maka unit Reserse Narkotika dijabat oleh seorang Perwira Polisi
yang berpangkat Letnan Kolonel dan Kepala Bagian Reserse ini bertanggung jawab
terhadap Kepala Direktorat Reserse Kepolisian Daerah Yogyakarta yang dijabat
oleh seorang Perwira Menengah Polisi dengan Pangkat Kolonel.
Di dalam menjalankan tugas penyidikan suatu kasus tindak
pidana narkotika yang terjadi, maka Kepala Unit Reserse Narkotika Psikotropika
dibantu oleh 5 orang anggotanya yang tergabung dalam unit tersebut Kepala unit
narkotika memiliki tugas yang telah ditetapkan oleh Kapolres D.I Yogyakarta
sebagai bcrikut.
1. Memberikan
bimbingan atau Pelaksanaan fungsi reserse narkotika.
2. Menyelenggarakan resersetik yang
bersifat regional/terpusat pada tingkat daerah yang meliputi :
a. Giat refresif Kepolisian melalui upaya
lidik dan sidik kasus-kasus kejahatan yang
canggih dan mempunyai intensitas gangguan dengan dampak regional/nasional melalui kejahatan ditujukan
terhadap penyalahgunaan narkotika, psikotropika, obat-obat keras dan zat
berbahaya lainnya termasuk segala aspek yang terkait.
b. Kriminalitas terhadap analisa korban,
modus operandi dan pelaku guna menemukan perkembangan kriminalitas selanjutnya.
3. Melaksanakan operasi khusus yang
diperintahkan.
4. Memberi bantuan operasional atau
Pelaksanaan fungsi reserse narkotika oleh wilayah di lingkungan Pokes D.I
Yogyakarta.
5. Membantu Pelaksanaan latihan fungsi
teknik reserse psikotropika.
6. Melaksanakan giat administrasi operasional
termasuk pullah jianta yang artinya suatu Sistem pengumpulan dan penyajian data
yang berkenaan dengan aspek pembinaan dan Pelaksanaan fungsi teknik reserse
narkotika.[30]
Dilihat dari tugas pokok Kepala Unit Narkotika, dari 5
tugas pokok yang harus diemban pada prinsipnya terdapat 2 hal yaitu :
1.
Merupakan upaya
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkoba.
2.
Mengembangkan
metode yang tepat dan cepat sebagai upaya penanggulangan dan pemberantasan
tindak pidana narkotika.
Untuk lebih memperjelas peta kejahatan tindak pidana
narkotika dan psikotropika dapat kita lihat data-data tindak pidana narkotika
yang ditangani Kepolisian Wilayah dari jajaran Polres D.I Yogyakarta pada tahun
2000
Tabel 1
DATA KASUS TINDAK PIDANA NARKOBA PADA TAHUN 2000
BULAN
|
TAHUN 2000
|
KETERANGAN
|
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
|
1 Kasus
10 Kasus
6 Kasus
6 Kasus
9 Kasus
3 Kasus
4 Kasus
|
Selesai
Selesai 9 Kasus
Selesai 3 Kasus
Selesai 4 Kasus
Selesai 8 Kasus
Selesai 6 Kasus
Selesai 7 Kasus
|
Sumber : Kabag Serse Narkoba Polres DIY
Dari data tersebut dapat diketahui Kepolisian wilayah
kola besar D.I.Y menangani kasus narkoba secara bertahap hal ini disebabkan
daerah tersebut memiliki kecenderungan yang besar. POLRI dalam menangani
kasus-kasus tindak pidana narkoba bertindaksecara represif justical yaitu
melakukan tindakan penyidikan guna kepentingan peradilan . Tindakan penyidikan
yang dilakukan oleh POLRI merupakan proses awal dari proses perkara pidana .
Penyidikan pada prinsipnya bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang
dengan bukti itu berusaha untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.
B. LANGKAH-LANGKAH
PENYIDIK DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA NARKOBA.
Untuk memulai
penyidikan pada tindak pidana biasanya dimulai dengan pelaporan atau pengaduan.
Pelaporan atau pengaduan ini dapat dilakukan oleh korban atau pihak lain.
Sedangkan pada tindak pidana narkoba maka korban narkoba tidak akan melakukan
pelaporan,dikarenakan korban narkoba adalah juga pelaku tindak pidana narkoba.
Untuk lebih
memperjelas bahwa pelaporan yang dimaksud bukan berasal dari korban,korban
tindak pidana narkoba merupakan pelaku tindak pidana narkoba itu sendiri. Hal
ini berbeda dengan tindak pidana diluar tindak pidana narkoba. Masyarakat juga
melaporkan adanya tindak pidana tetapi jumlahnya terbatas. Dengan demikian maka
penyidik Polri tidak hanya mengandalkan pelaporan dari masyarakat,tetapi juga
harus menempuh upaya-upaya lain untuk mengetahui adanya suatu tindak pidana
narkoba.
Pelaporan yang
diterima penyidik merupakan informasi yang penting untuk dapat mengetahui
adanya tindak pidana narkoba.
Sumber-sumber informasi dari kasus narkoba meliputi berbagai macam
sumber bisa saja informasi juga diterima dari teman sejawat,biasanya informasi
itu juga didapat dari orang yang mempunyai hubungan erat dengan petugas
operasi. Bisa juga pemberi informasi warga negara yang baik yang bila diajukan
sebagai saksi akan sangat membantu. Alangkah baiknya bila penyidik tidak
melupakan orang yang pemah menjadi tahanan atau seorang penyidik perlu juga
menghubungi penyidik lainnya yang pemah pada masa lampau menangani kasus yang
sama kama dengan jalan demikian mereka dapat membenkan informasi tentang
tempat-tempat penyalahgunaan obat-obat terlarang.
Selain
sumber-sumber diatas maka Polres D.I.Y dalam mengungkapkan suatu tindak pidana
narkoba juga menggunakan bekas pecandu narkoba. Digunakannya bekas pecandu
narkoba oleh penyidik merupakan tindakan yang tepat.hal ini disebabkan para
bekas pecandu narkoba merupakan fakta yang hidup yang dapat membenkan gambaran
tentang tingkah laku dari pelaku tindak pidana narkoba. Ada beberapa motifasi
sehingga orang yang pernah ketagihan ini memberikan informasi atau keterangan
kepada penyidik yaitu :
1.
Karena faktor uang,
yaitu orang yang memberikan keterangan kepada polisi terdorong karena susah
atau karena akan mendapat hadiah langsung.
2.
Karena didorong
oleh rasa aman.
3.
Karena kesadaran
dari bekas pecandu narkoba.[31]
Dalam menggunakan
infbrman maka ada beberapa taktik yang digunakan oleh penyidik sebagaimana yang
diungkapkan oleh R.Soesilo sebagai berikut:
1. Dalam memilih dan memelihara informan
seluruhnya dipercayakan kebijaksanaan masing-masing pegawai penyidik sendiri,
artinya komandan satuan tidak campur tangan
sehingga hal itu merupakan rahasia dari penyidik masing-masing.
2. Tentang pengeluaran uang untuk
pembayaran-pembayaran dan hadiah-hadiah bagi para informan tidak perlu
dipertanggung jawabkan dengan bukti-bukti pembayaran.
3. Nama informan jangan disebut-sebut atau
diberitahukan dalam pemeriksaan dan penuntutan perkara. Bila terjadi demikian
tidak akan ada orang yang mau bekerja sebagai informan. Dalam dunia
penyelesaian hukum terhadap perkara pidana memang hidup pendapat seperti ini,
walaupun demikian kadang-kadang perlu pula dalam hal seorang informan memberikan keterangan
dengan perjanjian tidak mau disebut
namanya, dibicarakan dengan jaksa yang bersangkutan. Bagaimanapun juga, kerjasama taktis antara
instansi-instansi pemberantas kejahatan harus ada.
4. Hubungan dan pertemuan antara penyidik
dan informan harus dirahasiakan, misalnya janganlah seorang informan disuruh
menghadap di kantor polisi. Bila mau bertemu pilihlah tempat-tempat tertentu
yang netral,aman dan tidak menyolok.
5. Dalam hal-hal yang tentu perlu juga
pekerjaan seseorang informan dikontrol dengan informan lain yang satu sama lain
tidak mengenai agar penyidik jangan sampai dikelabui dengan keterangan yang
palsu dan tidak benar.
Dari apa yang diutarakan oleh R.Soesilo maka dengan
penggunaan informan oleh penyidik haruslah dilakukan dalam waktu dan kondisi
yang tepat, karena apabila penggunaan informan tidak dilakukan dalam waktu dan
kondisi yang tepat maka akan merusak dan mengganggu upaya penyidik itu sendiri.
Di samping digunakan taktik yang benar dalam penggunaan informan, dalam
kaitannya POLRI sebagai penyidik untuk melindungi informannya, maka peranan
Perundang-undangan yang menetapkan hak-hak istimewa bagi pemberi informan
sangatlah penting. Di Indonesia perlindungan bagi pelapor dari tindak pidana
narkoba diberikan dalam Undang-undang No.9 Tahun 1976 pasal 28 yang menyebutkan
:
Di depan pengadilan saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut
nama atau alamat atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.[32]
Pemberian hak istimewa bagi pelapor akan dapat memberikan
manfaat untuk menjalin kesinambungan arus informasi mengenai kegiatan-kegiatan
melanggar hukum kepada para petugas penegak hukum dan melindungi sumber
informasi dari ancaman atau balas dendam. Setelah diketahuinya informasi, POLRI
selaku penyidik merencanakan upaya-upaya selanjutnya . Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Suwanto upaya- upaya yang digunakan untuk mengetahui adanya
tindak pidana nakoba adalah sebagai berikut:
“ Dalam kasus
narkoba korban adalah pelaku sehingga pelapor tidak ada, oleh
karena itu dengan
upaya yang ada dengan teknik yang ada kita berusaha untuk
mencari mendeteksi,
begitu mendapatkan informasi baru kita merencanakan
bagaimana kita
menangkap pelakunya yang kita sasarkan kepada pengedar
atau pengepul. Hal
ini memang sulit tetapi ada beberapa teknik penyelidikan
mulai dari
observasi ( peninjauan ), surveillance (pembuntutan), undercover
agen ( penyusupan
agen ), undercover buy ( pembelian terselubung ),
controlled planning
( penyerahan yang dikendalikan ), dan raid planning
execution ( rencana
Pelaksanaan penggerebekan )”[33]
Dari apa yang dikemukakan Suwanto dapat diketahui 2
kegiatan yang berkaitan dengan teknik pengungkapan tindak pidana narkoba yaitu
:
1. Teknik yang bertujuan untuk mendapatkan
atau menguatkan informasi tentang terjadinya tindak pidana narkoba yang
meliputi : observasi, surveillance dan undercover agen.
2 Teknik yang bertujuan untuk menangkap
pelaku tindak pidana narkoba yang meliputi: undecover buy, controled delivery.
3 Dari teknik yang ada dapat dikatakan
bahwa teknik yang pertama adalah mendahului tindakan kedua. Karena pada teknik pertama penyidik harus berusaha untuk
mendapatkan informasi serta
menguatkan informan yang telah didapat mengenai pelaku tindak pidana
narkoba dan modus
operandinya. Setelah mendapatkan
informasi-informasi tersebut maka diadakanlah teknik yang kedua yaitu merupakan
usaha POLRI untuk merencanakan adanya tindak pidana yang dikontrol dengan cara
pembuatan TKP. Kegiatan yang paling menentukan keberhasilan tindakan
pendahuluan diatas adalah Raid Planning Execution.
Untuk lebih memperjelas mengenai teknik-teknik dari
penyidikan tindak pidana narkoba tersebut dijelaskan berikut ini :
1. Observasi.
Pengertian
observasi yaitu “meninjau atau mengamat-amati suatu tempat, keadaan atau orang
untuk mengetahui baik hal-hal yang biasa maupun yang tidak biasa dan kemudian
hasilnya dituangkan dalam suatu laporan”.
Dari observasi yang
dilakukan dapat diketahui kondisi suatu tempat dan orang-orang yang ada
ditempat tersebut. Setiap apa yang dilihat dan diamati oleh observer akan
dicatat sehingga dapat menentukan langkah-langkah berikutnya. Dalam
melaksanakan observasi haruslah diperhatikan hal-hal yang lain atau terdapat
perbedaan dari hal-hal biasa yang tidak diketahui masyarakat umum. Cara
melakukan observasi adalah bermacam-macam ragamnya antara lain apa yang
tersebut di bawah ini.
a. Observasi sepintas lalu, ialah
observasi yang dilakukan secara sambilan, dilakukan disamping tugas penyididk
sehari-hari atau disamping tugas lainnya.
b. Observasi secara teratur , yaitu yang
dijalankan oleh perorangan atau kelompok dan merupakan tugas berdiri sendiri.
c. Observasi
selayak pandang, ialah observasi dilakukan sccara umum dengan
perhatian yang berpindah-pindah tidak mendalam hanya menghasilkan
gambaran dalam garis besar, bersifat umum akan tetapi I was.
perhatian yang berpindah-pindah tidak mendalam hanya menghasilkan
gambaran dalam garis besar, bersifat umum akan tetapi I was.
d. Observasi
khusus, yaitu yang ditujukan khusus kepada suatu hal yang
tertentu, kepada suatu hal yang melulu.
tertentu, kepada suatu hal yang melulu.
2. Surveillance (pembuntutan)
Dalam mengungkapkan adanya suatu tindakan pidana narkoba
maka penyelidik tidak hanya melakukan pemeriksaan atau pengawasan hanya pada
suatu tern pat tertentu. Pengawasan ini harus dilakukan secara berpindah, untuk
itu diperlukan teknik surveillance. Pengertian surveillance adalah:
Pengawasan terhadap orang , kenderaan dan tempat atau
obyek yang dilakukan secara rahasia , terus-menerus dan kadang -kadang
bcrselang untuk memperoleh infbrmasi kegiatan dan identifikasi oknum. Infbrmasi
yang diperoleh dalam melakukan pembututan digunakan untuk mengidentiflkasi
sumber , kurir dan penerima narkoba. Operasi surveillance dilakukan secara
terus-menerus dan kadang berganti-ganti agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi
pelaku tindak pidana narkoba. Adapun tujuan pembututan adalah :
a. Untuk melindungi petugas reserse
(undercover agent) atau untuk
menguatkan kesaksian.
menguatkan kesaksian.
b. Untuk
memperoleh bukti kejahatan.
c. Untuk melokalisir orang dengan
mengawasi tempat yang sering ia kunjungi dan orang-orang yang berhubungan
dengannya.
d. Untuk
mengecek kejujuran informan.
e. Untuk melokalisir harta benda atau
barang-barang terlarang yang disembunyikan.
f. Untuk mendapatkan kemungkinan dasar
yang bisa digunakan untuk
melakukan penggeledahan
melakukan penggeledahan
g. Untuk mendapatkan kemungkinan dasar
yang bisa digunakan untuk melakukan penggeledahan.
h. Untuk memperoleh informasi untuk
digunakan nanti dalam interogasi.
i. Untuk mengembangkan petunjuk dan
informasi yang diterima dari sumber-sumber lain.
j. Untuk mengetahui secara terus-menerus
dimana seseorang itu berada.
k. Untuk memperoleh barang bukti sah untuk
digunakan dipengadilan.
Sedangkan tinjauan dari fungsi operasi pembuntutan dapat
digolongkan menjadi:
a. Pembuntutan untuk mengumpulkan data
intelijen ( inteligence seeking surveillance ) dimana penyidik perlu
mempelajari segala sesuatu yang bisa ia lakukan mengenai suatu kejahatan atau
kegiatan. Ia berusaha mempelajari sumber pemasok barang bagi tersangka,
siapakah kurirnya dan siapa saja yang mungkin menjadi kaki tangannya.
b. Pembuntutan sebelum dilakukan pembelian
( prepurchase surveillance ) dilakukan untuk menghimpun data intelijen yang
akan membantu petugas reserse dalam usahanya melakukan pembelian dari
tersangka. Penyidik berusaha mengenali orang-orang yang berhubungan dengan
tersangka. Ia juga berusaha mengetahui sumber pemasok dan kurir-kurimya.
c. Pembuntutan selubung ( cover
surveillance ) dilakukan terutama untuk melindungi petugas reserse ,
pembuntutan jenis ini juga dimaksudkan untuk menguatkan kesaksian sipetugas
reserse.
d. Pembuntutan pasca pembelian ( post
purchase surveillance ) dilakukan untuk alasan-alasan sebagai berikut:
- Untuk
memastikan larinya uang setelah penjualan.
- Untuk mengambil orang-orang lain yang
menjadi pelanggan sipenjual tersebut.
- Agar tetap bisa mengawasi sipenjual
dalam petugas mendapatkan barang tidak sesuai dengan kenyataan.
Operasi pembuntutan yang dilakukan penyidik harus juga
didukung oleh perlengkapan komunikasi dan transportasi yang memadai. Sebelum
dilakukan operasi pembuntutan maka petugas harus memperoleh data orang yang
akan dibuntuti. Dalam mempelajari informasi yang berkaitan dengan tersangka,
penyidik hendaknya memusatkan perhatiannya pada nama-nama dan alias-alias yang
digunakan oleh tersangka, gambaran fisik yang terinci, termasuk foto jika ada,
dan ciri-ciri serta tabiat lain yang bisa dikenali. Kebiasaan dan kegiatan
sehari-harinya yang telah biasa dilakukan dan kemampuan menghindari,
pembuntutan. Dan juga harus diketahui identitas dan gambaran kotak-kotak dan kawan-kawan
tersangka yang sudah diketahui atau dicurigai hendaknya diketahui.
3. Undercover
Agent ( Penyusupan Agen )
Operasi penyusupan
dalam tindak pidana narkoba sangat diperlukan hal ini disebabkan tindak pidana
narkoba merupakan tindak pidana yang terorganisasi. Pengertian undercover atau
penyusupan adalah :
Suatu operasi penyidikan yang sifatnya tertutup dan
dirahasiakan kegiatan-kegiatan penyusupan semuanya disamarkan ( Belanda :
vermond ) sedemikian rupa. Sehingga orang-orang yang melakukan dan segala
kegiatannya tidak boleh menimbulkan kecurigaan pada orang atau obyek yang
disusupi.[34]
Operasi penyusupan
yang dilakukan penyidik ini merupakan operasi yang cukup berbahaya. Hal ini
disebabkan tindak pidana narkoba merupakan tindak pidana yang terorganisir.
Dengan demikian dalam melakukan penyusupan, penyidik menghadapai orang-orang
dari organisasi ( sindikat) narkoba yang berbahaya.
Penyusupan ini akan
sangat efektif jika digunakan dalam hal telah diketahui lebih dahulu, bahwa
beberapa orang terlihat dalam suatu kejahatan berkomplot, tetapi bukti-bukti
yang diperlukan masih kurang.
Dengan adanya
informasi-informasi yang didapat melalui teknik-teknik yang disebut di atas
tersebut dapat disusun perencanaan guna penangkapan pelaku tindak pidana
narkoba yaitu dengan cara pembuatan TKP. Langkah ini merupakan penerapan dari
teknik kedua. Dengan dibuatnya TKP oleh penyidik pada prinsipnya penyidik
berkeinginan untuk membuat suatu tindak pidana narkoba yang diatur dan
dikontrol oleh penyidik dengan cara menentukan lokasi dan teknik tertentu.
Perekayasaan tempat kejadian perkara dalam tindak pidana narkoba bertujuan
untuk menciptakan suasana tertangkap tangan sehingga pelaku tidak dapat mungkir
dari sidang pengadilan.[35]
Selain bertujuan
agar pelaku tindak pidana tidak mungkir di Pengadilan, maka ditambahkan oleh
Suwanto mengenai tujuan dari perekayasaan tempat kejadian perkara oleh penyidik
:
a. Untuk
memudahkan penangkapan.
b. Tidak
mengganggu masyarakat.
c. Tidak
membawa korban
4. Pembelian
Terselubung ( undercover buy)
Pembelian
terselubung ( undercover buy ) sebagai suatu metode yang dilakukan penyidik
dalam tindak pidana narkoba dapat kita lihat pengertiannva dalam petunjuk
lapangan No. Pol. Juklap/04/VIII/1983 disebutkan :
Pembelian
terselubung atau undercover buy adalah suatu teknik khusus dalam penyelidikan
kejahatan narkoba, dimana seorang informan atau anggota polisi (dibawah
selubung), atau pejabat lain yang diperbantukan kepada polisi ( di bawah
selubung ), bertindak sebagai pembeli dalam suatu transaksi gelap jual beli
narkoba, dengan maksud pada saat terjadi hal tersebut, si penjual atau
perantara atau orang-orang yang berkaitan dengan supply narkoba dapat ditangkap
beserta barang bukti yang ada padanya.[36]
Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelian terselubung ( undercover buy ) bertujuan untuk menangkap penjual atau
perantara atau orang yang berkaitan dengan supply narkoba beserta barang bukti
yang sah. Pembeli terselubung ( undercover buy ) dapat dilaksanakan dalam hal
penyelidik mengetahui atau memperoleh petunjuk yang kuat tentang adanya
sejumlah narkoba yang akan diperjuai-belikah , akan tetapi dimana narkoba
tersebut berada/disimpan oleh siapa, sehingga untuk penggungkapan tersangka
atau barang bukti terselubung, perlu juga diupayakan pembelian terselubung.
Sebelum diadakannya
pembelian terselubung ( undercover buy ) maka diadakan kegiatan-kegiatan berupa
pertemuan, perundingan-perundingan dengan pengedar narkoba untuk
memungkinkannya dilakukan pembelian terselubung. Bila dimungkinkan pembelian
terselubung ini dilakukan lebih dari satu orang. Hal ini tergantung kepada
situasi dan kondisi. Setelah dilakukan berupa transaksi dan dari pihak lawan
tidak terdapat kecurigaan terhadap orang terselubung maka kemudian ditentukan
saat yang tepat untuk melakukan operasi terselubung. Dalam menentukan lokasi
perlu diperhatikan hal sebagai berikut:
a. Lokasi harus memungkinkan dilakukannya
pengawasan tcrhadup gerak-gerik lawan dan memungkinkan dilakukannya pengamanan
terhadap undercover, uang transaksi dan dihindari tempat yang terlalu ramai dan
terbuka.
b. Lokasi memungkinkan dipergunakannya
alat-alat komunikasi dan deteksi, baik untuk mengawasi lawan maupun untuk
kepentingan komunikasi untuk koordinasi sesama petugas.
c. Lokasi harus dikuasai sejak
dini,sehingga memungkinkannya dilakukan usaha pengamanan dan menghindari kontra
penyelidikan pihak lawan.
Pembelian terselubung ( undercover buy ) ini haruslah
dipersiapkan secara matang , karena operasi ini merupakan operasi yang cukup
berbahaya karena menyangkut nyawa dari orang yang terselubung. Kegagalan yang
mengakibatkan kematian dari orang terselubung akan mengusik perasaan dari
penyidik dan merupakan kegagalan bagi upaya Penegakan hukum.
5. Penyerahan
Narkoba Yang Dikendalikan ( Controlled Dellivery )
Penyerahan yang
dikendalikan ( controlled dellivery ) sebagai suatu metode yang dilakukan
penyidik dalam tindak pidana narkoba dapat dilihat pengertiannya dalam petunjuk
lapangan No. Pol. Juklap/ 03/ VIII/1993 disebutkan :
Penyerahan yang dikendalikan ( controlled dellivery )
adalah suatu teknik khusus dalam
penyidikan kejahatan narkoba tahap penyelidikan dan terjadi penangguhan/
penangkapan/penahanan/pensitaan, barang bukti, dimana seorang tersangka yang
mau bekerja sama dengan polisi atau informan atau pejabat lain ( undercover
agent ) dibenarkan/narkoba tersebut pada penerimanya, dengan maksud pada saat
penerimaan dapat ditangkap orang-orang yang terlibat kejahatan narkoba beserta
barang buktinya[37]
Penyerahan yang dikendalikan dapat dilakukan dalam hal
penyidik telah berhasil menangkap tersangka beserta barang bukti narkoba, akan
tetapi masih perlu pengembangan penyidikan lebih lanjut. Dalam pemeriksaan
singkat penyidik berkesimpulan, bahwa tersangka hanya sekedar pembawa atau
kurir atau diharapkan penemuan barang bukti lebih banyak lagi sekaligus
membongkar jaringan sindikat.
Untuk menjamin kesuksesan dari operasi pembelian
terselubung ( undercover buy ) dan penyerahan yang diatur ( controlled delivery
) ini haruslah didahului oleh perencanaan yang matang. Perencanaan ini meliputi
beberapa faktor :
a. Jumlah manusianya macam dan lamanya
jenis surveillance, macam dari pembelian yang harus dilakukan dan macam- macam
keputusan lainnya yang tak dapat dihindarkan harus menggunakan tenaga menusia.
b. Uang karena seringkali berhasilnya
penangkapan perdagangan narkoba karena membeli narkoba tersebut/memamerkan
jumlah uang untuk menarik pengedar narkoba mada budget untuk melakukan operasi
narkoba harus memadai.
c. Waktu strategi untuk mengamati dan
memperlajari tersangka juga berbeda maka waktu yang disediakan untuk operasi
narkoba haruslah cukup. Lebih baik menunda suatu rencana operasi narkoba
bilamana waktu yang tidak memadai daripada gagal dalam melakukan tindak, jelas
disini bahwa gerak tersangka adalah merupakan faktor utama dimana penyidik
menentukan waktu banyak.
d. Alat terutama untuk melaksanakan
operasi survellance, petugas harus mempunyai alat yang memadai. Alat-alat ini
terdiri dari binokular transmitter tubuh, teropong malam, dan senjata khusus.
e. Bantuan hukum juga perlu dipersiapkan
dalam penyidikan dan banyaknya
hal-hal teknis karena penyelesaian kasus seringkali terlupakan hal-hal yang
sebenarnya perlu diambil ; maka seorang penyidik narkoba perlu ditunjang oleh seorang ahli hukum bilamana ada. Dan bila peraturan-peraturan hukum dapat diambil dari kantor kejaksaan, maka penyidik dapat mempelajari dengan seksama.
hal-hal teknis karena penyelesaian kasus seringkali terlupakan hal-hal yang
sebenarnya perlu diambil ; maka seorang penyidik narkoba perlu ditunjang oleh seorang ahli hukum bilamana ada. Dan bila peraturan-peraturan hukum dapat diambil dari kantor kejaksaan, maka penyidik dapat mempelajari dengan seksama.
Dalam kasus narkoba maka perencanaan yang baik akan
menentukan operasi yang baik pula. Sehingga usaha yang dilakukan sebelumnya
akan dapat dinikmati keberhasilannya dengan perencanaan yang matang. Dan
menurut penulis kegagalan dalam operasi narkoba tidak hanya akan mengganggu
keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat tetapi juga akan membahayakan
orang-orang yang terlibat dalam operasi tersebut.
Setelah dilakukan operasi undercover buy dan cotrolled
dellivery maka tindakan yang selanjutnya sangat menentukan adalah menentukan
saat yang tepat untuk menangkap pelaku dalam operasi. Penentuan saat yang tepat
untuk melakukan penangkapan dalam istilah Kepolisian disebut Raid Planning
Execution.
6. Raid
Planning Execution ( Rencana Pelaksanaan Penggerebekan )
Raid Planning
Execution ini dapat dikatakan sebagai upaya penentuan dari keberhasilan
operasi-operasi. Saat-saat yang tepat dalam melakukan penggerebekan adalah pada
saat barang itu akan diserahkan kepada orang dibawah selubung dan masih ada
ditangan penjual. Dengan demikian terciptalah apa yang disebut dengan
tertangkap tangan . Tetapi apabila barang itu ada ditangan orang dibawah
selubung maka kemungkinan besar dalam sidang pengadilan maka pelaku akan
memungkiri bahwa barang bukti yang diajukan bukan merupakan miliknya.
Pengertian tertangkap tangan menurut pasal 1 angka 19 KUHP disebutkan:
Tertangkapnya seseorang pada waktu yang sedang melakukan
tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu
dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang
yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda diduga
keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa
ia adalah pelakunya atau turut membantu melakukan tindak pidana itu.[38]
Waktu penentuan penangkapan dari operasi terselubung maka
memang sebaiknya dilakukan pada saat barang itu akan diserahkan . Dengan demikian
akan memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 1 angka 19 KUHP ditemukan benda
atau barang bukti milik pelaku yang digunakan untuk melakukan tindak pidana
narkoba.
Dalam hal ini maka upaya pembelian terselubung dan
penyerahan yang dikendalikan dengan melakukan raid planning execution. Ini
merupakan suatu usaha dari penyidikan untuk menciptakan suatu peristiwa dimana
tersangka sedang melakukan jual beli narkoba, sehingga terciptalah unsur-unsur
di dalam pasal 23 ayat 5 Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 menyebutkan :
"Dilarang tanpa hal mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual,
menyalurkan, menjual-membeli, atau menyerahkan, menerima , menjadi perantara
dalam jual-beli atau menukar narkoba". Selain itu dengan melakukan raid
planning execution maka barang bukti masih ada di tangan tersangka, sehingga
memenuhi rumusan dari pasal 1 angka 19 yaitu apabila sesaat kemudian ditemukan
benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu ada
ditangan tersangka. Untuk lebih memperjelas dari teknik penyidikan narkoba
penulis mencoba menyusun dalam suatu bagan akan lebih memperjelas uraian
mengenai teknik penyidikan pada tindak pidana narkoba
BAGAN PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOBA
Pada bagan mengenai penyidikan tindak pidana narkoba
diketahui adanya tindak pidana narkoba melalui informasi. Informasi yang
didapat ini dijadikan dasar untuk melakukan penyelidikan, untuk menentukan
dapat atau tidaknya diadakan penyidikan. Teknik- teknik dalam penyidikan itu
melalui teknik-teknik: observasi, surveillance, undercover agent, undercover
buy, dan controll delivery . Teknik-teknik yang digunakan ini disesuaikan
dengan kondisi yang didasarkan atas informasi dan kegiatan yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana narkoba. Dari hasil yang diperoleh dari teknik-teknik
tersebut di atas maka diadakan Raid Planning Execution untuk menciptakan
kondisi tertangkap tangan saat transaksi narkoba. Dengan bukti-bukti serta
kesaksian dari tersangka maupun saksi digunakan untuk pembuatan Berita Acara Pemeriksaan.
Berita Acara Pemeriksaan telah lengkap dan memenuhi syarat –syarat diserahkan
kepada penuntut umum.
Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 6 KUHP POLRI
memiliki peranan yang sangat penting dalam melakukan penyidikan. Namun secara
operasional didalam melakukan kasus-kasus tindak pidana narkoba POLRI selaku
penyidik tidak melaksanakan tugasnya dengan murni mandiri. POLRI selaku
penyidik perlu bekerjasama dan koordinasi dengan seksi-seksi yang ada ditubuh
POLRI sendiri dan Instansi-Instansi terkait lainnya agar kasus-kasus tindak
pidana narkoba, dapat dengan secepatnya dituntaskan dengan hasil yang
sebaik-baiknya.
Dalam terjadinya suatu kasus tindak pidana narkoba POLRI
mengadakan koordinasi dengan instansi yang terkait meliputi :
-
Kejaksaan.
-
Kehakiman.
-
Laboratorium
Kriminal.
-
Imigrasi.
Koordinasi yang dilakukan atara POLRI selaku penyidik,
Jaksa selaku penuntut umum dan Hakim dalam Upaya Penegakan hukum dapat
dikatakan erat sekali. Dalam hal ini Suwanto mengemukakan bahwa " Polisi,
Jaksa dan Hakim merupakan criminal justice system atau dalam bahasa instansi
final yang menangani perkara, Polisi berusaha untuk mengumpulkan fakta hingga
terungkap perkara pidana, kemudian dilanjutkan ke Penuntut Umum guna pembuatan
surat dakwaan yang nantinya diajukan ke Hakim dalam persidangan".[39]
Dari apa yang diungkapkan oleh Suwanto dapat diketahui bahwa ketiga lembaga
inilah yang melakukan upaya Penegakan hukum dalam suatu Sistem peradilan pidana
sehingga antara satu lembaga dan lembaga lain saling menunjang, kelemahan salah
satu lembaga akan mempengaruhi Sistem dari peradilan hukum.
Koordinasi yang dilakukan oleh POLRI selaku penyidik
dengan pihak Kejaksaan selaku penuntut umum mempunyai arti yang cukup penting
bagi pihak POLRI yaitu agar nantinya semua proses penyelidikan dan penyidikan
yang dilaksanakan oleh POLRI atas kasus tindak pidana narkoba yang akan
diberikan kepada Kejaksaan. Dengan adanya koordinasi akan dapat menghindarkan
dikembalikan berkas-berkas perkara tersebut kepada POLRl dengan alasan terdapat
kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan yuridis, koordinasi ini akan
menghindari kemungkinan terjadinya prapenuntutan. Bentuk koordinasi oleh POLRI
selaku penyidik dengan penuntut umum adalah :
a. Penyidik wajib memberitahukan kepada
Penuntut Umum pada saat
dimulainya penyidikan.
dimulainya penyidikan.
b. Penyidik
wajib memberitahukan mengenai perpanjangan penahanan.
c. Penyidik wajib memberitahukan mengenai
penghentian penuntutan kepada
Penuntut Umum.
Penuntut Umum.
Koordinasi antara pihak POLRI selaku penyidik dan
Kejaksaan selaku penuntut umum juga diperlukan dalam menghadapi kasus-kasus
narkoba yang amat rumit. Sehingga penuntut umum akan lebih mudah mengetahui
persoalan yang akan ditanganinya, sehingga dapat menghemat waktu bagi penyidik
maupun penuntut umum. Dengan adanya koordinasi yang baik dengan pihak POLRI
selaku penyidik dan pihak Kejaksaan selaku penuntut umum akan memberikan dampak
yang positif bagi pihak POLRI maupun pihak Kejaksaan. Hasil koordinasi yang
dilakukan oleh POLRI selaku penyidik dengan pihak Kejaksaan selaku penuntut umum
adalah untuk mencegah dan memberantas masalah-masalah dan
pelanggaran-pelanggaran yang timbul di dalam masyarakat yang disebabkan oleh
penyalahgunaan narkoba yaitu dengan jalan menyerahkan berkas-berkas penuntutan
yang didasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik pada Hakim guna
diperiksa dan diputuskan untuk mendapatkan suatu penetapan hukum bagi pelaku
tindak pidana narkoba.
Dalam menangani tindak pidana narkoba POLRI juga
bekerjasama dengan pihak Imigrasi, perlunya kerjasama ini mengingat pelaku
tindak pidana narkoba dalam perdagangannya memiliki uang dalam jumlah yang
cukup besar sehingga mobilitas pelakunya begitu tinggi. Pihak POLRI dapat
meminta bantuan pihak Imigrasi untuk melaksanakan apa yang sering disebut cekal
yaitu berarti cegah dan tangkal, cegah berarti bahwa dilakukannya upaya untuk
mencegah orang-orang tertentu yang merugikan kepentingan negara dan melanggar
hukum positip tidak dapat melarikan diri ke luar negeri, sedangkan tangkal
berarti bahwa dilakukannya upaya untuk mencegah orang-orang tertentu dari luar
negeri yang dianggap pemerintah membahayakan kepentingan hukum positip dan
pemerintahan sehingga dilarang untuk memasuki teritorial Negara Republik
Indonesia.[40]
Apabila tersangka tindak pidana narkoba telah melarikan
diri ke luar negeri maka pihak POLRI dapat bekerjasama dengan meminta bantuan
kepada Interpol yang
merupakan organisasi Kepolisian Internasional dan apabila
ternyata negara lain tempat dimana pelaku tersebut melarikan diri mempunyai
hubungan diplomatik bilateral dengan Indonesia, maka dapat dilakukan Upaya
ekstradiksi atau pengambiian tersangka ke Indonesia.
Penyidikan pada tindak pidana narkoba tidak hanya
dilakukan oleh POLRI tetapi juga dilakukan oleh Pejabat Kesehatan selaku
penyidik pegawai negeri sipil dalam melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
tindak pidana narkoba terbatas hanya pada pengawasan narkoba terhadap
lembaga-lembaga yang ada di bawahnya.
Untuk menentukan suatu zat merupakan narkoba maka pihak
POLRI dalam hal ini penyidik bekerjasama dengan Laboratorium Kriminal POLRI .
Pernyataan yang dikeluarkan oleh Laboratonum Kriminal dalam bentuk tertulis
merupakan keterangan ahli yang dilampirkan dalam Berita Acara Pemeriksaan .
Secara fisual pihak penyidik mampu mengetahui suatu zat apakah narkoba atau
bukan, terutama yang paling mudah adalah ganja. Hal ini didasarkan atas
pengalaman pihak penyidik Reserse Narkoba Polres Yogyakarta tetapi untuk
menguatkan perlu adanya keterangan ahli yang menguatkan .
Dalam melakukan penyidikan pihak POLRI tidak hanya
berhubungan dengan tersangka tindak pidana narkoba, tetapi juga berhubungan
dengan penasehat hukum yang memiliki tersangka. Adanya penasehat hukum ini
tergantung dari keinginan tersangka, apakah tersangka berkeinginan untuk
didampingi penasehat hukum atau tidak. Bagi POLRI adalah suatu kewajiban
menawarkan hak tersangka untuk didampingi penasehat hukum, sesuai dengan pasal
115 KUHAP. Hal ini sesuai dengan pendapat Suwanto yang menyebutkan :
Digunakannya penasehat hukum itu tergantung tersangka
apakah memakai atau tidak, kewajiban POLRI untuk menawarkan apakah tersangka
memerlukan penasehat hukum atau tidak[41]
Dari apa yang diungkapkan Suwanto maka istilah "
dapat " dalam pasal 115 KUHAP oleh penyidik bukanlah merupakan suatu
alternatif tetapi merupakan kewajiban untuk menawarkan kepada tersangka untuk
didampingi oleh penasehat hukum karena penyidikan merupakan proses awal dari
penegakan hukum yang bersangkutan dengan hak asasi manusia dan dengan adanya
kesempatan untuk didampingi oleh penasehat hukum maka hak asasi tersangka dapat
terlindungi. Dalam tingkat penyidikan maka kehadiran penasehat hukum untuk
mendampingi tersangka sebatas pada mendengar dan melihat. Dalam hal ini H.
Hamrad Hamid dan Harun M. Husein memberikan gambaran :
Meskipun demikian , pada hemat kami KUHAP telah membuka
lembaran baru bagi penyelenggaraan bantuan hukum dengan menempatkan hak
tersangka untuk didampingi oleh penasehat hukum sejak pada tahap penyidikan .
Dengan kehadiran penasehat hukum dalam pemeriksaan itu, telah menunjukkan Perubahan
sifat pemeriksaan yang tidak lagi menempatkan tersangka sebagai obyek
pemeriksaan, tetapi sebagai subyek pemeriksaan yang hak-haknya dilindungi
Undang-Undang.
Dengan adanya koordinasi antara POLRI selaku penyidik dan
instansi terkait maka POLRI mampu mengungkapkan kasus-kasus tindak pidana
narkoba di Yogyakarta dimulai tahun 2000.
Pemakai yang dimaksud di sini adalah orang yang
menggunakan narkoba untuk dirinya sendiri. Pengedar adalah orang yang memiliki
narkoba untuk diperdagangkan dengan memperoleh imbalan berupa uang . Pengedar
dan pemakai adalah orang yang memiliki narkoba untuk digunakan untuk dirinya
sendiri dan untuk diperdagangkan . Penanam adalah orang yang menanam tanaman
narkotika.[42]
Dari keterangan diatas dapat dikatakan tanaman ganja memiliki
kualitas yang paling banyak dibandingkan dengan tanaman narkotik lainnya, baik
dilihat dari jumlah kasus, pemakai dan barang bukti. Banyak tanaman ganja yang
digunakan sebagai tindak pidana narkoba di Yogyakarta menurut Suwanto
dikarenakan beberapa faktor yaitu :
1.
Ganja dapat tumbuh
di Indonesia sehingga tanaman ganja mudah diperoleh di Indonesia.
2.
Dari faktor ekonomi
, ganja lebih murah dibandingkan dengan heroin atau
kokain.
kokain.
3.
Sehingga dari
faktor ekonomi ganja lebih banyak konsumennya. Dari apa yang diutarakan oleh
suwanto nampak bahwa ganja merupakan tanaman yang banyak dikonsumsi oleh
pemakai narkoba di Yogyakarta
Sedangkan dilihat dari skala yang lebih luas maka tindak
pidana narkoba di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain dapat
dikatakan cukup kecil. Hal ini diungkapkan oleh Suwanto sebagai berikut:
Situasi narkoba di Indonesia selama ini dapat dikatakan
cukup kecil dibandingkan negara lain. Jumlah pecandu narkotika dan psikotropika
di Indonesia sebanyak 10.176 orang dibandingkan dengan jumlah penduduk di
Indonesia 186 juta maka tingkat perbandingan pecandu narkoba adalah 0.055.
Dibandingkan dengan Malaysia maka pecandu narkoba sebanyak 157.000 orang dengan
jumlah penduduk Malaysia sebanyak 15 juta maka tingkat perbandingan 1.04 % .
Tingkat perbandingan pecandu narkoba yang cukup kecil ini
merupakan kondisi yang cukup menggembirakan tetapi pengawasan terhadap
penyalahgunaan narkoba harus tetap ditingkatkan karena usaha-usaha pencegahan
baik preventif maupun represif yang tidak dilaksanakan secara kontinyu akan
memberikan kesempatan bagi berkembangnya pecandu narkoba .
C. HAMBATAN-HAMBATAN
YANG DIHADAPI OLEH PENYIDIK DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA.
Dalam melakukan
penyidikan tindak pidana narkoba banyak hambatan-hambatan yang ditemui POLRI selaku
penyidik untuk mengungkapkan kasus-kasus tindak pidana narkoba.
Hambatan-hambatan itu meliputi:
1.
Personil.
Dalam melakukan
penyidikan tindak pidana narkoba hambatan dari segi personil yang ada di Polres
Yogyakarta merupakan hambatan dari kurangnya pendidikan khusus yang diperoleh.
Diungkapkan oleh Suwanto mengenai kurangnya pendidikan khusus narkoba yang
diterima oleh penyidik dalam hal ini unit narkoba di Polres Yogyakarta:
Dalam penyidikan kasus narkoba haruslah penyidik minimal
pernah mendapatkan pendidikan mengenai penyidikan kasus narkoba.[43]
Pendidikan khusus
ini diadakan oleh Mabes Polri bekerjasama dengan Departemen Pertahanan Dan
Keamanan maupun dari pihak luar negeri. Kedua lembaga inilah yang sering
bekerjasama dengan Polri dalam menyelenggarakan pendidikan khusus, tetapi
penyelenggaraan pendidikan khusus ini sangat terbatas dengan jenjang waktu yang
cukup lama. Dengan demikian kesempatan-kesempatan untuk mengikuti pendidikan
khusus ini sangat terbatas. Dengan adanya pendidikan khusus diharapkan penyidik
tindak pidana narkoba dapat meningkatkan kemampuan mengenai kasus-kasus
narkoba.
2. Masyarakat
kurang mengetahui ciri-ciri narkoba.
Narkoba sebagai
bahan yang harus selalu mendapat pengawasan karena sifat berbahaya , narkoba
harus dapat diketahui ciri-cirinya oleh masyarakat. Masyarakat perlu mengetahui
adanya ciri-ciri dari tanaman narkotika guna mencegah dilakukannya tindak
pidana narkoba "Hingga saat ini dapat dikatakan masyarakat kurang
mengetahui ciri-ciri narkoba, untuk perlu diadakan usaha penyebaran informasi
mengenai ciri-ciri narkoba."
Pasal 31 Undang-Undang No. 9 tahun 1976 memberikan suatu
premi bagi penyidik yang berhasil mengungkapkan atau membongkar tindak pidana
narkoba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal ini dimaksudkan untuk
memberikan gairah bagi berhasilnya penyidikan tindak pidana narkoba yang sangat
tertutup dan pelik masalahnya. Tetapi pemberian premi ini belum terlaksana
dikarenakan Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut belum ada.
Upaya-upaya yang dilakukan POLRI dalam memecahkan
hambatan-hambatan dalam penyidikan tindak pidana narkoba. Tindak pidana Narkoba
sebagai tindak pidana yang tidak hanya membahayakan pelakunya tetapi juga
bangsa dan negara haruslah dapat dilakukan pencegahan . POLRI sebagai aparat
penegak hukum tidak terlepas dari hambatan-hambatan dalam penyelidikan tindak
pidana narkoba . Untuk itu diperlukan upaya untuk memecahkan hambatan-hambatan
penyidikan tindak pidana narkoba seperti dalam uraian sebelumnya :
- Latihan rutin sebagai alternatif untuk mengatasi kekurangan pendidikan khusus mengenai penyidikan narkoba.
- Penyuluhan yang dilakukan POLRI sebagai upaya penaggulangan preventif tindak pidana narkoba
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian
dalam bab-bab terdahulu dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.
Dengan adanya
Penyidik POLRI upaya penyidikan terhadap pelaku tindak pidana Narkoba dapat
dilaksanakan dengan baik, bahkan dengan hasil memuaskan. Hal ini karena
instrumen yang ada di dalam POLRES D.I.Y bekerjasama dalam menuntaskan
kasus-kasus tindak pidana narkoba yang terjadi.
2.
Dengan keberadaan
UU/10 : 22 tahun 1997 tentang narkoba dan UU No : 5 Tahun 1997 tentang
psikotropika diharapkan agar para pelaku tindak pidana narkoba semakin jera,
karena sanksi yang diatur di dalamnya mengatur tegas tentang
kejahatan-kejahatan narkotika dan psikotropika.
3.
Perjalanannya
proses penyidikan perkara tindak pidana narkoba serta
keberhasilan penyidik dapat membersihkan seseorang benar-benar
melakukan tindak pidana narkoba, dapat kita lihat dari tabel-1, ini karena
ditunjang oleh kebersamaan para anggota penyidik POLRI serta fasilitas-
fasilitas penunjang terlaksananya penyidikan suatu kasus.
keberhasilan penyidik dapat membersihkan seseorang benar-benar
melakukan tindak pidana narkoba, dapat kita lihat dari tabel-1, ini karena
ditunjang oleh kebersamaan para anggota penyidik POLRI serta fasilitas-
fasilitas penunjang terlaksananya penyidikan suatu kasus.
4.
Diharapkan
berlanjutnya Berita Acara Pemeriksaan yang diserahkan penyidik POLRI kepada ke
Kejaksaan dapat segera diselesaikan sesuai prosedur dan bisa diserahkan ke
Pengadilan.
5.
Kekuatan pembuktian
dari alat bukti serta adanya pemeriksaan
laboratorium kriminal ( tes urine) , maupun barang bukti , cukup menguatkan
keyakinan Hakim.
6.
Berdasarkan sanksi-sanksi
yang telah diatur oleh UU No. 22 Tahun 1997
usaha-usaha dari Penyidik POLRI benar-benar diperhatikan oleh Hakim
dalam menjatuhkan putusannya.
usaha-usaha dari Penyidik POLRI benar-benar diperhatikan oleh Hakim
dalam menjatuhkan putusannya.
B. SARAN-SARAN
Bertitik tolak dari
kesimpulan di atas, berikut ini dikemukakan beberapa saran yang mungkin dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat penyelesaian perkara tindak pidana/
narkoba antara lain :
1.
Perlu dipikirkan
peningkatan secara terus menerus tentang cara-cara yang
diperlukan dalam membantu proses penyidikan guna memberikan titik
terang suatu kejahatan narkoba melalui barang bukti seperti dibuatkan suatu buku tentang jenis-jenis obat Psikotropika dan buku ini disebarkan kepada masyarakat luas dan diharapkan masyarakat dapat menginformasikan kepada pihak yang berwenang tentang adanya peredaran obat-obatan tertentu setelah mengetahui jenis obat itu dilarang untuk diedarkan.
diperlukan dalam membantu proses penyidikan guna memberikan titik
terang suatu kejahatan narkoba melalui barang bukti seperti dibuatkan suatu buku tentang jenis-jenis obat Psikotropika dan buku ini disebarkan kepada masyarakat luas dan diharapkan masyarakat dapat menginformasikan kepada pihak yang berwenang tentang adanya peredaran obat-obatan tertentu setelah mengetahui jenis obat itu dilarang untuk diedarkan.
2.
Harus diusahakan
penambahan personil dari kantor kepolisian resort D I Y karena untuk proses
penanganan kasus narkoba membutuhkan waktu yang lama ,untuk itu dibutuhkan personil
yang banyak dalam arti pembagian tugas dari pada penyidik baik lapangan maupun
kantor telah dibagi tugasnya masing-masing.
3.
Pengadaan suatu
pendidikan atau penataran terhadap para penyidik yang terlibat dalam penanganan
tindak pidana narkoba karena dilihat dari berbagai macam jenis-jenis
Psikotropika yang disalahgunakan dan beredar di masyarakat, diharapkan penyidik
telah mengetahui jenis-jenis obat psikotropika yang beredar di masyarakat.
4.
Diharapkan
masyarakat Yogyakarta Khususnya membantu tugas POLRI dalam memberi informasi
apabila adanya peredaran obat-obat terlarang dilingkungan masing-masing.
5.
Dan diharapkan
kepada Masyarakat, agar menyadari bahwa mengkonsumsi obat-obat yang
identitasnya tidak jelas dan dilarang oleh pemerintah dapat merusak kesehatan
dan mempunyai sanksi hukum yang tegas.
DAFTAR PUSTAKA
Gerson Bawengan Penyidikan Perkara Pidana.Pradnya Paramita.Jakarta.l977
Andi Hamzah , Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta. I983
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Arikha Media Cipta , Jakarta
1993
Andi Hamzah Pengusutan Perkara Kriminil Melalui Sarana Tekhnik dan sarana
hukum, Ghalia,Indonesia,Yogyakarta, 1986
Abdul Mun'im dan Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran
Kehakiman dalam Proses Penyidikan Perkara, Karya Unpra 1982
Ratna Nurul Afiah,SH , Barang Bukti Dalam Proses Pidana.Sinar
Grafika.Jakarta,1998
Departemen Hankam Mabes Polri, himpunan juklak dan juknis tentang Proses
Penyidikan Perkara Pidana, Jakarta, 1982
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 1997; Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 1997; Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 1996; Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention On
Psychoterapic Substances 1971 ( Konvensi Psikoterapi 1971)
[7] Ibid, hal 34-36
[8]Andi Hamzah,
Hukum Acara Pidana Indonesia, Arikha Media Cipta , Jakarta 1993. h. 91
[9]UU
Kepolisian RI no 28 tahun 1997, Redaksi Sinar Grafika h. 1
[11]Andi Hamzah
Pengusutan Perkara Kriminil Melalui Sarana Tekhnik dan sarana hukum, Ghalia,Indonesia,Yogyakarta,
1986,hal 13
[12] Ibid, hal.21
[14] Ibid, hal.14
[15] Ibid. hal 15
[16]Abdul Mun'im
dan Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam
Proses Penyidikan Perkara, Karya Unpra 1982,hal 13
[18] Ibid Hal 6
[20]Departemen
Hankam Mabes Potri, himpunan juklak dan juknis tentang Proses Penyidikan
Perkara Pidana, Jakarta, 1982,hal 520
[21]Ibid hal.
44-45
[22]Ibid.,hal.47-50
[24] Ibid., hal. 45-46
[25] Ibid., hal. 63
[26] Ibid., hal. 66
[27] Ibid., hal. 67
[34]R. Soesilo,
Op.cit, hal. 92
[37]Petunjuk
Lapangan No Pol. Juklap/O3/VIII/1983, Taktik dan Teknik Penyerahan Narkoba yang
Dikendalikan ( Controlled Delivery)
[40]Wawancara
dengan Letda Pol Suwanto, Tanggal 31 juli 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar