S K R I P S I
ASPEK PILIHAN
HUKUM DALAM
KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL
Diajukan untuk memenuhi
persyaratan Ujian Sarjana Guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program
Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Ekonomi
Universitas Negeri
Manado
OLEH
Vanderik Wailan
06 301 319
UNIVERSITAS
NEGERI MANADO
FAKULTAS ILMU
SOSIAL
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2010
ABSTRAK
Vanderik Wailan, 06 301 319
“ASPEK PILIHAN HUKUM DALAM
KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL”
Dibimbing oleh :
W.R. Mawitjere, SH, MH dan F.E Pijoh, SH, MH
Dewasa ini
perdagangan internasional mengarah pada perdagangan yang lebih bebas dan
dinamis. Para pedagang mencari cara yang aman untuk kontrak bisnis mereka. Para
pedagang pasti berharap bahwa kontrak mereka dikemudian hari tidak akan menjadi
suatu permasalahan. Melihat suatu kenyataan yang ada
yaitu perbedaan
sistem hukum dan hakim di masing-masing negara sehingga sangat sulit untuk menentukan
titik taut penentu. Oleh karena itu untuk melindungi mereka harus
mempertimbangkan dan menentukan pilihan hukum yang mana diharapkan dapat
menjadi solusi dasar jika terjadi suatu permasalahan. Kebanyakan kontrak bisnis
internasional pada kenyataanya menggunakan pilihan hukum dan para pelaku dagang
tidak memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pembatasan dalam
penggunaan pilihan hukum sehingga banyak kontrak bisnis yang sudah disepakati
tidak dapat dilaksanakan. Ada beberapa aspek yang menyebabkan sampai tidak
dapat dilaksanakan kontrak bisnis internasionnal yaitu: kurangnya pengetahuan
tentang pilihan hukum, masih terjadi kesalahan penafsiran mengenai asas
kebebasan berkontrak, adanya itikat tidak baik, dan pilihan hukum yang ada
bertentangan dengan kaidah yang bersifat memaksa pada tempat kontrak
dilaksanakan. Didalam penelitian ini, ruang lingkup pembahasan meliputi aspek
unsur-unsur yang menjadi prinsip-prinsi maupun batasan penggunaan pilihan hukum
dalam kontrak bisnis internasional. Adapun tujuan dari penelittian ini adalah
untuk melihat pentingnya aspek-aspek penggunaan pilihan hukum dalam kontrak
bisnis internasional bagi para pedagang atau siapa saja yang terlibat dalam
kontrak bisnis internasional supaya tidak terjadi pembatalan kontrak.
Penelitian ini menggunakan metode deskripsi yuridis normatif. Suatu analisa
dari permasalahan yang ada, kemudian disimpulkan bahwa suatu pilihan hukum
didalam kontrak bisnis internasional sangatlah penting. Arti penting
menyiratkan suatu jaminan hukum. Tapi hal ini harus mempertimbangkan beberapa
prinsip dan batasan didalam menggunakan pilihan hukum.
Kata kunci :
Pilihan Hukum, Kontrak, Bisnis Internasional, Perdagangan Internasional,
Kasus-kasus.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas penyertaan dan
bimbinga-NYa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, itu semua bukan
karena kuat dan gaga perkasanya penulis namun hanya semata-mata karna kasih
karunia Tuhan Yesus Kristus. Penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk
dapat menyelesaikan studi guna menempuh ujian akhir, pada Program Studi Ilmu
Hukum.
Dalam penulisan ini,
penulis banyak menghadapi kesulitan dan hambatan, tetapi karena KasihNYA dan berkat
bantuan dari berbagai pihak yang penuh perhatian dan keiklasan, membantu
memberikan saran dan dorongan sehingga semuanya dapat teratasi. Untuk itu
dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terimahkasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Prof.
Dr. Ph.E.A Tuerah, M.Si, DEA selaku Rektor Universitas Negeri Manado serta para
Pembantu Rektor.
2. Dra
Sisca B Kairupan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Manado.
3. …
4. Drs.
E. Lumowa, M.Si dan Drs. M.V Keitjem, M.Si selaku ketua dan sekertari jurusan
PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado.
5. W.R
Mawitjere, SH, MH selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Manado.
6. W.R
Mawitjere, SH, MH dan F.E Pijoh, SH, MH selaku pembibing I dan II.
7. Bapak
dan Ibu Dosen Jurusan PPKn Program Studi Ilmu Hukum yang telah mendidik serta
memberikan pengetahuan.
8. Seluru
Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado yang telah
membantu penulis dalam pengurusan-pengurusan.
9. Papa
dan Mama yang telah bersusah payah mendoakan, mendidik, membesarkan serta
membiayai studiku.
10. Oma
Opa tersayang yang selalu setia mendoakan, membiayai memberikan motivasi,
nasehat dan didikan dalam penyelesaian studiku.
11. Yang
tersayang almarhum Om Abson Wailan yang telah mendoakan, membantu dalam
penyelesaian studiku.
12. Adik-adikku:
Donaldo Wailan, Frichardo Wailan, Junaldi Wailan, Yesti Wailan, Frisdianto
Wailan yang telah mendoakan, membantu dan memberikan dorongan bagi penulis.
13. Yang
tersayang Om dan Tanteku Kiropo Guntur Lakumani, Yulce Nabi, Wolter Yanis, Boki
Nabi yang telah mendoakan, mendidik, membantu, dan memberikan dorongan dalam
penyelesaian studiku.
14. Keluarga
Besar Bander-Riung, Riung-Wailan, Wailan-Bander, Wailan-Aiba, Mangindudu-Malee,
Matimbang-Wailan, Mangindudu-Lobbu, Riung-Maradesa, Sawil-Nabi, Yanis-Nabi,
Lobbu-Mangindudu, Aiba-Mangindudu, Nabi-Mebanua yang telah membantu dan
memberikan motivasi bagi penulis.
15. Yang
tersayang pacarku Christin Linelejan, S.Pd, M.Pd, yang telah mendoakan,
membantu memberikan motivasi tersendiri bagi penulis.
16. Sahabt-sahabtku
k’Swingli Sarendeng, Jerri Lumowa, Nicky S. Sumual, Kristian Sarendeng, Freiro
Samura, serta semua teman-teman Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2006.
17. Teman-teman
seperguruan WUSHU INDONESIA (perguruan Kungfu Naga Mas) terutama bagi Suheng
Delvri Laumba.
18. Teman-teman
HIKMAT (Himpunan Kekeluargaan Mahasiswa Talaud) Sulut di Tondano.
19. Dan
semua pihak yang penulis tak sempat sebutkan satu persatu kiranya Tuhan selalu
membalas dan memberkati kita semua dalam kehidupan kita masing-masing.
Segala upaya untuk dapat menyajikan tulisan secara
baik telah diusahakan, namun penulis menyadari kekurangan dan
kelemahan-kelemahan dalam tulisan ini, untuk itu dengan kerendahan hati penulis
menerima segala saran dan kritikan demi kesempurnaan penulisan hukum ini.
Tondano,
Juni 2010
Penulis
Vii
|
DAFTAR
ISI
LEMBAR
JUDUL……………………………………………………………..
LEMBAR
PERSETUJUAN……………………………………………………..
LEMBAR
PENGESAHAN……………………………………………………..
MOTO
DAN PERSEMBAHAN…………………………………………………
ABSTRAK……………………………………………………………………….
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………….
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………
BAB
I PENDAHULUAN…………………………………………………………
A. Latar
Belakang Masalah
B. Identifikasi
Masalah
C. Perumusan
Masalah
D. Tujuan
Penelitian
E. Manfaat
Penelitian
1. Manfaat
Teorittis
2. Manfaat
Praktis
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….
A. Kajian
Teori
B. Kajian
Konseptual
1. Pilihan
Hukum (Choice of Law)…
2. Pilihan
Hukum Dalam Peraturan Tertulis
3.
Kontrak Bisnis Internasional
4. Definisi
serta Dasar Hukum Kontrak Bisnis Internasional
BAB
III METODOLOGI PENELITIAN………………………………………….
A. Jenis
Penelitian
B. Data
dan Sumber Data
C. Pengummpulan
Data
D. Pengolahan
Data
E. Penyajian
dan Analisa Data
BAB
VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………….
BAB
VI PENUTUP……………………………………
A. Kesimpulan
B. Saran
…
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perdagangan Internasional lebih mengacu pada perdagangan
terbuka yang sifatnya lintas batas antar negara. Hal ini biasa dilihat dalam
perkembangan negara-negara baik secara bilateral, regional maupun global
cenderung mengadakan hubungan kerjasama dalam perdagangan. Hubungan-hubungan kerjasama
dalam perdagangan mencakup banyak jenis, dari bentuk yang sederhana, yaitu dari
barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan,
dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya
hubungan atau transaksi dagang internasional ini disebabkan oleh adanya jasa
teknologi (khusus teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang
semakin cepat, bahkan dengan pesatnya teknologi, saat ini para pelaku perdagang
tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa rekan dagangnya yang berada jauh di
belahan bumi lain.[1]
Tidak hanya perkembangan perdagangan internasional yang melaju dengan cepat,
dunia bisnis juga melaju dengan pesat, baik yang berskala nasional, bilareral,
maupun internasional. Perkembangan pasar mengakibatkan transaksi-transaksi
bisnis juga semakin berkembang, transaksi tersebut umumnya dituangkan dalam
suatu dokumen kontrak. Bisnis apapun tidak lepas dari keberadaan suatu kontrak,
dimana ada bisnis disitu ada kontrak, dengan demikian dalam dunia hukum
(khususnya hukum bisnis), hampir dapat dipastikan bahwa abad mendatang akan
merupakan abad kontrak. Untuk menjaga kegiatan bisnis atau transaksi dagang
yang semakin moderen dan mengglobal tersebut, peranan hukum kontrak sangat
diperlukan.
Adanya perkembangan transaksi dagang maupun bisnis tersebut
menimbulkan berbagai permasalahan
mengingat suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari adalah adanya berbagai
sistem hukum di dunia dewasa ini. Sistem hukum[2] yang
terutama adalah Commom Law, sistem
hukum berdasarkan Agama (hukum Islam, Hindu, Kristen), Civil Law, Socialist Law, sistem hukum campuran, dan lain-lain. Sudah
menjadi suatu pemahaman yang mutlak bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan suatu kontrak bisnis internasional, karena pada hakekatnya mereka
tidak menghendaki ataupun menginginkan dikemudian hari adanya suatu sengketa
atau masalah sekecil apapun. Pastilah yang di inginkan adalah kontrak yang
telah disepakati dapat terlaksana sesuai dengan isi kontrak.[3]
Salah satu asas yang paling menonjol dalam penyusunan kontrak adalah asas
kebebasan berkontrak yang merupakan asas universal dan dianut oleh hukum
perjanjian di hampir seluruh negara di dunia pada saat ini. Asas ini memberikan
para pihak kebebasan dalam menentukan suatu kontrak, tetapi yang perlu
diperhatikan adalah makna dari kebebasan berkontrak itu sendiri, karena
kebebasan berkontrak bukan berarti bebas membentuk hukum bagi mereka sendiri.
Kebebasan itu tentu tidak boleh bertentangan dengan UU, kepentingan umum,
kesusilaan, kesopanan dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh
masing-masing sistem hukum.
Melihat adanya berbagai
perbedaan sistem hukum perdata maing-masing negara para pihak berusaha melakukan
suatu unifikasi hukum, dalam prespektif hukum perdata internasional, jalan
menuju unifikasi ini diklasifikasikan atas dua jenis, yaitu penyatuan hukum dan
penyatuan kaidah-kaidah hukum,[4]dimana
melalui usaha unifikasi ini telah diawali dengan suatu konvrensi diplomatik intern
negara-negara Eropa di Den Haag (konvrensi Den Haag 1893). Motivasi pertemuan
ini adalah menjajaki kemungkinan dilakukanya unifikasi dalam bidang hukum
perdata internasional. Hingga kini telah
dibahas puluhan topik penting, dan telah dihasilkan sekitar 26 konvensi yang
bersubstansi sangat vital dalam kaitan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat
perdata lintas batas negara dan salah satu dari 26 konvensi itu adalah Convensi on the choice of court (15
November 1969). Konvensi ini menegaskan diakuinya prinsip kebebasan para piahak
memilih forum pengadilan, hukum dan hakim untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari
kontrak-kontrak yang dibuatnya.
Jika muncul suatu
sengketa atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut, maka kemungkinan
pertama yang menjadi persoalan adalah mengenai hukum dari negara mana yang akan
diterapkan. Apakah hukum nasional dari pihak yang satu (pembeli) atau hukum
nasional dari pihak yang lain (penjual), atau hukum yang dipilih oleh para
pihak, misalnya pada
suatu kontrak pihak pembeli warga negara Malaysia dan pihak penjual warga
negara Indonesia yang memiliki perbedaan sistem hukum dicantumkan dalam klausul
kontrak bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia, Ini berarti hukum
Indonesia ditentukan oleh para pihak pembuat kontrak sebagai pilihan hukum (choice of law). Selain itu terdapat
juga bahwa kalau timbul sengketa dikemudian hari, akan diselesaikan di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini menandakan bahwa para pihak pembuat
kontrak telah menentukan pilihan forum (choice
of forum/ choice of jurisdiction) dalam perjanjiannya yaitu Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat yang berwenang
mengadili. Selain itu sebagai contoh dapat kita lihat dalam perdagangan terigu
internasional, dimana dalam perdagangan terigu dari U.S.A. ke Eropa lasimnya
dipergunakan La Plata Grain Contract
dari Londaon Corn Trade Association.
Menurut formulir standar ini para pihak menundukkan diri kepada arbitrase di
London bila timbul perselisihan, sedangkan hukum yang diperlakukan adalah hukum
Inggris.
Disamping kontrak standar La Plata Grain Contract tersebut, perdagangan besar internasional
untuk hasil bumi seringkali mempergunakan formulir-formulir terkenal tertentu
dari perserikatan-perserikatan dagang internasional. Kontrak-kontrak karet
misalnya seringkali mempergunakan kontrak-kontrak standar menurut
formulir-formulir tertentu dari London
Rubber Trade Association. Perdagangan beras seringkali mempergunakan
formulir-formulir dari London Rice Broker
Association, perdagangan copra formulir-formulir dari London
Copra Association. Juga dipergunakan model-model kontrak dari Liverpool
Cotton Association untuk perdagangan
tenun, London Cattle Food Trade Association
untuk perdagangan makanan hewan, demikian pula kontrak mengenai gula ditunjukan
hukum Inggris, kontrak pengangkutan baik di laut maupun di udara lazimnya
memakai hukum tertentu yang ditunjuk dalam formulir-formulir kontrak yang sudah
siap tercetak.[5]
Selanjudnya dapat kita lihat contoh kasus pilihan hukum dalam
perkara Solbandera Valencia Sinaasappelen
Import Maatschappij, N.V. telah mengajukan gugatan terhadap “Blue
Star Line Limited” pihak Solbandera
adalah pemegang konosemen yang telah dikeluarkan oleh Rederij yang menjadi
tergugat dalam perkara ini. Kapal “Celtic
Star” dari maskapai tergugat ini telah mengangkut sinaasappelen dari Rio de
Jeneioro ke Hoek Van Holland. Selama pengagkutan ini sinaasappelen tersebut
telah mengalami kerugian yang menurut dalil penggugat disebabkan karena untuk
pengangkutan itu tidak disediakan instalasi pendingin yang cukup dan juga
karena dari personil dari kapal tersebut telah merawat buah-buahan bersangkutan
secara salah. Kerugian yang diderita sebesar F. 25.249,42.[6]
Pihak tergugat membelah diri dengan mengemukakan bahwa
konisemen yang telah dikeluarkan memuat klausul tertentu di bawah no. 23, yang
bebunyi sebagai berikut: “This contract,
wherever made, shall be construed and governed by English law, and claims in
connection therewith settled direct with
the carriers in London to the exclusion of proceedings in the courts of
any other country.[7]
Dalam taraf pertama Solbandera tidak dapat diterima dengan
gugatanya berdasarkan klausul yang telah dimuat dalam konosemen itu. Dalam
tingkat banding pihak Solbandera mengajukan dalil bahwa untuk perjanjian
pengangkutan sengketa harus diperlakukan pasal 470 dan 470a jo. 517d
W.v.K. dan menurut ketentuan ini bahwa “vrijtekenings clausule” bersangkutan
tidak dapat diterima. Pembanding mendalilkan bahwa dengan melakukan pilihan
hukum dan pilihan hakim asing sebagai instansi yang kompoten, tidaklah dapat
dikesampingkan ketentuan-ketentuanhukum Belanda yang bersifat memaksa (dwingend).
Pasal 470 WvK Belanda melarang “vrijtekening” dan berbunyi sebagai berikut: “tidaklah
diperbolehkan kepada si pengangkut untuk minta diperjanjikan, bahwa ia tidak
bertanggung-jawab atau tidak salanya sampai suatu harga yang terbatas, untuk
kerugian yang disebabkan karena kurang di
usahakanya akan pemeliharaan, perlengkapan atau per-anak-buahan alat
pengangkutnya, ataupun kurang diusahakanya kesanggupan alat pengangkutan itu
untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan ataupun yang
disebabkan karena salah memperlakukanya atau kurang penjagaanya terhadap barang
yang di angkut. Janji-janji yang bermaksud demikian, adalah batal.
Bagaimana pendirian Hof mengenai persoalan ini? Hof
mengemukakan bahwa para pihak bebas untuk secara kontraktuil memilih hakim
Inggris, asal saja kaidah-kaidah hukum yang dipergunakan oleh hakim yang
belakangan ini, tidak akan bertentangan dengan faham-faham ordre public di Nederland. Menurut Hof Pasal 470, 470a, dan 517d WvK tidak bersifat “van
openbareorde” maka para pihak boleh
menyimpang daripadanya seperti yang telah dilakukan dalam konosemen
sengketa. Oleh karena itu baik menurut
hukum Belanda maupun menurut hukum Inggris pilihan hakim Inggris adalah sah. Maka pihak Sobandera telah gagal
lagi dalam tuntutannya. dalam kasasi Hoge Raad
mempertimbangkan bahwa kehendak para pihak untuk memilih sendiri hukum
pada umumnya tidak dibatasi oleh kaidah-kaidah yang bersifat memaksa, dari
undang-undang yang akan berlaku bilamana tidak dilakukan pilihan hukum.
Selanjutnya Hoge Raad maju selangkah lagi dengan mempertimbangkan, bahwa akan
tetapi undang-undang Belanda telah menentukan pasal-pasal 470 dan 470a sebagai
hukum memaksa, juga untuk pengagkutan internasional. Pilihan hukum bagi para
pihak kearah sistem hukum lain tidak diperbolehkan, dengan lain perkataan:
kebebasan memilih oleh para pihak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum
belanda yang juga dikatakan memaksa untuk perjanjian-perjanjian internasional.
Menurut pendapat Hoge Raad Pasal-pasal 470, 470a dan 517d
WvK harus diperlakukan. Pilihan hukum oleh para pihak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum Belanda
yang juga dalam perjanjian internasional telah dinyatakan memaksa. Para pihak
tidak mempunyai kebebasan untuk memilih hukum Inggris dan dan tidak dapat
menyatakan bahwa hakim Inggris adalah yang kompoten. Klausul dalam konosemen
mengenai pilihan hukum Inggris tidak dapat dipertahankan dan batal adanya.
Dalil-dalil penggugat untuk kasasi dianggap benar adanya.
Bukan saja pilihan hukum ke arah hukum inggris di anggap batal, tetapi juag pilihan hakim Inggris sebagai Instansi yang kompoten untuk mengadili jika
timbul sengketa. Hal ini disebabkan, karena apabila dibolehkan pilihan hakim
Inggris, maka hakim tersebut akan mempergunakan tidak lain daripada hukum
Inggris, yang membolehkan pembatasan tanggung-jawab, sedangkan
ketentuan-kentuan undang-undang Belanda melarangnya.[8]
Jelaslah
bahwa, berdasarkan contoh kasus di atas pilihan hukum yang dipilih oleh para
pihak diperbolehkan tapi tidak boleh bertentangan dengan kaidah yang bersifat memaksa pada
suatu negara yang dianut secara internasional. Selain itu pilihan hukum harus
ada hubunganya dengan kewajiban-kewajiban mereka menurut kontrak-kontrak yang
dibuat dan tidak boleh sewenang-wenang. Misalnya: seorang warga negara Jepang
yang tinggal di Indonesia membuat
kontrak sewa tanah dengan warga negara Indonesia. Tanahnya terletak didalam
wilayah R.I. kedua pihak memilih hukum soviet. Disini kita bisa lihat secra
nyata kehendak para pihak yang aneh sekali.
Untuk melindungi
kepentingan dari para pihak yang berkontrak, maka sudah menjadi keharusan dari
para pihak untuk menentukan pilihan hukum (choice
of law) yang hendak mereka gunakan sebagai dasar dalam menyelesaikan
sengketa yang mungkin timbul dari kontrak tersebut.
Melihat kenyataan yang ada sering para pihak kurang
memperhatikan apa yang menjadi hal mendasar atau boleh dikatakan
prinsip-prinsip dasar atau yang mencakup pembatasan terhadap penggunaan pilihan
hukum untuk suatu kontrak bisnis internasional. Sehingga para pihak seakan-akan
diberikan kebebasan yang sebesar-besarnya dan hal ini tentu bisa menjadi
penghalang atau penghambat klausul pilihan hukum yang telah disepakati.
Muncul suatu permasalahan dengan adanya pilihan
hukum, hal ini bisa saja menyangkut suatu pilihan hukum yang telah dibuat oleh
para pihak, apakah dapat diterapkan dalam suatu kontrak bisnis internasional.
Untuk itu penulis mengangkat
permasalahan-permasalahan ini melalui penulisan skripsi dalam bentuk penulisan
hukum yang berjudul: “Aspek Pilihan Hukum dalam Kontrak Bisnis Internasional.
B.
Identifikasi
Masalah
Dalam mengadakan suatu penelitian tentang Pilihan
Hukum dalam Kontrak Bisnis
Internasional (Kajian Yuridis Normatif) maka dapat dikemukakan identifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Aspek
pilihan hukum (choice of law) dalam
kontrak bisnis internasional.
2. Kurangnya
perhatian atau kecermatan para pihak terhadap pembatasan dalam penggunaan
pilihan hukum.
3. Sulitnya
menentukan hukum yang akan dipakai jika dalam suatu kontrak bisnis
internasional tidak mengatur klausul pilihan hukum karena perbedaan sistem
hukum.
4.
Sulitnya
memperhitungkan risiko-risiko yang timbul akibat dari itikat tidak baik pelaku
dagang dalam kontrak bisnis internasional.
C.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah
seperti yang penulis kemukakan di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian hukum ini
dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana aspek
pilihan hukum (choice of law) dalam
kontrak bisnis internasional?”
D.
Tujuan
Penelitian
Adapun
yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui pentingnya aspek dari klausul pilihan hukum dalam suatu kontrak
bisnis internasional.
2.
Untuk
memahami secara konprehensif aspek pilihan hukum (choice of law) dalam kontrka bisnis internasional.
E.
Manfaat
Penelitian
1.
Manfaat
Teoritis
Adapun manfaat teoritis yang menjadi harapan setelah
penelitian ini selesai dilaksanakan, adalah:
1. Hasil
penelitian ini dapat menambah perbendaharaan bahan bacaan guna pengembangan
bidang-bidang ilmu terkait.
2. Hasil
penulisan ini dapat menjadi dasar atau perbandingan bagi pihak lain yang ingin
menerapkan kembali konsep penulisan ini terhadap objek yang sama tetapi
terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menuju kearah penelitian yang
lebih baik dan lebih sempurna.
2.
Manfaat
Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan setelah
penelitian ini dilaksanakan adalah:
1. Hasil
penelitian ini dapat menambah, memperkaya ilmu pengetahuan seorang sarjana
hukum dalam prakteknya khususnya dalam kontrak bisnis internasional.
2. Hasil
penelitian ini dapat memberikan gambaran serta pedoman tentang aspek pilihan
hukum dalam kontrakl bisnis internasional bagi para pihak yang terlibat dalam
pembuatan kontrak bisnis internasional.
3. Agar
dapat menambah bahan-bahan pendukung
atau bahan referensi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Manado dalam Studi Hukum Perdata Internasional khususnya menyangkut
penggunaan pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Kajian
Teoritis
Dalam perkembangan ilmu dan teknologi, teori
menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana kepada kita untuk
bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan lebih baik. Hal-hal
yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditujukan
kaitanya satu sama lain secara bermakna, dengan demikian teori memberikan
penjelasan dengan cara mengorganisasi dan mensistematisasikan masalah yang
diperbincangkan.
Jeremy Bentham (1748-1832), Ia berpendapat bahwa
manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.
Konsepnya tentang hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna mencapai
hidup bahagia[9]
Menurut L.J. Van Apeldoorn faktor-faktor yang
membuat terbentuknya hukum adalah terdiri dari:
a.
Perjanjian;
b.
Pengadilan;
c.
Ilmu pengetahuan hukum (ajaran hukum).
Perjanjian dikategorikan sebagai faktor pembantu
dalam pembentukan hukum karena jika perjanjian itu sudah disepakati oleh para
pihak yang berkepentingan, dilaksanakan sebagai mereka melaksanakan ketentuan
undang-undang.[10]
Teori lain yang mengandung unsur-unsur hukum dan
perubahan sosial adalah teori dari Sir Hendry Maine. Beliau mengatakan bahwa
“perkembangan hukum dari status kekontrak adalah sesuai dengan perkembangan dari
masyarakat yang sederhana dan homogen kemasyarakat yang telah kompleks
susunanya dan bersifat heterogen dimana hubungan antara manusia lebih
ditekankan pada unsur pamri atau jasa. Dalam hal ini, mereka dalam melakukan
hukum ditentukan oleh kedudukanya. Dalam masyarakt yang sudah kompleks, seorang
mempunyai kebebasan dalam membuat suatu kontrak tertentu.
Teori otonomi para pihak secara kongkrit
diperkenalkan sejak Dumoulin, secara seksama dumoulin telah mengemukakanya
berkenaan dengan masalah syarat-syarat perkawinan (huwelicks voorwaarden). Menurutnya kebebasan para pihak untuk
memilih hukum itu ternyata tidak dibatasi soal perkawinan tanpa syara-syarat
nikah saja. Juga dibidang hukum perjanjian dianggap pilihan hukum oleh para
pihak baik secara tegas maupun secara diam-diam, sebagai faktor menentukan.[11]
Hal yang serupa dikembangkan oleh Savigny seorang
sarjana berasal dari Jerman, menurutnya setiap pihak harus tunduk secara
sukarela pada suatu stelsel hukum yang terjadi karena telah dipilih lex loci, execotions.
Teori otonomi para pihak diperkembangkan lebih jauh
oleh Mancini, menurutnya kebebasan para individu untuk menentukan hukum bagi
hubungan perjanjian mereka, sebagai dasar daripada seluruh sistem Hukum Perdata
Internasional. Disamping prinsip nasionalitas dan kepentingan umum. Mancini
menjadikan kebebasan para individu untuk menentukan hukum bagi hubungan kontrak
mereka, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh paham ketertiban umum.[12]
Berdasarkan teori-teori yang ada di atas, maka
peneliti menggunakan teori otonomi para pihak yang dikemukakan oleh Mancini
untuk memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasi dan mensistematisasikan
masalah yang diperbincangkan dalam penelitian ini. Untuk itu supaya tidak
terjadi aspek pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional seharusnya para
pihak harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar atau pembatasan-pembatasan yang
ada dalam pilihan hukum itu sendiri. Dimana pilihan hukum itu tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan.
B.
Kajian
Konseptual
Dengan berdasarkan judul skripsi yaitu: Pilihan
Hukum dalam Kontrak Bisnis Internasional (Kajian Yuridis Normatif), maka perlu
diberikan penjelasan terhadap beberapa istilah pokok yang terdapat dalam judul
skripsi tersebut.
I.
Pilihan
Hukum (Choice of Law)
Pilihan hukum dalam hukum perjanjian adalah
kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang
hendak dipergunakan untuk perjanjian mereka.[13]
Pilihan hukum didasarkan pada beberapa alasan, pertama,
yang bersifat falsafah,[14]
kedua, yang bersifat praktis,[15]
ketiga, bersifat kebutuhan, yaitu
sebagai kebutuhan untuk melakukan transaksi internasional.[16]
Menurut Sudargo Gautama, ‘Pilihan hukum telah lama
disepakati hal mana dalam pejanjian internasional yang pertama-tama harus
diberlakukan adalah hukum yang telah dipilih oleh para pihak sendiri’. Hal ini
biasa dilihat dalam bidang kontrak atau perjanjian dimana perorangan atau para
pihak mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri apakah yang menjadi pilihan
terhadap hukum yang akan dipakai, maka dari itu dalam kontrak-kontrak telah
dihormatinya prinsip-prinsip pilihan hukum oleh para pihak.[17]
Adapun yang menjadi Prinsip-prinsip dan batasan pilihan
hukum adalah:[18]Prinsip
Kebebasan para pihak;[19]Prinsip
Bonafide;[20]Prinsip
Real Connection;[21]
Larangan penyeludupan hukum;[22]
Ketertiban umum;[23]dan
Prisip Separabilitas Klausul Pilihan Hukum.[24]
II.
Pilihan
Hukum Dalam Peraturan Tertulis
Dalam sistem HPI berbagai negara di dunia ini
lembaga pilihan hukum diatur secara berlainan yaitu[25] :
1.
Negara-negara
Eropa
(a). Italia
Pasal 25 C.C. dari tahun 1942 mengatur pilihan
hukum. Apabila para pihak telah melakukan pilihan hukum untuk kontrak mereka
maka inilah yang berlaku. Bilamana tidak ada pilihan hukum barulah berlaku
hukum nasional para pihak apabila kedua pihak mempunyai kewarganegaraan yang
sama. Juga akan diperlukan lex loci
contractus jika tidak ada pilihan hukum. Tetapi bilaman para pihak telah
melakukan pilihan hukum maka yang terakhir inilah yang akan selalu
dipergunakan.
(b). Portugal
Pasal 4 Code
de Commerce 28-6-1888 dari Portugal memuat ketentuan bahwa berkenaan dengan
isi dan akibat dari kewajiban-kewajiban yang bersumber pada kontrak berlaku lex loci contractus, terkecuali bilamana
telah dimufakati lain oleh para pihak. Kepada para pihak diberi keleluasaan
untuk melakukan pilihan hukum.
(c). Letlandia
Pasal 19 Code
Civil 28-1-1937 Letlandia mengatur pilihan hukum. Untuk hak-hak dan
kewajiban berdasarkan kontrak pertama-tama harus diketahui apakah para pihak
telah bermufakat untuk melakukan pilihan hukum tertentu. Jika demikian halnya
maka hukum yang dipililah, yang akan
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum bersifat
memaksa dari Letlandia. Demikian ditentukan dalam ayat pertama.
Ayat-ayat berikutnya menentukan bahwa bilamana tidak
ditentukan pilihan hukm oleh para pihak. Dalam hal demikian titik berat
diletakkan atas lex loci executionis. Jika
yang belakangan ini sukar ditentukan maka diperlakukan lex loci contractus.
(d). Benelux
Untuk Belgia, Nederland dan Luxemburg telah
ditandatangani persetujuan dari 11-5-1951 mengenai: “Eenvormige wet betreffebde het international privaatrecht”. Pasal
17 mengatur lembaga pilihan hukum. Pertama-tama dikemukakan bahwa hukum yang
berlaku untuk kontrak adalah hukum yang paling erat hubunganya dengan kontrak
bersangkutan, hingga dapatlah kontrak itu terletak didalam susunan hukum negara
tersebut. Akan tetapi jika para pihak telah memilih hukum lain maka hukum
pilihan inilah yang akan berlaku. Pilihan ini dapat dilakukan untuk seluruh
perjanjian atau hanya untuk sebagian. Tetapi pilihan hanya mungkin untuk
kaidah-kaidah hukum yang tidak bersifat memaksa.
(e). Junani
Pasal 25 Code Civil Junani dari 13-3-1940 menentukan
bahwa ikatan-ikatan hukum yang bersumber pada suatu kontrak takluk kepada hukum
yang telah dimufakati oleh para pihak. Apabila para pihak ternyata tidak
melakukan pilihan, maka yang diperlukan ialah hukum yang paling cocok untuk
dipergunakan dengan memperhatikan semua faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang
bersangkutan.
2.
Negara-negara
Eropa Timur
(a). Polandia
Polandia mempunyai peraturan tertulis mengenai
pilihan hukum yang menarik perhatian. Pilihan hukum diakui oleh pembuat
undang-undang, tetapi disertai dengan pembatasan-pembatasan yang nyata. Pilihan
hukum hanya dapat dilakukan dalam batas-batas tertentu. Pasal 7 memperinci
tentang hukum yang boleh dipilih oleh para pihak: hukum nasional mereka, hukum
domisili, lex loci contractus, atau lex loci executionis dan lex rei sitae.
(b). Cekoslowakia
Pilihan hukum diatur dalam paragraf 9 Undang-undang
tentang HPI dan HAT Cekoslowakia 11-3-1948. Pada prinsipnya pilihan hukum
diakui. Tetapi tidak semua sistem hukum boleh dipilih. Yang dapat dipilih hanya
sistem hukum yang mempunyai hubungan yang berarti dengan peristiwa hukum yang
bersangkutan.
(c). Austria
Pasal 36 Algemeines Burgerliches Gesetzbuch dari 1-6-1811 menentukan bahwa
bilamana seorang asing didalam negeri membuat kontrak bilateral (timbal balik)
dengan seorang warganegara, maka tanpa pengecualian akan berlaku ABGB Austria.
Akan tetapi jika kontrak ini ditutupnya dengan seorang asing lain, maka akan
berlaku hukum yang mereka pilih. Hanya jika tidak ada pilihan hukum ini berlaku
ABGB.
3.
Negara-negara
Asia-Afrika
(a). Mesir
Pasal 19 ayat 1 Code Civil Mesir 27-7-1948 mengakui
prinsip kebebasan memilih hukum. Apabila para pihak telah memilih hukum dengan
mengadakan perjanjian khusus mengenai ini, maka pilihan tersebut diindahkan.
(b). Suria
Pasal 20 ayat 1 Code
Civi Suria dari 16-5-1949 adalah kopi belaka dari dan karena itu sama
bunyinya dengan Code Civil Mesir
(ayat 1 Pasal 19 terurai di atas).
(c). Maroko
Pasal 13 ayat 1 dari Dahir mengakui prinsip
kebebasan memilih oleh para pihak, dimana isi dan akibat hukum dari perjanjian
diatur oleh hukum yang dikehendaki para pihak. Penunjukan kepada hukum tertentu
oleh para pihak ini dapat dilakukan secara tegas maupun diam-diam.
(d). Jepang
Pasal 7 Undang-undang HPI Jepang mengakui prinsip
pilihan hukum secara luas oleh para pihak. Hukum yang ditunjuk berlaku untuk
terciptanya akibat-akibat kontrak.
(e)
Tiongkok
Pasal 23 Undang-undang HPI Tiongkok dari 5-8-1918
mengatur pilihan hukum. Kontrak-kontrak diatur oleh hukum yang dikehendaki oleh
para pihak.
(f). Indonesia
Indonesia belum mempunyai kodifikasi HPI yang
lengkap. Ketentuan-ketentuan tertulis tentang HPI yang tidak seberapa jumlahnya
hanya tersebar sana sini. Tentang pilihan hukum tidak terdapat kaidah tertulis
yang khusus untuk HPI. Namun Indonesia mengakui prinsip kebebasan para pihak
untuk memilih sendiri hukum bagi kontrak mereka. Hal ini bisa dilihat dalam
pasal 1338 BW. Dimana dalam pasal ini menjunjung tinggi asas kebebasan
berkontrak bagi para pihak.
4.
Benua
Amerika
(a). Kanada
Pasal 8 Zivilgesetsbuch
von Nieder Kanada mengatur pilihan hukum. Perbuatan-perbuatan hukum pada
umumnya takluk di bawah lex loci
contractus. tetapi bilamana undang-undang menentukan lain, atau para pihak
telah memilih hukum lain maka pilihan hukum ini dihormati.
III. Kontrak Bisnis Internasional
1.
Definisi Kontrak
Kontrak berasal dari
bahasa inggris ‘contract’[26]1)
adalah:
“An agreement
between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a
particular thing. Its essentials are competent parties, subject matter, a legal
consideration, mutuality agreement, an mutuality obligation…the writing which
contains the
agreement of
parties, with the terms and conditions, and which serves as a proof of the
obligation”.[27]
Hal ini sejalan dengan
pendapat Martin Wolft, bahwa:
“Contract
is means an agreement between two or more parties which in accordance with
their intention, imposes a duty on at least one of them, the spromisor and
creates for the promises a right to claim fulfillment of promises”.[28]
Dengan
demikian, kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih
orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu hal tertentu.[29]
Maka dari itu hukum kontrak dapat diartikan sebagai bagian hukum privat. Hukum
ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self impressed obligation). Dipandang
sebagai bagian dari hukum privat kerena pelanggaran terhadap
kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan
pihak-pihak yang berkontrak.[30]
Kontrak
secara klasik dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih (free for choice) dan mengadakan
perjanjian. Para pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi
kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Pertimbanganya
ialah bahwa individu harus memiliki kebebasan dalam setiap penawaran
mempertimbangkan kemanfaatanya bagi dirinya. Pengadilan harus memberikan
kemudahan terhadap individu atas setiap penawaran untuk membuat kontrak.[31]
Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Morris Cohen :
“Hubungan
kontraktual dalam hubungan hukum adalah suatu pandangan didalam suatu sistem
yang diinginkan oleh hukum sehingga kewajiban-kewajiban akan bangkit
berdasarkan kehendak dari individu secara bebas tanpa adanya pengekangan. Hal
yang terbaik bahwa peran pemerintah adalah semaksimal mungkin”.[32]
2.
Pengertian Bisnis
Berbicara
masalah bisnis seringkali diekspresikan sebagai suatu urusan atau kegiatan
dagang. Kata “bisnis” itu sendiri diambil dari bahasa Inggris Business yang berarti kegiatan usaha.
Secara luas kata bisnis sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha
yang dijalankan oleh orang-orang atau badan secara teratur dan terus menerus,
yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun
fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan, atau disewagunakan
dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
Secara
garis besar kegiatan bisnis dapat dikelompokan atas lima bidang usaha, yaitu
sebagai berikut:
a.
Bidang industry. Misalnya pabrik radio,
tv, motor, mobil, tekstil dan lain-lain.
b.
Bidang Perdagangan. Misanya agen,
makelar, toko besar, toko kecil dan lain-lain.
c.
Bidang Jasa. Misalnya konsultan,
penilai, akuntan, biro pejalanan, perhotelan dan lain-lain.
d.
Bidang Agraris. Misanya pertanian,
peternakan, perkebunan dan lain-lain.
e.
Bidang Ekstraktil. Misalnya
pertambangan, penggalian dan lain-lain.[33]
3.
Hubungan Kontrak (Perjanjian) Dalam sistem
Hukum Nasional
Perjanjian
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur dalam buku III tentang Perikatan
Bab ke-II, bagian ke-I sampai dengan bagian ke-IV. Pasal 1313 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata memberikan rumusan tentang ‘Kontrak’ (perjanjian)
sebagai berikut : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Menurut
R. Setiawan, rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Karena
hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan
dipergunakanya perkataan perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan
sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubunngan dengan itu, perlu kiranya
diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu:
a.
Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang
bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
b.
Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Sehingga perumusanya menjadi:
“Persetujuan
adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.[34]
Perjanjian menurut sistem Common Law, dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar yang lebih
merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan
dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau yang akan
dilakukan.[35]
Selanjudnya
Subekti[36]
mengatakan bahawa :
“Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari M. Yahya Harahap,
yaitu :
“Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan
atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada
satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada pihak lain
untuk menunaikan prestasi”[37]
Istilah
“kontrak” atau “perjanjian” dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang
sama, seperi halya di Belanda tidak dibedakan antara pengerian “contract” dan “overeenkomst”. Suatu kontrak atau perjanjian dengan demikian memiliki
unsur-unsur, yaitu pihak-pihak yang kompoten, pokok yang disetujui,
pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal
balik. Cirri kontrak yang utama ialah bahwa kontrak merupakan suatu tulisan
yang memuat janji dari para pihak secara lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan
persyaratan-persyaratan serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya
seperangkat kewajiban.
Menurut
P.S. Atiyah, kontrak memiliki tiga tujuan,[38]
yaitu:
1. Janji
yang telah diberikan harus dilaksanakan dan memberikan perlindungan terhadap
suatu harapan yang pantas.
2. Agar
tidak terjadi sesuatu penambahan kekayaan yang tidak halal.
3. Agar
dihindarinya suatu kerugian.
Kontrak yang merupakan
bagian dari perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada dari
undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah satu hubungan hukum
yang mengikat satu atau lebih subjek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang
berkaitan satu sama lain. Perikatan yang lahir karena undang-undang, misalnya
kewajiban seorang Ayah untuk menafkahi anak yang dilahirkan oleh istrinya.[39]
Adapun untuk sahnya
persetujuan perikatan diperlukan empat syarat (Pasal 1320 KUH Perdata), antara
lain:[40]
1. Adanya
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
3. Adanya
objek atau suatu hal tertentu dalam perjanjian
4. Adanya
suatu sebab (causa) yang halal.
Syarat pertama dan
kedua diatas, dinamakan syarat-syarat subjektif; apabila salah satu dari kedua
syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan sedangkan
syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif yakni jika salah satu dari
kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Jika syarat-syarat
perjanjian sebagaimana telah diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata telah
dipenuhi, maka berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata perjanjian telah mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan satu undang-undang. Ketentuan Pasal
1338[41]
ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa; semua persetujuan yang dibuat sesuai
dengan Undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Asas Pasca Sun Servanda).
Berdasarkan ketentuan diatas maka
ketentuan-ketentuan dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata menganut
sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada para pihak dalam menentukan
isi, bentuk, serta macam perjanjian, untuk mengadakan perjanjian akan tetapi
isinya selain tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan
ketertiban umum, juga harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Ketentuan
yang terdapat dalam hukum perjanjian merupakan kaidah hukum mengatur, artinya
kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataanya dapat dikesampingkan oleh para pihak
dengan membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus dalam perjanjian
yang mereka adakan sendiri. Kaidah-kaidah hukum semacam itu baru akan berlaku
dalam hal para pihak tidak menetapkan peraturan-peraturan sendiri didalam
kontrak yang mereka adakan.
IV. Definisi serta Dasar Hukum Kontrak Bisnis
Internasional
Adapun
maksud istilah kontrak bisnis internasional adalah,
“…
act of transaction or conducting any business; management; proceeding; that
which is done; an affair”.[42]
Kemudian disebutkan:
“…it
may involve, leasing borrowing, mortaging or lending…it must therefore consist
of an act or agreement, or several acts or agreements, orseveral act or
agreements having some connection with each other, in which more than one
person is concerned, and by which the legal relations of such persons between themselves are
altered…”[43]
Sehingga kontrak bisnis internasional dapat dikatakan
sebagai kontrak yang dibentuk oleh dua atau lebih pihak, yang melakukan
transaksi lintas batas Negara, yang berkebangsaan berbeda. Selanjudnya prinsip
atau asas kekuatan mengikat persetujuan menegaskan bahwa para pihak harus memenuhi
apa yang telah mereka perjanjikan satu sama lain dan yang terakhir adalah
prinsip atau asas kebebasan berkontrak, dimana para pihak diberikan kewenangan
membuat suatu persetujuan sesuai dengan pilihan yang bebas dan setiap orang
mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapa saja yang
dikehendakinya.
Selain itu, para pihak
harus menentukan sendiri isi maupun persyaratan-persyaratan suatu persetujuan
dengan pembatasan bahwa persetujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan.
Hal ini membuktikan bahwa fungsi kontrak didalam bisnis adalah untuk
mengamankan transaksi. Tidak dapat disangkal bahwa hubungan bisnis dimulai dari
kontrak. Tanpa adanya kontrak, tidak mungkin hubungan bisnis dilakukan. Kontrak
dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Bahkan dalam Convention on Internasional Sale of Goods’ tahun 1980 kontrak
secara lisan juga diakui. Akan tetapi mengingat fungsi kontrak secara lisan
oleh para pihak memandang aman karena integritas masing-masing pihak memang
dapat dijamin, mereka tidak perlu membuat kontrak tertulis. Hanya saja apabilah
ada pihak ketiga yang mungkin keberatan dengan kontrak itu dan menentangnya,
maka kedua belah pihak harus dapat membuktikan adanya kontrak itu dengan bukti
lainya.
Kontrak atas suatu
bisnis dapat bersifat lokal dan bersifat internasional. Kontrak bisnis yang
bersifat lokal terjadi di antara para pihak yang berada dalam suatu Negara
nengenai objek perjanjian yang ada di Negara itu. Sedangakan kontrak bisnis
internasional melibatkan pihak-pihak dan atau objek perjanjian yang tidak
berasal dari satu Negara. Untuk kontrak bisnis lokal dikuasai oleh hukum Negara
yang bersangkutan, sedangkan hukum yang berlaku untuk kontrak bisnis
internasional biasanya ditentukan dalam kontrak. Namun dalam menentukan hukum
yang berlaku perlu diperhatikan hukum perdata internasional yang sebenarnya
merupakan hukum nasional masing-masing Negara.
Bahwa kontrak antara
sebuah perusahaan atau perorangan disuatu Negara dengan perusahaan atau
perorangan di Negara lain atau dalam beberapa hal, antara perusahaan atau
perorangan disuatu Negara dengan pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) Negara lain merupakan bagian dari suatu kontrak internasional. Apabila
terjadi kontrak antara BUMN dengan BUMN Negara lain, perlu dilihat apakah
esensialitas dari kontrak tersebut memang benar-benar berifat bisnis ataukah
mengandung unsur-unsur politis. Jika memang benar-benar bisnis, kontrak
demikian dapat dikatakan kontrak bisnis internasional.
Hukum kontrak bisnis
internasional dapat dikatakan sebagai hukum yang dipergunakan dalam suatu
kontrak bisnis lintas batas Negara, yaitu perangkat kaidah, asas-asas dan
ketentuan hukum, temasuk institusi dan mekanismenya, yang digunakan untuk mengatur
hak dan kewajiban para pihak dalam suatu kontrak bisnis dalam hubungan dengan
obyek transaksi, prestasi para pihak, serta segala akibat yang timbul dari
akibat transaksi. Oleh karena itu dapat dikatakan bisnis internasional adalah
kegiatan komersial (commercial activity)
lintas batas Negara, yang dilakukan antara individu atau perusahaan yang
berkewarganegaraan berbeda, berdasarkan prediksi tertentu, dan bertujuan untuk
memperoleh keuntungan tertentu (engage in
for gain).[44]
Tentunya keuntungan yang ada tidak boleh didapatkan dengan perbuatan tidak baik
dan harus didasarkan pada itikat baik dari para pihak itu sendiri yang
melakukan kontrak, sehingga masing-masing perusahaan dapat menjaga hubungan
saling percaya antara satu dengan yang lain.
Menutut Munir Fuady[45],
dasar hukum berlakunya suatu kontrak dalam bisnis internasional, antara lain :
1.
Contrac
Provisions
Contrac
Provisions merupakan hal-hal yang diatur dalam kontrak
tersebut oleh kedua belah pihak. Apa yang diatur dalam Contract provisions boleh dikatakan teserah pada para pihak. Hukum
yang memberikan rambu-rambu untuk melindungi berbagai kepentingan lain yang
lebih tinggi, misalnya keadilan, ketertiban umum, kepentingan Negara dan
sebagainya. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia, asas kebebasan
berkontrak juga dibutuhkan. Dalam konteks bisnis internasional, kedua belah
pihak baik eksportir maupun importer diberikan kebebasan yang seluas-luasnya
untuk menentukan isi kesepakatan dalam kontrak.
2. General
Contrac Law
Tiap-tiap Negara
memiliki General Contrac Law
tersendiri. Di Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan yang diatur Kitab
Undang-undang Hukum Perdata buku ke-III. Dalam buku ke-III ini diatur secara
umum dan berlaku bagi seluruh kontrak, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar
menukar, dan sebagainya. Didalanya juga diatur asas-asas suatu kontrak.
3.
Specific Contrac Law
Selain
ketentuan-ketentuan umum Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur
ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan kontrak-kontrak tertentu.
Dalam perjanjian jual beli internasional misalnya, jika yang berlaku adalah
hukum Indonesia, maka berlaku juga ketentuan tentang perjanjian jual beli yang
terdapat dalam KUH Perdata yang diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal
1540.
4. Yurisprudensi
Putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (yurisprudensi) dapat menjadi dasar hukum
bagi berlakunya suatu kontrak. Yurisprudensi akan terasa maknanya jika ada
hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang atau yang memerlukan
penafsiran-penafsiran terhadap suatu undang-undang. Namun demikian, dalam hukum
kontrak bisnis internasional peranan Yurisprudensi kurang begitu berarti karena
biasanya penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, ataupun sesuai
dengan pilihan hukun dalam isi kontrak.
6.
Kaidah Hukum Perdata Internasional
Kaidah
hukum perdata internasional banyak digunakan karena pada umumnya dalam setiap
transaksi bisnis internasional melibatkan banyak pihak dari berbagai Negara.
Berkaitan dengan hal itu, jika ada perselisihan tentang hukum mana yang akan
berlaku maka akan dilihat dari isi kontraknya jika didalam isi kontrak terdapat
klausula pilihan hukum maka pilihan hukum tersebutlah yang akan digunakan.
7.
International Convention
International Convention
adalah kesepakatan-kesepakatan internasional yang telah, sedang atau akan
diratifikasi oleh Negara-negara di dunia. Hal tersebut dimaksudkan agar suatu
konvensi dapat mengikat maka Negara kedua belah pihak harus merupakan peserta
dari konvensi internasionak tersebut dan telah meratifikasi sehingga telah
menjadi bagian dari hukum nasional masing-masing Negara. Ketentuan-ketentuan
atau konvensi-konvensi internasional ada juga yang mengatur mengenai kontrak
dalam jual-beli internasional antara lain: United Nations Convention on
Contracts for the International sale of Goods. Konvensi ini merupakan hasil
karya The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang kemudian diadopsi oleh Konfrensi
Diplomatik tanggal 11 April 1980. Konvensi ini mengatur mengenai
ketentuan-ketentuan yang sragam tentang jual beli internasional.
BAB III
METODE
PENELITIAN HUKUM
A.
Jenis
Penelitian
Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yuridis normatif.
Penelitian ini peneliti mendeskripsikan akan permasalahan-permasalahan seputar
penggunaan pilihan hukum (choice of law) dalam
suatu kontrak bisnis internasional dengan didasarkan pada kaidah-kaidah hukum
perdata internasinal serta peraturan yang ada.[46] Penelitian
Deskriptif yuridis normatif ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan
pustaka atau data sekunder belaka.[47]
B.
Data
dan Sumber Data
Adapun yang menjadi
sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data sekunder berdasarkan
studi pustaka / studi literatur (library
research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan antara:
1. Bahan
hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang terdiri dari:
a. Norma
dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule)
UUD 1945;
b. Kaidah-kaidah
dan prinsip-prinsip hukum dalam hukum bisnis internasional.
c. Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
d. Yurisprudensi
yang berkaitan dengan pilihan hukum (choice
of law) bisnis internasional.
e. Konvensi
internasional yang berkaitan dengan pilihan hukum (choice of law) kontrak bisnis internasional.
2. Bahan
hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer), yang mencakup buku-buku ilmu hukum bidang hukum perdata internasional,
hukum kontrak internasional, hukum dagang internasional, jurnal dan laporan
hukum yang dipublikasikan, artikel ilmiah ilmu hukum, dan bahan lainya yang
berkaitan dengan pilihan hukum.
3. Bahan
hukum tersier (bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan sebagai
penunjang dalam bahan hukum primer dan sekunder), yaitu penjelasan dalam kamus
hukum dan kamus bahasa Inggris Indonesia[48]
C.
Pengumpulan
Data
Pengumpulan data dalam
penelitian hukum ini dilaksanakan melalui kegiatan studi pustaka (library research). Kegiatan studi
pustaka ini bertujuan untuk mengkaji dan mendapatkan sebanyak-banyaknya konsepsi,
landasan teori, pendapat para ahli hukum maupun penemuan-penemuan hukum yang
berkaitan erat dengan pokok-pokok permasalahan yang akan diteliti.[49] Kegiatan
studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti tahapan berikut:
1. Penentuan
sumber data sekunder yang akan dikaji;
2. Identifikasi
sumber data sekunder yang telah diperoleh melalui proses pencarian dan
pengenalan produk-produk hukum yang diperlukan, berupa: pencatatan nomor dan
tahun peraturan perundang-undangan, nama dokumen hukum, judul
literatur-literatur hukum, tahun penerbitan, nama pengarang dan halaman karya
tulis dibidang hukum.
3. Inventarisasi
bahan-bahan hukum yamg relevan dengan perumusan masalah.
4. Menganalisis
dan mengkaji bahan-bahan yang dikumpulkan, guna menentukan relevansinya dengan
perumusan masalah yang akan diteliti.
D.
Pengolahan
Data
Dalam pengolahan data
maka peneliti akan menyusun data secara teratur, berurutan, logis sehingga
mudah dipahami dan diinterpretasikan; kemudian menempatkan data menurut
kerangka sistematika atau mengelompokkan data sesuai variable penelitian atau
objek penelitian yaitu apa yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini.
Pengolahan data
dilakukan melalui tahapan berikut:
1. Pemeriksaan
data (Editing)
Mengkoreksi
dan memeriksa kelengkapan data yang sudah dikumpulkan terhadap kesesuaian atau
relefansinya dengan rumusan masalah yang akan diteliti.
2. Penandaan
Data
Pemberian tanda pada data dalam penelitian ini,
dilakuakan dengan cara penandaan huruf pada bagian sub-topik dan penomoran pada
bagian uraian sub-topik. Sedangkan dalam penulisan sumber kutipan dicantumkan
dengan menggunakan catatan kaki.
3. Penyusunan
Data (Contructing)
Data disusun secara teratur, berurutan dan logis
berdasarkan kerangka sistematika penulisan penelitian hukum normatif.[50]
E.
Penyajian
dan Analisa Data
Karena
data dalam penelitian ini hanya berdasarkan data dalam kepustakaan dan dokumen
tanpa mengadakan penelitian lapangan, maka uraianya bersifat kualitatif artinya
data akan disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat sehingga membentuk suatu
uraian.[51] Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis
yuridis normatif dengan menganalisis teori dan konsepsi tentang penggunaan
pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional serta mengkaji produk hukum
kontrak bisnis internasional yang berhubungan dengan permasalahan dalam
penelitian hukum ini.[52]
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Aspek
Pilihan Hukum (Choice of Law) Dalam
Kontrak Bisnis Internasional
Teori
pilihan hukum (Choice of Law) secara
umum boleh dikatakan telah diterima disemua Negara-negara di dunia,[53]
sehingga teori ini berlaku secara universal. Menurut terori ini, para pihak
tidak mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum bagi para pihak akan tetapi
para pihak hanya dapat memilih hukum mana yang akan mereka pakai untuk
dicantumkan dalam klausul kontrak yang mereka buat. Hal ini boleh dikatakan
sejalan dengan asas kebebasan berkontrak.
Apabila
para pihak dalam membuat kontak bisnis internasional telah melakukan pilihan
hukum pada suatu sistem tertentu, lalu timbul sengketa dikemudian hari mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak tersebut, maka hukum yang
dipilih itulah yang berlaku. Tentunya dengan tidak mengesampingkan apa yang
telah menjadi prinsip-prinsip serta batasan dalam menentukan suatu pilihan
hukum. Ada pendapat yang mengataklan bahwa klausula pilihan hukum dalam
pembuatan kontrak bisnis internasional tidak penting karena para pihak
menganggap transaksi bisnis merupakan suatu masalah yang rutin tanpa pilihan
hukumpun, setiap sistem hukum negar tertentu sudah memiliki pengaturan dalam
hukum perdata internasional yang menetapkan hukum apa yang akan diterapkan
dalam menyelesaikan sengketa bisnis internasional.
Penulis
tidak sependapat dengan alasan tersebut diatas, karena pada dasarnya
masing-masing Negara merdeka dan berdaulat mempunyai sistem hukum perdata
internasional yang berbeda satu dengan yang lainya, bahakan dapat terjadi
perbedaan tajam dengan penyelesaian sengketa atas kasus yang sama. Lebih
menarik lagi ada pendapat yang mengibaratkan hukum mengenai “international sale of goods” dengan
aturan permainan sendiri-sendiri maka bukan saja harus disediakan reket, bola,
dan lapangan yang berbeda, tetapi juga aturan yang berbeda pulah. Akibatnya
bukan saja mahal tetapi pertandingan itu sendiri biasa tidak dilaksanakan.[54]
Oleh sebab itu dalam kontrak bisnis
internasional para pihak cenderung mencantumkan klausula pilihan hukum demi
kepastian hukum.
Selain
itu juga ada beberapa alasan mengapa para pihak cenderung melakukan pilihan
hukum dalam kontrak bisnis internasional yaitu:
Pertama,
alasan bersifat falsafah: dimana kehendak manusia dipandang sebagai suatu yang
bersifat perlu diperhatikan di bidang hukum. Sejalan dengan ini oleh Mancini otonomi
para pihak dianggap sebagai salah satu dari tiga rukun dari seluruh gedung HPI.
Disamping prinsip nasionalitas dan “rem” ketertiban umum, otonomi para pihak dianggap sebagai sendi alas utama dari
seluruh sistem HPI. Kedua, alasan bersifat praktis: karena para pihak dipandang
sebagai instansi yang paling cocok untuk mengetahui hukum manakah yang paling
berguna dan bermanfaat bagi mereka sendiri. Bukankah hukum diadakan untuk
manusia dan tidak manusia untuk hukum. Dengan diberikan kesempatan untuk ini
para pihak dapat mengatur hubungan mereka secara sebaik-baiknya. Mereka adalah
yang paling mengetahui apa yang paling terbaik bagi mereka sendiri. Terhadap
alasan ini ada yang tidak sependapat dengan alasan ini dimana mereka mengatakan
bahwa sering tidak benar para pihak dalam proses pilihan hukum dapat melakukan
pilihan secara sukarela. Sering terjadi dalam praktek bahwa salah satu pihak
dalam hubungan kontrak bersangkutan kedudukannya adalah jau lebih kuat dari
pada pihak yang lain. Karena adanya kedudukan ekonomis dan sosial yang demikian
kuatnya itu dan demikian jauh lebih tinggi dari pihak yang lain, dapatlah
diperlakukan secara sebelah pihak kehendak pihak yang berkedudukan jauh lebih
kuat ini. Dengan demikian bukan kemauan dari kedua pihak yang berlaku melainkan
kemauan pihak yang ekonomis terkuat yang dapat “menekan” pihak yang ekonomis
lemah dan menerima kondisi-kondisi dan syarat-syarat tentang hukum yang
diberlakukan. Dengan demikian timbul penyalahgunaan. Pilihan hukum yang
dilakukan sebenarnya hanya pilihan hukum dari pihak yang ekonomis terkuat,
bukan kemauan para pihak[55].
Terhadap
pendirian di atas penulis tidak sependapat, karena walaupun formulir-formulir
kontrak yang dibuat sudah tercetak dengan menggunakan ketentuan Negara ekonomis
yang lebih diatas, tapi para pihak masih memiliki kesempatan untuk menolak
dengan tidak menandatangani isi kontrak tersebut. Jadi dengan menandatangani
kontrak tersebut para pihak dianggap secara sukarela menundukan diri pada
sistem hukum negar tersebut, karena mereka dianggap yang paling mengetahuai apa
yang terbaik bagi mereka sendiri. Ketiga, alasan kepastian hukum: hubungan
perdata dengan unsur-unsur asing selalu memperlihatkan kesulitan tertentu
mengenai hukum yang harus dipakai. Oleh karena para pihak yang mengadakan
hubungan hukum berlaku aneka warna hukum adalah demi kepastian hukum (rechtszekerheid), bilamana para pihak
pada awal dari hubungan mereka sudah dapat memastikan hukum manakah yang akan
berlaku untuk mereka.
Kontrak
yang telah dilangsungkan sebaiknya takluk pada hukum yang sudah pasti sejak
semula. Para pihak sebaiknya mengetahui sejak permulaan hubungan kontrak
mereka. Bukankah hubungan-hubungan internasional sudah cukup memperlihatkan
kesulitan yang tidak sedikit? Oleh karena itu, sebaiknya jangan ditambah
kesulitan ini dengan tidak pastinya hukum yang harus diperlakukan untuk kontrak
yang dilangsungkan oleh pare pihak jika kelak timbul sengketa. Semua alasan ini
membenarkan bahwa kepada para pihak diberi kemungkinan untuk menentukan sendiri
hukum yang harus berlaku untuk kontrak mereka pada waktu kontrak tersebut ditutup. Demi kepentingan
kepastian hukum para pihak hendaknya diperkenankan untuk memilih sendiri hukum
yang harus diperlakukan untuk kontrak mereka. Keempat, alasan kebutuahan
hubungan lalulitas internasional: berhubungan erat dengan kepastian hukum yang
disebut tadi, pilihan hukum dikemukakan pula sebagai sesuatu kebutuhan riil
dalam hubungan lalu-lintas internasional.
Diatas
telah dikemukakan bahwa bagi para pihak adalah sangat penting untuk mengetahui
sejak permulaan hubungan mereka hukum manakah yang akan dipergunakan untuk
mengatur hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak berdasarkan kontrak yang
telah ditutup. Mereka ini juga harus dari semula mengetahuai apakah kontrak
yang yang telah mereka buat, sah adanya; apakah syarat-syarat yang telah
diadakan memang dapat direalisir kelak, jika perlu dengan sanksi hukum.
Merekapun sejak semula perlu mengetahui apakah yang perlu akibat-akibat hukum
daripada perjanjian yang telah dibuat. Semua hal-hal ini diperlukan demi
kelancaran lalu lintas internasional (international
verkeer).
Teranglah
pilihan hukum dibutuhkan untuk menambah kepastian dalam hubungan lalulintas
internasional. Inilah salah satu alasan untuk adanya lembaga kebebasan memilih
hukum oleh para pihak. Jika hal ini demikian adanya, bilamana ternyata terdapat
kepentingan yang lebih besar untuk mengenyampingkan hukum yang telah dipilih
oleh para pihak, apa yang lebih berat ini tentu harus didahului (“wat zwaarder is moet zwaarder wegen”).
Otonomi
oleh para pihak harus minggir jika terdapat lain kepentingan yang lebih berat
daripada alasan-alasan kelancaran lalulintas internasional karena adanya
kepastian hukum disebabkan pilihan itu. Jika
misalnya hukum yang telah dipilih oleh para pihak ternyata bertentangan
dengan ketertiban umum (odre public)
hukum sang Hakim yang diminta mengadili perkara yang bersangkutan, sudah pada
tempatnya bilaman pilihan itu dikesampingkan. Pilihan hukum yang telah
dilakukan oleh para pihak dalam hal demikian itu tidak membawa akibat yang
dikehendaki.[56]
Saat
ini para pihak yang terlibat dalam
kontrak bisnis internasional harus cenderung
memilih hukum mana yang akan digunakan dalam kontrak nanti demi
terciptanya arus investasi maupun kelancaran bisnis internasional
dimasing-masing Negara. Sebagai contoh kecenderungan untuk memakai pilihan
hukum dalam kontrak-kontrak bisnis internasional yang dilakukan oleh pertamina
dengan pihak asing, menurut Sudargo Gautama hampir semua kontrak-kontrak
tersebut terdapat pilihan hukum[57].
Padahal kedudukan pertamina dalam melakukan negosiasi dengan mitra asingnya,
pertamina atau dalam hal ini biasa disebut juga sebagai pemerintah boleh
dikatakan mempunyai bargaining power
yang lebih kuat dari mitranya karena pemerintah harus melindungi kepentingan
umum. Oleh sebab itu pemerintah boleh dikatakan dapat memaksakan syarat-syarat
yang lebih ketat bagi mitranya, walaupun demikian pemerintah memberikan tempat
bagi pilihan hukum karena pada sisi lain pemerintah sangat mengharapkan
partisipasi asing dalam membagun perekonomian di Indonesia.
Tradisi
di beberapa Negara berkembang lainya seperti di Amerika Latin, dimana kontrak
bisnis internasional yang dilakukan antara pemerintah dan swasta asing,
pemerintah selalu mensyaratkan pemakaian hukum nasional dari pihak pemerintah.
Melihat kondisi yang sedemikian, maka pihak asing hanya dihadapkan dengan dua
pilihan “take it or leave it” karena
dalam hal ini tidak ada lagi negosiasi atau tidak ada lagi bergaining position, dengan demikian tidak ada lagi tempat untuk
pilihan hukum.[58]
Penulis
sadari bahwa suatu pilihan hukum itu
sangatlah penting dan bermanfaat adanya akan tetapi muncul suatu pertanyaan,
bagaimana jika kemudian hukum yang telah dipilih berubah? Menurut penulis jika
kemudian berubah hukum yang dipilih maka seluruh perubahan itu termasuk dalam
pilihan hukum. Karena ‘hukum bukan sesuatu yang statis tetapi selalu hidup dan
berkembang adanya’.
Juga
persoalan apakah piliahan hukum yang telah dipilih boleh diubah-ubah, misalnya para pihak telah memilih hukum X, tetapi
kemudian sebulum perkara yang akan diselesaikan dengan arbitrase diajukan, para
pihak setuju untuk mengubah dan memakai hukum Y. apakah hal ini diperbolehkan?
Atau, para pihak dalam perkara kedua-duannya setuju dengan pemakaian dari hukum
X, sedangkan dalam perjanjian mereka semula telah ditentukan hukum Y sebagai
yang dipilih. Apakah hakim terikat pada
ketentuan yang belakangan ini? Apakah boleh diadakan perubahan kemudian
daripada hukum yang dipilih?
Menurut Reczei bahwa hukum yang
telah dipilih oleh para pihak merupakan hukum yang hidup, artinya para pihak telah memilihnya dengan segala Perubahan-perubahan
ini secara inklusif telah dikehendaki
pula oleh para pihak.[59]
Selain
itu juga dalam pilihan hukum dapat saja memilih lebih dari sistem hukum. Hal ini biasa ditempuh
dengan tiga cara yaitu;
1. Para
pihak dapat secara mufakat menentukan pembagian dari kontrak mereka dan hukum
untuk bagia-bagian tersebut. Misalnya mereka menentukan bahwa untuk persoalan
mengenai sahnya kontrak tersebut berlaku hukum X dan untuk persoalan mengenai
pelaksanaan kontrak tersebut berlaku hukum Y.
2. Para
pihak dapat menentukan dua atau lebih sistem hukum secara alternatif berlaku untuk kontrak mereka. Misanya para
pihak menentukan bahwa hukum domisili dari para pihak pertama atau pihak lain
yang berlaku hingga tergugat dapat menggunakan hukum tempat domisilinya.
3. Para
pihak dapat menentukan bahwa suatu sistem hukum yang kompleks adalah yang
berlaku. Misanya jika antara pedagang Indonesia dengan pedagang Jepang
ditentukan bahwa “hukum Indonesia” yang berlaku. Hukum Indonesia ini yang
bersifat kompleks bahkan multi kompleks. Hal ini dikerenakan hukum Indonesia
tidak homogeny, tidak uniform, melainkan heterogen pluralistis sifatnya, maksudnya ada beranekaragam hukum
perdata Indonesia.[60]
Oleh
karena itu jika berbicara tentang klausula pilihan hukum, maka sudah
sepantasnya didalam pembuatanya melalui proses negosiasi antara para pihak agar
tercapai kesepakatan tentang klausula pilihan hukum tersebut. Hal lain yang
harus diperhatikan adalah bergaining
position yang seimbang. Maka dari itu tidak semua kontrak-kontrak bisnis
internasional harus memperhatikan atau membicarakan pilihan hukum. Sebagai
contoh transaksi-transaksi antar bank, dimana para pihak menganggap cukup
memakai international univormity yang
disediakan oleh bank.[61]
Dengan demikian tidak dibutuhkan negosiasi mengenai hukum nasional mana yang
akan dipakai jika timbul sengketa.
Seberapa
pentingnya klausula pilihan hukum itu hanya dapat ditentukan oleh para pihak
itu sendiri yang membuat kontrak tersebut, sebab jika dalam negosiasi tidak
terdapat kesepakatan, maka dapat saja menjadi pemicu perselisihan yang boleh
dikatakan tidak penting dan merusak kesempatan berbisnis. Kita ketahui bersama
bahwa tujuan yang ingin dicapai dari para pihak dalam melakukan suatu kontrak
bisnis adalah prestasi.
Hal-hal
yang harus diperhatikan juga apakah kebebasan yang didapatkanya itu mutlak
adanya? Tentunya tidak demikian asalkan kebebasan itu harus memperhatikan
batas-batas yang ditentukan. Hal mana sampai seberapa jauh orang atau para
pihak mendapatkan kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku dapat
diibaratkan dengan sebuah pintu apakah harus dibuka selebar-lebarnya yang
maksudnya secara seluas-luasnya orang dapat memilih hukum mana saja mereka
suka, atau sebaliknya pintu hanya dibuka “op
een kiertje” atau dengan kata lain dipersempit kemungkinan memilih hukum.
Jika
kebebasan untuk memilih hukum sendiri bagi para pihak diberikan secara
seluas-luasnya akan timbul penyalahgunaan. Apabila pintu dibuka selebar-lebarnya, maka para pihak
bebas untuk memilih hukum yang misalnya sama sekali tidak ada hubungan dengan
kontrak yang mereka buat. Jadi apabila para pihak bebas unntuk memilih segala
macam hukum yang mereka sukai tanpa ada batasnya, maka semua faktor-faktor
obyektif yang merupakan titik-titik taut dalam peristiwa bersangkutan dapat
dikesampingkan begitu saja. hal ini merupakan suatu keganjilan yang sukar
diterima.
Disamping
itu, untuk mencegah pilihan hukum yang sama sekali tidak ada hubungan
sedikitpun dengan kontrak yang ditutup, sebaiknya diterimah bahwa pilihan hukum
hanya dapat dibolehkan dalam batas-batas tertentu. tidak ada kebebasan memilih
tanpa batas-batas. Kebebasan tanpa batas akan membawa pada penyeludupan hukum
yang tidak dikehendaki. Jika pilihan hukum secara leluasa tanpa batas maka para
pihak yang berkontrak seolah-olah berada diluar atau diatas peraturan hukum.
Memang
pada pokoknya para pihak bebas untuk melakukan sendiri pilihan hukum sesuai
dengan kehendak mereka. Akan tetapi kebebasan ini bukan berarti berlaku secara
sewenang-wenang. Pilihan hukum tidak dapat melanggar apa yang dikenal sebagai
‘ketertiban umum’(openbare orde) atau
juga disebut public policy. Maksudnya
adalah bahwa orang dengan perbuatan atau kontrak (perjanjian) tidak boleh menghilangkan kekuatan dari
peraturan-peraturan hukum yang mengenai ketertiban umum ataupun kesusilaan.
Tentunya dalam hal ini harus dianut prinsip ketertiban umum secara terbatas.[62]
Hal
tersebut diatas menunjukan bahwa suatu sifat antara lain dari beberapa
peraturan hukum perdata, misalnya berlaku di Indonesia yang mengakibatkan
peraturan tersebut tidak boleh dikesampingkan oleh orang-orang perseorangan,
meskipun didalamnya ada persetujuan antara orang-orang ataupun pihak-pihak yang
berkepentingan. ‘sifat tidak boleh dikesampingkan’ dari sebagian hukum ini
tidak selalu mudah untuk dipahami, oleh karena sifat ini tidak selalu secara
jelas dikatakan dalam isi suatu peraturan, akan tetapi sering harus disimpulkan
dari kaedah-kaedah yang meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan
peraturan tersebut.
Asas
ketertiban umum ini dalam kerangka hukum internasional berarti bahwa sang Hakim
dapat dikatakan diberikan suatu ‘senjata’ untuk dapat membela diri, seolah-olah
fungsinya sebagai suatu ‘tameng’ untuk hal-hal secara khusus biasa dikatakan
dapat mengesampingkan hukum asing yang akan diterapkan menurut ketentuan-ketentuan
hukum perdata internasional dari Hakim bersangkutan sendiri. Hal ini biasa
dipakai jika pemakaian dari hukum asing itu akan menjelma menjadi pelanggaran
dari pada sendi-sendi asasi stelsel hukum itu dan sistem masyarakat yang boleh
dikatakan dari sang Hakim itu sendiri. Oleh karena itu, hal ini dapat kita
umpamakan fungsinya seperti suatu ‘rem
darurat’ dari pada suatu kereta api, yang bisa saja ditarik sewaktu-waktu pada
saat diperlukan. Hal ini hanya bisa dilakukan dalam hal yang sangat khusus
dengan cara sang Hakim menggantikan hukum asing ini dengan memakai hukum dari
negaranya sendiri. Jelaslah bahwa hal ini tidak boleh dilakukan semena-mena
oleh hakim tersebut. Jika hal ini terjadi maka dapat diibaratkan sebagai suatu
‘lonceng kematian’ bagi hukum perdata internasional, karena sang Hakim
cenderung selalu memakai hukum nasionalnya sendiri. Jadi dapat dikatakan tidak
ada lagi tempat bagi pilihan hukum.
Berdasarkan
hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa suatu pilihan hukum tidak boleh
melanggar ketertiban umum tetapi juga ketertiban umum ini sedapatnya dipakai
sesuai dengan waktu dan kondisi yang tepat ataupun sesuai dengan sendi-sendi
yang ada dalam masyarakat.
Suatu
pilihan hukum juaga tidak boleh menjadi suatu penyeludupan hukum (wetsontduiking) atau juga bisa
disebutkan pada pilihan hukum yang tidak sebenarnya hanya sebagai suatu batu
loncatan yang didasarkan atas kepentingan sepihak. Oleh karena itu, agar
kemungkinan penyeludupan hukum tersebut dapat diperkecil kemungkinanya dengan
cara pilihan hukum harus didasarkan itikat baik (bonafide), yaitu semata-mata untuk manfaat kepastian, perlindungan
yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat suatu
kontrak. Juga pilihan hukum tersebut harus memiliki hubungan yang nyata antara
hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan atau
didasarkan kepada hukum yang dipilih. (real
connection).
Hal penyeludupan hukum
dengan ketertiban umum pada hakekatnya mempunyai hubungan yang erat. Hal mana
kedua-duanya bertujuan agar supaya hukum nasional dipakai dengan
mengesampingkan hukum asing. Hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika
dipandang sebagai penyeludupan hukum. Kedua hal tersebut hendak mempertahankan
hukum nasional terhadap kaidah-kaidah hukum asing.
Pembatasan lain yang
harus diperhatikan dalam hubungan ini adalah dalam hubunganm dengan
ketentuan-ketentuan perdata yang bersifat publik, hal ini boleh dikatakan
dipengaruhi dengan adanya kaidah-kaidah ataupun ketentuan-ketentuan hukum yang
diistilahkan super ‘memaksa’ yaitu seperi ketentuan-ketentuan yang sedemikian
dalam hubunganya dengan fungsi atau manfaat secara sosial dan ekonomi Negara
yang bersangkutan. Sehingga dikatakan tidak dibolehkan diadakan penyimpangan dengan
memilih hukum dari Negara lain. Ketentuan-ketentuan yang dimaksut adalah hukum
yang secara memaksa mempunyai sifat publik dengan isi perdata. Kaedah-kaedah hukum
perdata yang dikatakan secara memaksa dan mempunyai sifat hukum publik ini
sudah semestinya harus ditaati dan tidak dapat diadakan pilihan hukum. Sebagai
contoh, misalnya ketentuan-ketentuan yang dibuat dalam beli-sewa (huurkoop, hire purchase. Hal ini
dimaksudkan oleh si pembuat undang-undang untuk melindungi kepentingan dari si
pembeli sewa tersebut, misalnya dengan mengadakan perlindungan tertentu
mengenai peralihan hak milik. Seperti yang diketahui dalam sistem hukum sewa
beli (sekarang ini dikenal dengan sistem kredit), hak milik atas sewa tersebut
nanti akan beralih hak ketika si pembeli telah membayar tagihan terakhir. Hal
ini sering kali sering membawa ketidak-adilan jika misalya si pembeli telah
membayar dengan hitungan prosentase 80% dan tidak dapat membayar lagi 20%
sisanya. Apakah dengan sendirinya sewa beli tersebut akan mennjadi batal dan
barangnya harus dikembalikan kepad si penjual. Dalam perundang-undangan
diberbagai Negara di dunia memberi perlindungan hukum kepada si pembeli dalam
hal sedemikian. Ketentuan-ketentuan untuk melindungi si pembeli yang diadakan
oleh Negara bersangkutan ini tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan
menentukan berlakunya hukum Negara lain untuk kontrak beli-sewa tersebut.
Adapun contoh-contoh lain seperti peraturan-peraturan yang boleh dikatakan
mengenai lalu-lintas devisa. Inipun tidak dapat dielakkan oleh para pihak
dengan memilih sitem hukum dari negara lain. Hal ini dikarenakan sistem hukum
devisa dari negara bersangkutan walau bagaimanapun tidak dapat dikesampingkan
oleh para pihak, karena memilih hukum dari negara lain. Demikian pula peraturan-peraturan
mengenai eksport dan peraturan-peraturan mengenai pengendalian atau pembatasan
terhadap import seperti larangan mengimport tenun dan lain-lain. Hal tersebut
juga tidak dapat dikesampingkan dengan memilih ketentuan-ketentuan dari Negara
lain. Contoh lain juga mengenai sewa-menyewa rumah harus taat pada
ketentuan-ketentuan dari Negara di mana
rumah-rumah bersangkutan terletak.
Hal lain mengenai
pembatasan terhadap pilihan hukum ini yakni hanya mungkin di bidang kontrak.
Karena pilihan hukum tidak mungkin masuk dalam bidang hubungan kekeluargaan.
dalam arti bahwa para pihak tidak mungkin menentukan pilihan hukum untuk
masalah perkawinan, mengenai harta benda dalam perkawinan. Jadi boleh dikatakan
pilihan hukum hanya bias diterapkan
dalam soal kontrak (perjanjian) seperti jual-beli, kontraktor, kerjasama dan
lain-lain dalam menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki. akan tetapi
harus dibatasi juga mengenai kontrak kerja. Hal ini dikarenakan kontrak kerja
ini dianggap bertalian erat dengan perundang-undangn sosial dan ekonomis dari
suatu Negara, hingga tidak dapat oleh para pihak memilih hukum lain dan
mengesampingkan hukum dimana pekerjaan ini dilangsungkan.
Dalam prakteknya, baik
Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam kaitanya dengan putusan hukum internasional,
dan juga dari berbagai Negara memperlihatkan dengan tegas adanya kebebasan
untuk melakukan pilihan hukum ini tentunya dengan memperhatikan hal-hal seperti
dalam pembahasan di atas, sebagai
contoh:
1. Yurisprudensi
di Belanda[63]
Dalam perkara ‘Treiler
Nicolas’ pada Tahun 1924, antara
N.V. Visscherij Eksploitatie
Maatschappij Nicolas dan perusahaan Asuransi N.V. Maatschappij van Assurantie, Disconteering, en Bleenig der Stad
Roterdam, Anno 1920, dan 10 maskapai lainya (diantaranya perusahaan Denmark
dan Swedia). Hal ini dimana perusahaan kapal Nicolas memtuntut pembayaran dari
perusahaan asuransi yang berjumlah 11
perusahaan (6 diantaranya berkedudukan di Belanda).
Pada tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi
menganggap polis asuransi tersebut batal adanya, kerena dengan menandatangani
polis asuransi tersebut maka para pihak telah menghendaki berlakunya hukum
Inggris. Hal ini nyata dari ketentuan bahwa walaupun kontrak telah ditutup di
Belanda, harus diibaratkan seolah-olah telah ditandatangani di London. Hal ini
juga yang menjadi pertimbangan yakni dengan adanya penunjukkan kepada
ketentuan-ketentuan dari Marine Insurance
Act 1906 dan kondisi-kondisi serta polis-polis Lloyd Inggris. Menurut pengadilan tidak mungkin suatu perjanjian dapat
di pecah-pecah hingga sebagian tunduk dibawah hukum X dan sebagian tunduk di hukum Y. Maka dalam
putusanya penggugat telah dikalahkan karena berdasarkan hukum Inggris,
klausula-klausula ‘without further proof
of interest than the policy itself’ adalah batal.
Pertimbangan Mahkamah Agung Belanda, bahwa menurut
hukum Belanda para pihak tidak diwajibkan untuk mengatur seluruh bagian
daripada perjanjian mereka oleh hanya satu macam hukum. Lebih jauh
dipertimbangkan pula bahwa kaidah-kaidah memaksa dari suatu hukum asing tidak
perlu diberlakukan jika para pihak tidak menghendaki berlakunya kaidah-kaidah
memaksa ini, walaupun mereka telah menerima berlakunya hukum asing bersangkutan.
Perjanjian Asuransi tersebut dinyatakan tidak batal. Menurut para pakar hukum
di Belanda bahwa Mahkamah Agung (Hoge
Raad) telah menerima prinsip pilihan hukum oleh para pihak dalam keputusan
ini.
Dapat kita lihat contoh kasus pilihan dalam perkara Solbandera Valencia Sinaasappelen Import
Maatschappij, N.V. telah mengajukan gugatan terhadap “Blue
Star Line Limited” pihak Solbandera
adalah pemegang konosemen yang telah dikeluarkan oleh Rederij yang menjadi
tergugat dalam perkara ini. Kapal “Celtic
Star” dari maskapai tergugat ini telah mengangkut sinaasappelen dari Rio de
Jeneioro ke Hoek Van Holland. Selama pengagkutan ini sinaasappelen tersebut
telah mengalami kerugian yang menurut dalil penggugat disebabkan karena untuk
pengangkutan itu tidak disediakan instalasi pendingin yang cukup dan juga
karena dari personil dari kapal tersebut telah merawat buah-buahan bersangkutan
secara salah. Kerugian yang diderita sebesar F. 25.249,42.
Pihak tergugat membelah diri dengan mengemukakan bahwa
konisemen yang telah dikeluarkan memuat klausul tertentu di bawah no. 23, yang
bebunyi sebagai berikut: “This contract,
wherever made, shall be construed and governed by English law, and claims in
connection therewith settled direct with
the carriers in London to the exclusion of proceedings in the courts of
any other country.[64]
Pada taraf pertama Solbandera tidak dapat diterima dengan
gugatanya berdasarkan klausul yang telah dimuat dalam konosemen itu. Dalam
tingkat banding pihak Solbandera mengajukan dalil bahwa untuk perjanjian
pengangkutan sengketa harus diperlakukan pasal 470 dan 470a jo. 517d
W.v.K. dan menurut ketentuan ini bahwa “vrijtekenings clausule” bersangkutan
tidak dapat diterima. Pembanding mendalilkan bahwa dengan melakukan pilihan
hukum dan pilihan hakim asing sebagai instansi yang kompoten, tidaklah dapat
dikesampingkan ketentuan-ketentuanhukum Belanda yang bersifat memaksa (dwingend).
Pasal 470 WvK Belanda melarang “vrijtekening” dan berbunyi sebagai berikut: “tidaklah
diperbolehkan kepada si pengangkut untuk minta diperjanjikan, bahwa ia tidak
bertanggung-jawab atau tidak salanya sampai suatu harga yang terbatas, untuk
kerugian yang disebabkan karena kurang di
usahakanya akan pemeliharaan, perlengkapan atau per-anak-buahan alat
pengangkutnya, ataupun kurang diusahakanya kesanggupan alat pengangkutan itu
untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan ataupun yang
disebabkan karena salah memperlakukanya atau kurang penjagaanya terhadap barang
yang di angkut. Janji-janji yang bermaksud demikian, adalah batal.
Bagaimana pendirian Hof mengenai persoalan ini? Hof
mengemukakan bahwa para pihak bebas untuk secara kontraktuil memilih hakim
Inggris, asal saja kaidah-kaidah hukum yang dipergunakan oleh hakim yang
belakangan ini, tidak akan bertentangan dengan faham-faham ordre public di Nederland. Dan menurut Hof Pasal 470, 470a, dan 517d WvK tidak bersifat “van
openbareorde” maka para pihak boleh
menyimpang daripadanya seperti yang telah dilakukan dalam konosemen
sengketa. Oleh karena itu baik menurut
hukum Belanda maupun menurut hukum Inggris pilihan hakim Inggris adalah sah. Maka pihak Sobandera telah gagal
lagi dalam tuntutannya. Dalam kasasi Hoge Raad
mempertimbangkan bahwa kehendak para pihak untuk memilih sendiri hukum
pada umumnya tidak dibatasi oleh kaidah-kaidah yang bersifat memaksa, dari
undang-undang yang akan berlaku bilamana tidak dilakukan pilihan hukum.
Selanjutnya Hoge Raad maju selangkah lagi dengan mempertimbangkan, bahwa akan
tetapi undang-undang Belanda telah menentukan pasal-pasal 470 dan 470a sebagai
hukum memaksa, juga untuk pengagkutan internasional. Dengan demikian pilihan
hukum bagi para pihak kearah sistem hukum lain tidak diperbolehkan. Dengan lain
perkataan: kebebasan memilih oleh para pihak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum
Belanda yang juga dikatakan memaksa untuk perjanjian-perjanjian internasional.
Menurut pendapat Hoge
Raad pasal-pasal 470, 470a dan 517d WvK harus diperlakukan. Pilihan hukum
oleh para pihak dibatasi oleh
ketentuan-ketentuan hukum Belanda yang juga dalam perjanjian internasional
telah dinyatakan memaksa. Para pihak tidak mempunyai kebebasan untuk memilih
hukum Inggris dan dan tidak dapat menyatakan bahwa hakim Inggris adalah yang
kompoten. Dengan demikian klausule dalam konosemen mengenai pilihan hukum
Inggris tidak dapat dipertahankan dan batal adanya.
Dalil-dalil penggugat untuk kasasi dianggap benar adanya.
Bukan saja pilihan hukum ke arah hukum inggris di anggap batal, tetapi juag pilihan hakim Inggris sebagai Instansi yang kompoten untuk mengadili jika
timbul sengketa. Hal ini disebabkan, karena apabila dibolehkan pilihan hakim
Inggris, maka hakim tersebut akan mempergunakan tidak lain daripada hukum
Inggris, yang membolehkan pembatasan tanggung-jawab, sedangkan
ketentuan-kentuan undang-undang Belanda melarangnya.[65]
2. Yurisprudensi
di Inggris[66]
Dalam perkara Vita
Food Products v. Unus Shiping Co pada Tahun 1939. Hal mana Vita Food menuntut ganti rugi atas
kerugian barang angkutan yang disebabkan oleh kelalaian kapten kapal.
Menurt Hakim pada tingkat pertama, perjanjian
tersebut walaupun dibuat tanpa pengandung ‘section
3’ (bahawa tiap klausula atau persetujuan yang membebaskan pihak pengangkut
dari tanggungjawab karena negligence
adalah batal) dari Carriage of Goods by
Sea Act, merupakan dokumen yang bermanfaat. Tetapi perjanjian tersebut
harus dianggap tunduk pada syarat-syarat yang ditentukan bukan dalam perjanjian
tersebut, tetapi dalan Hague Rules. Supreme
Court dalam tahap kedua berpendapat bahwa dengan tidak di taatinya ‘section 3’ dari hukum tersebut. Kontrak
tersebut harus dianggap illegal. Tidak sahnya perjanjian ini membawa akibat
untuk kedua belah pihak. Perjanjian yang dibuat dianggap illegal, maka para
pihak penggugat tidak dapat mengajukan tuntutan berdasarkan perjanjian
tersebut. Pemilik kapal dibenarakan dan gugatan tidak berhasil.
Akan tetapi dalam pandangan Judicial Committee of the Privy Council sebagai instansi terakhir
menganggap perjanjian tersebut sah. Lord Wright mempertimbangkan mengenai ‘the
proper law of the contract’ bahwa yang berlaku adalah kata-kata yang secara
tegas tercantum dalam perjanjian adalah hukum Inggris dengan memperhatikan
telah dikehendaki oleh para pihak. Kemudian menurut Lord Wright harus diadakan kualifikasi lebih
lanjut mengenai kebebasan pilihan hukum ini. Pilihan hukum ini tidak boleh
bertentangan dengan public policy dan harus dilakukan secara bonafide dan legal. Pilihan hukum harus sesuai sengan hubungan
perdagangan yang sehat dan alasan praktis yang sejalan dengan pikiran yang
sehat (sound idea of business convenience
and common sense). Jika mereka memilih hukum Inggris untuk bidang ini maka
dianggap juga reasonable kalau mereka
menghendaki dipakainya ‘the familiar
principles of English commercial law’. Hukum Inggris untuk perdagangan
internasional dan hukum pengangkutan serta hukum laut dianggap diterima secara
Internasional. Oleh karena itu para pihak yang mengadakan kontrak di bidang ini
yang pada kenyataanya tidak mempunyai hubungan sesungguhnya dengan Inggris,
dapat dianggap telah melakukan pilihan secara reasonable.
3. Yurisprudensi
di Jerman
Dalam yirisprudensi Jerman diterima bahwa
terciptanya perjanjian, akibatnya, baik yang mengenai hukum memaksa atau hukum yang bersifat dispositif, takluk
kepada pilihan hukum oleh para pihak. Tidak ada keragu-raguanbahwa prinsip
pilihan hukum diterima. Bahkan yurisprudensi Jerman condong pula ke arah
penerimaan daripada kehendak para pihak yang hanya merupakan dugaan atau yang fiktief. Pilihan hukum oleh para pihak
berlaku berdasarkan ketentuan HPI Jerman.
4. Yurisprudensi
di Prancis
Mahkamah Agung Prancis Tahaun 1910 menerima
kebebasan para pihak yang untuk memilih sendiri hukum yang mereka kehendaki.
Hal ini diatur dalam Pasal 1134 C.C. Pasal 1338 B.W. Indonesia (yang dikutip
dari C.C. Pasal 1334 ini via Pasal 1374 B.W. Nederland) mengenal ketentuan
serupa: “semua persetujuan[67]
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”
5. Yurisprudensi
di Italia
Yurisprudensi di Italia telah mengakui prinsip
pilihan hukum para pihak. Pasal 25 ayat 1 C.C. Dimana mengenai hukum yang
berlaku untuk kontrak-kontrak ditentukan bahwa hukum nasional para pihak
berkewarganegaraan yang sama atau lex
loci contractus adalah yang pada umumnya diperlakukan. Akan tetapi,
bilamana para pihak memilih sendiri hukum yang berlainan, maka kehendak mereka
ini dihargai. Hukum yang dipilih oleh para pihak adalah yang berlaku dengan
mengeyampingkan hukum nasional bersama atau hukum tempat dilakukannya kontrak.
6.
Yurisprudensi di Swiss
Juga Yurisprudensi Swiss menerima kebebasan memilih
sendiri hukum oleh para pihak. Oleh Mahkamah peradilan yang tertinggi di negara
tersebut, Bundesgericht, telah
diterima pula prinsip ini. Hukum dimana tempat dari kontrak bersangkutan
dilaksanakan (lex loci solutionis)
merupakan pula titik taut penentu yang tidak dapat diabaikan. Seringkali
diketemukan suatu kombinasi daripada kehendak para pihak dan lex loci solutionis ini. Hukum tempat
pelaksanaan kontrak ini dapat disimpulkan dari kehendak para pihak yang
diutarakan secara tegas atau dapat diketahui dari fakta-fakta yang nyata pada
kontrak itu.
Moser telah mengadakan penyelidikan seksama tentang
yurisprudensi Swiss berkenaan dengan pilihan hukum ini. Semula yurisprudensi Bundesgericht mengakui prinsip pilihan
hukum secara luas tanpa mengadakan perbedaan antara hukum yang berlaku untuk
syarat-syarat terciptanya (sahnya) perjanjian dan akibat-akibat perjanjian itu.
Perjanjian dalam keseluruhanya, tanpa membedakan antara syarat-syarat
penciptaan dan akibat-akibat hukum daripada perjanjian, telah dituangkian
dibawah hukum yang sama, yakni kepada hukum yang telah dipilih oleh para pihak.
Adanya perobahan, tidak lebih lama dipertahankan
bahwa perjanjian secara keseluruhannya tunduk kepada hukum yang telah dipilih
oleh para pihak. Diadakan perbedaan yang nyata antara disatu pihak syarat-syarat terciptanya perjanjian dan
dilain pihak akibat-akibat hukum
daripada perjanjian yang telah dibuat. Kini diadakan pemisahan (Spaltung) antara dua macam bagian
perjanjian ini. Bagian tentang syarat-syarat
penciptaan kontrak (genetischen Teil der
Obligationen) dinyatakan tunduk kepada hukum dari tempat dimana perjanjian
dibuat. Lex loci contractus yang
secara objektif dipergunakan untuk mengetahui apakah suatu perjanjian telah
tercipta secara sah. Mengenai akibat-akibat
daripada perjanjian dipergunakan hukum yang telah dipilih secara subjektif oleh
para pihak. Kehendak para pihak ini
dapat dinyatakan secara tegas atau hanya merupakan dugaan saja.[68]
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dibahas di atas
maka dapat ditarik kesimpulan mengenai Pilihan Hukum Dalam Kontrak Bisnis
Internasional adalah sebagai berikut:
1. Pengetauan pilihan hukum oleh para
pelaku dagang yang terlibat dalam pembuat kontrak bisnis internasional masih
kurang disebabkan kareana salah menafsirkan prinsip kebebasan berkontrak yang
dianut dalam klausul pilihan hukum. Terbukti bahwa dari hasil pemaparan contoh
kasus yang ada dalam pembahasan di atas, masih banyak pelanggaran-pelanggaran
prinsip kebebasan berkontrak.
2. Para pelaku dagang yang terlibat
dalam kontrak bisnis internasional banyak sekali menggunakan pilihan hukum
secara sewenang-wenang dan tidak memperhatiakn prinsip-prinsip dasar yang
menjadi pembatasan dalam penggunaan pilihan hukum. Sehingga pilihan hukum yang
telah disepakati masih banyak hambatan-hambatan atau bahkan sampai tidak dapat
dilaksanakan.
3. Penggunaan pilihan hukum dalam
kontrak bisnis internasional itu sangat penting karena perbedaan
sistem hukum dan hakim di masing-masing negara sehingga sangat sulit untuk
menentukan titik taut penentu. Oleh sebab itu aspek pilihan hukum harus menggunakan pilihan hukum yang berdasarkan
teori otonomi para pihak oleh Mancini, dimana pilihan hukum itu tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan dan kaidah yang
bersifat memaksa. Memang benar kebebasan berkontrak itu diperbolehkan bagi pelaku
dagang untuk memilih hukum sendiri bagi mereka tapi ingat para pelaku dagang
harus memperhatikan pembatasan yang ada dalam pilihan kukum itu sendiri. Suapay
tidak terjadi pembataln kontrak seperti dalam contoh kasus yang ada di atas.
Jadi pilihan hukum hanya diperbolehkan dalam batas-batas tertentu.
A.
Saran
Berdasarkan
hasil pembahasan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan beberapa pokok
pikiran sebagai saran, yaitu sebagai berikut:
1. Sebaiknya
pelaku dagang yang terlibat dalam pembuatan suatu kontrak bisnis internasional
mencantumkan klausul pilihan hukum yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian
hukum.
2. Diharapkan
pelaku dagang yang terlibat dalam kontrak bisnis internasional untuk tidak
menggunakan pilihan hukum yang secara sewenang-wenang, dan harus memperhatikan
prinsip-prinsip dasar yang menjadi pembatasan dalam pilihan hukum. Supaya
pilihan hukum yang telah disepakati dalam kontrak tidak ada hambatan atau
sampai tidak dapat dilaksanakan.
3. Sebaiknya
juga bagi pelaku dagang yang terlibat dalam proses negosiasi pembuatan kontrak
bisnis internasional harus memperhatikan kecermatan dalam berkontrak atau bila
perlu mengundang ahli-ahli hukum yang kompoten di bidang hukum kontrak, sehingga
jika terjadi kesempatan berikutnya dapat dibuat review yang sesuai dengan hasil
kesepakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala.
2007. Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: PT Refika
Aditama.
---------------.
2006. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Black, Henry Campbell.
1990. Black Law Dictonary. West Publising & Co: Sisxth Edition.
Gautama,
Sudargo. 1982. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Cet. 2. Bandung:
Binacipta.
---------------.
1983. Capita Selecta Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni.
---------------.
1992. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Cet. 5. Jilid 2 Bagian 5.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
--------------.
1992. “Masalah-masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional
dan Hak Milik Intelektual”. Cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.
---------------.
1998. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid. III. Bagian 4. Buku
kelima. Bandung: Alumni.
--------------.
2002. “Hukum Perdata Internasional Indonesia”. Jilid. III. Bagian 2. Buku
Kedelapan. Bandung: Alumni.
Harahap, M.
Yahya. 1982. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Hadikusuma,
Hilman. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum. Cet. 1.
Bandung: Mandar Maju.
Ibrahim, Johanes.,dan
Sewu, Lindawati. 2004. Hukum Bisnis Dalam Presepsi Manusia Moderen.
Bandung: PT. Rafika Aditama.
Kuntjoro B.M. 1998. Pengaturan Perdagangan Internasional. Jakarta: Elips.
Kusumaatmaja,
Mocthar. 1982. Bagian Umum. Cet. 1. Bandung: Binacipta.
Muhammad,
Abdulkadir. 2004. Hukum Dan Penelitian Hukum, Cet. 1.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Raharjo, Satjipto. 1991. Pengantar
Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Satrio. 1992. “Hukum
Perjanjian”. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Simatupang,
Richard Burton. 1992. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakatra: Rineka
Cipta.
Soekanto,Soerjono
dan Sri Mamudji,1995. Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet 4. Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
Subekti, R. 1984.
Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
---------------.
1984. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.
---------------. R. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Cet 6.Jakarta. Raja grafindo Persada.
Syahrani, Riduan.
2008. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Wolff, Martin. 1952. “Private
International Law”. London: Oxford Ed.
Wyasa Putra, Ida
Bagus. 2008. Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis
Internasional. Bandung: Refika Aditama.
Undang-Undang
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) staatsblad 1847-23
dengan publikasi 30 April 1847, dan dinyatakan masih berlaku di Indonesia
berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.
http://www.duniaesia.com.pilihan hukum dan teori, hukum kontrak. Diakses
pada tanggal 20 juli 2009.
http://helmilaw-helmi.blogspot.com/2008/07/pandangan-yuridis-conflict-of-law-dan.html. Diakses pada
tanggal 14 Oktober 2009.
[1] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), hal. 1-2.
[2] Sistem hukum yang banyak
dipraktekkan di dunia adalah Civil Law dan
Cammon Law. Negara-negara yang
mempraktekkan sistem hukum ini ada yang secara penuh (“pure”) dan yang campuran (“mixed
form”). Barnes dengan tepat menggolongkan Indonesia sebagai negara yang
menganut sistem campuran ini yaitu hukum Islam dan hukum Adat. Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional,
(Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 28.
[3] http://www.Google.com. pilihan hukum
dan teori, hukum kontrak. Diakses pada Tanggal 20 Juli 2009.
[4] Adalah tindakan untuk menyatukan
kaidah-kaidah hukum (hanya) kaidah-kaidah hukum perdata internasional
negara-negara yang menyetujui tindakan yang demikian untuk dibentuk satu
kesatuan kaidah (konvensi) yang kelak dapat digunakan oleh hakim-hakim atau
pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara yang dihadapinya. Ida Bagus Wyasa
Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis
Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 34-37.
[5] Sudargo Gautama, Hukum
Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 32-34.
[6] Gautama. Ibid. hal. 35.
[7]
Artinya : kontrak yang
telah dibuat ini akan dibangun dan diperintah oleh hukum Inggris, dan menuntut
hubungan yang segera menentukan dengan membawanya ke Landon, dengan tindakan
dalam pengadilan dari negara satu dengan negara yang lain.
[8] Ibid. hal. 118-125.
[9] Satjipto Raharjo, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1991), hal. 39.
[10] Riduan Syaihrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 13.
[11] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1998), hal.24.
[12] Ibid.
[14] Yaitu pengakuan pada kehendak
manusia sebagai sesuatu yang mendasar yang senantiasa harus diperhatikan dalam
mengatur kehidupan mereka. Mancini memandang otonomi para pihak sebagai prinsip
mendasar dalam hukum perdata internasional.
[15] Yaitu memberikan kesempatan
kepada para pihak untuk secara praktis mempertimbangkan hukum yang dipilih
serta akibat dari pilihan demikian itu.
[16] Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional
dalam Transaksi Bisnis Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal.
69.
[17]
Sudargo Gautama, Capita Selecta
Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 69.
[18] Huala Adolf, Dasar-Dasar
Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Rafika Aditama, 2007), hal. 140-145.
[19] adalah kesepakatan para pihak
yang didasarkan pada kebebasan atau kesepakatan para pihak (party autonomy).
Bahwa kesepakatan melahirkan hukum bagi para pihak (Pasal 1338 KUH Perdata
Indonesia)
[20] Adalah pilihan hukum tersebut
didasarkan pada itikad baik, yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan
yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat transaksi (isi
perjanjian). Tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur kapan suatu
pilihan hukum itu beritikat baik atau buruk. Standar yang mungkin digunakan
adalah ketertiban umum.
[21] Yaitu beberapa sistem hukum
mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan
peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.
[22] Adalah pihak-pihak yang diberi
kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan
itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan sendiri.
[23] Suatu pilihan hukum tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum,
yaitu hukum yang dipilih oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan
sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili
sengketa bahwa ketertiban umum (orde
public) merupakan pembatas utama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan
hukum (une primiere limitation de
l’excercide de la volonte individualle).
[24] Adalah klausul pilihan hukum
sifatnya terpisah dari keseluruhan kontrak itu sendiri.
[26]
R. Subekti, Hukum Perjanjian,
(Bandung; Citra Aditya Bakti, 1984), hal. 1.
[27]
Henry Campbell Black, Black Law
Dictionary, (West Publising & Co: Sixth Edition, 1990), hal. 322.
[28]
Martin Wolff, Private
International Law, (Oxford London: 2 & Ed, 1952), hal. 413.
[29]
Satrio, Hukum Perjanjian,
(Bandung: Citra Aditya Bakrti, 1992), hal. 31-33.
[30]
Adityah, The Law of Contract,
1983, hal. 1.
[32]
Peter Heffy, Principles of Contrac Law, ( Sydney:
Thomos Legal & Regulatory, 2002), hal. 5.
[33]
Ade Maman Suherman, Aspekn Hukum
Dalam Ekonomi Global, (Jakarta: Grasindo,2004), dikutip dari : W.R.
Mawitjere dan Harly Rumagit, Materi
Kuliah Hukum Ekonomi, (Universitas Negeri Manado: Tim Dosen Mata Kuliah,
2008), hal. 5.
[34]
Ibid.
[35] Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta:
Grasindo, 2001), hal. 6.
[36]
Ibid.
[37]
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum
Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 6
[38]
Johanes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum
Bisnis Dalam Presepsi Manusia Moderen, (Bandung: P.T. Rafika Aditama,
2004), hal. 43.
[39]
Ibid. 43.
[40] R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 25.
Diambil dari, Feibe E. Pijoh dan Isye E. Melo, Materi Kuliah Hukum Perdata, (Universitas Negeri Manado: Tim Dosen,
2006), ha. 35.
[41]
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 332.
[42]
Henry Campbell Black, Black Law
Dictionary, (West Publising & Co: Sixth Edition, 1990), hal. 1341.
[43] Ibid.
[44]
Ibid. hal. 174.
[45]
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Transaksi
Bisnis I ternasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 13-17.
[46]
Muhamad Abdulkadir, Hukum dan
Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 52.
[48]
Abdulkadir, Op. cit., hal. 56.
[49]
Bambang Sunggono, Metodologi
Penelitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 184.
[50] Sunggono. Ibid. hal. 186
[51]
Hiliman Hadikusuma, Metode
Pembuatan Kertas Kerja Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1, (Bandung; Mandar Maju,
1995), hal. 99-104.
[53] Sudargo
Gautama, Masalah-Masalah Perdagangan,
Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual. cet. I.
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 102.
[54] M.B. Kuntjoro, Pengaturan Perdagangan Internasional
(Jakarta: Elips, 1998), hal. 97.
[55] Sudargo Gautama,
Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hal.
79-81.
[56] Ibid. hal. 82-84.
[57]
Kuntjoro, Op. Cit, hal. 90.
[58]M.B. Kuntjoro, Pengaturan Perdagangan Internasional
(Jakarta: Elips, 1998), hal. 112.
[59]
Sudargo Gautama,
Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hal.
250.
[60]
Sudargo Gautama, Masalah-Masalah Perdagangan, Perjanjian,
Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual. cet. I. (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 102.
[63] Sudargo Gautama,
Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hal.
105-118.
[64]
Artinya : kontrak yang
telah dibuat ini akan dibangun dan diperintah oleh hukum Inggris, dan menuntut
hubungan yang segera menentukan dengan membawanya ke Landon, dengan tindakan
dalam pengadilan dari negara satu dengan negara yang lain.
[65] Ibid. hal. 118-125.
[67] Ternyata pasal ini pun yang
menjadi dasar utama Team Arbitrase ICSID (International
Centra fot the Settlement of Insvestment Disputes). Hal ini diketahui dari
Republik Indinesia bersalah dalam mencabut izin penanaman modal dari P.T. Amco
Indonesia mengenai perkara Hotel Kartika Plaza.
Anjir skripsinya sampah bener. Kalo di UI mah udah dibantai! Yakale lo cuma ngopas bukunya Sudargo Gautama doang.
BalasHapusMana kok lo ga ngebahas bahwa pilihan hukum itu harus terhadap hukum intern negara lho, gak boleh HPInya. Why? Makanya, cari referensinya jangan dari Indonesia aja. Baca buku luar. Yahhh yaudalah, namanya juga universitas kelas pelosok macem Manado
komentar anda sudah membuktikan perbedaan antara universitas kita.. makasi bro akhirnya kami tahu tata krama yg diajarkan kepada kami lebih baik dari yg diajarkan kepada anda. hati-hati,kami bisa saja menuntut anda dengan UU ITE.
BalasHapusThese tips are very useful for me and for that really thanks for sharing with us.
BalasHapusI can see that you possess a degree of expertise on this subject, I would like to hear much more about it.
BalasHapus