Kamis, 21 Juni 2012

SKRIPSI






S K R I P S I

ASPEK PILIHAN HUKUM DALAM
 KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL


Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Ekonomi 
Universitas Negeri Manado


OLEH
Vanderik Wailan
06 301 319





UNIVERSITAS NEGERI MANADO
FAKULTAS ILMU SOSIAL
 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2010

ABSTRAK

Vanderik Wailan, 06 301 319
“ASPEK PILIHAN HUKUM DALAM
KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL”

Dibimbing oleh :
W.R. Mawitjere, SH, MH dan F.E Pijoh, SH, MH
Dewasa ini perdagangan internasional mengarah pada perdagangan yang lebih bebas dan dinamis. Para pedagang mencari cara yang aman untuk kontrak bisnis mereka. Para pedagang pasti berharap bahwa kontrak mereka dikemudian hari tidak akan menjadi suatu permasalahan. Melihat suatu kenyataan yang ada yaitu perbedaan sistem hukum dan hakim di masing-masing negara sehingga sangat sulit untuk menentukan titik taut penentu. Oleh karena itu untuk melindungi mereka harus mempertimbangkan dan menentukan pilihan hukum yang mana diharapkan dapat menjadi solusi dasar jika terjadi suatu permasalahan. Kebanyakan kontrak bisnis internasional pada kenyataanya menggunakan pilihan hukum dan para pelaku dagang tidak memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pembatasan dalam penggunaan pilihan hukum sehingga banyak kontrak bisnis yang sudah disepakati tidak dapat dilaksanakan. Ada beberapa aspek yang menyebabkan sampai tidak dapat dilaksanakan kontrak bisnis internasionnal yaitu: kurangnya pengetahuan tentang pilihan hukum, masih terjadi kesalahan penafsiran mengenai asas kebebasan berkontrak, adanya itikat tidak baik, dan pilihan hukum yang ada bertentangan dengan kaidah yang bersifat memaksa pada tempat kontrak dilaksanakan. Didalam penelitian ini, ruang lingkup pembahasan meliputi aspek unsur-unsur yang menjadi prinsip-prinsi maupun batasan penggunaan pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional. Adapun tujuan dari penelittian ini adalah untuk melihat pentingnya aspek-aspek penggunaan pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional bagi para pedagang atau siapa saja yang terlibat dalam kontrak bisnis internasional supaya tidak terjadi pembatalan kontrak. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi yuridis normatif. Suatu analisa dari permasalahan yang ada, kemudian disimpulkan bahwa suatu pilihan hukum didalam kontrak bisnis internasional sangatlah penting. Arti penting menyiratkan suatu jaminan hukum. Tapi hal ini harus mempertimbangkan beberapa prinsip dan batasan didalam menggunakan pilihan hukum.

Kata kunci : Pilihan Hukum, Kontrak, Bisnis Internasional, Perdagangan Internasional, Kasus-kasus.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas penyertaan dan bimbinga-NYa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, itu semua bukan karena kuat dan gaga perkasanya penulis namun hanya semata-mata karna kasih karunia Tuhan Yesus Kristus. Penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi guna menempuh ujian akhir, pada Program Studi Ilmu Hukum.
Dalam penulisan ini, penulis banyak menghadapi kesulitan dan hambatan, tetapi karena KasihNYA dan berkat bantuan dari berbagai pihak yang penuh perhatian dan keiklasan, membantu memberikan saran dan dorongan sehingga semuanya dapat teratasi. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terimahkasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Prof. Dr. Ph.E.A Tuerah, M.Si, DEA selaku Rektor Universitas Negeri Manado serta para Pembantu Rektor.
2.      Dra Sisca B Kairupan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado.
3.     
4.      Drs. E. Lumowa, M.Si dan Drs. M.V Keitjem, M.Si selaku ketua dan sekertari jurusan PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado.
5.      W.R Mawitjere, SH, MH selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado.
6.      W.R Mawitjere, SH, MH dan F.E Pijoh, SH, MH selaku pembibing I dan II.
7.      Bapak dan Ibu Dosen Jurusan PPKn Program Studi Ilmu Hukum yang telah mendidik serta memberikan pengetahuan.
8.      Seluru Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado yang telah membantu penulis dalam pengurusan-pengurusan.
9.      Papa dan Mama yang telah bersusah payah mendoakan, mendidik, membesarkan serta membiayai studiku.
10.  Oma Opa tersayang yang selalu setia mendoakan, membiayai memberikan motivasi, nasehat dan didikan dalam penyelesaian studiku.
11.  Yang tersayang almarhum Om Abson Wailan yang telah mendoakan, membantu dalam penyelesaian studiku.
12.  Adik-adikku: Donaldo Wailan, Frichardo Wailan, Junaldi Wailan, Yesti Wailan, Frisdianto Wailan yang telah mendoakan, membantu dan memberikan dorongan bagi penulis.
13.  Yang tersayang Om dan Tanteku Kiropo Guntur Lakumani, Yulce Nabi, Wolter Yanis, Boki Nabi yang telah mendoakan, mendidik, membantu, dan memberikan dorongan dalam penyelesaian studiku.
14.  Keluarga Besar Bander-Riung, Riung-Wailan, Wailan-Bander, Wailan-Aiba, Mangindudu-Malee, Matimbang-Wailan, Mangindudu-Lobbu, Riung-Maradesa, Sawil-Nabi, Yanis-Nabi, Lobbu-Mangindudu, Aiba-Mangindudu, Nabi-Mebanua yang telah membantu dan memberikan motivasi bagi penulis.
15.  Yang tersayang pacarku Christin Linelejan, S.Pd, M.Pd, yang telah mendoakan, membantu memberikan motivasi tersendiri bagi penulis.
16.  Sahabt-sahabtku k’Swingli Sarendeng, Jerri Lumowa, Nicky S. Sumual, Kristian Sarendeng, Freiro Samura, serta semua teman-teman Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2006.
17.  Teman-teman seperguruan WUSHU INDONESIA (perguruan Kungfu Naga Mas) terutama bagi Suheng Delvri Laumba.
18.  Teman-teman HIKMAT (Himpunan Kekeluargaan Mahasiswa Talaud) Sulut di Tondano.
19.  Dan semua pihak yang penulis tak sempat sebutkan satu persatu kiranya Tuhan selalu membalas dan memberkati kita semua dalam kehidupan kita masing-masing.
Segala upaya untuk dapat menyajikan tulisan secara baik telah diusahakan, namun penulis menyadari kekurangan dan kelemahan-kelemahan dalam tulisan ini, untuk itu dengan kerendahan hati penulis menerima segala saran dan kritikan demi kesempurnaan penulisan hukum ini.

                                                                        Tondano, Juni 2010

                                                                                    Penulis
  Vii
 

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL……………………………………………………………..
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………………..
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..
MOTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………………………
ABSTRAK……………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….
DAFTAR ISI………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Identifikasi Masalah
C.     Perumusan Masalah
D.    Tujuan Penelitian
E.     Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teorittis
2.      Manfaat Praktis
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….
A.    Kajian Teori
B.     Kajian Konseptual
1.      Pilihan Hukum (Choice of Law)
2.      Pilihan Hukum Dalam Peraturan Tertulis
3.       Kontrak Bisnis Internasional
4.      Definisi serta Dasar Hukum Kontrak Bisnis Internasional


BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………………….
A.    Jenis Penelitian
B.     Data dan Sumber Data
C.     Pengummpulan Data
D.    Pengolahan Data
E.     Penyajian dan Analisa Data

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………….

BAB VI PENUTUP……………………………………
A.    Kesimpulan
B.     Saran …
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perdagangan Internasional lebih mengacu pada perdagangan terbuka yang sifatnya lintas batas antar negara. Hal ini biasa dilihat dalam perkembangan negara-negara baik secara bilateral, regional maupun global cenderung mengadakan hubungan kerjasama dalam perdagangan. Hubungan-hubungan kerjasama dalam perdagangan mencakup banyak jenis, dari bentuk yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khusus teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin cepat, bahkan dengan pesatnya teknologi, saat ini para pelaku perdagang tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa rekan dagangnya yang berada jauh di belahan bumi lain.[1] Tidak hanya perkembangan perdagangan internasional yang melaju dengan cepat, dunia bisnis juga melaju dengan pesat, baik yang berskala nasional, bilareral, maupun internasional. Perkembangan pasar mengakibatkan transaksi-transaksi bisnis juga semakin berkembang, transaksi tersebut umumnya dituangkan dalam suatu dokumen kontrak. Bisnis apapun tidak lepas dari keberadaan suatu kontrak, dimana ada bisnis disitu ada kontrak, dengan demikian dalam dunia hukum (khususnya hukum bisnis), hampir dapat dipastikan bahwa abad mendatang akan merupakan abad kontrak. Untuk menjaga kegiatan bisnis atau transaksi dagang yang semakin moderen dan mengglobal tersebut, peranan hukum kontrak sangat diperlukan.
Adanya perkembangan transaksi dagang maupun bisnis tersebut menimbulkan berbagai  permasalahan mengingat suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari adalah adanya berbagai sistem hukum di dunia dewasa ini. Sistem hukum[2] yang terutama adalah Commom Law, sistem hukum berdasarkan Agama (hukum Islam, Hindu, Kristen), Civil Law, Socialist Law, sistem hukum campuran, dan lain-lain. Sudah menjadi suatu pemahaman yang mutlak bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan suatu kontrak bisnis internasional, karena pada hakekatnya mereka tidak menghendaki ataupun menginginkan dikemudian hari adanya suatu sengketa atau masalah sekecil apapun. Pastilah yang di inginkan adalah kontrak yang telah disepakati dapat terlaksana sesuai dengan isi kontrak.[3] Salah satu asas yang paling menonjol dalam penyusunan kontrak adalah asas kebebasan berkontrak yang merupakan asas universal dan dianut oleh hukum perjanjian di hampir seluruh negara di dunia pada saat ini. Asas ini memberikan para pihak kebebasan dalam menentukan suatu kontrak, tetapi yang perlu diperhatikan adalah makna dari kebebasan berkontrak itu sendiri, karena kebebasan berkontrak bukan berarti bebas membentuk hukum bagi mereka sendiri. Kebebasan itu tentu tidak boleh bertentangan dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.
Melihat adanya berbagai perbedaan sistem hukum perdata maing-masing negara para pihak berusaha melakukan suatu unifikasi hukum, dalam prespektif hukum perdata internasional, jalan menuju unifikasi ini diklasifikasikan atas dua jenis, yaitu penyatuan hukum dan penyatuan kaidah-kaidah hukum,[4]dimana melalui usaha unifikasi ini telah diawali dengan suatu konvrensi diplomatik intern negara-negara Eropa di Den Haag (konvrensi Den Haag 1893). Motivasi pertemuan ini adalah menjajaki kemungkinan dilakukanya unifikasi dalam bidang hukum perdata internasional. Hingga kini  telah dibahas puluhan topik penting, dan telah dihasilkan sekitar 26 konvensi yang bersubstansi sangat vital dalam kaitan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat perdata lintas batas negara dan salah satu dari 26 konvensi itu adalah Convensi on the choice of court (15 November 1969). Konvensi ini menegaskan diakuinya prinsip kebebasan para piahak memilih forum pengadilan, hukum dan hakim untuk menyelesaikan  sengketa-sengketa yang timbul dari kontrak-kontrak yang dibuatnya.
Jika muncul suatu sengketa atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut, maka kemungkinan pertama yang menjadi persoalan adalah mengenai hukum dari negara mana yang akan diterapkan. Apakah hukum nasional dari pihak yang satu (pembeli) atau hukum nasional dari pihak yang lain (penjual), atau hukum yang dipilih oleh para pihak, misalnya pada suatu kontrak pihak pembeli warga negara Malaysia dan pihak penjual warga negara Indonesia yang memiliki perbedaan sistem hukum dicantumkan dalam klausul kontrak bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia, Ini berarti hukum Indonesia ditentukan oleh para pihak pembuat kontrak sebagai pilihan hukum (choice of law). Selain itu terdapat juga bahwa kalau timbul sengketa dikemudian hari, akan diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini menandakan bahwa para pihak pembuat kontrak telah menentukan pilihan forum (choice of forum/ choice of jurisdiction) dalam perjanjiannya yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadili. Selain itu sebagai contoh dapat kita lihat dalam perdagangan terigu internasional, dimana dalam perdagangan terigu dari U.S.A. ke Eropa lasimnya dipergunakan La Plata Grain Contract dari Londaon Corn Trade Association. Menurut formulir standar ini para pihak menundukkan diri kepada arbitrase di London bila timbul perselisihan, sedangkan hukum yang diperlakukan adalah hukum Inggris. 
Disamping kontrak standar La Plata Grain Contract tersebut, perdagangan besar internasional untuk hasil bumi seringkali mempergunakan formulir-formulir terkenal tertentu dari perserikatan-perserikatan dagang internasional. Kontrak-kontrak karet misalnya seringkali mempergunakan kontrak-kontrak standar menurut formulir-formulir tertentu dari London Rubber Trade Association. Perdagangan beras seringkali mempergunakan formulir-formulir dari London Rice Broker Association, perdagangan copra formulir-formulir dari  London Copra Association. Juga dipergunakan model-model kontrak dari  Liverpool Cotton Association untuk perdagangan tenun, London Cattle Food Trade Association untuk perdagangan makanan hewan, demikian pula kontrak mengenai gula ditunjukan hukum Inggris, kontrak pengangkutan baik di laut maupun di udara lazimnya memakai hukum tertentu yang ditunjuk dalam formulir-formulir kontrak yang sudah siap  tercetak.[5]
Selanjudnya dapat kita lihat contoh kasus pilihan hukum dalam perkara Solbandera Valencia Sinaasappelen Import Maatschappij, N.V. telah mengajukan gugatan terhadap  “Blue Star Line Limited”  pihak Solbandera adalah pemegang konosemen yang telah dikeluarkan oleh Rederij yang menjadi tergugat dalam perkara ini. Kapal “Celtic Star” dari maskapai tergugat ini telah mengangkut sinaasappelen dari Rio de Jeneioro ke Hoek Van Holland. Selama pengagkutan ini sinaasappelen tersebut telah mengalami kerugian yang menurut dalil penggugat disebabkan karena untuk pengangkutan itu tidak disediakan instalasi pendingin yang cukup dan juga karena dari personil dari kapal tersebut telah merawat buah-buahan bersangkutan secara salah. Kerugian yang diderita sebesar F. 25.249,42.[6]
Pihak tergugat membelah diri dengan mengemukakan bahwa konisemen yang telah dikeluarkan memuat klausul tertentu di bawah no. 23, yang bebunyi sebagai berikut: “This contract, wherever made, shall be construed and governed by English law, and claims in connection therewith settled direct with  the carriers in London to the exclusion of proceedings in the courts of any other country.[7]
Dalam taraf pertama Solbandera tidak dapat diterima dengan gugatanya berdasarkan klausul yang telah dimuat dalam konosemen itu. Dalam tingkat banding pihak Solbandera mengajukan dalil bahwa untuk perjanjian pengangkutan sengketa harus diperlakukan pasal 470 dan 470a jo. 517d W.v.K.  dan menurut ketentuan ini bahwa “vrijtekenings clausule” bersangkutan tidak dapat diterima. Pembanding mendalilkan bahwa dengan melakukan pilihan hukum dan pilihan hakim asing sebagai instansi yang kompoten, tidaklah dapat dikesampingkan ketentuan-ketentuanhukum Belanda yang bersifat memaksa (dwingend).
Pasal 470 WvK Belanda melarang “vrijtekening” dan berbunyi sebagai berikut: “tidaklah diperbolehkan kepada si pengangkut untuk minta diperjanjikan, bahwa ia tidak bertanggung-jawab atau tidak salanya sampai suatu harga yang terbatas, untuk kerugian yang disebabkan karena kurang di usahakanya akan pemeliharaan, perlengkapan atau per-anak-buahan alat pengangkutnya, ataupun kurang diusahakanya kesanggupan alat pengangkutan itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan ataupun yang disebabkan karena salah memperlakukanya atau kurang penjagaanya terhadap barang yang di angkut. Janji-janji yang bermaksud demikian, adalah batal.
Bagaimana pendirian Hof mengenai persoalan ini? Hof mengemukakan bahwa para pihak bebas untuk secara kontraktuil memilih hakim Inggris, asal saja kaidah-kaidah hukum yang dipergunakan oleh hakim yang belakangan ini, tidak akan bertentangan dengan faham-faham ordre public di Nederland. Menurut Hof Pasal 470,  470a, dan 517d WvK tidak bersifat “van  openbareorde” maka para pihak boleh  menyimpang daripadanya seperti yang telah dilakukan dalam konosemen sengketa. Oleh  karena itu baik menurut hukum Belanda maupun menurut hukum Inggris pilihan hakim Inggris  adalah sah. Maka pihak Sobandera telah gagal lagi dalam tuntutannya. dalam kasasi Hoge Raad  mempertimbangkan bahwa kehendak para pihak untuk memilih sendiri hukum pada umumnya tidak dibatasi oleh kaidah-kaidah yang bersifat memaksa, dari undang-undang yang akan berlaku bilamana tidak dilakukan pilihan hukum. Selanjutnya Hoge Raad maju selangkah lagi dengan mempertimbangkan, bahwa akan tetapi undang-undang Belanda telah menentukan pasal-pasal 470 dan 470a sebagai hukum memaksa, juga untuk pengagkutan internasional. Pilihan hukum bagi para pihak kearah sistem hukum lain tidak diperbolehkan, dengan lain perkataan: kebebasan memilih oleh para pihak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum belanda yang juga dikatakan memaksa untuk perjanjian-perjanjian internasional.
Menurut pendapat Hoge Raad Pasal-pasal 470, 470a dan 517d WvK harus diperlakukan. Pilihan hukum oleh para pihak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum Belanda yang juga dalam perjanjian internasional telah dinyatakan memaksa. Para pihak tidak mempunyai kebebasan untuk memilih hukum Inggris dan dan tidak dapat menyatakan bahwa hakim Inggris adalah yang kompoten. Klausul dalam konosemen mengenai pilihan hukum Inggris tidak dapat dipertahankan dan batal adanya.
Dalil-dalil penggugat untuk kasasi dianggap benar adanya. Bukan saja pilihan hukum ke arah hukum inggris di anggap batal,  tetapi juag pilihan hakim Inggris sebagai Instansi yang kompoten untuk mengadili jika timbul sengketa. Hal ini disebabkan, karena apabila dibolehkan pilihan hakim Inggris, maka hakim tersebut akan mempergunakan tidak lain daripada hukum Inggris, yang membolehkan pembatasan tanggung-jawab, sedangkan ketentuan-kentuan undang-undang Belanda melarangnya.[8] Jelaslah bahwa, berdasarkan contoh kasus di atas pilihan hukum yang dipilih oleh para pihak diperbolehkan tapi tidak boleh bertentangan dengan kaidah yang bersifat memaksa pada suatu negara yang dianut secara internasional. Selain itu pilihan hukum harus ada hubunganya dengan kewajiban-kewajiban mereka menurut kontrak-kontrak yang dibuat dan tidak boleh sewenang-wenang. Misalnya: seorang warga negara Jepang yang tinggal  di Indonesia membuat kontrak sewa tanah dengan warga negara Indonesia. Tanahnya terletak didalam wilayah R.I. kedua pihak memilih hukum soviet. Disini kita bisa lihat secra nyata kehendak para pihak yang aneh sekali.
Untuk melindungi kepentingan dari para pihak yang berkontrak, maka sudah menjadi keharusan dari para pihak untuk menentukan pilihan hukum (choice of law) yang hendak mereka gunakan sebagai dasar dalam menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul dari kontrak tersebut.
Melihat kenyataan yang ada sering para pihak kurang memperhatikan apa yang menjadi hal mendasar atau boleh dikatakan prinsip-prinsip dasar atau yang mencakup pembatasan terhadap penggunaan pilihan hukum untuk suatu kontrak bisnis internasional. Sehingga para pihak seakan-akan diberikan kebebasan yang sebesar-besarnya dan hal ini tentu bisa menjadi penghalang atau penghambat klausul pilihan hukum yang telah disepakati.
Muncul suatu permasalahan dengan adanya pilihan hukum, hal ini bisa saja menyangkut suatu pilihan hukum yang telah dibuat oleh para pihak, apakah dapat diterapkan dalam suatu kontrak bisnis internasional. 
Untuk itu penulis mengangkat permasalahan-permasalahan ini melalui penulisan skripsi dalam bentuk penulisan hukum yang berjudul: “Aspek Pilihan Hukum dalam Kontrak Bisnis Internasional.

B.     Identifikasi Masalah
Dalam mengadakan suatu penelitian tentang Pilihan Hukum dalam Kontrak Bisnis Internasional (Kajian Yuridis Normatif) maka dapat dikemukakan identifikasi masalah sebagai berikut:
1.      Aspek pilihan hukum (choice of law) dalam kontrak bisnis internasional.
2.      Kurangnya perhatian atau kecermatan para pihak terhadap pembatasan dalam penggunaan pilihan hukum.
3.      Sulitnya menentukan hukum yang akan dipakai jika dalam suatu kontrak bisnis internasional tidak mengatur klausul pilihan hukum karena perbedaan sistem hukum.
4.                  Sulitnya memperhitungkan risiko-risiko yang timbul akibat dari itikat tidak baik pelaku dagang dalam kontrak bisnis internasional.

C.    Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah seperti yang penulis kemukakan di atas, maka masalah  yang akan dibahas dalam penelitian hukum ini dirumuskan sebagai berikut:  “Bagaimana aspek pilihan hukum (choice of law) dalam kontrak bisnis internasional?”

D.    Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pentingnya aspek dari klausul pilihan hukum dalam suatu kontrak bisnis internasional.
2.      Untuk memahami secara konprehensif aspek pilihan hukum (choice of law) dalam kontrka bisnis internasional.

E.     Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis yang menjadi harapan setelah penelitian ini selesai dilaksanakan, adalah:
1.   Hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan bahan bacaan guna pengembangan bidang-bidang ilmu terkait.
2.   Hasil penulisan ini dapat menjadi dasar atau perbandingan bagi pihak lain yang ingin menerapkan kembali konsep penulisan ini terhadap objek yang sama tetapi terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menuju kearah penelitian yang lebih baik dan lebih sempurna.
2.   Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan setelah penelitian ini dilaksanakan adalah:
1.   Hasil penelitian ini dapat menambah, memperkaya ilmu pengetahuan seorang sarjana hukum dalam prakteknya khususnya dalam kontrak bisnis internasional.
2.   Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran serta pedoman tentang aspek pilihan hukum dalam kontrakl bisnis internasional bagi para pihak yang terlibat dalam pembuatan kontrak bisnis internasional.
3.   Agar dapat menambah bahan-bahan pendukung  atau bahan referensi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado dalam Studi Hukum Perdata Internasional khususnya menyangkut penggunaan pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Kajian Teoritis
Dalam perkembangan ilmu dan teknologi, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditujukan kaitanya satu sama lain secara bermakna, dengan demikian teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasi dan mensistematisasikan masalah yang diperbincangkan.
Jeremy Bentham (1748-1832), Ia berpendapat bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Konsepnya tentang hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna mencapai hidup bahagia[9]
Menurut L.J. Van Apeldoorn faktor-faktor yang membuat terbentuknya hukum adalah terdiri dari:
a.          Perjanjian;
b.         Pengadilan;
c.          Ilmu pengetahuan hukum (ajaran hukum).
Perjanjian dikategorikan sebagai faktor pembantu dalam pembentukan hukum karena jika perjanjian itu sudah disepakati oleh para pihak yang berkepentingan, dilaksanakan sebagai mereka melaksanakan ketentuan undang-undang.[10]
Teori lain yang mengandung unsur-unsur hukum dan perubahan sosial adalah teori dari Sir Hendry Maine. Beliau mengatakan bahwa “perkembangan hukum dari status kekontrak adalah sesuai dengan perkembangan dari masyarakat yang sederhana dan homogen kemasyarakat yang telah kompleks susunanya dan bersifat heterogen dimana hubungan antara manusia lebih ditekankan pada unsur pamri atau jasa. Dalam hal ini, mereka dalam melakukan hukum ditentukan oleh kedudukanya. Dalam masyarakt yang sudah kompleks, seorang mempunyai kebebasan dalam membuat suatu kontrak tertentu.
Teori otonomi para pihak secara kongkrit diperkenalkan sejak Dumoulin, secara seksama dumoulin telah mengemukakanya berkenaan dengan masalah syarat-syarat perkawinan (huwelicks voorwaarden). Menurutnya kebebasan para pihak untuk memilih hukum itu ternyata tidak dibatasi soal perkawinan tanpa syara-syarat nikah saja. Juga dibidang hukum perjanjian dianggap pilihan hukum oleh para pihak baik secara tegas maupun secara diam-diam, sebagai faktor menentukan.[11]
Hal yang serupa dikembangkan oleh Savigny seorang sarjana berasal dari Jerman, menurutnya setiap pihak harus tunduk secara sukarela pada suatu stelsel hukum yang terjadi karena telah dipilih lex loci, execotions.
Teori otonomi para pihak diperkembangkan lebih jauh oleh Mancini, menurutnya kebebasan para individu untuk menentukan hukum bagi hubungan perjanjian mereka, sebagai dasar daripada seluruh sistem Hukum Perdata Internasional. Disamping prinsip nasionalitas dan kepentingan umum. Mancini menjadikan kebebasan para individu untuk menentukan hukum bagi hubungan kontrak mereka, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh paham ketertiban umum.[12]
Berdasarkan teori-teori yang ada di atas, maka peneliti menggunakan teori otonomi para pihak yang dikemukakan oleh Mancini untuk memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasi dan mensistematisasikan masalah yang diperbincangkan dalam penelitian ini. Untuk itu supaya tidak terjadi aspek pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional seharusnya para pihak harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar atau pembatasan-pembatasan yang ada dalam pilihan hukum itu sendiri. Dimana pilihan hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan.

B.     Kajian Konseptual
Dengan berdasarkan judul skripsi yaitu: Pilihan Hukum dalam Kontrak Bisnis Internasional (Kajian Yuridis Normatif), maka perlu diberikan penjelasan terhadap beberapa istilah pokok yang terdapat dalam judul skripsi tersebut.
I.       Pilihan Hukum (Choice of Law)
Pilihan hukum dalam hukum perjanjian adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk perjanjian mereka.[13]
Pilihan hukum didasarkan pada beberapa alasan, pertama, yang bersifat falsafah,[14] kedua, yang bersifat praktis,[15] ketiga, bersifat kebutuhan, yaitu  sebagai kebutuhan untuk melakukan transaksi internasional.[16]
Menurut Sudargo Gautama, ‘Pilihan hukum telah lama disepakati hal mana dalam pejanjian internasional yang pertama-tama harus diberlakukan adalah hukum yang telah dipilih oleh para pihak sendiri’. Hal ini biasa dilihat dalam bidang kontrak atau perjanjian dimana perorangan atau para pihak mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri apakah yang menjadi pilihan terhadap hukum yang akan dipakai, maka dari itu dalam kontrak-kontrak telah dihormatinya prinsip-prinsip pilihan hukum oleh para pihak.[17]
Adapun yang menjadi Prinsip-prinsip dan batasan pilihan hukum adalah:[18]Prinsip Kebebasan para pihak;[19]Prinsip Bonafide;[20]Prinsip Real Connection;[21] Larangan penyeludupan hukum;[22] Ketertiban umum;[23]dan Prisip Separabilitas Klausul Pilihan Hukum.[24]

II.    Pilihan Hukum Dalam Peraturan Tertulis
Dalam sistem HPI berbagai negara di dunia ini lembaga pilihan hukum diatur secara berlainan yaitu[25] :
1.      Negara-negara Eropa
(a). Italia
Pasal 25 C.C. dari tahun 1942 mengatur pilihan hukum. Apabila para pihak telah melakukan pilihan hukum untuk kontrak mereka maka inilah yang berlaku. Bilamana tidak ada pilihan hukum barulah berlaku hukum nasional para pihak apabila kedua pihak mempunyai kewarganegaraan yang sama. Juga akan diperlukan lex loci contractus jika tidak ada pilihan hukum. Tetapi bilaman para pihak telah melakukan pilihan hukum maka yang terakhir inilah yang akan selalu dipergunakan.
(b). Portugal
Pasal 4 Code de Commerce 28-6-1888 dari Portugal memuat ketentuan bahwa berkenaan dengan isi dan akibat dari kewajiban-kewajiban yang bersumber pada kontrak berlaku lex loci contractus, terkecuali bilamana telah dimufakati lain oleh para pihak. Kepada para pihak diberi keleluasaan untuk melakukan pilihan hukum.
(c). Letlandia
Pasal 19 Code Civil 28-1-1937 Letlandia mengatur pilihan hukum. Untuk hak-hak dan kewajiban berdasarkan kontrak pertama-tama harus diketahui apakah para pihak telah bermufakat untuk melakukan pilihan hukum tertentu. Jika demikian halnya maka hukum yang dipililah, yang  akan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum bersifat memaksa dari Letlandia. Demikian ditentukan dalam ayat pertama.
Ayat-ayat berikutnya menentukan bahwa bilamana tidak ditentukan pilihan hukm oleh para pihak. Dalam hal demikian titik berat diletakkan atas lex loci executionis. Jika yang belakangan ini sukar ditentukan maka diperlakukan lex loci contractus.
(d). Benelux
Untuk Belgia, Nederland dan Luxemburg telah ditandatangani persetujuan dari 11-5-1951 mengenai: “Eenvormige wet betreffebde het international privaatrecht”. Pasal 17 mengatur lembaga pilihan hukum. Pertama-tama dikemukakan bahwa hukum yang berlaku untuk kontrak adalah hukum yang paling erat hubunganya dengan kontrak bersangkutan, hingga dapatlah kontrak itu terletak didalam susunan hukum negara tersebut. Akan tetapi jika para pihak telah memilih hukum lain maka hukum pilihan inilah yang akan berlaku. Pilihan ini dapat dilakukan untuk seluruh perjanjian atau hanya untuk sebagian. Tetapi pilihan hanya mungkin untuk kaidah-kaidah hukum yang tidak bersifat memaksa.
(e). Junani
Pasal 25 Code Civil Junani dari 13-3-1940 menentukan bahwa ikatan-ikatan hukum yang bersumber pada suatu kontrak takluk kepada hukum yang telah dimufakati oleh para pihak. Apabila para pihak ternyata tidak melakukan pilihan, maka yang diperlukan ialah hukum yang paling cocok untuk dipergunakan dengan memperhatikan semua faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang bersangkutan.
2.      Negara-negara Eropa Timur
(a). Polandia
Polandia mempunyai peraturan tertulis mengenai pilihan hukum yang menarik perhatian. Pilihan hukum diakui oleh pembuat undang-undang, tetapi disertai dengan pembatasan-pembatasan yang nyata. Pilihan hukum hanya dapat dilakukan dalam batas-batas tertentu. Pasal 7 memperinci tentang hukum yang boleh dipilih oleh para pihak: hukum nasional mereka, hukum domisili, lex loci contractus, atau lex loci executionis dan lex rei sitae.
(b). Cekoslowakia
Pilihan hukum diatur dalam paragraf 9 Undang-undang tentang HPI dan HAT Cekoslowakia 11-3-1948. Pada prinsipnya pilihan hukum diakui. Tetapi tidak semua sistem hukum boleh dipilih. Yang dapat dipilih hanya sistem hukum yang mempunyai hubungan yang berarti dengan peristiwa hukum yang bersangkutan.
(c). Austria
Pasal 36 Algemeines Burgerliches Gesetzbuch dari 1-6-1811 menentukan bahwa bilamana seorang asing didalam negeri membuat kontrak bilateral (timbal balik) dengan seorang warganegara, maka tanpa pengecualian akan berlaku ABGB Austria. Akan tetapi jika kontrak ini ditutupnya dengan seorang asing lain, maka akan berlaku hukum yang mereka pilih. Hanya jika tidak ada pilihan hukum ini berlaku ABGB.
3.      Negara-negara Asia-Afrika
(a). Mesir
Pasal 19 ayat 1 Code Civil Mesir 27-7-1948 mengakui prinsip kebebasan memilih hukum. Apabila para pihak telah memilih hukum dengan mengadakan perjanjian khusus mengenai ini, maka pilihan tersebut diindahkan.
(b). Suria
Pasal 20 ayat 1 Code Civi Suria dari 16-5-1949 adalah kopi belaka dari dan karena itu sama bunyinya dengan Code Civil Mesir (ayat 1 Pasal 19 terurai di atas).
(c). Maroko
Pasal 13 ayat 1 dari Dahir mengakui prinsip kebebasan memilih oleh para pihak, dimana isi dan akibat hukum dari perjanjian diatur oleh hukum yang dikehendaki para pihak. Penunjukan kepada hukum tertentu oleh para pihak ini dapat dilakukan secara tegas maupun diam-diam.
(d). Jepang
Pasal 7 Undang-undang HPI Jepang mengakui prinsip pilihan hukum secara luas oleh para pihak. Hukum yang ditunjuk berlaku untuk terciptanya  akibat-akibat kontrak.
(e)  Tiongkok
Pasal 23 Undang-undang HPI Tiongkok dari 5-8-1918 mengatur pilihan hukum. Kontrak-kontrak diatur oleh hukum yang dikehendaki oleh para pihak.
(f). Indonesia
Indonesia belum mempunyai kodifikasi HPI yang lengkap. Ketentuan-ketentuan tertulis tentang HPI yang tidak seberapa jumlahnya hanya tersebar sana sini. Tentang pilihan hukum tidak terdapat kaidah tertulis yang khusus untuk HPI. Namun Indonesia mengakui prinsip kebebasan para pihak untuk memilih sendiri hukum bagi kontrak mereka. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 1338 BW. Dimana dalam pasal ini menjunjung tinggi asas kebebasan berkontrak bagi para pihak.
4.      Benua Amerika
(a). Kanada
Pasal 8 Zivilgesetsbuch von Nieder Kanada mengatur pilihan hukum. Perbuatan-perbuatan hukum pada umumnya takluk di bawah lex loci contractus. tetapi bilamana undang-undang menentukan lain, atau para pihak telah memilih hukum lain maka pilihan hukum ini dihormati.

III.   Kontrak Bisnis Internasional
1. Definisi Kontrak
Kontrak berasal dari bahasa inggris ‘contract’[26]1) adalah:
“An agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a particular thing. Its essentials are competent parties, subject matter, a legal consideration, mutuality agreement, an mutuality obligation…the writing which contains the
agreement of parties, with the terms and conditions, and which serves as a proof of the obligation”.[27]

Hal ini sejalan dengan pendapat Martin Wolft, bahwa:

“Contract is means an agreement between two or more parties which in accordance with their intention, imposes a duty on at least one of them, the spromisor and creates for the promises a right to claim fulfillment of promises”.[28]


Dengan demikian, kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal tertentu.[29] Maka dari itu hukum kontrak dapat diartikan sebagai bagian hukum privat. Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self impressed obligation). Dipandang sebagai bagian dari hukum privat kerena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak.[30]
Kontrak secara klasik dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih (free for choice) dan mengadakan perjanjian. Para pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Pertimbanganya ialah bahwa individu harus memiliki kebebasan dalam setiap penawaran mempertimbangkan kemanfaatanya bagi dirinya. Pengadilan harus memberikan kemudahan terhadap individu atas setiap penawaran untuk membuat kontrak.[31] Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Morris Cohen :
“Hubungan kontraktual dalam hubungan hukum adalah suatu pandangan didalam suatu sistem yang diinginkan oleh hukum sehingga kewajiban-kewajiban akan bangkit berdasarkan kehendak dari individu secara bebas tanpa adanya pengekangan. Hal yang terbaik bahwa peran pemerintah adalah semaksimal mungkin”.[32]
2. Pengertian Bisnis
Berbicara masalah bisnis seringkali diekspresikan sebagai suatu urusan atau kegiatan dagang. Kata “bisnis” itu sendiri diambil dari bahasa Inggris Business yang berarti kegiatan usaha. Secara luas kata bisnis sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang-orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan, atau disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
Secara garis besar kegiatan bisnis dapat dikelompokan atas lima bidang usaha, yaitu sebagai berikut:
a.              Bidang industry. Misalnya pabrik radio, tv, motor, mobil, tekstil dan lain-lain.
b.             Bidang Perdagangan. Misanya agen, makelar, toko besar, toko kecil dan lain-lain.
c.              Bidang Jasa. Misalnya konsultan, penilai, akuntan, biro pejalanan, perhotelan dan lain-lain.
d.             Bidang Agraris. Misanya pertanian, peternakan, perkebunan dan lain-lain.
e.              Bidang Ekstraktil. Misalnya pertambangan, penggalian dan lain-lain.[33]
3.  Hubungan Kontrak (Perjanjian) Dalam sistem Hukum Nasional
Perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur dalam buku III tentang Perikatan Bab ke-II, bagian ke-I sampai dengan bagian ke-IV. Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan rumusan tentang ‘Kontrak’ (perjanjian) sebagai berikut : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Menurut R. Setiawan, rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakanya perkataan perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubunngan dengan itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu:
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sehingga perumusanya menjadi:
“Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.[34]

 Perjanjian menurut sistem Common Law, dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan.[35]
Selanjudnya Subekti[36] mengatakan bahawa :
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari M. Yahya Harahap, yaitu :
“Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi”[37]

Istilah “kontrak” atau “perjanjian” dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang sama, seperi halya di Belanda tidak dibedakan antara pengerian “contract” dan “overeenkomst”. Suatu kontrak atau perjanjian dengan demikian memiliki unsur-unsur, yaitu pihak-pihak yang kompoten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik. Cirri kontrak yang utama ialah bahwa kontrak merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para pihak secara lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya seperangkat kewajiban.
Menurut P.S. Atiyah, kontrak memiliki tiga tujuan,[38] yaitu:
1.      Janji yang telah diberikan harus dilaksanakan dan memberikan perlindungan terhadap suatu harapan yang pantas.
2.      Agar tidak terjadi sesuatu penambahan kekayaan yang tidak halal.
3.      Agar dihindarinya suatu kerugian.
Kontrak yang merupakan bagian dari perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah satu hubungan hukum yang mengikat satu atau lebih subjek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain. Perikatan yang lahir karena undang-undang, misalnya kewajiban seorang Ayah untuk menafkahi anak yang dilahirkan oleh istrinya.[39]
Adapun untuk sahnya persetujuan perikatan diperlukan empat syarat (Pasal 1320 KUH Perdata), antara lain:[40]
1.   Adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.   Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.   Adanya objek atau suatu hal tertentu dalam perjanjian
4.   Adanya suatu sebab (causa) yang halal.
Syarat pertama dan kedua diatas, dinamakan syarat-syarat subjektif; apabila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif yakni jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Jika syarat-syarat perjanjian sebagaimana telah diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata perjanjian telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan satu undang-undang. Ketentuan Pasal 1338[41] ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa; semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Asas Pasca Sun Servanda).
 Berdasarkan ketentuan diatas maka ketentuan-ketentuan dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada para pihak dalam menentukan isi, bentuk, serta macam perjanjian, untuk mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selain tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum, juga harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Ketentuan yang terdapat dalam hukum perjanjian merupakan kaidah hukum mengatur, artinya kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataanya dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri. Kaidah-kaidah hukum semacam itu baru akan berlaku dalam hal para pihak tidak menetapkan peraturan-peraturan sendiri didalam kontrak yang mereka adakan.
IV.  Definisi serta Dasar Hukum Kontrak Bisnis Internasional
Adapun maksud istilah kontrak bisnis internasional adalah,
“… act of transaction or conducting any business; management; proceeding; that which is done; an affair”.[42]

Kemudian disebutkan:
“…it may involve, leasing borrowing, mortaging or lending…it must therefore consist of an act or agreement, or several acts or agreements, orseveral act or agreements having some connection with each other, in which more than one person is concerned, and by which the legal relations  of such persons between themselves are altered…”[43]

 Sehingga kontrak bisnis internasional dapat dikatakan sebagai kontrak yang dibentuk oleh dua atau lebih pihak, yang melakukan transaksi lintas batas Negara, yang berkebangsaan berbeda. Selanjudnya prinsip atau asas kekuatan mengikat persetujuan menegaskan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka perjanjikan satu sama lain dan yang terakhir adalah prinsip atau asas kebebasan berkontrak, dimana para pihak diberikan kewenangan membuat suatu persetujuan sesuai dengan pilihan yang bebas dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapa saja yang dikehendakinya.
Selain itu, para pihak harus menentukan sendiri isi maupun persyaratan-persyaratan suatu persetujuan dengan pembatasan bahwa persetujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini membuktikan bahwa fungsi kontrak didalam bisnis adalah untuk mengamankan transaksi. Tidak dapat disangkal bahwa hubungan bisnis dimulai dari kontrak. Tanpa adanya kontrak, tidak mungkin hubungan bisnis dilakukan. Kontrak dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Bahkan dalam Convention on Internasional Sale of Goods’ tahun 1980 kontrak secara lisan juga diakui. Akan tetapi mengingat fungsi kontrak secara lisan oleh para pihak memandang aman karena integritas masing-masing pihak memang dapat dijamin, mereka tidak perlu membuat kontrak tertulis. Hanya saja apabilah ada pihak ketiga yang mungkin keberatan dengan kontrak itu dan menentangnya, maka kedua belah pihak harus dapat membuktikan adanya kontrak itu dengan bukti lainya.
Kontrak atas suatu bisnis dapat bersifat lokal dan bersifat internasional. Kontrak bisnis yang bersifat lokal terjadi di antara para pihak yang berada dalam suatu Negara nengenai objek perjanjian yang ada di Negara itu. Sedangakan kontrak bisnis internasional melibatkan pihak-pihak dan atau objek perjanjian yang tidak berasal dari satu Negara. Untuk kontrak bisnis lokal dikuasai oleh hukum Negara yang bersangkutan, sedangkan hukum yang berlaku untuk kontrak bisnis internasional biasanya ditentukan dalam kontrak. Namun dalam menentukan hukum yang berlaku perlu diperhatikan hukum perdata internasional yang sebenarnya merupakan hukum nasional masing-masing Negara.
Bahwa kontrak antara sebuah perusahaan atau perorangan disuatu Negara dengan perusahaan atau perorangan di Negara lain atau dalam beberapa hal, antara perusahaan atau perorangan disuatu Negara dengan pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Negara lain merupakan bagian dari suatu kontrak internasional. Apabila terjadi kontrak antara BUMN dengan BUMN Negara lain, perlu dilihat apakah esensialitas dari kontrak tersebut memang benar-benar berifat bisnis ataukah mengandung unsur-unsur politis. Jika memang benar-benar bisnis, kontrak demikian dapat dikatakan kontrak bisnis internasional.
Hukum kontrak bisnis internasional dapat dikatakan sebagai hukum yang dipergunakan dalam suatu kontrak bisnis lintas batas Negara, yaitu perangkat kaidah, asas-asas dan ketentuan hukum, temasuk institusi dan mekanismenya, yang digunakan untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam suatu kontrak bisnis dalam hubungan dengan obyek transaksi, prestasi para pihak, serta segala akibat yang timbul dari akibat transaksi. Oleh karena itu dapat dikatakan bisnis internasional adalah kegiatan komersial (commercial activity) lintas batas Negara, yang dilakukan antara individu atau perusahaan yang berkewarganegaraan berbeda, berdasarkan prediksi tertentu, dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan tertentu (engage in for gain).[44] Tentunya keuntungan yang ada tidak boleh didapatkan dengan perbuatan tidak baik dan harus didasarkan pada itikat baik dari para pihak itu sendiri yang melakukan kontrak, sehingga masing-masing perusahaan dapat menjaga hubungan saling percaya antara satu dengan yang lain.
Menutut Munir Fuady[45], dasar hukum berlakunya suatu kontrak dalam bisnis internasional, antara lain :

1.   Contrac Provisions
Contrac Provisions merupakan hal-hal yang diatur dalam kontrak tersebut oleh kedua belah pihak. Apa yang diatur dalam Contract provisions boleh dikatakan teserah pada para pihak. Hukum yang memberikan rambu-rambu untuk melindungi berbagai kepentingan lain yang lebih tinggi, misalnya keadilan, ketertiban umum, kepentingan Negara dan sebagainya. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia, asas kebebasan berkontrak juga dibutuhkan. Dalam konteks bisnis internasional, kedua belah pihak baik eksportir maupun importer diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk menentukan isi kesepakatan dalam kontrak.
2. General Contrac Law
Tiap-tiap Negara memiliki General Contrac Law tersendiri. Di Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan yang diatur Kitab Undang-undang Hukum Perdata buku ke-III. Dalam buku ke-III ini diatur secara umum dan berlaku bagi seluruh kontrak, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan sebagainya. Didalanya juga diatur asas-asas suatu kontrak.
 3. Specific Contrac Law
Selain ketentuan-ketentuan umum Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan kontrak-kontrak tertentu. Dalam perjanjian jual beli internasional misalnya, jika yang berlaku adalah hukum Indonesia, maka berlaku juga ketentuan tentang perjanjian jual beli yang terdapat dalam KUH Perdata yang diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540.
4. Yurisprudensi
Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (yurisprudensi) dapat menjadi dasar hukum bagi berlakunya suatu kontrak. Yurisprudensi akan terasa maknanya jika ada hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang atau yang memerlukan penafsiran-penafsiran terhadap suatu undang-undang. Namun demikian, dalam hukum kontrak bisnis internasional peranan Yurisprudensi kurang begitu berarti karena biasanya penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, ataupun sesuai dengan pilihan hukun dalam isi kontrak.
6. Kaidah Hukum Perdata Internasional
Kaidah hukum perdata internasional banyak digunakan karena pada umumnya dalam setiap transaksi bisnis internasional melibatkan banyak pihak dari berbagai Negara. Berkaitan dengan hal itu, jika ada perselisihan tentang hukum mana yang akan berlaku maka akan dilihat dari isi kontraknya jika didalam isi kontrak terdapat klausula pilihan hukum maka pilihan hukum tersebutlah yang akan digunakan.
7. International Convention
International Convention adalah kesepakatan-kesepakatan internasional yang telah, sedang atau akan diratifikasi oleh Negara-negara di dunia. Hal tersebut dimaksudkan agar suatu konvensi dapat mengikat maka Negara kedua belah pihak harus merupakan peserta dari konvensi internasionak tersebut dan telah meratifikasi sehingga telah menjadi bagian dari hukum nasional masing-masing Negara. Ketentuan-ketentuan atau konvensi-konvensi internasional ada juga yang mengatur mengenai kontrak dalam jual-beli internasional antara lain: United Nations Convention on Contracts for the International sale of Goods. Konvensi ini merupakan hasil karya The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang kemudian diadopsi oleh Konfrensi Diplomatik tanggal 11 April 1980. Konvensi ini mengatur mengenai ketentuan-ketentuan yang sragam tentang jual beli internasional.

BAB III
METODE PENELITIAN HUKUM
A.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yuridis normatif. Penelitian ini peneliti mendeskripsikan akan permasalahan-permasalahan seputar penggunaan pilihan hukum (choice of law) dalam suatu kontrak bisnis internasional dengan didasarkan pada kaidah-kaidah hukum perdata internasinal serta peraturan yang ada.[46] Penelitian Deskriptif yuridis normatif ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka.[47]

B.     Data dan Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data sekunder berdasarkan studi pustaka / studi literatur (library research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan antara:
1.      Bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang terdiri dari:
a.    Norma dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule) UUD 1945;
b.   Kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip hukum dalam hukum bisnis internasional.
c.    Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
d.   Yurisprudensi yang berkaitan dengan pilihan hukum (choice of law) bisnis internasional.
e.    Konvensi internasional yang berkaitan dengan pilihan hukum (choice of law) kontrak bisnis internasional.
2.      Bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer), yang mencakup buku-buku ilmu hukum bidang hukum perdata internasional, hukum kontrak internasional, hukum dagang internasional, jurnal dan laporan hukum yang dipublikasikan, artikel ilmiah ilmu hukum, dan bahan lainya yang berkaitan dengan pilihan hukum.
3.      Bahan hukum tersier (bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan sebagai penunjang dalam bahan hukum primer dan sekunder), yaitu penjelasan dalam kamus hukum dan kamus bahasa Inggris Indonesia[48]

C.    Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian hukum ini dilaksanakan melalui kegiatan studi pustaka (library research). Kegiatan studi pustaka ini bertujuan untuk mengkaji dan mendapatkan sebanyak-banyaknya konsepsi, landasan teori, pendapat para ahli hukum maupun penemuan-penemuan hukum yang berkaitan erat dengan pokok-pokok permasalahan yang akan diteliti.[49] Kegiatan studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti tahapan berikut:
1.      Penentuan sumber data sekunder yang akan dikaji;
2.      Identifikasi sumber data sekunder yang telah diperoleh melalui proses pencarian dan pengenalan produk-produk hukum yang diperlukan, berupa: pencatatan nomor dan tahun peraturan perundang-undangan, nama dokumen hukum, judul literatur-literatur hukum, tahun penerbitan, nama pengarang dan halaman karya tulis dibidang hukum.
3.      Inventarisasi bahan-bahan hukum yamg relevan dengan perumusan masalah.
4.      Menganalisis dan mengkaji bahan-bahan yang dikumpulkan, guna menentukan relevansinya dengan perumusan masalah yang akan diteliti.

D.    Pengolahan Data
Dalam pengolahan data maka peneliti akan menyusun data secara teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan; kemudian menempatkan data menurut kerangka sistematika atau mengelompokkan data sesuai variable penelitian atau objek penelitian yaitu apa yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini.
Pengolahan data dilakukan melalui tahapan berikut:
1.      Pemeriksaan data (Editing)
Mengkoreksi dan memeriksa kelengkapan data yang sudah dikumpulkan terhadap kesesuaian atau relefansinya dengan rumusan masalah yang akan diteliti.
2.      Penandaan Data
Pemberian tanda pada data dalam penelitian ini, dilakuakan dengan cara penandaan huruf pada bagian sub-topik dan penomoran pada bagian uraian sub-topik. Sedangkan dalam penulisan sumber kutipan dicantumkan dengan menggunakan catatan kaki.
3.      Penyusunan Data (Contructing)
Data disusun secara teratur, berurutan dan logis berdasarkan kerangka sistematika penulisan penelitian hukum normatif.[50]

E.     Penyajian dan Analisa Data
Karena data dalam penelitian ini hanya berdasarkan data dalam kepustakaan dan dokumen tanpa mengadakan penelitian lapangan, maka uraianya bersifat kualitatif artinya data akan disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat sehingga membentuk suatu uraian.[51]  Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis yuridis normatif dengan menganalisis teori dan konsepsi tentang penggunaan pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional serta mengkaji produk hukum kontrak bisnis internasional yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian hukum ini.[52]

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Aspek Pilihan Hukum (Choice of Law) Dalam Kontrak Bisnis Internasional

Teori pilihan hukum (Choice of Law) secara umum boleh dikatakan telah diterima disemua Negara-negara di dunia,[53] sehingga teori ini berlaku secara universal. Menurut terori ini, para pihak tidak mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum bagi para pihak akan tetapi para pihak hanya dapat memilih hukum mana yang akan mereka pakai untuk dicantumkan dalam klausul kontrak yang mereka buat. Hal ini boleh dikatakan sejalan dengan asas kebebasan berkontrak.
Apabila para pihak dalam membuat kontak bisnis internasional telah melakukan pilihan hukum pada suatu sistem tertentu, lalu timbul sengketa dikemudian hari mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak tersebut, maka hukum yang dipilih itulah yang berlaku. Tentunya dengan tidak mengesampingkan apa yang telah menjadi prinsip-prinsip serta batasan dalam menentukan suatu pilihan hukum. Ada pendapat yang mengataklan bahwa klausula pilihan hukum dalam pembuatan kontrak bisnis internasional tidak penting karena para pihak menganggap transaksi bisnis merupakan suatu masalah yang rutin tanpa pilihan hukumpun, setiap sistem hukum negar tertentu sudah memiliki pengaturan dalam hukum perdata internasional yang menetapkan hukum apa yang akan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa bisnis internasional.
Penulis tidak sependapat dengan alasan tersebut diatas, karena pada dasarnya masing-masing Negara merdeka dan berdaulat mempunyai sistem hukum perdata internasional yang berbeda satu dengan yang lainya, bahakan dapat terjadi perbedaan tajam dengan penyelesaian sengketa atas kasus yang sama. Lebih menarik lagi ada pendapat yang mengibaratkan hukum mengenai “international sale of goods” dengan aturan permainan sendiri-sendiri maka bukan saja harus disediakan reket, bola, dan lapangan yang berbeda, tetapi juga aturan yang berbeda pulah. Akibatnya bukan saja mahal tetapi pertandingan itu sendiri biasa tidak dilaksanakan.[54] Oleh sebab  itu dalam kontrak bisnis internasional para pihak cenderung mencantumkan klausula pilihan hukum demi kepastian hukum.
Selain itu juga ada beberapa alasan mengapa para pihak cenderung melakukan pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional yaitu:
Pertama, alasan bersifat falsafah: dimana kehendak manusia dipandang sebagai suatu yang bersifat perlu diperhatikan di bidang hukum. Sejalan dengan ini oleh Mancini otonomi para pihak dianggap sebagai salah satu dari tiga rukun dari seluruh gedung HPI. Disamping prinsip nasionalitas dan “rem” ketertiban umum, otonomi para  pihak dianggap sebagai sendi alas utama dari seluruh sistem HPI. Kedua, alasan bersifat praktis: karena para pihak dipandang sebagai instansi yang paling cocok untuk mengetahui hukum manakah yang paling berguna dan bermanfaat bagi mereka sendiri. Bukankah hukum diadakan untuk manusia dan tidak manusia untuk hukum. Dengan diberikan kesempatan untuk ini para pihak dapat mengatur hubungan mereka secara sebaik-baiknya. Mereka adalah yang paling mengetahui apa yang paling terbaik bagi mereka sendiri. Terhadap alasan ini ada yang tidak sependapat dengan alasan ini dimana mereka mengatakan bahwa sering tidak benar para pihak dalam proses pilihan hukum dapat melakukan pilihan secara sukarela. Sering terjadi dalam praktek bahwa salah satu pihak dalam hubungan kontrak bersangkutan kedudukannya adalah jau lebih kuat dari pada pihak yang lain. Karena adanya kedudukan ekonomis dan sosial yang demikian kuatnya itu dan demikian jauh lebih tinggi dari pihak yang lain, dapatlah diperlakukan secara sebelah pihak kehendak pihak yang berkedudukan jauh lebih kuat ini. Dengan demikian bukan kemauan dari kedua pihak yang berlaku melainkan kemauan pihak yang ekonomis terkuat yang dapat “menekan” pihak yang ekonomis lemah dan menerima kondisi-kondisi dan syarat-syarat tentang hukum yang diberlakukan. Dengan demikian timbul penyalahgunaan. Pilihan hukum yang dilakukan sebenarnya hanya pilihan hukum dari pihak yang ekonomis terkuat, bukan kemauan para pihak[55].
Terhadap pendirian di atas penulis tidak sependapat, karena walaupun formulir-formulir kontrak yang dibuat sudah tercetak dengan menggunakan ketentuan Negara ekonomis yang lebih diatas, tapi para pihak masih memiliki kesempatan untuk menolak dengan tidak menandatangani isi kontrak tersebut. Jadi dengan menandatangani kontrak tersebut para pihak dianggap secara sukarela menundukan diri pada sistem hukum negar tersebut, karena mereka dianggap yang paling mengetahuai apa yang terbaik bagi mereka sendiri. Ketiga, alasan kepastian hukum: hubungan perdata dengan unsur-unsur asing selalu memperlihatkan kesulitan tertentu mengenai hukum yang harus dipakai. Oleh karena para pihak yang mengadakan hubungan hukum berlaku aneka warna hukum adalah demi kepastian hukum (rechtszekerheid), bilamana para pihak pada awal dari hubungan mereka sudah dapat memastikan hukum manakah yang akan berlaku untuk  mereka.
Kontrak yang telah dilangsungkan sebaiknya takluk pada hukum yang sudah pasti sejak semula. Para pihak sebaiknya mengetahui sejak permulaan hubungan kontrak mereka. Bukankah hubungan-hubungan internasional sudah cukup memperlihatkan kesulitan yang tidak sedikit? Oleh karena itu, sebaiknya jangan ditambah kesulitan ini dengan tidak pastinya hukum yang harus diperlakukan untuk kontrak yang dilangsungkan oleh pare pihak jika kelak timbul sengketa. Semua alasan ini membenarkan bahwa kepada para pihak diberi kemungkinan untuk menentukan sendiri hukum yang harus berlaku untuk kontrak mereka pada waktu  kontrak tersebut ditutup. Demi kepentingan kepastian hukum para pihak hendaknya diperkenankan untuk memilih sendiri hukum yang harus diperlakukan untuk kontrak mereka. Keempat, alasan kebutuahan hubungan lalulitas internasional: berhubungan erat dengan kepastian hukum yang disebut tadi, pilihan hukum dikemukakan pula sebagai sesuatu kebutuhan riil dalam hubungan lalu-lintas internasional.
Diatas telah dikemukakan bahwa bagi para pihak adalah sangat penting untuk mengetahui sejak permulaan hubungan mereka hukum manakah yang akan dipergunakan untuk mengatur hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak berdasarkan kontrak yang telah ditutup. Mereka ini juga harus dari semula mengetahuai apakah kontrak yang yang telah mereka buat, sah adanya; apakah syarat-syarat yang telah diadakan memang dapat direalisir kelak, jika perlu dengan sanksi hukum. Merekapun sejak semula perlu mengetahui apakah yang perlu akibat-akibat hukum daripada perjanjian yang telah dibuat. Semua hal-hal ini diperlukan demi kelancaran lalu lintas internasional (international verkeer).
Teranglah pilihan hukum dibutuhkan untuk menambah kepastian dalam hubungan lalulintas internasional. Inilah salah satu alasan untuk adanya lembaga kebebasan memilih hukum oleh para pihak. Jika hal ini demikian adanya, bilamana ternyata terdapat kepentingan yang lebih besar untuk mengenyampingkan hukum yang telah dipilih oleh para pihak, apa yang lebih berat ini tentu harus didahului (“wat zwaarder is moet zwaarder wegen”).
Otonomi oleh para pihak harus minggir jika terdapat lain kepentingan yang lebih berat daripada alasan-alasan kelancaran lalulintas internasional karena adanya kepastian hukum disebabkan pilihan itu. Jika  misalnya hukum yang telah dipilih oleh para pihak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum (odre public) hukum sang Hakim yang diminta mengadili perkara yang bersangkutan, sudah pada tempatnya bilaman pilihan itu dikesampingkan. Pilihan hukum yang telah dilakukan oleh para pihak dalam hal demikian itu tidak membawa akibat yang dikehendaki.[56]
Saat ini  para pihak yang terlibat dalam kontrak bisnis internasional harus cenderung  memilih hukum mana yang akan digunakan dalam kontrak nanti demi terciptanya arus investasi maupun kelancaran bisnis internasional dimasing-masing Negara. Sebagai contoh kecenderungan untuk memakai pilihan hukum dalam kontrak-kontrak bisnis internasional yang dilakukan oleh pertamina dengan pihak asing, menurut Sudargo Gautama hampir semua kontrak-kontrak tersebut terdapat pilihan hukum[57]. Padahal kedudukan pertamina dalam melakukan negosiasi dengan mitra asingnya, pertamina atau dalam hal ini biasa disebut juga sebagai pemerintah boleh dikatakan mempunyai bargaining power yang lebih kuat dari mitranya karena pemerintah harus melindungi kepentingan umum. Oleh sebab itu pemerintah boleh dikatakan dapat memaksakan syarat-syarat yang lebih ketat bagi mitranya, walaupun demikian pemerintah memberikan tempat bagi pilihan hukum karena pada sisi lain pemerintah sangat mengharapkan partisipasi asing dalam membagun perekonomian di Indonesia.
Tradisi di beberapa Negara berkembang lainya seperti di Amerika Latin, dimana kontrak bisnis internasional yang dilakukan antara pemerintah dan swasta asing, pemerintah selalu mensyaratkan pemakaian hukum nasional dari pihak pemerintah. Melihat kondisi yang sedemikian, maka pihak asing hanya dihadapkan dengan dua pilihan “take it or leave it” karena dalam hal ini tidak ada lagi negosiasi atau tidak ada lagi bergaining position, dengan demikian tidak ada lagi tempat untuk pilihan hukum.[58]
Penulis sadari bahwa  suatu pilihan hukum itu sangatlah penting dan bermanfaat adanya akan tetapi muncul suatu pertanyaan, bagaimana jika kemudian hukum yang telah dipilih berubah? Menurut penulis jika kemudian berubah hukum yang dipilih maka seluruh perubahan itu termasuk dalam pilihan hukum. Karena ‘hukum bukan sesuatu yang statis tetapi selalu hidup dan berkembang adanya’.
Juga persoalan apakah piliahan hukum yang telah dipilih boleh diubah-ubah, misalnya  para pihak telah memilih hukum X, tetapi kemudian sebulum perkara yang akan diselesaikan dengan arbitrase diajukan, para pihak setuju untuk mengubah dan memakai hukum Y. apakah hal ini diperbolehkan? Atau, para pihak dalam perkara kedua-duannya setuju dengan pemakaian dari hukum X, sedangkan dalam perjanjian mereka semula telah ditentukan hukum Y sebagai yang  dipilih. Apakah hakim terikat pada ketentuan yang belakangan ini? Apakah boleh diadakan perubahan kemudian daripada hukum yang dipilih?
Menurut Reczei bahwa hukum yang telah dipilih oleh para pihak merupakan hukum yang hidup, artinya para pihak telah memilihnya dengan segala Perubahan-perubahan ini secara inklusif telah dikehendaki pula oleh para pihak.[59]
Selain itu juga dalam pilihan hukum dapat saja memilih lebih  dari sistem hukum. Hal ini biasa ditempuh dengan tiga cara yaitu;
1.   Para pihak dapat secara mufakat menentukan pembagian dari kontrak mereka dan hukum untuk bagia-bagian tersebut. Misalnya mereka menentukan bahwa untuk persoalan mengenai sahnya kontrak tersebut berlaku hukum X dan untuk persoalan mengenai pelaksanaan kontrak tersebut berlaku hukum Y.
2.   Para pihak dapat menentukan dua atau lebih sistem hukum secara alternatif  berlaku untuk kontrak mereka. Misanya para pihak menentukan bahwa hukum domisili dari para pihak pertama atau pihak lain yang berlaku hingga tergugat dapat menggunakan hukum tempat domisilinya.
3.   Para pihak dapat menentukan bahwa suatu sistem hukum yang kompleks adalah yang berlaku. Misanya jika antara pedagang Indonesia dengan pedagang Jepang ditentukan bahwa “hukum Indonesia” yang berlaku. Hukum Indonesia ini yang bersifat kompleks bahkan multi kompleks. Hal ini dikerenakan hukum Indonesia tidak homogeny, tidak uniform, melainkan heterogen pluralistis sifatnya, maksudnya ada beranekaragam hukum perdata Indonesia.[60]
Oleh karena itu jika berbicara tentang klausula pilihan hukum, maka sudah sepantasnya didalam pembuatanya melalui proses negosiasi antara para pihak agar tercapai kesepakatan tentang klausula pilihan hukum tersebut. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bergaining position yang seimbang. Maka dari itu tidak semua kontrak-kontrak bisnis internasional harus memperhatikan atau membicarakan pilihan hukum. Sebagai contoh transaksi-transaksi antar bank, dimana para pihak menganggap cukup memakai international univormity yang disediakan oleh bank.[61] Dengan demikian tidak dibutuhkan negosiasi mengenai hukum nasional mana yang akan dipakai jika timbul sengketa.
Seberapa pentingnya klausula pilihan hukum itu hanya dapat ditentukan oleh para pihak itu sendiri yang membuat kontrak tersebut, sebab jika dalam negosiasi tidak terdapat kesepakatan, maka dapat saja menjadi pemicu perselisihan yang boleh dikatakan tidak penting dan merusak kesempatan berbisnis. Kita ketahui bersama bahwa tujuan yang ingin dicapai dari para pihak dalam melakukan suatu kontrak bisnis adalah prestasi.
Hal-hal yang harus diperhatikan juga apakah kebebasan yang didapatkanya itu mutlak adanya? Tentunya tidak demikian asalkan kebebasan itu harus memperhatikan batas-batas yang ditentukan. Hal mana sampai seberapa jauh orang atau para pihak mendapatkan kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku dapat diibaratkan dengan sebuah pintu apakah harus dibuka selebar-lebarnya yang maksudnya secara seluas-luasnya orang dapat memilih hukum mana saja mereka suka, atau sebaliknya pintu hanya dibuka “op een kiertje” atau dengan kata lain dipersempit kemungkinan memilih hukum.
Jika kebebasan untuk memilih hukum sendiri bagi para pihak diberikan secara seluas-luasnya akan timbul penyalahgunaan. Apabila pintu  dibuka selebar-lebarnya, maka para pihak bebas untuk memilih hukum yang misalnya sama sekali tidak ada hubungan dengan kontrak yang mereka buat. Jadi apabila para pihak bebas unntuk memilih segala macam hukum yang mereka sukai tanpa ada batasnya, maka semua faktor-faktor obyektif yang merupakan titik-titik taut dalam peristiwa bersangkutan dapat dikesampingkan begitu saja. hal ini merupakan suatu keganjilan yang sukar diterima.
Disamping itu, untuk mencegah pilihan hukum yang sama sekali tidak ada hubungan sedikitpun dengan kontrak yang ditutup, sebaiknya diterimah bahwa pilihan hukum hanya dapat dibolehkan dalam batas-batas tertentu. tidak ada kebebasan memilih tanpa batas-batas. Kebebasan tanpa batas akan membawa pada penyeludupan hukum yang tidak dikehendaki. Jika pilihan hukum secara leluasa tanpa batas maka para pihak yang berkontrak seolah-olah berada diluar atau diatas peraturan hukum.
Memang pada pokoknya para pihak bebas untuk melakukan sendiri pilihan hukum sesuai dengan kehendak mereka. Akan tetapi kebebasan ini bukan berarti berlaku secara sewenang-wenang. Pilihan hukum tidak dapat melanggar apa yang dikenal sebagai ‘ketertiban umum’(openbare orde) atau juga disebut public policy. Maksudnya adalah bahwa orang dengan perbuatan atau kontrak (perjanjian) tidak  boleh menghilangkan kekuatan dari peraturan-peraturan hukum yang mengenai ketertiban umum ataupun kesusilaan. Tentunya dalam hal ini harus dianut prinsip ketertiban umum secara terbatas.[62]
Hal tersebut diatas menunjukan bahwa suatu sifat antara lain dari beberapa peraturan hukum perdata, misalnya berlaku di Indonesia yang mengakibatkan peraturan tersebut tidak boleh dikesampingkan oleh orang-orang perseorangan, meskipun didalamnya ada persetujuan antara orang-orang ataupun pihak-pihak yang berkepentingan. ‘sifat tidak boleh dikesampingkan’ dari sebagian hukum ini tidak selalu mudah untuk dipahami, oleh karena sifat ini tidak selalu secara jelas dikatakan dalam isi suatu peraturan, akan tetapi sering harus disimpulkan dari kaedah-kaedah yang meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan tersebut.
Asas ketertiban umum ini dalam kerangka hukum internasional berarti bahwa sang Hakim dapat dikatakan diberikan suatu ‘senjata’ untuk dapat membela diri, seolah-olah fungsinya sebagai suatu ‘tameng’ untuk hal-hal secara khusus biasa dikatakan dapat mengesampingkan hukum asing yang akan diterapkan menurut ketentuan-ketentuan hukum perdata internasional dari Hakim bersangkutan sendiri. Hal ini biasa dipakai jika pemakaian dari hukum asing itu akan menjelma menjadi pelanggaran dari pada sendi-sendi asasi stelsel hukum itu dan sistem masyarakat yang boleh dikatakan dari sang Hakim itu sendiri. Oleh karena itu, hal ini dapat kita umpamakan fungsinya  seperti suatu ‘rem darurat’ dari pada suatu kereta api, yang bisa saja ditarik sewaktu-waktu pada saat diperlukan. Hal ini hanya bisa dilakukan dalam hal yang sangat khusus dengan cara sang Hakim menggantikan hukum asing ini dengan memakai hukum dari negaranya sendiri. Jelaslah bahwa hal ini tidak boleh dilakukan semena-mena oleh hakim tersebut. Jika hal ini terjadi maka dapat diibaratkan sebagai suatu ‘lonceng kematian’ bagi hukum perdata internasional, karena sang Hakim cenderung selalu memakai hukum nasionalnya sendiri. Jadi dapat dikatakan tidak ada lagi tempat bagi pilihan hukum.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa suatu pilihan hukum tidak boleh melanggar ketertiban umum tetapi juga ketertiban umum ini sedapatnya dipakai sesuai dengan waktu dan kondisi yang tepat ataupun sesuai dengan sendi-sendi yang ada dalam masyarakat.
Suatu pilihan hukum juaga tidak boleh menjadi suatu penyeludupan hukum (wetsontduiking) atau juga bisa disebutkan pada pilihan hukum yang tidak sebenarnya hanya sebagai suatu batu loncatan yang didasarkan atas kepentingan sepihak. Oleh karena itu, agar kemungkinan penyeludupan hukum tersebut dapat diperkecil kemungkinanya dengan cara pilihan hukum harus didasarkan itikat baik (bonafide), yaitu semata-mata untuk manfaat kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat suatu kontrak. Juga pilihan hukum tersebut harus memiliki hubungan yang nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan atau didasarkan kepada hukum yang dipilih. (real connection).
Hal penyeludupan hukum dengan ketertiban umum pada hakekatnya mempunyai hubungan yang erat. Hal mana kedua-duanya bertujuan agar supaya hukum nasional dipakai dengan mengesampingkan hukum asing. Hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika dipandang sebagai penyeludupan hukum. Kedua hal tersebut hendak mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah-kaidah hukum asing.
Pembatasan lain yang harus diperhatikan dalam hubungan ini adalah dalam hubunganm dengan ketentuan-ketentuan perdata yang bersifat publik, hal ini boleh dikatakan dipengaruhi dengan adanya kaidah-kaidah ataupun ketentuan-ketentuan hukum yang diistilahkan super ‘memaksa’ yaitu seperi ketentuan-ketentuan yang sedemikian dalam hubunganya dengan fungsi atau manfaat secara sosial dan ekonomi Negara yang bersangkutan. Sehingga dikatakan tidak dibolehkan diadakan penyimpangan dengan memilih hukum dari Negara lain. Ketentuan-ketentuan yang dimaksut adalah hukum yang secara memaksa mempunyai sifat publik dengan isi perdata. Kaedah-kaedah hukum perdata yang dikatakan secara memaksa dan mempunyai sifat hukum publik ini sudah semestinya harus ditaati dan tidak dapat diadakan pilihan hukum. Sebagai contoh, misalnya ketentuan-ketentuan yang dibuat dalam beli-sewa (huurkoop, hire purchase. Hal ini dimaksudkan oleh si pembuat undang-undang untuk melindungi kepentingan dari si pembeli sewa tersebut, misalnya dengan mengadakan perlindungan tertentu mengenai peralihan hak milik. Seperti yang diketahui dalam sistem hukum sewa beli (sekarang ini dikenal dengan sistem kredit), hak milik atas sewa tersebut nanti akan beralih hak ketika si pembeli telah membayar tagihan terakhir. Hal ini sering kali sering membawa ketidak-adilan jika misalya si pembeli telah membayar dengan hitungan prosentase 80% dan tidak dapat membayar lagi 20% sisanya. Apakah dengan sendirinya sewa beli tersebut akan mennjadi batal dan barangnya harus dikembalikan kepad si penjual. Dalam perundang-undangan diberbagai Negara di dunia memberi perlindungan hukum kepada si pembeli dalam hal sedemikian. Ketentuan-ketentuan untuk melindungi si pembeli yang diadakan oleh Negara bersangkutan ini tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan menentukan berlakunya hukum Negara lain untuk kontrak beli-sewa tersebut. Adapun contoh-contoh lain seperti peraturan-peraturan yang boleh dikatakan mengenai lalu-lintas devisa. Inipun tidak dapat dielakkan oleh para pihak dengan memilih sitem hukum dari negara lain. Hal ini dikarenakan sistem hukum devisa dari negara bersangkutan walau bagaimanapun tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak, karena memilih hukum dari negara lain. Demikian pula peraturan-peraturan mengenai eksport dan peraturan-peraturan mengenai pengendalian atau pembatasan terhadap import seperti larangan mengimport tenun dan lain-lain. Hal tersebut juga tidak dapat dikesampingkan dengan memilih ketentuan-ketentuan dari Negara lain. Contoh lain juga mengenai sewa-menyewa rumah harus taat pada ketentuan-ketentuan dari Negara  di mana rumah-rumah bersangkutan terletak.
Hal lain mengenai pembatasan terhadap pilihan hukum ini yakni hanya mungkin di bidang kontrak. Karena pilihan hukum tidak mungkin masuk dalam bidang hubungan kekeluargaan. dalam arti bahwa para pihak tidak mungkin menentukan pilihan hukum untuk masalah perkawinan, mengenai harta benda dalam perkawinan. Jadi boleh dikatakan pilihan  hukum hanya bias diterapkan dalam soal kontrak (perjanjian) seperti jual-beli, kontraktor, kerjasama dan lain-lain dalam menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki. akan tetapi harus dibatasi juga mengenai kontrak kerja. Hal ini dikarenakan kontrak kerja ini dianggap bertalian erat dengan perundang-undangn sosial dan ekonomis dari suatu Negara, hingga tidak dapat oleh para pihak memilih hukum lain dan mengesampingkan hukum dimana pekerjaan ini dilangsungkan.
Dalam prakteknya, baik Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam kaitanya dengan putusan hukum internasional, dan juga dari berbagai Negara memperlihatkan dengan tegas adanya kebebasan untuk melakukan pilihan hukum ini tentunya dengan memperhatikan hal-hal seperti dalam pembahasan di atas,  sebagai contoh:
1.      Yurisprudensi di Belanda[63]
Dalam perkara ‘Treiler Nicolas’ pada Tahun 1924, antara  N.V. Visscherij Eksploitatie Maatschappij Nicolas dan perusahaan Asuransi N.V. Maatschappij van Assurantie, Disconteering, en Bleenig der Stad Roterdam, Anno 1920, dan 10 maskapai lainya (diantaranya perusahaan Denmark dan Swedia). Hal ini dimana perusahaan kapal Nicolas memtuntut pembayaran dari perusahaan asuransi  yang berjumlah 11 perusahaan (6 diantaranya berkedudukan di Belanda).
Pada tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi menganggap polis asuransi tersebut batal adanya, kerena dengan menandatangani polis asuransi tersebut maka para pihak telah menghendaki berlakunya hukum Inggris. Hal ini nyata dari ketentuan bahwa walaupun kontrak telah ditutup di Belanda, harus diibaratkan seolah-olah telah ditandatangani di London. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan yakni dengan adanya penunjukkan kepada ketentuan-ketentuan dari Marine Insurance Act 1906 dan kondisi-kondisi serta polis-polis Lloyd Inggris. Menurut pengadilan tidak mungkin suatu perjanjian dapat di pecah-pecah hingga sebagian tunduk dibawah hukum X  dan sebagian tunduk di hukum Y. Maka dalam putusanya penggugat telah dikalahkan karena berdasarkan hukum Inggris, klausula-klausula ‘without further proof of interest than the policy itself’ adalah batal.
Pertimbangan Mahkamah Agung Belanda, bahwa menurut hukum Belanda para pihak tidak diwajibkan untuk mengatur seluruh bagian daripada perjanjian mereka oleh hanya satu macam hukum. Lebih jauh dipertimbangkan pula bahwa kaidah-kaidah memaksa dari suatu hukum asing tidak perlu diberlakukan jika para pihak tidak menghendaki berlakunya kaidah-kaidah memaksa ini, walaupun mereka telah menerima berlakunya hukum asing bersangkutan. Perjanjian Asuransi tersebut dinyatakan tidak batal. Menurut para pakar hukum di Belanda bahwa Mahkamah Agung (Hoge Raad) telah menerima prinsip pilihan hukum oleh para pihak dalam keputusan ini.
Dapat kita lihat contoh kasus pilihan dalam perkara Solbandera Valencia Sinaasappelen Import Maatschappij, N.V. telah mengajukan gugatan terhadap  “Blue Star Line Limited”  pihak Solbandera adalah pemegang konosemen yang telah dikeluarkan oleh Rederij yang menjadi tergugat dalam perkara ini. Kapal “Celtic Star” dari maskapai tergugat ini telah mengangkut sinaasappelen dari Rio de Jeneioro ke Hoek Van Holland. Selama pengagkutan ini sinaasappelen tersebut telah mengalami kerugian yang menurut dalil penggugat disebabkan karena untuk pengangkutan itu tidak disediakan instalasi pendingin yang cukup dan juga karena dari personil dari kapal tersebut telah merawat buah-buahan bersangkutan secara salah. Kerugian yang diderita sebesar F. 25.249,42.
Pihak tergugat membelah diri dengan mengemukakan bahwa konisemen yang telah dikeluarkan memuat klausul tertentu di bawah no. 23, yang bebunyi sebagai berikut: “This contract, wherever made, shall be construed and governed by English law, and claims in connection therewith settled direct with  the carriers in London to the exclusion of proceedings in the courts of any other country.[64]
Pada taraf pertama Solbandera tidak dapat diterima dengan gugatanya berdasarkan klausul yang telah dimuat dalam konosemen itu. Dalam tingkat banding pihak Solbandera mengajukan dalil bahwa untuk perjanjian pengangkutan sengketa harus diperlakukan pasal 470 dan 470a jo. 517d W.v.K.  dan menurut ketentuan ini bahwa “vrijtekenings clausule” bersangkutan tidak dapat diterima. Pembanding mendalilkan bahwa dengan melakukan pilihan hukum dan pilihan hakim asing sebagai instansi yang kompoten, tidaklah dapat dikesampingkan ketentuan-ketentuanhukum Belanda yang bersifat memaksa (dwingend).
Pasal 470 WvK Belanda melarang “vrijtekening” dan berbunyi sebagai berikut: “tidaklah diperbolehkan kepada si pengangkut untuk minta diperjanjikan, bahwa ia tidak bertanggung-jawab atau tidak salanya sampai suatu harga yang terbatas, untuk kerugian yang disebabkan karena kurang di usahakanya akan pemeliharaan, perlengkapan atau per-anak-buahan alat pengangkutnya, ataupun kurang diusahakanya kesanggupan alat pengangkutan itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan ataupun yang disebabkan karena salah memperlakukanya atau kurang penjagaanya terhadap barang yang di angkut. Janji-janji yang bermaksud demikian, adalah batal.
Bagaimana pendirian Hof mengenai persoalan ini? Hof mengemukakan bahwa para pihak bebas untuk secara kontraktuil memilih hakim Inggris, asal saja kaidah-kaidah hukum yang dipergunakan oleh hakim yang belakangan ini, tidak akan bertentangan dengan faham-faham ordre public di Nederland. Dan menurut Hof Pasal 470,  470a, dan 517d WvK tidak bersifat “van  openbareorde” maka para pihak boleh  menyimpang daripadanya seperti yang telah dilakukan dalam konosemen sengketa. Oleh  karena itu baik menurut hukum Belanda maupun menurut hukum Inggris pilihan hakim Inggris  adalah sah. Maka pihak Sobandera telah gagal lagi dalam tuntutannya. Dalam kasasi Hoge Raad  mempertimbangkan bahwa kehendak para pihak untuk memilih sendiri hukum pada umumnya tidak dibatasi oleh kaidah-kaidah yang bersifat memaksa, dari undang-undang yang akan berlaku bilamana tidak dilakukan pilihan hukum. Selanjutnya Hoge Raad maju selangkah lagi dengan mempertimbangkan, bahwa akan tetapi undang-undang Belanda telah menentukan pasal-pasal 470 dan 470a sebagai hukum memaksa, juga untuk pengagkutan internasional. Dengan demikian pilihan hukum bagi para pihak kearah sistem hukum lain tidak diperbolehkan. Dengan lain perkataan: kebebasan memilih oleh para pihak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum Belanda yang juga dikatakan memaksa untuk perjanjian-perjanjian internasional.
Menurut pendapat Hoge Raad pasal-pasal 470, 470a dan 517d WvK harus diperlakukan. Pilihan hukum oleh para pihak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum Belanda yang juga dalam perjanjian internasional telah dinyatakan memaksa. Para pihak tidak mempunyai kebebasan untuk memilih hukum Inggris dan dan tidak dapat menyatakan bahwa hakim Inggris adalah yang kompoten. Dengan demikian klausule dalam konosemen mengenai pilihan hukum Inggris tidak dapat dipertahankan dan batal adanya.
Dalil-dalil penggugat untuk kasasi dianggap benar adanya. Bukan saja pilihan hukum ke arah hukum inggris di anggap batal,  tetapi juag pilihan hakim Inggris sebagai Instansi yang kompoten untuk mengadili jika timbul sengketa. Hal ini disebabkan, karena apabila dibolehkan pilihan hakim Inggris, maka hakim tersebut akan mempergunakan tidak lain daripada hukum Inggris, yang membolehkan pembatasan tanggung-jawab, sedangkan ketentuan-kentuan undang-undang Belanda melarangnya.[65]

2.      Yurisprudensi di Inggris[66]
Dalam perkara Vita Food Products v. Unus Shiping Co pada Tahun 1939. Hal mana Vita Food menuntut ganti rugi atas kerugian barang angkutan yang disebabkan oleh kelalaian kapten kapal.
Menurt Hakim pada tingkat pertama, perjanjian tersebut walaupun dibuat tanpa pengandung ‘section 3’ (bahawa tiap klausula atau persetujuan yang membebaskan pihak pengangkut dari tanggungjawab karena negligence adalah batal) dari Carriage of Goods by Sea Act, merupakan dokumen yang bermanfaat. Tetapi perjanjian tersebut harus dianggap tunduk pada syarat-syarat yang ditentukan bukan dalam perjanjian tersebut, tetapi dalan Hague Rules. Supreme Court dalam tahap kedua berpendapat bahwa dengan tidak di taatinya ‘section 3’ dari hukum tersebut. Kontrak tersebut harus dianggap illegal. Tidak sahnya perjanjian ini membawa akibat untuk kedua belah pihak. Perjanjian yang dibuat dianggap illegal, maka para pihak penggugat tidak dapat mengajukan tuntutan berdasarkan perjanjian tersebut. Pemilik kapal dibenarakan dan gugatan tidak berhasil.
Akan tetapi dalam pandangan Judicial Committee of the Privy Council sebagai instansi terakhir menganggap perjanjian tersebut sah. Lord Wright mempertimbangkan mengenai ‘the proper law of the contract’ bahwa yang berlaku adalah kata-kata yang secara tegas tercantum dalam perjanjian adalah hukum Inggris dengan memperhatikan telah dikehendaki oleh para pihak. Kemudian menurut Lord Wright harus diadakan kualifikasi lebih lanjut mengenai kebebasan pilihan hukum ini. Pilihan hukum ini tidak boleh bertentangan dengan  public policy dan harus dilakukan secara bonafide dan legal. Pilihan hukum harus sesuai sengan hubungan perdagangan yang sehat dan alasan praktis yang sejalan dengan pikiran yang sehat (sound idea of business convenience and common sense). Jika mereka memilih hukum Inggris untuk bidang ini maka dianggap juga reasonable kalau mereka menghendaki dipakainya ‘the familiar principles of English commercial law’. Hukum Inggris untuk perdagangan internasional dan hukum pengangkutan serta hukum laut dianggap diterima secara Internasional. Oleh karena itu para pihak yang mengadakan kontrak di bidang ini yang pada kenyataanya tidak mempunyai hubungan sesungguhnya dengan Inggris, dapat dianggap telah melakukan pilihan secara reasonable.
3.      Yurisprudensi di Jerman
Dalam yirisprudensi Jerman diterima bahwa terciptanya perjanjian, akibatnya, baik yang mengenai hukum memaksa  atau hukum yang bersifat dispositif, takluk kepada pilihan hukum oleh para pihak. Tidak ada keragu-raguanbahwa prinsip pilihan hukum diterima. Bahkan yurisprudensi Jerman condong pula ke arah penerimaan daripada kehendak para pihak yang hanya merupakan dugaan atau yang fiktief. Pilihan hukum oleh para pihak berlaku berdasarkan ketentuan HPI Jerman.
4.      Yurisprudensi di Prancis
Mahkamah Agung Prancis Tahaun 1910 menerima kebebasan para pihak yang untuk memilih sendiri hukum yang mereka kehendaki. Hal ini diatur dalam Pasal 1134 C.C. Pasal 1338 B.W. Indonesia (yang dikutip dari C.C. Pasal 1334 ini via Pasal 1374 B.W. Nederland) mengenal ketentuan serupa: “semua persetujuan[67] yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

5.      Yurisprudensi di Italia
Yurisprudensi di Italia telah mengakui prinsip pilihan hukum para pihak. Pasal 25 ayat 1 C.C. Dimana mengenai hukum yang berlaku untuk kontrak-kontrak ditentukan bahwa hukum nasional para pihak berkewarganegaraan yang sama atau lex loci contractus adalah yang pada umumnya diperlakukan. Akan tetapi, bilamana para pihak memilih sendiri hukum yang berlainan, maka kehendak mereka ini dihargai. Hukum yang dipilih oleh para pihak adalah yang berlaku dengan mengeyampingkan hukum nasional bersama atau hukum tempat dilakukannya kontrak.
6.      Yurisprudensi di Swiss
Juga Yurisprudensi Swiss menerima kebebasan memilih sendiri hukum oleh para pihak. Oleh Mahkamah peradilan yang tertinggi di negara tersebut, Bundesgericht, telah diterima pula prinsip ini. Hukum dimana tempat dari kontrak bersangkutan dilaksanakan (lex loci solutionis) merupakan pula titik taut penentu yang tidak dapat diabaikan. Seringkali diketemukan suatu kombinasi daripada kehendak para pihak dan lex loci solutionis ini. Hukum tempat pelaksanaan kontrak ini dapat disimpulkan dari kehendak para pihak yang diutarakan secara tegas atau dapat diketahui dari fakta-fakta yang nyata pada kontrak itu.
Moser telah mengadakan penyelidikan seksama tentang yurisprudensi Swiss berkenaan dengan pilihan hukum ini. Semula yurisprudensi Bundesgericht mengakui prinsip pilihan hukum secara luas tanpa mengadakan perbedaan antara hukum yang berlaku untuk syarat-syarat terciptanya (sahnya) perjanjian dan akibat-akibat perjanjian itu. Perjanjian dalam keseluruhanya, tanpa membedakan antara syarat-syarat penciptaan dan akibat-akibat hukum daripada perjanjian, telah dituangkian dibawah hukum yang sama, yakni kepada hukum yang telah dipilih oleh para pihak.
Adanya perobahan, tidak lebih lama dipertahankan bahwa perjanjian secara keseluruhannya tunduk kepada hukum yang telah dipilih oleh para pihak. Diadakan perbedaan yang nyata antara disatu pihak syarat-syarat terciptanya perjanjian dan dilain pihak akibat-akibat hukum daripada perjanjian yang telah dibuat. Kini diadakan pemisahan (Spaltung) antara dua macam bagian perjanjian ini. Bagian tentang syarat-syarat penciptaan kontrak (genetischen Teil der Obligationen) dinyatakan tunduk kepada hukum dari tempat dimana perjanjian dibuat. Lex loci contractus yang secara objektif dipergunakan untuk mengetahui apakah suatu perjanjian telah tercipta secara sah. Mengenai akibat-akibat daripada perjanjian dipergunakan hukum yang telah dipilih secara subjektif oleh para pihak. Kehendak para  pihak ini dapat dinyatakan secara tegas atau hanya merupakan dugaan saja.[68]
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dibahas di atas maka dapat ditarik kesimpulan mengenai Pilihan Hukum Dalam Kontrak Bisnis Internasional adalah sebagai berikut:
1.      Pengetauan pilihan hukum oleh para pelaku dagang yang terlibat dalam pembuat kontrak bisnis internasional masih kurang disebabkan kareana salah menafsirkan prinsip kebebasan berkontrak yang dianut dalam klausul pilihan hukum. Terbukti bahwa dari hasil pemaparan contoh kasus yang ada dalam pembahasan di atas, masih banyak pelanggaran-pelanggaran prinsip kebebasan berkontrak.
2.      Para pelaku dagang yang terlibat dalam kontrak bisnis internasional banyak sekali menggunakan pilihan hukum secara sewenang-wenang dan tidak memperhatiakn prinsip-prinsip dasar yang menjadi pembatasan dalam penggunaan pilihan hukum. Sehingga pilihan hukum yang telah disepakati masih banyak hambatan-hambatan atau bahkan sampai tidak dapat dilaksanakan.
3.      Penggunaan pilihan hukum dalam kontrak bisnis internasional itu sangat penting karena perbedaan sistem hukum dan hakim di masing-masing negara sehingga sangat sulit untuk menentukan titik taut penentu. Oleh sebab itu aspek pilihan hukum harus  menggunakan pilihan hukum yang berdasarkan teori otonomi para pihak oleh Mancini, dimana pilihan hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan dan kaidah yang bersifat memaksa. Memang benar kebebasan berkontrak itu diperbolehkan bagi pelaku dagang untuk memilih hukum sendiri bagi mereka tapi ingat para pelaku dagang harus memperhatikan pembatasan yang ada dalam pilihan kukum itu sendiri. Suapay tidak terjadi pembataln kontrak seperti dalam contoh kasus yang ada di atas. Jadi pilihan hukum hanya diperbolehkan dalam batas-batas tertentu.


A.    Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan beberapa pokok pikiran sebagai saran, yaitu sebagai berikut:
1.      Sebaiknya pelaku dagang yang terlibat dalam pembuatan suatu kontrak bisnis internasional mencantumkan klausul pilihan hukum yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum.
2.      Diharapkan pelaku dagang yang terlibat dalam kontrak bisnis internasional untuk tidak menggunakan pilihan hukum yang secara sewenang-wenang, dan harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pembatasan dalam pilihan hukum. Supaya pilihan hukum yang telah disepakati dalam kontrak tidak ada hambatan atau sampai tidak dapat dilaksanakan.
3.      Sebaiknya juga bagi pelaku dagang yang terlibat dalam proses negosiasi pembuatan kontrak bisnis internasional harus memperhatikan kecermatan dalam berkontrak atau bila perlu mengundang ahli-ahli hukum yang kompoten di bidang hukum kontrak, sehingga jika terjadi kesempatan berikutnya dapat dibuat review yang sesuai dengan hasil kesepakatan.
DAFTAR PUSTAKA


Adolf, Huala. 2007.  Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: PT Refika Aditama.

---------------. 2006.  Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Black, Henry Campbell. 1990.  Black Law Dictonary. West Publising & Co: Sisxth Edition.

Gautama, Sudargo. 1982.  Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Cet. 2. Bandung: Binacipta.

---------------. 1983.  Capita Selecta Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni.

---------------. 1992.  Hukum Perdata Internasional Indonesia. Cet. 5. Jilid 2 Bagian 5. Bandung: Citra Aditya Bakti.

--------------. 1992.  “Masalah-masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual”. Cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.

---------------. 1998.  Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid. III. Bagian 4. Buku kelima. Bandung: Alumni.

--------------. 2002.  “Hukum Perdata Internasional Indonesia”. Jilid. III. Bagian 2. Buku Kedelapan. Bandung: Alumni.

Harahap, M. Yahya. 1982.  Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.

Hadikusuma, Hilman. 1995.  Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum. Cet. 1. Bandung: Mandar Maju.

Ibrahim, Johanes.,dan Sewu, Lindawati. 2004.  Hukum Bisnis Dalam Presepsi Manusia Moderen. Bandung: PT. Rafika Aditama.
Kuntjoro B.M. 1998. Pengaturan Perdagangan Internasional. Jakarta: Elips.

Kusumaatmaja, Mocthar. 1982.  Bagian Umum. Cet. 1. Bandung: Binacipta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004.  Hukum Dan Penelitian Hukum, Cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Raharjo, Satjipto. 1991.  Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.


Satrio. 1992. “Hukum Perjanjian”. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Simatupang, Richard Burton. 1992.  Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakatra: Rineka Cipta.

Soekanto,Soerjono dan Sri Mamudji,1995.  Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet 4. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

 Subekti, R. 1984.  Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.

---------------. 1984.  Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.

---------------. R. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Cet 6.Jakarta. Raja grafindo Persada.


Syahrani, Riduan. 2008. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Wolff, Martin. 1952.  “Private International Law”. London: Oxford Ed.

Wyasa Putra, Ida Bagus. 2008.  Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional. Bandung: Refika Aditama.

Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) staatsblad 1847-23 dengan publikasi 30 April 1847, dan dinyatakan masih berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.

http://www.duniaesia.com.pilihan hukum dan teori, hukum kontrak. Diakses pada tanggal 20 juli 2009.




[1]  Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 1-2.
[2] Sistem hukum yang banyak dipraktekkan di dunia adalah Civil Law dan Cammon Law. Negara-negara yang mempraktekkan sistem hukum ini ada yang secara penuh (“pure”) dan yang campuran (“mixed form”). Barnes dengan tepat menggolongkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem campuran ini yaitu hukum Islam dan hukum Adat. Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 28.
[3] http://www.Google.com. pilihan hukum dan teori, hukum kontrak. Diakses pada Tanggal 20 Juli 2009.
[4] Adalah tindakan untuk menyatukan kaidah-kaidah hukum (hanya) kaidah-kaidah hukum perdata internasional negara-negara yang menyetujui tindakan yang demikian untuk dibentuk satu kesatuan kaidah (konvensi) yang kelak dapat digunakan oleh hakim-hakim atau pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara yang dihadapinya. Ida Bagus Wyasa Putra,  Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 34-37.

[5] Sudargo Gautama,  Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 32-34.
[6] Gautama. Ibid. hal. 35.
[7] Artinya : kontrak yang telah dibuat ini akan dibangun dan diperintah oleh hukum Inggris, dan menuntut hubungan yang segera menentukan dengan membawanya ke Landon, dengan tindakan dalam pengadilan dari negara satu dengan negara yang lain.
[8] Ibid. hal. 118-125.
[9] Satjipto Raharjo, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 39.
[10] Riduan Syaihrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 13.
[11] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hal.24.
[12] Ibid.
[13] http://helmilaw-helmi.blogspot.com. Diakses pada tanggal 13 September 2009.
[14] Yaitu pengakuan pada kehendak manusia sebagai sesuatu yang mendasar yang senantiasa harus diperhatikan dalam mengatur kehidupan mereka. Mancini memandang otonomi para pihak sebagai prinsip mendasar dalam hukum perdata internasional.
[15] Yaitu memberikan kesempatan kepada para pihak untuk secara praktis mempertimbangkan hukum yang dipilih serta akibat dari pilihan demikian itu.
[16] Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 69.
[17]  Sudargo Gautama, Capita Selecta Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 69.
[18] Huala Adolf,  Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Rafika Aditama, 2007), hal. 140-145.
[19] adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan atau kesepakatan para pihak (party autonomy). Bahwa kesepakatan melahirkan hukum bagi para pihak (Pasal 1338 KUH Perdata Indonesia)
[20] Adalah pilihan hukum tersebut didasarkan pada itikad baik, yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat transaksi (isi perjanjian). Tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur kapan suatu pilihan hukum itu beritikat baik atau buruk. Standar yang mungkin digunakan adalah ketertiban umum.
[21] Yaitu beberapa sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.
[22] Adalah pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan sendiri.
[23] Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan  dengan ketertiban umum, yaitu hukum yang dipilih oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum (orde public) merupakan pembatas utama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum (une primiere limitation de l’excercide de la volonte individualle).
[24] Adalah klausul pilihan hukum sifatnya terpisah dari keseluruhan kontrak itu sendiri.
[25] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 213-230.


[26]  R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 1984), hal. 1.
[27]  Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, (West Publising & Co: Sixth Edition, 1990), hal. 322.
[28]  Martin Wolff, Private International Law, (Oxford London: 2 & Ed, 1952), hal. 413.
[29]  Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakrti, 1992), hal. 31-33.
[30]  Adityah, The Law of Contract, 1983, hal. 1.
[31]  Ibid. hal.5
[32] Peter Heffy, Principles of Contrac Law, ( Sydney: Thomos Legal & Regulatory, 2002), hal. 5.

[33]  Ade Maman Suherman, Aspekn Hukum Dalam Ekonomi Global, (Jakarta: Grasindo,2004), dikutip dari : W.R. Mawitjere dan Harly Rumagit, Materi Kuliah Hukum Ekonomi, (Universitas Negeri Manado: Tim Dosen Mata Kuliah, 2008), hal. 5.
[34] Ibid.
[35] Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta: Grasindo, 2001), hal. 6.
[36] Ibid.
[37]  M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 6
[38]  Johanes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis Dalam Presepsi Manusia Moderen, (Bandung: P.T. Rafika Aditama, 2004), hal. 43.
[39]  Ibid. 43.
[40] R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 25. Diambil dari, Feibe E. Pijoh dan Isye E. Melo, Materi Kuliah Hukum Perdata, (Universitas Negeri Manado: Tim Dosen, 2006), ha. 35.
[41] Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 332.
[42]  Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, (West Publising & Co: Sixth Edition, 1990), hal. 1341.
[43]  Ibid.
[44]  Ibid. hal. 174.
[45]  Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Transaksi Bisnis I ternasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 13-17.
[46]  Muhamad Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 52.
                [47]  Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13.
[48]  Abdulkadir, Op. cit., hal. 56.
[49]  Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 184.
[50] Sunggono. Ibid. hal. 186
[51]  Hiliman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1, (Bandung; Mandar Maju, 1995), hal. 99-104.
[52]  Ibid. hal. 120-121.
[53]  Sudargo Gautama, Masalah-Masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual. cet. I. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 102.

[54] M.B. Kuntjoro, Pengaturan Perdagangan Internasional (Jakarta: Elips, 1998), hal. 97.
[55] Sudargo Gautama,  Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 79-81.
[56] Ibid. hal. 82-84.
[57] Kuntjoro, Op. Cit, hal. 90.
[58]M.B. Kuntjoro, Pengaturan Perdagangan Internasional (Jakarta: Elips, 1998), hal. 112.

[59] Sudargo Gautama,  Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 250.
[60] Sudargo Gautama, Masalah-Masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual. cet. I. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 102.
[61] Ibid. hal. 114.
[62] Ibid. hal. 91-82.
[63] Sudargo Gautama,  Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 105-118.

[64] Artinya : kontrak yang telah dibuat ini akan dibangun dan diperintah oleh hukum Inggris, dan menuntut hubungan yang segera menentukan dengan membawanya ke Landon, dengan tindakan dalam pengadilan dari negara satu dengan negara yang lain.
[65] Ibid. hal. 118-125.
[66] Ibid. hal. 149-160
[67] Ternyata pasal ini pun yang menjadi dasar utama Team Arbitrase ICSID (International Centra fot the Settlement of Insvestment Disputes). Hal ini diketahui dari Republik Indinesia bersalah dalam mencabut izin penanaman modal dari P.T. Amco Indonesia mengenai perkara Hotel Kartika Plaza.
[68] Ibid. hal. 98-94.

4 komentar:

  1. Anjir skripsinya sampah bener. Kalo di UI mah udah dibantai! Yakale lo cuma ngopas bukunya Sudargo Gautama doang.
    Mana kok lo ga ngebahas bahwa pilihan hukum itu harus terhadap hukum intern negara lho, gak boleh HPInya. Why? Makanya, cari referensinya jangan dari Indonesia aja. Baca buku luar. Yahhh yaudalah, namanya juga universitas kelas pelosok macem Manado

    BalasHapus
  2. komentar anda sudah membuktikan perbedaan antara universitas kita.. makasi bro akhirnya kami tahu tata krama yg diajarkan kepada kami lebih baik dari yg diajarkan kepada anda. hati-hati,kami bisa saja menuntut anda dengan UU ITE.

    BalasHapus
  3. These tips are very useful for me and for that really thanks for sharing with us.

    BalasHapus
  4. I can see that you possess a degree of expertise on this subject, I would like to hear much more about it.

    BalasHapus