DALAM
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR
19
TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini perkembangan yang aktual dan
memperoleh perhatian seksama dalam masa satu dasa warsa terakhir, serta adanya
kecenderungan yang masih akan berlangsung dimasa mendatang adalah semakin
meluasnya arus globalisasi baik di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun
bidang-bidang kehidupan lainnya.
Di bidang perdagangan, terutama karena
perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di
sektor ini meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai
pasar tunggal bersama dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan seperti
itu, maka menjadi hal yang dapat dipahami adanya tuntutan kebutuhan bagi
pengaturan dalam rangka perlindungan hukum yang lebih memadai apalagi beberapa
negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada
produk-produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektual manusia seperti
karya cipta dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.[1]
Hak Cipta yang merupakan bagian hak
milik intelektual lainnya yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan teknologi, karena
semakin majunya teknologi suatu negara semakin canggih pula pelanggaran
dilakukan. Perkembangan Hak Cipta yang didorong oleh berbagai aspek mempunyai
dampak bagi penyempurnaan peraturan hukum di bidang hak cipta. Hak-hak yang
timbul dari suatu ciptaan di bidang kekayaan intelektual, kepada si pencipta
oleh hukum diberikan bersamaan dengan keistimewaan-keistimewaan tertentu yaitu
hak untuk mengeksploitasi ciptaannya. Sedangkan untuk menghindari adanya
pelanggaran berupa pembajakan atau penggandaan, perlu adanya rambu-rambu
pengaturan secara seksama dan diformulasikan dalam peraturan
perundang-undangan.
Ditempatkannya buku sebagai ciptaan yang
dilindungi, terutama karena selain untuk memenuhi keinginan yang kuat bangsa
Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tercantum dalam
Mukaddimah UUD 1945, juga terkait dengan empat fungsi buku, yaitu:
1. Buku sebagai media atau perantara, artinya buku dapat menjadi
latar belakang bagi kita atau pendorong untuk melakukan sesuatu.
2. Buku sebagai milik, artinya buku adalah kenyataan yang sangat
berharga, tak ternilai, karena merupakan sumber ilmu pengetahuan.
3. Buku sebagai pencipta suasana, artinya buku setiap saat dapat
menjadi teman dalam situasi apapun, buku dapat menciptakan suasana akrab sehingga
mampu mempengaruhi perkembangan dan karakter seseorang menjadi baik. Karena
buku merupakan sesuatu yang sangat bermanfaat dalam kehidupan seseorang dan
merupakan sesuatu yang menambah wawasan setiap orang yang membacanya. Semakin
banyak kita membaca semakin banyak pula ilmu yang kita dapatkan.
4. Buku sebagai sumber kreativitas, artinya dengan banyak membaca
buku dapat membawa kreativitas yang kaya gagasan dan kreativitas biasanya
memiliki wawasan yang luas.[2]
Selain keempat fungsi tersebut, buku
bagi bangsa Indonesia juga merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dan merupakan salah satu jenis ciptaan asli yang termasuk dalam perlindungan
hak cipta seperti diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan
konvensikonvensi Internasional. Hal ini dapat dilihat dari upaya pemerintah
dalam memberikan perlindungan hukum di bidang hak cipta dengan melahirkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, kemudian diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1982 dan kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, yang pada
akhirnya diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
Langkah penyempurnaan terakhir pada
tahun 2002 dilakukan dengan maksud penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan
yang memberi perlindungan hukum terhadap berbagai karya cipta/ ciptaan dibidang
ilmu pengetahuan, seni dan sastra dengan cara penyesuaian dengan persetujuan (Agreement
on Trade Related Aspect Of Intellectual property rights) TRIPs. Tujuannya
adalah untuk menghapus berbagai hambatan terutama untuk memberikan fasilitas
yang mendukung upaya pertumbuhan ekonomi dan perdagangan nasional maupun internasional.
Kepedulian terhadap nilai-nilai
individual pengaturan kakayaan intelektual menjadi lebih berbobot dalam situasi
sekarang ini yang sedang mengalami krisis moneter yang mencuat pada semester
kedua tahun 1997 dan merebak dengan krisis ekonomi dalam arti seluas-luasnya.
Krisis ini lebih menyadarkan kita bahwasanya kebutuhan nasional untuk menata
kembali pengaturan berbagai kekayaan intelektual bangsa Indonesia disamping menjadikannya
juga sebagai sumber-sumber pendapatan ekspor kita, terutama disektor nonmigas,
yang sangat penting bagi pembiayaan yang makin besar dan kelanjutan pembangunan
nasional kita.
Untuk saat ini hal yang sangat mendesak
untuk dipenuhi adalah memenuhi kebutuhan akses yang seluas-luasnya dan
sebesar-besarnya ke pasar internasional bagi produk-produk nonmigas kita,
selain mempertahankan dan kalau mungkin memperluas pasar nasional. Kesemuanya ini
memerlukan adanya perlindungan hukum bagi berbagai komoditi, juga yang termasuk
Hak Kekayaan Intelektual atau HAKI..Sumber daya manusia yang tangguh dan mampu bersaing dengan kekuatan
pasar diluar batas-batas negara kita, yang selaras dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dan standarstandar yang ditetapkan dalam perjanjian-perjanjian internasional. Sebagaimana
diketahui bahwa hak cipta merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan
Hak-Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) yang pengaturannya terdapat dalam ilmu
hukum dan dinamakan Hukum HaKI.[3]
Hukum HaKI meliputi suatu bidang hukum
yang membidangi hak-hak dari karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah pikir
manusia bertautan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi dan
moral.
Di dalam hak cipta atau (Copyrights),
yang merupakan bagian HaKI terkandung hak-hak eksploitasi atau hak-hak ekonomi
(Economic Rights) dan hak-hak moral (Moral Rights) berdasarkan hak-hak
ekonomi yang di punyai, memungkinkan seorang pencipta mengeksploitasi suatu
karya cipta sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan–keuntungan ekonomi, sehingga
perlu dilindungi secara memadai. terkandung didalam suatu karya cipta
nilai-nilai ekonomis. Oleh karna itu, suatu ciptaan jika tidak di kelola secara
tertib berdasarkan seperangkat kaidah-kaidah hukum, dapat menimbulkan sengketa
antara pemilik hak cipta dan pengelola (pemegang) hak cipta atau pihak lain
yang melanggarnya. Untuk pengeturanya diperlukan seperangkat
ketentuan-ketentuan hukum yang efektif dari segala kemungkinan pelanggaran oleh
mereka yang tidak berhak atas hak cipta yang dimiliki seseorang.[4]
Dalam kontek pembicaraan hak kekayaan
intelektual, yang dimaksud sebagai hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum
untuk melakukan sesuatu, seperti memperbanyak untuk dijual secara komersil
suatu ciptaan atau buku. Hubungan hak-hak semacam ini dengan kewajiban adalah
kewajiban dari orang-orang lain yang bukan pencipta untuk tidak melanggar hak
yang dimiliki pencipta.
Dari Uraian di atas tampak bahwa pencipta
selain mempunyai hak-hak tertentu juga disertai dengan keistimewaan tertentu
dan ketiadaan hak-hak pada mereka yang bukan pencipta.
Dalam Pasal 11 ayat (1a) Undang-Undang
Hak Cipta Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang Hak Cipta Tahun
2002 (selanjutnya disebut UUHC 2002) menjadi Pasal 12 ayat (1a) yang menetapkan
sebagai berikut:
Dalam Undang-Undang ini ciptaan yang
dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang
mencakup:
a. Buku, program komputer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis
lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato.
Yang dimaksud istilah writing (karya tulis) adalah suatu
ciptaan intelektual manusia yang dinyatakan dalam bahasa dengan menggunakan tanda-tanda
tertentu sehingga mudah dibaca. Bentuk perwujudan dari suatu writing dapat
bermacam-macam jenisnya seperti buku, surat kabar, majalah berkala dan pamflet.[5]
Dengan diaturnya buku sebagai salah satu
ciptaan yang dilindungi oleh pelbagai perundang-undangan nasional tidak dapat
disangkal lagi bahwa kehadiran buku sebagai ciptaan yang harus dilindungi sudah
jelas diakui. Hal ini disebabkan buku yang merupakan kekayaan intelektual
seorang pencipta selain mempunyai arti ekonomis bagi yang mengeksploitasinya,
juga mempunyai arti yang penting bagi pembangunan spiritual dan material suatu
bangsa. Barangkali dapat kita sepakati, bahwa dalam rangka usaha mencerdaskan
bangsa, minat baca masyarakat perlu dikembangkan. Minat baca ini tergantung
dari ketersediaannya buku-buku bacaan dalam jumlah dan jenis yang memadai.
Dunia pembukuan terasa semakin penting
apabila dikaitkan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini. Peran buku dalam proses pembangunan nasional di Indonesia cukup
strategis. Perkembangan usaha penerbitan buku sangat dipengaruhi dan ditentukan
oleh unsur-unsur pokok dalam penerbitan, yaitu: penerbit, percetakan, toko
buku, pengarang/pencipta dan perpustakaan. Karya cipta buku ini tidak luput
pula dari tindak pidana yang mana objek tindak pidana itu sendiri adalah buku.
Pelanggaran yang terjadi dalam hak cipta di bidang buku adalah Pembajakan buku.
Perbuatan ini tidak hanya merugikan pengarang atau pencipta tapi juga merugikan
pihak toko buku, pemilik modal dan terutama pihak penerbit, karena penerbit
menjadi sumber produksi, jika para penerbit lesu darah, maka pihak yang terkena
dampak adalah pemilik modal, dan yang kedua adalah pengarang.
Kerugian yang lebih jauh juga diderita
oleh pemerintah dalam kaitannya dengan pajak. Hal lain yang tak kalah penting,
akibat pembajakan buku adalah kerugian dalam pengembangan dunia intelektual di
tanah air. Para pengarang/pencipta akan enggan menulis buku karena
penghasilannya rendah, sehingga menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat
karena seharusnya para ilmuwan berlomba-lomba menyebarkan ilmu yang dimiliki
kepada masyarakat. Pembajakan buku inipun dikhawatirkan akan membawa dampak serius
terhadap program gemar membaca yang dicanangkan oleh pemerintah.
Pembajakan buku dilakukan dengan
mencetak buku yang diperkirakan dapat mendatangkan keuntungan, tanpa meminta
izin kepada penerbit atau pengarang/pencipta. Dengan demikian pembajak tidak
perlu membayar honor pengarang dan penerbit. Pembajakan dilakukan dengan
mencetak buku yang bersangkutan tanpa merubah bentuk tulisan, dan lain-lain,
termasuk mutu kertas, tetapi ada pula yang merubah bagian-bagian, huruf, mutu
kertas, cetakan dan sebagainya.
Buku-buku bajakan biasanya dijual oleh
pedagang-pedagang kecil yang menjual dengan mutu rendah dan kebanyakan
diperdagangkan para penjaja di kios-kios. Sebagai
contoh Novel berjudul Ketika Cinta
Bertasbih episode II karya penulis ternama Habiburahman El Shirazy, rupanya
cuma satu dari sekian banyak novel populer yang dipalsukan dan beredar luas di
Batam. Sebelumnya, novel fenomenal Habiburahman bertajuk Ayat-ayat Cinta dan
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata juga dibajak.
Para pembajak buku ini lebih
mementingkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Novel Ketika Cinta Bertasbih bajakan
misalnya, saat ini diperdagangkan seharga Rp 65 ribu. Padahal, novel aslinya
cuma Rp49.500 saja. Sepintas, agak sulit membedakan mana novel asli dan palsu.
Namun jika diperhatikan, perbedaannya cukup mencolok. Sampul Novel Ketika Cinta
Bertasbih asli lebih terang dan huruf judulnya timbul, sedangkan yang palsu
tidak. Di halaman
partama novel asli, terdapat stampel warna merah, sedangkan yang palsu stampel
hitam. “Yang asli ada hologram penerbit, yang palsu tidak ada.[6]
Jika Indonesia tidak berusaha keras
menegakkan hukum untuk memberantas pembajakan ini, maka negara-negara maju akan
melakukan embargo kepada Indonesia. Penegakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentan Hak Cipta secara konsekuen, itu bukan hanya disebabkan oleh desakan
pihak luar, tetapi karena kita ingin menghormati karya putra-putri kita dan
mendorong mereka untuk lebih berkarya lagi.[7]
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latarbelakang masalah yang ada di atas maka dapat dirumuskan identifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Kurangnya
kesadaran pengarang/pencipta dan penerbit untuk mendaftarkan karya ciptaanya
pada direktorat Hak Cipta untuk mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
2. Kurangnya
kesadaran dan penghargaan masyarakat pada umumnya terhadap perlindungan hukum
dari karya cipta sehingga banyak menimbulkan pembajakan karya-karya cipta di
bidang buku.
3. Kurangnya
kesadaran masyarakat (konsumen) yang masih saja membeli barang bajakan karena
terpengaruh dengan harga yang murah padahal hal itu merugikan pihak lain
(pencipta buku).
C. Rumusan Masalah
Dari Identifiksasi masalah yang ada di atas
dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah
Perlindungan Hukum terhadap pengarang/pencipta dan penerbit dalam perspektif
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta?
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimanakah Perlindungan Hukum Bagi
Pengarang/pencipta dan penerbit dilihat dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta.
E. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat
Teoritis
Adapun manfaat teoritis yang
menjadi harapan setelah penelitian ini selesai dilaksanakan, adalah:
1. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan
ilmu hukum pada umumnya dan HaKI mengenai Hak Cipta pada khususnya.
2. Hasil
penelitian ini dapat menambah perbendaharaan bahan bacaan guna pengembangan
bidang-bidang ilmu terkait.
3. Hasil
penulisan ini dapat menjadi dasar atau perbandingan bagi pihak lain yang ingin
menerapkan kembali konsep penulisan ini terhadap objek yang sama tetapi
terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menuju kearah penelitian yang
lebih baik dan lebih sempurna.
2.
Manfaat
Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan setelah
penelitian ini dilaksanakan adalah:
1. Hasil
penelitian ini dapat menambah, memperkaya ilmu pengetahuan seorang sarjana
hukum dalam prakteknya khususnya dalam hukum Hak Kekeyaan Intelektual di bidang
Hak Cipta.
2. Agar
dapat menambah bahan-bahan pendukung
atau bahan referensi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Manado dalam Studi Hukum Hak Kekayaan Intelektual khususnya dalam
bidang hak cipta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritis
Dalam
perkembangan ilmu dan teknologi, teori menempati kedudukan yang penting. Teori
memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang
kita bicarakan lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri
sendiri bisa disatukan dan ditujukan kaitanya satu sama lain secara bermakna,
dengan demikian teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasi dan
mensistematisasikan masalah yang diperbincangkan.
Hans
Kelsen yang tidak menerima adanya pembedaan antara hukum dan negara, dalam
konteks nasional menolak pembebanan kewajiban dan pemberian hak kepada negara.
Beliau mengemukakan “sebenarnya tidak ada kewajiban dan hak negara. Kewajiban
dan hak selalu merupakan kewajiban dan hak para individu” Namun demikian,
beliau tidak menyangkal keterikatan dari pemerintah atau orang-orang yang
mewakili negara terhadap norma-norma hukum dalam hal berhubungan dengan warga
negara. Dengan kata lain, penyangkalan Hans Kelsen terhadap keterikatan
negara dengan hukum tidak bersifat absolut, karena organ-organ negara (dalam
arti sempit/materiil) tetap terikat perbuatannya dengan norma-norma hukum.
Disamping itu, dalam kaitan dengan pergaulan masyarakat dunia dikemukakan bahwa
negara dapat juga dibebankan kewajiban yang tercermin dari sanksi yang harus
dipertanggungjawabkannya.[8]
Hans Kelsen mengemukakan bahwa
dalam perlindungan hukum ada beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan
yaitu: Negara, masyarakat dan individu. Perlindungan hukum pada individu yaitu
menyangkut hak tubuh, jiwa/raga, kekayaan seperti harta benda. Jadi dalam
kaitanya dengan perlindungan hukum bagi pencipta adalah kalau seandainya Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak
cipta yang diibaratkan seperti Negara sedangkan pengarang/pencipta adalah
masyarakat yang didalamnya ada individu-individu yang harus dilindungi.
Bagaikan Negara yang melindungi rakyatnya begitu juga regulasi harus
memperhatikan pencipta. Jadi undang-undang hak cipta harus memberikan jaminan
pada pengarang/pencipta apabila terjadi pelanggaran hak cipta buku.
Berbicara
mengenai perlindungan hukum, hingga sekarang ini para ahli belum menemukan
batasan yang memuaskan tentang apa itu hukum. Maka dengan demikian pertanyaan
tentang apa itu hukum, senantiasa merupakan pertanyaan yang sulit dan tidak
mungkin seragam. Dengan perkataan lain, persepsi orang tentang hukum
beranekaragam. Tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Hampir semua
ahli hukum yang memberikan definisi tentang hukum berlainan isinya. Maka
tepatlah apa yang dikatakan oleh seorang sarjana hukum belanda Immanuel Kant (Tahun
1800) yang pernah mengatakan “noch suchen
die juristen line definition zu ihren begriffe von rechts” yang artinya
para juris masih mencari suatu definisi tentang apa itu hukum.
Para
sarjana lainpun, seperti Utrech dan Appeldoorn, bahwa untuk memberikan suatu
definisi yang tepat tentang hukum adalah tidak mungkin.[9]
Akan tetapi meskipun sangat sulit untuk memberikan definisi tentang hukum, para
ahli tetap mencoba untuk mendefinisikan hukum itu sesuai dengan latar belakang
mereka masing-masing. Selanjutnya menurut Van Khan dalam bukunya “inleiding tot dea rechts wetenschap”
mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan peraturan terhadap yang bersifat
memaksa untuk melindugi kepentingan dalam masyarakat.[10]
Selanjutnya oleh Borst, mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan peraturan bagi
kelakuan atau perbuatan manusia dalam masyarakat, yang pelaksanaannya
dipaksakan dan bertujuan mendapatkan takhta atau keadilan.[11]
Menurut
Soetandyo Wignjosoebroto.[12]
Ada tiga konsep hukum dalam sejarah perkembangan pengkajian hukum yang
dikempakannya antara lain:
a. Hukum
sebagai asas moral atau asas keadilan yang bernilai universalkan manjadi bagian
intern sistem hukum alam.
b. Hukum
sebagai kaidah-kaidah positif yang
berlaku pada satu waktu tertentu dan terbit sebagai produk eksplisit suatu
sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi.
c. Hukum
sebagai institusi yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan bermasyarakat
baik dalam proses pemilihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam
proses pengarahan dan pembentukan pola-pola prilaku yang baru.
Selanjutnya menurut M.
H. Tirtaamidjaja dalam bukunya pokok-pokok hukum perniagaan ditegaskan bahwa
hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingka laku
tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti-mesti menganti
kerugian,jika melangar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau
harta umpamanya didenda dan sebagainya. Jadi hukum dalam penelitian ini adalah
upaya menjamin adanya kepastian hukum. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
teori dari Hans Kelsen tentang perlindungan Hukum.
B. Kajian Konseptual
1. Perlindungan Hak Cipta
Pelanggaran hak cipta adalah perbuatan
merugikan orang lain dan akan mempengaruhi laju pembangunan dalam bidang
intelektual yang menghambat upaya meningkatkan kecerdasan bangsa. Karena itu
hak cipta perlu dilindungi oleh hukum.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang
diatur oleh Undang-Undang guna mencegah terjadinya pelanggaran hak kekayaan
intelektual oleh orang yang tidak berhak. Jika terjadi pelanggaran, maka
pelanggar tersebut harus diproses secara hukum, dan bila terbukti melakukan
pelanggaran, dia akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan undang-undang
bidang hak kekayaan intelektual yang dilanggar itu. Undang-Undang bidang hak
kekayaan intelektual mengatur jenis perbuatan pelanggaran serta ancaman
hukumannya, baik secara perdata maupun secara pidana.
Untuk memahami apakah perbuatan itu
merupakan pelanggaran hak kekayaan intelektual perlu dipenuhi unsur-unsur
penting berikut ini:
a. Larangan undang-undang. Perbuatan yang dilakukan oleh Pengguna hak
kekayaan intelektual dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang.
b. Izin (lisensi). Penggunaan hak kekayaan intelektual dilakukan
tanpa persetujuan (lisensi) dari pemilik atau pemegang hak terdaftar.
c. Pembatasan undang-undang. Penggunaan hak kekayaan intelektual
melampaui batas ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
d. Jangka waktu. Penggunaan hak kekayaan intelektual dilakukan dalam
jangka waktu perlindungan yang ditetapkan oleh undang-undang atau perjanjian
tertulis atau lisensi.
Menurut ketentuan UUHC 2002 untuk
memperoleh perlindungan hukum, setiap Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) wajib
didaftarkan. Pendaftaran yang memenuhi persyaratan undang-undang merupakan pengakuan
dan pembenaran atas HaKI seseorang, yang dibuktikan dengan Sertifikat
pendaftaran sehingga memperoleh perlindungan hukum. Dalam Pasal 37 UUHC 2002
menegaskan bahwa pendaftaran ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas
permohonan yang diajukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasa
kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal HAKI.[13]
2. Pengertian Hukum Kekayaan
Intelektual Pada Umumnya
Dalam kurun waktu satu dekade terakhir,
(Hak-Hak Kekayaan Intelektual) selanjutnya disebut HaKI mulai memasuki tahapan
baru dalam perkembangan hukum di Indonesia. HaKI menjadi mengemuka tidak saja karena
berlandaskan hukum, tetapi juga karena erat bertautan dengan bidangbidang lain
sekaligus, seperti bidang-bidang teknologi ekonomi, sosial budaya, kesenian,
komunikasi dan lain sebagainya.
Hal ini mendorong timbulnya kesadaran
baru tentang arti penting dan adanya fungsi ekonomi HaKI. Sehingga dalam
memandang persoalan HaKI, mau tidak mau harus dilihat dengan mempergunakan
kacamata yang berdimensi luas, disamping masalah tehnis yuridisnya.
HaKI adalah padanan kata yang biasa
digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) yakni hak
timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk yang berguna
untuk manusia. Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis
hasil suatu kreativitas intelektual.
Dengan perkataan lain, Hak Kekayaan
Intelektual adalah hak atas harta kekayaan yang timbul dari kemampuan
intelektual dari manusia. Kekayaan semacam ini bersifat pribadi dan berbeda dari
kekayaan-kekayaan yang timbul bukan dari kemampuan intelektual manusia, seperti
hak atas :
1. Harta kekayaan yang diperoleh dari alam terdiri dari;
a. Tanah; hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak penambangan,
hak sewa dan lain-lain.
b. Air; hak mengelola sumber air, hak lintas damai di perairan pedalaman,
hak perikanan dan lain-lain.
c. Udara; hak lintas udara bagi pesawat-pesawat udara maskapai udara asing,
hak siaran, dan sebagainya.
2. Harta kekayaan yang diperoleh dari benda-benda tetap dan bergerak seperti;
a. Hak milik atas tanah, gedung, bangunan, dan rumah susun
b. Hak milik atas mesin-mesin, kekayaan intelektual
c. Hak milik atas mobil, pesawat udara, surat-surat berharga.
Dari berbagai contoh ini, dapat
dibedakan antara apa yang digolongkan
sebagai harta kekayaan intelektual (intellectual property)
dengan harta-harta
kekayaan lain.
HaKI pada hakekatnya
bersumber pada orisinilitas dan kreativitas yang
terdiri dari beberapa jenis yang dikelompokkan dalam dua kelompok
yaitu :
1. Kekayaan Industrial (Industrial Property) terdiri dari:
a. Penemuan-penemuan
b. Merek
c. Desain industri
d. Indikasi geografis
2. Hak Cipta (Copy Rights) dan hak-hak yang terkait (Neighboring
Rights) yang terdiri antara lain;
a. Karya-karya tulis
b. Karya musik
c. Rekaman suara
d. Pertunjukan pemusik, aktor dan penyanyi[14]
Masing-masing kekayaan intelektual
tersebut di atas pengaturan perlindungan hukumnya membidangi obyek-obyek yang
berbeda.
3. Hak Cipta Bagian dari
Hukum Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intlektual merupakan suatu
hak yang timbul akibat adanya tindakan kreatif manusia yang menghasilkan
karya-karya inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Hukum HaKI
adalah hukum yang mengatur perlindungan bagi para pencipta dan penemu
karya-karya inovatif sehubungan dengan pemanfaatan karya-karya mereka secara
luas dalam masyarakat. Karena itu, tujuan hukum HaKI adalah menyalurkan
kreativitas individu untuk kemanfaatan manusia secara luas. HaKI memiliki
lingkup yang luas dimana didalamnya tercakup karya-karya kreatif di bidang hak
cipta (Copyright) dan hak-hak terkait serta Hak Milik Industri (Industrial
Property).
Bentuk-bentuk HaKI menurut TRIP’S selengkapnya
adalah 1. Hak Cipta dan hak-hak terkait (Copyright and related rights);
2. Merek Dagang (Trademarks); 3. Indikasi Geografis (Geographical
Indications); 4. Disain Industri (Industrial Designs); 5. Paten (Patents);
6. Disain Tataletak (Topografi) Sirkit Terpadu (Layout Designs of
Integrated Circuit); dan 7. Informasi yang Dirahasiakan (Undisclosed
Information).[15]
Sistem HaKI modern di Indonesia diawali
dengan diratifikasinya Convention Establishing the WTO/Agreement on Related
Aspect of Intellectual Property Right (Konvensi WTO/persetujuan
Trips) dengan UU No. 7 tahun 1994. Ratifikasi ini diikuti dengan berbagai
langkah penyesuaian, yaitu :
Revisi peraturan perundang-undangan yang telah ada serta pembuatan
peraturan perundang-undangan baru di bidang HaKI. Berkaitan dengan program ini
telah dilakukan beberapa perubahan peraturan di bidang HaKI menjelang
diberlakukannya Trips secara penuh di Indonesia 1 Januari 2000. Beberapa
perubahan peraturan tersebut mengenai :
a. UU No. 12 tahun 1997 tentang 1997 perubahan UU No. 6 tahun 1982 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 7 tahun1987 tentang Hak Cipta;
b. UU No. 13 tahun 1997 tentang perubahan UU No. 6 tahun 1989 tentang
Paten;
c. UU No. 14 tahun 1997 tentang perubahan UU No. 19 tahun 1992
tentang Merek.
Disamping itu Pemerintah telah berhasil
membuat peraturan baru di bidang HaKI, yaitu :
a. UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
b. UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri;
c. UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
(IC).
Pada Tahun 2001 dan 2002, pemerintah
juga telah menyesuaikan kembali beberapa UU di bidang HaKI, antara lain:
a. UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten;
b. UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek;
c. UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Sejalan dengan berbagai perubahan UU di
bidang HaKI tersebut diatas, Indonesia juga telah meratifikasi 5 konvensi
internasional di bidang HaKI,
yaitu :
a. Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Keppres No. 15 tahun 1997);
b. Paten Cooperation Treaty (PCT) and regulation under the PCT (Keppres No. 16 tahun 1997);
c. Tradmark Law Treaty (Keppres
No. 17 tahun 1997);
d. Berne Convention for the Protection of Liberty and Artistic Work (Keppres No. 18 tahun 1997);
Semenjak menjadi anggota WTO, ragam
serta pengaturan Hak Milik Intelektual menjadi demikian banyak, yang tadinya
hanya mengenal UU Merek, Paten, dan Hak Cipta, maka sekarang harus membuat aturan
juga untuk bidang yang lainnya, seperti halnya Desain Industri, Rahasia dagang,
serta pengaturan Mengenai Layout Design. Disamping itu kewajiban yang tidak
kalah pentingnya adalah memberlakukan UU tersebut serta menegakkan hukum atas
pelanggaran yang terjadi.
Tanggal 29 Juli 2003 merupakan momentum
yang sangat mempunyai arti penting pada bidang Hak Kekayaan Intelektual (HaKI),
karena sejak saat itu secara resmi diberlakukan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta sebagai bagian dari HaKI, dengan demikian Undang-Undang tersebut telah berlaku
secara efektif. Para pemilik hak cipta dengan sendirinya merasa mendapatkan
perlindungan yang lebih mantap karena tujuan akhir dari perlindungan hak cipta
adalah untuk memberikan penghargaan dan insentif atas suatu kreatifitas dari
kegiatan intelektual manusia. Selain itu juga memberikan suatu keseimbangan
perlindungan terhadap pencipta dan
pengguna ciptaan tersebut.[17]
HaKI terdiri dari Hak Cipta (yang
meliputi seni, sastra dan ilmu pengetahuan) dan Hak Milik Industri (HMI)
meliputi hak Paten, Hak Merek, Rahasia Dagang, Disain Industri, Desain Tata
Letak Terpadu, dan Varietas tanaman.[18]
Pada hak cipta dikenal azas perlindungan
otomatis (automatical protection), sehingga tidak ada kewajiban
untuk mendaftarkan ciptaanya. Artinya bahwa sebuah karya cipta yang diwujudkan
oleh penciptanya, maka sejak saat itu secara otomatis karya cipta tersebut
memiliki hak cipta dan mendapat perlindungan secara hukum. Azas Perlindungan
Otomatis (Otomatical Protection) diatur dalam Pasal 2 Ayat 1
Undang-Undang No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, selain itu azaz perlindungan
otomatis juga diatur didalam tiga prinsip dasar yang dianut didalam konferensi
Bern, yaitu :
1) Prinsip National Treatment
Ciptaan yang berasal dari sala satu negara peserta perjanjian
(yaitu ciptaan seorang warga negara, negara peserta perjanjian, atau suatu
ciptaan yang pertama kali diterbiktan disalah satu negara peserta perjanjian)
harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh ciptaan
seorang pencipta warga negara sendiri.
2) Prinsip Automatic Protection
Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa
harus memenuhi syarat apapun (must not be
conditional upon compliance with any formality)
3) Prinsip Independence of Protection
Suatu perlindungan hukum diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan
perlindungan hukum negara asal pencipta.
Untuk memberikan pengamanan pada karya
cipta akan lebih baik jika didaftarkan khususnya apabila pada suatu saat
terbentur pada masalah hukum yang berhubungan dengan ciptaan-ciptaan yang ada
maka pendaftaran dari suatu ciptaan untuk lebih mempunyai kekuatan hukum. Asas
perlindungan otomatis pada perlindungan hak cipta berhubungan dengan hak moral
yang merupakan hak eksklusif atas suatu ciptaan seseorang. Hak moral senantiasa
melekat pada penciptanya sejak ciptaan tersebut diwujudkan. Sehingga suatu
ciptaan tidak wajib untuk didaftarkan karena tanpa didaftarkan sudah jelas
kepemilikannya ada pada penciptanya.[19]
Karya-karya intelektual selain mempunyai
bobot ekonomis juga menyangkut hak atas kepemilikan. Secara yuridis menyangkut
konsepsi hukum tentang kepemilikan yang pada dasarnya mengacu pada konsep kebendaan
yaitu benda imateriil. HaKI secara esensial mengandung pengertian hak kekayaan
inteletual manusia. Semakin berbobot karya-karya intelektual seseorang semakin
tinggi pula nilai ekonomi dari karya tersebut sehingga karya yang dihasilkan merupakan
kekayaan yang dimiliki oleh para pemilik atau yang menghasilkan karya tersebut.
4. Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, disahkan pada tanggal 29 Juli 2002 namun baru diberlakukan pada
tanggal 29 Juli tahun 2003 (selanjutnya disebut dengan UUHC 2002) UUHC 2002 ini
merupakan penyempurnaan dari UUHC 1997. Penyempurnaan ini didasarkan atas
pertimbangan yang pada intinya dimaksudkan untuk lebih memberi perlindungan
bagi para pencipta dan pemegang hak terkait dalam keseimbangan dengan kepentingan
masyarakat pada umumnya. Termasuk dalam hal ini adalah untuk mengakomodasi
beberapa ketentuan dalam Trips dan WIPO Copyrights Treaty yang
belum sempat diakomodasi dalam perubahan UUHC 1997.
Pada sisi lain yang tidak kalah penting
dari perjanjian-perjanjian international diatas, adalah perlunya penekanan pada
faktor-faktor lokal misalnya keanekaragam sosial budaya dan etnik yang
merupakan potensi besar bagi pembuatan kara cipta. Hal ini sejalan pula dengan
kebijakan dibidang otonomi daerah saat ini. Dengan berlakunya Undang-Undang
ini, maka Undang-Undang sebelumnya dinyatakan berlaku lagi.
Dalam UUHC 2002 mengandung berbagai
ketentuan yang tidak terdapat dalam undang-undang sebelumnya, antara lain :
a. Dipisahkan secara tegas antara hak cipta dan hak terkait
b. Informasi pengeloaan hak (Rights Management Information),
yang melarang perusakan atas informasi yang ada dalam media elektronik sebagai
produk di bidang hak cipta dan hak terkait.
c. Sarana kontrol teknologi yang melarang perusakan atau intervensi
ke sarana kontrol teknologi yang dibuat dalam suatu produk di bidang hak cipta
dan hak terkait
d. Pangkalan data (database) sebagai
ciptaan yang dilindungi
e. Penyelesaian sengketa perdata yang ditangani oleh pengadilan niaga
f. Penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa
g. Penetapan sementara pengadilan yang memberi kesempatan pada pihak
yang merasa dirugikan dapat meminta penetapan terlebih dahulu kepada hakim guna
melarang beredarnya produk yang dianggap melanggar hak cipta atau hak terkait
h. Jangka waktu penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga dan Mahkamah
Agung yang dibatasi masing-masing 90 (sembilan puluh) hari,
i.
Diperkenalkannya ancaman
pidana penjara dan denda minimal bagi pelanggaran pasal-pasal tertentu dan
j.
Ancaman pidana bagi
perbanyakkan penggunaan piranti lunak program komputer untuk kepentingan
komersial secara melawan hukum. [20]
5. Hak-hak yang Melekat Pada
Hak Cipta
Salah satu aspek hak khusus pada Hak
Kekayaan Intelektual adalah hak ekonomi. Hak ekonomi adalah hak untuk
memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaan intelektual. Dikatakan Hak Ekonomi
karena Hak atas Kekayaan Intelektual adalah benda yang dapat dinilai dengan
uang.[21]
Hak Ekonomi tersebut berupa keuntungan
sejumlah uang yang diperoleh karena penggunaan sendiri Hak atas Kekayaan
Intelektual, atau karena penggunaan oleh pihak lain berdasarkan lisensi.[22]
Hak Ekonomi itu diperhitungkan karena
Hak Kekayaan Intelektual dapat digunakan/ dimanfaatkan oleh pihak lain dalam
perindustrian atau perdagangan yang mendatangkan keuntungan. Dengan kata lain,
Hak atas Kekayaan Intelektual adalah objek perdagangan.[23]
Pendapat lain mengatakan seorang
pencipta memiliki dua macam hak atas ciptaannya, yaitu hak ekonomi (economic
rights) dan hak moral (moral rights).[24]
Adapun yang dimaksud hak ekonomi adalah hak khusus bagi pencipta untuk
mendapatkan keuntungan atas ciptaannya.[25]
Hak tersebut berwujud hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
Hak-hak ekonomi tersebut antara lain berwujud:[26]
1. Hak reproduksi atau penggandaan (reproduction rights) Perbanyakan
bermakna menambah jumlah ciptaan dengan pembuatan yang sama, hampir sama atau
menyerupai ciptaan tersebut dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun
tidak sama, termasuk mengalihwujudkan suatu ciptaan.
2. Hak adaptasi (adaptation rights) Hak untuk mengadaptasi
dapat berupa penerjemah dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, aransemen musik,
dramatisasi, meruba menjadi cerita fiksi menjadi non fiksi atau sebaliknya.
3. Hak distribusi (distribusi rights) Hak distribusi merupakan
hak pencipta untuk menyebarkan ciptaannya kepada masyarakat. Penyebaran
tersebut dapat berupa penjualan, penyewaan atau bentuk lain yang maksudnya agar
ciptaan tersebut dikenal masyarakat.
4. Hak pertunjukan (public performance rights)[27]
Setiap orang atau badan yang menampilkan, atau mempertunjukkan sesuatu
karya cipta, harus meminta ijin dari si pemilik hak performing tersebut.
5. Hak penyiaran (broadcasting rights)[28]
Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu
ciptaan oleh peralatan tanpa kabel. Hak penyiaran ini meliputi penyiaran ulang,
dan mentransmisikan ulang. Menurut UU Hak Cipta, pasal 18 ayat 1, bahwa untuk
kepentingan nasional, maka dapat dilakukan pengumuman sesuatu ciptaan melalui
radio televisi yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dengan tidak memerlukan
izin terlebih dahulu dari pemegang hak cipta, asalkan kepada pemegang hak cipta
diberi ganti rugi yang layak.
6. Hak program kabel (cable casting rights)[29]
Hak ini hampir sama dengan hak penyiaran hanya saja mentransmisikannya
melalui kabel. Badan penyiaran televisi mempunyai suatu radio tertentu, dari
sana disiarkan program-program melalui kabel kepada pesawat para pelanggan.
Jadi siarannya sudah pasti komersial
Droit de Suite adalah hak pencipta dan bersifat kebendaan, yang
diatur dalam pasal 14 bis Konvensi Berne revisi Brussel 1948 dan ditambah pasal
14 hasil revisi Stockholm 1967.
8. Hak pinjam masyarakat (public lending right)
Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di
perpustakaan, yaitu dia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena
karyanya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan
milik pemerintah tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan hak moral
bagi pencipta adalah hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta atau
hak-hak yang berkenaan dengan mengadakan larangan bagi orang lain melakukan
perubahan karya ciptaannya, larangan mengadakan perubahan judulnya, larangan
mengadakan perubahan nama penciptanya, dan hak bagi pencipta untuk melakukan
perubahan karya ciptaannya.[31]
Sedangkan dalam bukunya J. C. T
Simorangkir, SH mengatakan bahwa hak moril pencipta merupakan hak khas dan
khusus serta langgeng daripada si pencipta atas hasil ciptaannya, yang tidak
dapat dipindahkan dari penciptanya. Hak moril pencipta tersebut tetap melekat
pada pencipta sekalipun hak cipta itu sendiri sudah dialihkan kepada pihak
lain.[32]
Hak moral merupakan hak yang meliputi
kepentingan pribadi/individu. Hak moral melekat pada pribadi pencipta, hak
moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan denganjalan apapun tidak dapat
dtinggalkan daripadanya, seperti mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya,
mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan
atau integritas ceritanya.[33]
Hak integritas yang merupakan kewenangan
pencipta untuk memberi atau menolak perubahan atas ciptaannya.
Seperti disebut diatas bahwa hak cipta
merupakan benda bergerak, sehingga tidak dapat disita menurut ketentuan pasal 4
UUHC 2002. Alasannya karena ciptaan bersifat pribadi dan manunggal dengan diri
pencipta. Dalam pasal 4 UUHC 2002 menyebutkan bahwa :
1) Hak cipta yang dimiliki oleh pencipta yang setelah penciptanya
meninggal dunia. Menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan
hak cipta tersebut tidak dapat disita kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan
hukum.
2) Hak cipta yang tidak atau belum diumumkan setelah penciptanya meninggal
dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerimawasiat, dan hak cipta
tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak cipta itu diperoleh secara
melawan hukum.
Apabila pencipta sebagai pemilik hak
cipta atau pemegang hak cipta sebagai yang berwenang menguasai hak cipta,
dengan hak cipta itu melakukan pelanggaran hukum atau mengganggu ketertiban
umum, maka yang dapat dilarang oleh hukum adalah perbuatan atau pemilik hak
cipta yang menggunakan haknya itu.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
“Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan (library research).”[34]
Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau
kaidah yang berlaku. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif
tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi,
undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.”[35]
“Penelitian
tipe ini lazim disebut sebagai “studi dogmatik” atau yang dikenal dengan doctrinal
research.”[36]
“Penelitian tipe doktrinal (doctrinal research) adalah mirip dengan tipe
penelitian hukum normatif.”[37]
“Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik.”[38]
“Dogmatik hukum bersifat teoritis-rasional, sehingga pengungkapannya terikat
pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika deduktif. Disamping itu,
maka dogmatik hukum memperhitungkan kecermatan, ketetapan dan kejelasan.”[39]
“Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library
research) ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data
sekunder belaka.”[40] Menurut
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan tersebut mencakup:
1. Penelitian terhadap asas-asas
hukum
2. Penelitian terhadap sitematik
hukum
3. Penelitian terhadap taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal
4. Perbandingan hukum
5. Sejarah hukum.[41]
B. Variabel Penelitian
“variable
penelitian ini adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian.”[42]
Menurut Abdulkadir Muhammad, “rumusan masalah dibuat sekhusus mungkin, tetapi
tetap mencerminkan adanya hubungan antara variable.”[43]
Berdasarkan masalah yang dirumuskan pada bab satu, maka dapatlah ditetapkan
variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimanakah Perlindungan Hukum Bagi pengarang/pencipta dan
penerbit dilihat dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
C. Data dan
Sumber Data
Adapun
yang menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data
sekunder berdasarkan studi pustaka / studi literatur (library research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan
antara:
1. Bahan
hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang terdiri dari:
a. Norma
dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule)
UUD 1945;
b. Undang-Undang
No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
c. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
d. Konvensi-konvensi
internasional di bidang hak cipta.
e. Yurisprodensi
yang ada hubunganya dengan pelanggaran hak cipta
2. Bahan
hukum sekunder yaitu yang memberi Penjelasan mengenai bahan hukum primer
seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian,
makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Bahan
hukum Tertier
Yaitu Bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri
a.
Kamus hukum
b.
Kamus bahasa Indonesia
c.
Kamus Bahasa Inggris
d.
Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat kabar , jurnal hukum,
majalah dan lain sebagainya ).[44]
D.
Lagkah-Langkah Penelitian
Pengumpulan
data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan, studi dokumen, dan studi
catatan hukum.[46]
Kepustakaan yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, buku karya tulis
bidang hukum.
Kegiatan
studi kepustakaan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.
Penentuan sumber data sekunder (sumber
hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier), berupa
perundang-undangan, literatur di bidang ilmu pengetahuan hukum, dan kamus.
b.
Identifikasi data sekunder (sumber hukum
primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier) yang diperlukan, yaitu
proses mencari dan menemukan bahan hukum berupa ketentuan dalam pasal-pasal
peraturan perundang-undangan; judul buku, nama pengarang, cetakan, kota
penerbit, penerbit, tahun terbit dan nomor halaman karya tulis bidang hukum.
c.
Inventarisasi data yang relevan dengan
rumusan masalah (pokok bahasan atau subpokok bahasan), dengan cara pengutipan
atau pencatatan.
d.
Pengkajian data yang sudah terkumpul
guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.[47]
2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul
kemudian diolah. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data
yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan
dengan masalah/variabel penelitian.
b. Penandaan data (coding), yaitu memberikan catatan atau
tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan,
atau dokumen); pemegang hak cipta (penulis, tahun penerbitan); atau rumusan
masalah/variabel penelitian (masalah pertama tanda A, masalah kedua tanda B,
dan seterusnya).
c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang
data secara teratur, berurutan, logis mehingga mudah dipahami dan
diinterpretasikan.
d. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data
menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah/variabel
penelitian.[48]
3. Analisis Data dan Pembahasan
Menurut Abdulkadir Muhammad,
“Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: (1)
Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; (2) Data yang terkumpul
umumnya berupa informasi; (3) Hubungan antara variabel tidak dapat diukur
dengan angka ….”[49]
Kemudian menurut Hilman
Hadikusuma, “penelitian yang hanya melakukan studi kepustakaan (data sekunder)
tanpa melakukan penelitian lapangan (data primer). Laporan skripsi itu akan
hanya bersifat deskripsi analitis berdasarkan pendekatan masalah yang bersifat
normatif-jurudis.”[50]
Penelitian ini juga memusatkan
perhatiannya pada hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang abstrak, hukum
sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, terlepas dari kaitannya dengan
hal-hal di luar peraturan perundang-undangan. Menurut Bambang Sunggono,
“Pemusatan perhatian yang demikian ini akan membawa kepada penggunaan metode
normatif dalam menggarap hukum.
Sesuai dengan cara pembahasan
yang bersifat analitis, maka metode ini disebut sebagai normatif analitis.”[51]
Menurut Dengan demikian, analisis
data dilakukan secara kualitatif, konprehensif, dan lengkap. Analisis
kualitatif artinya menuraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang
teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Konprehensif artinya
analisis data dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek sesuai dengan
lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlewatkan atau
terlupakan, semuanya masuk dalam analisis.
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A
Perlindungan Hukum Bagi Pencipta dan Penerbit Berdasarkan Undang Undang Nomor
19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Perlindungan hukum terhadap hak cipta pada dasarnya
dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh
dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Menyadari
akan hal tersebut, pemerintah Indonesia secara terus menerus berusaha untuk
memperbaharui peraturan perundang-undangan di bidang hak cipta untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada, baik perkembangan di bidang
ekonomi maupun di bidang tehnologi.
Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa
pelanggaran hak cipta telah mencapai tingkat yang membahayakan dan dapat
merusak tatanan kehidupan masyarakat pada umumnya dan minat pengarang pada
khususnya.[52]
Usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam
rangka perlindungan terhadap karya cipta ini ternyata belum membuahkan hasil
yang maksimal. UUHC 2002 dalam memberikan perlindungan hukum terhadap suatu
karya cipta maupun terhadap hak dan kepentingan pencipta atau pemegang hak
cipta sudah cukup bagus dibandingkan dengan UUHC sebelumnya. Dalam realitasnya,
pelanggaran hak cipta masih menggejala dan seolah-olah tidak dapat ditangani
walaupun pelanggaran itu dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai macam bentuk pelanggaran yang dilakukan dapat berupa pembajakan
terhadap karya cipta, mengumumkan, mengedarkan maupun menjual karya cipta orang
lain tanpa seizin pencipta ataupun pemegang hak. Dampak lain dari pelanggaran
ini di samping akan merusak tatanan masyarakat pada umumnya, juga akan mengakibatkan
lesunya gairah untuk berkarya di bidang ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan, seni
dan sastra serta berkurangnya penghasilan atau pemasukan negara berupa pajak
penghasilan yang seharusnya dibayar oleh pencipta atau pemegang hak cipta.[53]
Pelanggaran hak cipta sebagaimana diatur dalam UUHC
2002 dapat berupa mengambil, mengutip, merekam, memperbanyak atau mengumumkan sebagian
atau seluruh ciptaan orang lain, tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta
atau yang dilarang oleh Undang-Undang atau melanggar perjanjian. Dilarang
Undang-Undang artinya Undang-Undang tidak memperkenankan perbuatan itu
dilakukan karena :
1. Merugikan
pencipta atau pemegang hak cipta, misalnya mengkopi sebagian ciptaan orang lain
kemudian dijualbelikan kepada masyarakat,
2. Merugikan
kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan
kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan, atau
3. Bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Melanggar perjanjian artinya memenuhi kewajiban
tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang telah disetujui kedua pihak, misalnya
dalam perjanjian penerbitan disetujui untuk diterbitkan 3000 (tiga ribu)
eksemplar, tetapi diterbitkan 5000 (lima ribu) eksemplar, dan lain sebagainya.
Ketentuan
Pasal 14 UUHC Tahun 2002 menyebutkan suatu perbuatannyang tidak dianggap
sebagai pelanggaran hak cipta. Perbuatan tersebut antara lain: Pengumuman dan
atau perbanyak lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli,
1. Pengumumam
dan atau perbanyak segala sesuatu yang diumumkan dan atau diperbanyak oleh atau
atas nama pemerintah, kecuali jika hak cipta itu dinyatakan dilindungi, baik
dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu
sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan dan atau diperbanyak, atau
2. Pengambilan
berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga
penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya
harus disebutkan secara lengkap.
Perbuatan pelanggaran hak cipta pada dasarnya ada
dua kelompok,
yaitu
:
1. Dengan
sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin
untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan
untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan
bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan
negara, kesusilaan dan ketertiban umum.
2. Dengan
sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta.[54]
Berdasarkan hal itulah, penulis menilai diperlukan
adanya perlindungan hukum bagi pencipta dan penerbit hak cipta atas buku. Perlindungan
hukum yang ada merupakan upaya yang diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta guna mencegah
terjadinya pelanggaran HaKI oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, di sini penulis hanya akan meneliti
dan
membahas masalah perlindungan hukum terhadap pencipta dan penerbit
buku
dengan adanya pelanggaran atau pembajakan buku berdasarkan UUHC
2002.
Penulis menganalisis bahwa perlindungan hukum
diperlukan bagi pencipta atau pemegang hak cipta atas buku agar hak-hak yang
dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta atas buku terlindungi.
Perlindungan hukum tersebut dapat terlihat dari pasal-pasal yang ada dalam UUHC
2002, antara lain Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 15, Pasal 16 ayat 1 sampai
dengan ayat (6), 29 ayat (1), dan (2), Pasal 30, Pasal 45 dan Pasal 46.
Buku merupakan salah satu objek dari ciptaan seseorang.
Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan
ilmu pengetahuan, seni dan sastra (Pasal 1 angka 3 UUHC 2002). Sehingga dalam
hal ini diperlukan perlindungan hukum. Buku atau lebih dikenal sebagai karya
tulis di bidang sastra atau ilmu pengetahuan. Tetapi bila dicermati lebih jauh,
sebenarnya buku memiliki pula beberapa komponen lainnya dari hak cipta, seperti
gambar-gambar atau lukisan yang terdapat di dalam buku. Demikian pula bila buku
secara fisik berbentuk benda tertentu dalam 3 (tiga) dimensi (banyak dijumpai
dalam buku anak-anak) dilindungi dalam kelompok besar hak cipta sebagai karya
seni. Peta dan fotografi yang tercantum dalam buku juga dilindungi sebagai
karya cipta tersendiri (Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002).
Dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUHC 2002,
menentukan bahwa jangka waktu perlindungan hukum bagi penulis atau pemegang hak
cipta atas buku berlaku selama hidup pencipta (penulis atau pemegang hak cipta
atas buku) dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sejak diumumkan setelah
pencipta meninggal dunia.
Terdapat pula ketentuan khusus yang menyebutkan
bahwa apabila hak cipta atas buku dimiliki atau dipegang oleh badan hukum, maka
jangka waktu perlindungan menjadi 50 (lima puluh) tahun sejak diumumkan (Pasal
30 ayat 3 UUHC 2002).
Berlaku pula terhadap buku suatu ketentuan yang
menerangkan hak cipta atau ciptaan yang penciptanya tidak diketahui. Pasal 11
ayat 1 UUHC 2002, menyebutkan bahwa jika suatu ciptaan tidak diketahui
penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang hak cipta atas
ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. Hal ini dimaksudkan untuk menegaskan
status hak cipta dalam hal suatu karya yang penciptanya tidak diketahui dan
tidak atau belum diterbitkan. Sebagaimana layaknya ciptaan itu diwujudkan,
misalnya dalam hal karya tulis atau musik, ciptaan tersebut belum diterbitkan
dalam bentuk buku atau belum direkam. Dalam hal demikian, hak cipta atas karya
tersebut dipegang oleh Negara untuk melindungi hak cipta bagi kepentingan
penciptanya, sedangkan apabila karya tersebut berupa karya tulis dan telah
diterbitkan, hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan dipegang oleh penerbit.
Pasal 11 ayat 2 UUHC 2002 menyebutkan jika suatu
ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya atau pada ciptaan
tersebut hanya tertera nama samaran penciptanya penerbit pemegang hak cipta
atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. Hal ini dimaksudkan bahwa
penerbit dianggap pemegang hak cipta atas ciptaan yang diterbirkan dengan menggunakan
nama samaran penciptanya. Dengan demikian suatu ciptaan yang diterbitkan tetapi
tidak diketahui siapa penciptanya atau terhadap ciptaan yang hanya tertera nama
samaran penciptanya, penerbit yang namanya tertera dalam ciptaan dan dapat membuktikan
sebagai penerbit yang pertama kali menerbitkan ciptaan tersebut dianggap
sebagai pemegang hak cipta. Hal ini tidak berlaku apabila pencipta dikemudian
hari menyatakan identitasnya dan ia dapat membuktikan bahwa ciptaan tersebut
adalah ciptaannya.
Ayat 3 dari pasal yang sama menyebutkan, jika suatu
ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui pencipta dan atau penerbitnya,
Negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. Penerbit
dianggap memegang hak cipta atas ciptaan yang telah diterbitkan tetapi tidak
diketahui penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran
penciptanya, penerbit yang pertama kali menerbitkan ciptaan tersebut dianggap
mewakili penciptanya. Hal ini tidak berlaku apabila dikemudian hari pencipta
asli atau ahli warisnya dapat membuktikan bahwa
ciptaan
tersebut adalah ciptaannya.
Ketentuan mengenai konsep pemegang hak cipta, pada
prinsipnya pemilik dan pemegang hak cipta adalah pencipta (dalam dunia
perbukuan pengarang atau penulis) tetapi dalam hal-hal tertentu hak cipta
dipegang oleh pihak di luar pencipta. Hal ini dapat terjadi baik karena
pelimpahan hak cipta karena kehendak pencipta yang dituangkan dalam suatu kesepakatan/pernyataan
ataupun karena ketentuan hukum seperti warisan, hibah, wasiat, perjanjian
tertulis atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan. Dalam hak cipta tersebut dibuat dalam hubungan dinas baik
lingkungan pekerjaan pencipta maupun dalam kerangka pesanan. Dalam hal ini,
untuk keseimbangan kepentingan pencipta atas ketentuan tersebut maka
undang-undang menegaskan pula bahwa kepentingan pencipta harus diperhatikan
dalam hal penggunaan ciptaan tersebut diperluas di luar hubungan dinas.
Salah satu ketentuan mengenai pengecualian terhadap
pelanggaran hak cipta yang sangat erat kaitannya dengan buku sebagai karya
cipta telah disempurnakan dalam UUHC 2002 yang baru.
Pertama, pendekatan kuantitatif dalam kerangka
pengambilan bagian dari suatu ciptaan yang selama ini menjadi acuan untuk menentukan
adanya pelanggaran hak cipta telah diubah menjadi kualitatif. Lebih lanjut
diperjelas kondisi dan persyaratan untuk dianggap sebagai pengecualian terhadap
pelanggaran hak cipta dahulu berkaitan dengan ketetunan yang bersifat kuantitatif
tersebut, yaitu sepanjang ciptaan yang menjadi sumber pengutipan disebutkan dan
perbuatan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya,
maka penggunaan suatu penciptaan untuk keperluan pendidikan, penelitian
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu
masalah, tidak dianggap sebagai pelanggaran.
Secara jelas dalam Pasal 15 UUHC 2002 menyebutkan
bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran
hak cipta:
a. Penggunaan
ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan penelitian penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, dengan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.
b. Pengambilan
ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan
pembelajaran di dalam atau di luar pengadilan.
c. Pengambilan
ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan :
(i) Ceramah,
yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan, atau
(ii) Pertunjukkan
atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari pencipta.
d. Perbanyak
suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dalam huruf Braille guna
keperluan para tuna netra, kecuali perbanyakan itu bersifat komersial.
e. Perbanyakan
suatu ciptaan selain program komputer secara terbatas dengan cara atau alat
apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan
atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non komersial semata-mata untuk
keperluan aktivitasnya.
Pasal 16 UUHC 2002, membahas tentang penerjemahan
dan perbanyakan. Pasal 16 menyebutkan :
1) Untuk
kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan serta kegiatan penelitian dan
pengembangan, terhadap ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra, menteri
setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat :
a. Mewajibkan
pemegang hak cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan atau perbanyakan
ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang
ditentukan.
b. Mewajibkan
pemegang hak cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain
untuk menerjemahkan dan atau memperbanyak ciptaan tersebut di wilayah Negara
Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal pemegang hak cipta
yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
c. Menunjuk
pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan atau perbanyakan ciptaan tersebut
dalam hal pemegang hak cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam huruf b.
2) Kewajiban
untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah
lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya ciptaan di bidang ilmu
pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia.
3) Kewajiban
untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah
lewat jangka waktu :
a. 3
(tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Republik
Indonesia.
b. 5
(lima) tahun sejak diterbitkannya buku Ilmu Sosial dan buku itu belum pernah
diperbanyak di wilayah Republik Indonesia.
c. 7
(tujuh) sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum
pernah diperbanyak di wilayah Republik Indonesia.
1) Penerjemahan
dan atau perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan
untuk pemakaian di dalam wilayah Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke
wilayah negara lain.
2) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disertai
dengan pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan keputusan presiden.
3) Ketentuan
tentang cara pengajuan permohonan untuk menerjemahkan dan atau memperbanyak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Presiden.
UUHC 2002 menambahkan pengaturan masalah lisensi hak
cipta. Secara umum ditegaskan bahwa suatu perjanjian lisensi berlaku untuk
seluruh wilayah Indonesia dan perjanjian tersebut pada prinsipnya bersifat non ekslusif,
kecuali diperjanjikan lain. Untuk kekuatan mengikatnya terhadap pihak ketiga
maka perjanjian lisensi tersebut harus dicatatkan di Kantor Hak Cipta. Untuk
dapat tercatat di Kantor Hak Cipta, perjanjian lisensi tersebut tidak boleh
menimbulkan akibat yang dapat merugikan perekonomian Indonesia. Dalam konteks
ini, maka sekalipun perjanjian lisensi yang bersifat ekslusif tidak dilarang,
tetapi penerapannya akan sangat bergantung pada test apakah perjanjian ini
dapat merugikan perekonomian negara kita atau tidak, misalnya pembayaran pajak.
Penambahan dalam UUHC 2002 mengenai lisensi ini
adalah mengenai jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada pemegang hak cipta
oleh penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman
kepada kesepakatan organisasi profesi. Secara lengkap Bab V tentang Lisensi
dalam UUHC 2002 adalah :
Pasal
45 :
1) Pemegang
Hak Cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat
perjanjian untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
2) Kecuali
diperjanjikan lain, lingkup lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlangsung selama jangka
waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia.
3) Kecuali
diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pembayaran royalty kepada pemegang Hak
Cipta oleh penerima lisensi.
4) Jumlah
royalti dan wajib dibayarkan kepada pemegang hak cipta oleh penerima lisensi
adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada
kesepakatan organisasi profesi.
Pasal
46 “Kecuali diperjanjikan lain, pemegang hak cipta tetap boleh melaksanakan
sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2”.
Pasal
47 :
1) Perjanjian
lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan
perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan
usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2) Agar
dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib
dicatat di Direktoral Jenderal.
3) Direktorat
Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian lisensi diatur dengan keputusan
presiden.
Setelah melihat gambaran mengenai UUHC 2002, penulis
beranggapan bahwa isi dari UUHC telah menjangkau perlindungan hokum terhadap
karya cipta atas buku terutama bagi pengarang dan penerbit. Hal ini tampak
jelas adanya hak-hak bagi pemegang hak cipta, dalam hal ini pencipta dan
penerbit yang benar-benar dilindungi. Tidak hanya pencipta dan penerbit sebagai
pemegang hak ciptaan, ahli waris dari pencipta pun mempunyai hak untuk
melakukan penuntutan.[55]
A.1
Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Terjadinya Pelanggaran
Hak
Cipta
Pembajakan buku bukanlah suatu fenomena yang asing
lagi. Masalah pembajakan buku bukan sekedar persoalan antara pencipta dengan
oknumoknum pembajak semata, melainkan persoalan antara si penegak hukum dan penghargaan
masyarakat atas hak cipta.
Pembajakan buku sangat berpengaruh terhadap
banyaknya buku yang akan terbit. Jika pembajakan buku makin banyak, maka buku
yang terbit akan menurun, yang mana hal ini disebabkan menurunnya niat pencipta
untuk menulis buku. Dampak lain bagi penerbit, banyaknya dituntut royalti oleh pencipta
atau pengarang buku yang diterbitkan oleh pembajak karena hak terbitnya ada
pada penerbit yang sah. Penerbit juga dirugikan karena pembajakan buku
mengakibatkan omzet penjualan buku-buku berkurang.
Pembajakan buku merupakan tindak pidana kejahatan.
Dari segi penegakan hukum, ketidakseragaman penafsiran dan tindakan para pejabat
penegak hukum dalam menghadapi pelanggaran hak cipta merupakan faktorfaktor yang
menunjukkan bahwa pembajakan belum ditangani secara efektif. Oleh karena itu,
penegakan hukum terhadap perlindungan hak cipta harus lebih ditingkatkan.
Penegakan hukum sebagai usaha menjalankan hukum
dapat mempunyai arti sempit, arti luas dan arti yang tidak terbatas. Dalam arti
sempit penegakan hukum adalah menjalankan hukum oleh polisi, sebagaimana pengertian
orang awam tentang hukum. Dalam arti luas, penegakan hokum adalah menjalankan
hukum oleh alat-alat perlengkapan negara, yakni kepolisian, kejaksaan dan
kehakiman. Pengertian hukum yang tidak terbatas adalah tugas dari pembentuk
undang-undang, hakim, jaksa, pengacara, aparat pemerintah, pamong praja,
lembaga pemasyarakatan dan aparat eksekusi, serta setiap orang ynag menjalankan
hukum yaitu badan resmi dan setiap orang yang bersangkutan dengan proses
berjalannya hokum.[56]
Penegakan hukum menurut Mahadi sebagai hal
menegakkan atau mempertahankan hukum oleh penegak hukum apabila telah terjadi pelanggaran
hukum atau diduga hukum akan atau mungkin dilanggar. Banyak hambatan yang
dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam menegakkan Undang-undang yang dalam
hal ini UUHC.[57]
Pelanggaran hak cipta khususnya terhadap buku dapat
dikenakan sanksi atau hukuman. Berdasarkan Pasal 42 ayat (3) lama atau Pasal
43B UUHC 1997, pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, selain dapat dituntut secara
perdata, juga dapat dituntut secara pidana. Demikian UUHC 2002 juga telah
menyediakan dua sarana hukum yang dapat digunakan untuk menindak pelaku
pelanggaran terhadap hak cipta, yaitu melalui instrumen hokum perdata dan
pidana. Dalam konteks hukum perdatas berdasarkan KUH Perdata, penulis menganalisa
bahwa pihak pencipta buku dapat mengajukan gugatannya berdasarkan Pasal 1365
KUH Perdata sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Hal ini disebabkan karena
adanya suatu perbuatan pelanggaran hak subjektif orang lain atau bertentangan
dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri.[58]Hak
subjektif orang lain merupakan hak cipta yang dimiliki oleh pencipta yang terdiri
dari hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti
uang, sedangkan hak moral yang menyangkut perlindungan atau reputasi dari si
Pencipta. Perbuatan yang dilakukan karena adanya perbuatan melawan hukum
tersebut dapat digugat dengan ganti rugi yang ditentukan hukum dan
hukum
yang berlaku dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi : “Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian”.
Perbuatan
melawan hukum menurut Pasal 1365 KUH Perdata
mempunyai
5 (lima) unsur yaitu :
1. Adanya
suatu perbuatan
Suatu
perbuatan melawan hukum diawali oleh perbuatan si Pelakunya. Umumnya diterima
anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu
(dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya
tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya,
kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang
timbul dari suatu kontrak). Karena itu, perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur
“persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan”
sebagaimana yang terdapat dalam kontrak.
2. Perbuatan
tersebut melawan hukum
Perbuatan
yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan
hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal
sebagai berikut.
a. Perbuatan
yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b. Yang
melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum atau
c. Perbuatan
yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
d. Perbuatan
yang bertentangan dengan kesusilaan
e. Perbuatan
yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam
f. bermasyarakat
untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
3. Adanya
kesalahan si pelaku
Agar
dapat dikenakan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum
tersebut, Undang-Undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku
haruslah mengandung unsur kesalahan dalam melaksanakan perbuatan tersebut.
Karena itu tanggung jawab tanpa kesalahan tidak termasuk tanggung jawab
berdasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Jikapun dalam hal tertentu
diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan tersebut, hal tersebut tidaklah
didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan kepada Undang-Undang
lain. Karena pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” dalam
suatu perbuatan melawan hukum. Adapun unsur kesalahan tersebut sebagai berikut
:
a. Ada
unsur kesengajaan atau
b. Ada
unsur kelalaian
c. Tidak
ada alasan pembenar atau alasan pemaaf, seperti keadaan
b. overmacht,
membela diri.
4. .
Adanya kerugian
Adanya
kerugian bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365
KUH Perdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang
hanya mengenal kerugian immateril, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum
disamping kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateriil
yang juga akan dinilai dengan uang.
5. Hubungan
sebab akibat antara perbuatan dan kerugian Tiap-tiap perbuatan atau masalah
yang merupakan syarat daripada sesuatu akibat yang terjadi harus dianggap
sebagai sebab daripada akibat itu. Syarat daripada akibat adalah bilamana
perbuatan atas masalah itu tidak dapat ditiadakan, sehingga tidak timbul
sesuatu akibat.[59]
Perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1365 KUH Perdata penulis menilai bahwa hal tersebut jelas menimbulkan
kerugian bagi pencipta atau pemegang hak cipta atas buku, selain itu juga
merugikan pihak negara dan masyarakat (konsumen). Kerugian yang diderita oleh pencipta
adalah dimana keuntungan yang seharusnya diterima (royalty) dapat digunakan
untuk biaya pengembangan tidak diperoleh karena tindakan tersebut, sedangkan
kerugian yang diderita negara merupakan hilangnya pajak yang seharusnya
diterima oleh negara. Selain itu juga kerugian yang diderita oleh masyarakat
berupa rendahnya kreativitas dalam menciptakan suatu karya karena semakin
banyaknya barang atau jasa yang dijual di pasaran dengan harga yang relatif
murah, selain itu karena karya yang dihasilkan tidak mendapatkan penghargaan
dan perlindungan hukum yang pasti.
Penuntutan ganti kerugian tersebut dimungkinkan
menurut Pasal 1365
KUH
Perdata, antara lain :
1. Ganti
kerugian atas kerugian dalam bentuk uang.
2. Ganti
kerugian atas kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan pada
keadaan semula.
3. Pernyataan
bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum.
4. Larangan
untuk melakukan suatu perbuatan.
5. Meniadakan
sesuatu yang diadakan secara melawan hukum.
6. Mengumumkan
keputusan dari sesuatu yang telah diperbaiki.
Sedangkan dalam konteks hukum berdasarkan UUHC 2002,
penulis menganalis bahwa jika ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra
yang telah dilindungi oleh Undang-Undang dilanggar, maka si pencipta maupun
penerbit hak cipta atas buku berhak mengajukan gugatan untuk menuntut ganti
kerugian ke Pengadilan Niaga, dengan tidak mengurangi hak negara untuk
melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta tersebut. Pencipta
juga berhak untuk meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil
perbanyakan ciptaan itu (Pasal 56 ayat (1) UUHC 2002). Pemegang hak cipta juga
berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memintakan penyerahan seluruh atau
sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, penemuan
ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran hak
cipta (Pasal 56 ayat (2) UUHC 2002). Sebelum memutuskan putusan akhir dan untuk
mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim
dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumumam dan atau
perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta
(ayat (3)). Selain itupun pencipta atau ahli waris suatu ciptaan dapat juga mengajukan
gugatan ganti kerugian atas pelanggaran hak cipta (Pasal 24 tentang hak moral
dan Pasal 58 UUHC 2002).
Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, 56 dan
Pasal 58 wajib diputus dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak gugatan didaftarkan di Pengadilan Niaga yang bersangkutan (Pasal 59 UUHC 2002).
Pemegang hak cipta atas buku juga berhak untuk
meminta kepada hakim Pengadlan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan yang
segera dan efetif untuk (Pasal 67 UUHC 2002) :
1. Mencegah
berlanjutnya pelanggaran hak cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang
diduga melanggar hak cipta atau hak terkait ke dalam jalur perdagangan,
termasuk tindakan importasi.
2. Menyimpan
bukti yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta atau hak terkait tersebut
guna menghindari terjadinya penghilangan barang bukti.
3. Meminta
kepada pihak yang merasa dirugikan untuk memberikan bukti yang menyatakan bahwa
pihak tersebut memang berhak atas hak cipta atau hak terkait dan hak pemohon
tersebut memang sedang dilanggar, demikian ketentuan Pasal 67 UUHC 2002.
Dalam hal penetapan tersebut dibatalkan, pihak yang
merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta penetapan
sementara atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh penetapan sementara
tersebut (Pasal 70 UUHC 2002).
Hak untuk mengajukan tuntutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 dan Pasal 56 UUHC 2002, pemegang hak cipta atas buku berhak
untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap pelanggar hak cipta (Pasal 66 UUHC 2002).
Dalam hal tuntutan pidana, penulis menganalisa bahwa
pihak penggugat dapat meminta pihak penyidik untuk melakukan penyidikan terhadap
pelanggaran hak ciptanya. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan HaKI diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang Hak Cipta (Pasal 71 ayat (1) UUHC 2002).
Dalam pasal 71 ayat 2 UUHC 2002 menyebutkan bahwa
pihak
penyidik
berwenang untuk melakukan :
1.
Pemeriksaan
atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
Hak Cipta.
2.
Pemeriksaan
terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
Hak Cipta.
3.
Meminta
keterangan dari pihak atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di
bidang Hak Cipta.
4.
Pemeriksaan
atas pembukuan, pencatatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang Hak Cipta.
5.
Pemeriksaan
di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti pembukuan, pencatatan dan
dokumen lain
6.
Penyitaan
bersama-sama dengan pihak kepolisian terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Hak Cipta.
7.
Meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
Hak Cipta.
Sedangkan ayat (3) masih dalam pasal yang sama,
menyebutkan bahwa pihak penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukannya
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Adapun sanksi pidana yang dapat dijatuhi hukuman
kepada para pembajak atau pelanggar ini dapat berdasarkan ketentuan Pasal 72
UUHC 2002. Ketentuan pidana dalam pasal 72 UUHC 2002 menyebutkan :
1.
Barang
siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda
paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).
2.
Barang
siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
3.
Barang
siapa dengan sengaja atau tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan
komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 5.00.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
4.
Barang
siapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).
5.
Barang
siapa yang dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20 atau Pasal 49 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 150.000.000,- (seratur lima puluh juta rupiah).
6.
Barang
siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 24 dan pasal 55 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
7.
Barang
siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 25 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,-
(seratus lima puluh juta rupiah).
8.
Barang
siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 27 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,-
(seratus lima puluh juta rupiah).
9.
Barang
siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 28 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp
1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).[60]
Ketentuan sanksi yang dicantumkan dalam UUHC 2002
tersebut dimaksudkan untuk memberikan ancaman pidana yang lebih berat, sebagai salah
satu upaya penangkal pelanggaran Hak Cipta. Selain itu pula dimaksudkan untuk
memungkinkan penahanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
Selain penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 dan Pasal 56 UUHC, penulis menganalisis bahwa para pihak dalam
hal ini dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitarse atau alternative
penyelesaian sengketa (Pasal 65 UUHC 2002).
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata
di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa
adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli (Pasal 1 ayat
(10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999).
Jika menggunakan arbitrase maka sebelumnya sudah
diperjanjikan atau adanya kesepakatan yang berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam surat perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak setelah
timbul sengketa. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat terjadi sebelum
sengketa atau setelah terjadinya sengketa. Selain itu dalam pelaksanaan
arbitrasenya para pihak harus mencantumkan dengan jelas apakah arbitrase
dilaksanakan melalui arbitrase ad hoc atau melalui arbitrase institusional. Arbitrase
ad hoc adalah arbitrase yang ditujukan untuk kasus tertentu untuk satu kali
penunjukkan. Sedangkan arbitrase institusional adalah lembaga atau badan
arbitrase yang bersifat permanen (Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York).
Arbitrase institusional dibagi menjadi dua sifat yatiu nasional dan internasional
(Pasal 59 dan Pasal 65 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999). Yang termasuk dalam
arbitrase nasional adalah BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan BAMI
(Badan Arbitrase Muamalat Indonesia). Yang termasuk dalam arbitrase yang bersifat
internasional adalah The Court of Arbritration
of The Internasional Chamber of Commerce (ICC) Paris, The London Court of Internasional
Arbitration, Arbitration Institute Stocholm.
Bila dalam menyelesaikan sengketa tersebut
menunjukkan arbitrase ad hoc, maka perjanjian tersebut harus mencantumkan
bagaimana pemilihan para wasit akan dilaksanakan. Bila penyelesaian sengketa
melalui arbitrase institusional, maka harus disebutkan dengan jelas badan
arbitrase mana yang ditunjuk oleh para pihak. Arbitrase ini berfungsi untuk
memberikan suatu putusan berkenaan dengan hak-hak dari para pihak. Adapun
putusan yang dijatuhkan oleh Dewan Arbitrase bisa secara tunggal maupun terdiri
dari beberapa arbitrator yang mana putusan tersebut mengikat para pihak.
Manakala para pihak sudah sepakat memilih arbitrase
sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka pengadilan harus menolak untuk
memeriksa sengketa tersebut. Tujuan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian
sengketa akan sia-sia, bila pengadilan masih memeriksa sengketa, yang sejak
semula disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan
para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat
dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian,
karena tanpa adanya suatu sengketa, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan
yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu
yang mengikat, mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian
tersebut.
Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga arbitrase
tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak bertindak
bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian. Terhadap
pendapat yang mengikat itu tidak dapat diajukan upaya hukum atau perlawanan
baik upaya hukum banding atau kasasi. Mengenai putusan arbitrase yang tidak ditandatangani
oleh seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.[61]
BAB V
PENUTUP
A
Kesimpulan
Setelah Penulis meneliti dan membahas mengenai
Perlindndungan Hukum Karya cipta Buku Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Perlindungan
hukum terhadap pencipta atau penerbit sudah selayaknya mendapat perhatian
serius mangingat arti pentingnya buku guna kemajuan dibidang ilmu pengetahuan
seni dan sastra. Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah
memberikan perlindungan hukum terhadap pencipta maupun penerbit hal ini dapat
dilihat dari jangka waktu yang diberikan terhadap pencipta dan penerbit berlaku
selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah
pencipta meninggal juga sanksi terhadap pelanggaran Undang Undang Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini dapat diancam dengan sanksi pidana dan perdata.
Namun dalam realitasnya penegakan hukum Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta belum menunjukkan hasil yang optimal hal ini disebabkan oleh:
a.Kurangnya kesadaran
masyarakat baik pencipta maupun pemegang hak cipta untuk mendaftarkan karya
ciptaanya pada direktorat Hak Cipta untuk mendapatkan perlindungan hukum.
b.Kurangnya kesadaran
dan penghargaan masyarakat pada umumnya terhadap perlindungan hukum dari karya
cipta sehingga banyak menimbulkan pembajakan karya-karya cipta.
c.Kurangnya kesadaran
masyarakat umum (konsumen) yang masih saja membeli barang bajakan karena
terpengaruh dengan harga yang murah padahal hal itu merugikan pihak lain
(pencipta)
B
SARAN
1. Kesadaran
masarakat kita akan UUHC yang ada masih kurang dan aparat penegak hukumnyapun
belum melaksanakan hukum itu dengan baik pula padahal UUHC 2002 telah mengatur
dengan baik hal-hal yang terkait dengan penyelesaian sengketa yang terjadi
dalam hak cipta. Penulis beranggapan bahwa UUHC akan berlaku efektif apabila
semua pihak baik masarakat, aparat penegak hukum, pemegang hak cipta
benar-benar dengan kesadaran yang tinggi melaksanakan apa yang telah diatur
dalam UUHC.
2. Sikap
dan mental manusia yang harus dimulai dahulu dengan baik sikap menghargai hasil
karya orang lain serta taat dan patuh akan peraturan harus dimulai sejak dini
sehingga kesadaran untuk menegakkan hukum dapat dilaksanakan oleh semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Arikunto,
Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6. Jakarta: Bina Aksara.
Damian, Edy. 2002. Hukum
Hak Cipta. Bandung: Alumni.
Hadikumsuma,
Hilman. 1995. Metode Pembuatan Kertas
Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1. Bandung: Mandar Maju.
HFA, Vollmar.
1983. Pengantar Studi Hukum Perdata I. Jakarta: Rajawali Press.
Kantaatmadja,
Mieke. 1998. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di
Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad ke-21. Bandung: Genesa.
Mahadi,
1985. Hak Milik Immaterial. Jakarta: BPHN-Bina Cipta.
Maulana, Insan
Budi,Ridwan Khairandy,Nurjihad. 2000. Kapita Selekta Hak Kekayaan Intlektual.
Jakarta: Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta Bekerjasama Dengan
Yayasan Klinik Haki.
Muhammad, Abdul Kadir. 2001. Kajian Hukum Hak Kekayaan Intelektual.
Bandung: Citra A ditya Bakti.
Muhammad, Abdul
Kadir. 2002. Kajian Hukum Kekayaan Hak Intelektual. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Muhammad,
Abdulkadir. 2004. Hukum dan
Penelitian Hukum, cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Poernomo, Bambang. 1984. Orientasi Hukum Acara Pidana. Yogyakarta:
Amarta Buku.
Purba, A. Zen
Umar. 2000. Sistem HKI Memasuki Era
Globalisasi. Semarang: Aditya Bakti.
Rohmadi, Usman.
2003. Hukum Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di
Indonesia. Bandung: Alumni
Rosidi, Ajib.
1984. Undang-Undang Hak Cipta:
Pandangan Seorang Awam. Jakarta: Djambatan.
Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Perikatan. Bandung, Bina Cipta.
Simorangkir, J.C.T. 1979. Hak
Cipta Lanjutan. Jakarta: Djambatan.
Soekanto,
Soerjono dan Mamudji, Sri. 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, cet. 4. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suhardo, Ety S.
2002. Makalah yang disampaikan pada Seminar Implikasi Undang-Undang Tahun 2002 tentang Hak Cipta Bagi Dunia Bisnis.
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Semarang.
Sunggono,
Bambang. 2003. Metodologi Penlitian
Hukum, cet. 6. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Soeroso,
R. 1992. Pengantar Ilmu Hukum, Cet.
4. Bandung : Sinar Grafika.
von
Gerber, K. F. dan Paul Laban. 1997. Ilmu Negara (Pengantar, Metode,
dan Sejarah Perkembangan), cet. 8. Bandung: Citra Aditya Bakti.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945
________. Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun
2002, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 4220.
C. Lain-Lain
www. Google.com, Perlindungan Hukum Hak Cipta Buku.
Diakses pada
tanggal 1
Desember 2010.
www. Google.com, pembajakan buku. Diakse pada tanggal 1
Desember 2010.
www.yahoo.com,
Teori Hukum Hans Kelsen. Di akses 15
Juli 2010.
www.
Google.com. Perlindungan Hukum. Diakses pada tanggal 1 Desember 2010.
www.google.com. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Diakses pada tanggal 27
Februari 2011.
[1] www. Google.com,
Perlindungan Hukum Hak Cipta Buku.
Diakses pada tanggal 1 Desember 2010.
[2] Edy damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: Alumni,
2002), hal. 153.
[3] Mohammad Abdul
Kadir, Kajian Hukum Kekayaan Hak
Intelektual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 54.
[4] Edy Damian, Op. Cit, hal. 8.
[5] Ibid. hal. 154.
[6] www. Google.
Com. Buku Laris Marak di Bajak. Diakses pada tanggal 1 Desember 2011.
[7] www. Google.com,
pembajakan buku. Diakse pada tanggal
1 Desember 2010.
[8] www.yahoo.com, Teori Hukum Hans Kelsen. Di akses 15
Juli 2010.
[9] R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 4 (Bandung :
Sinar Grafika, 1992), hal 24.
[10] Ibid.
[11] Ibid. hal 27.
[12] Abdul Kadir
Muhammad, Hukum Dan Metode Penelitian
Hukum, Cet 1. (Bandung : Citra Aditya Bakti,2004) hal.
[13] www. Google.com.
Perlindungan Hukum. Diakses pada tanggal 1 Desember 2010.
[14] Edy Damian, Hukum
Hak Cipta, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 303.
[15] Mieke
Kantaatmadja, Makalah disampaikan pada
Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era
Globalisasi Abad ke-21, (Bandung: Genesa, 1998), hal 12-14.
[16] A. Zen Umar
Purba, Sistem HKI Memasuki Era Globalisasi, (Semarang: Bandung, 2000), hal. 13-14.
[17] Ety S. Suhardo,
Makalah yang disampaikan pada Seminar Implikasi Undang-Undang Tahun 2002
tentang Hak Cipta Bagi Dunia Bisnis, (Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Semarang, 11 Desember 2003), hal. 20-21.
[18] Ibid.
[19] Ibid
[20] Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Hak Atas Kekayaan
Intelektual, (Bandung: Citra Umbara, 2002), hal. 205-247.
[21] Vollmar HFA,
(diterjemahkan oleh J.S. Adiwimata), Pengantar Studi Hukum Perdata I,
Jakarta : Rajawali Press, 1983) hal. 195.
[22] Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Hak Kekayaan Intelektual,
(Bandung: Citra A ditya Bakti, 2001), hal. 25.
[23] Ibid
[24] Ajib Rosidi, Undang-Undang
Hak Cipta : Pandangan Seorang Awam, (Jakarta: Djambatan, 1984), hal 13.
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Muhammad, Op Cit, hal. 53.
[28] Ibid, hal. 56.
[29] Ibid
[30] Ibid
[31] J.C.T.
Simorangkir, Hak Cipta Lanjutan,
(Jakarta: Djambatan, 1979), ha. 39.
[32] Ibid
[33] Usman Rohmadi, Hukum
Atas Kekayaan Intelektual,
Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni,
2003), hal. 86.
[34] Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), hal. 13-14; Lihat juga Bambang Sunggono, Metodologi
Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 184.
[35] Abdulkadir
Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004), hal. 52.
[36] Bambang
Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2003), hal. 86.
[37] Bambang
Sunggono, Ibid., hal. 93.
[38] Abdulkadir
Muhammad, Op. cit.
[39] Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, Loc. cit., hal. 4; Bandingkan dengan “rechtsdogmatiek”
dari K. F. von Gerber dan Paul Laban, lihat, Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar,
Metode, dan Sejarah Perkembangan), cet. 8, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hal. 85.
[40] Ibid.,
hal. 13-14; Lihat, Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.,; Lihat Juga, Hilman
Hadikumsuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet.
1, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 65-66.
[41] Ibid.,
hal. 13-14.
[42] Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6, (Jakarta: Bina
Aksara, 1989) hal. 89, 90, 92.
[43] Abdulkadir Muhammaad, Loc. cit., hal. 62.
[44] Abdulkadir, Op. cit., hal. 56.
[45] Abdulkadir
Muhammad, Loc. cit, hal. 125; Lihat juga, Bambang Sunggono, Loc.
cit., hal. 184.
[46] Bambang
Sunggono, Loc. cit., hal. 184; Lihat juga Abdulkadir Muhammad, Loc.
cit., hal. 125.
[47] Abdulkadir
Muhammad, Loc. cit, hal. 125.
[48] Abdulkadir
Muhammad, Loc. cit, hal. 125.
[49] Abdulkadir
Muhammad, Loc. cit., hal. 92.
[50] Hilman
Hadikumsuma, Loc. cit., hal. 120, 121.
[51] Bambang
Sunggono, Loc. cit., hal. 68, 186;
[52] Maulana, Insan
Budi,Ridwan Khairandy,Nurjihad Kapita Selekta Hak Kekayaan Intlektual
(Jakarta: Pusat Studi Hukum UII
Yogyakarta Bekerjasama Dengan Yayasan Klinik Haki, 2000), hal. 89
[53] Ibid, hal. 89.
[54] Indonesia, Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta.
[55] Maulana, Insan
Budi,Ridwan Khairandy, Nurjihad. Kapita Selekta Hak Kekayaan Intlektual (Jakarta:
Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta Bekerjasama Dengan Yayasan Klinik Haki, 2000),
hal. 67-69.
[56] Bambang
Poernomo, Orientasi Hukum Acara
Pidana, (Yogyakarta:
Amarta Buku, 1984), hal. 119.
[57] Mahadi, Hak Milik Immaterial, ( Jakarta:
BPHN-Bina Cipta, 1985), hal. 90.
[58] Setiawan, Pokok-Pokok
Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1977), hal. 76.
[59] Op Cit, Bambang Pornomo, hal. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar