Kamis, 21 Juni 2012

S K R I P S

PERLINDUNGAN HUKUM KARYA CIPTA BUKU
DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR
19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini perkembangan yang aktual dan memperoleh perhatian seksama dalam masa satu dasa warsa terakhir, serta adanya kecenderungan yang masih akan berlangsung dimasa mendatang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang kehidupan lainnya.
Di bidang perdagangan, terutama karena perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor ini meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan seperti itu, maka menjadi hal yang dapat dipahami adanya tuntutan kebutuhan bagi pengaturan dalam rangka perlindungan hukum yang lebih memadai apalagi beberapa negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk-produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektual manusia seperti karya cipta dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.[1]
Hak Cipta yang merupakan bagian hak milik intelektual lainnya yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan teknologi, karena semakin majunya teknologi suatu negara semakin canggih pula pelanggaran dilakukan. Perkembangan Hak Cipta yang didorong oleh berbagai aspek mempunyai dampak bagi penyempurnaan peraturan hukum di bidang hak cipta. Hak-hak yang timbul dari suatu ciptaan di bidang kekayaan intelektual, kepada si pencipta oleh hukum diberikan bersamaan dengan keistimewaan-keistimewaan tertentu yaitu hak untuk mengeksploitasi ciptaannya. Sedangkan untuk menghindari adanya pelanggaran berupa pembajakan atau penggandaan, perlu adanya rambu-rambu pengaturan secara seksama dan diformulasikan dalam peraturan perundang-undangan.
Ditempatkannya buku sebagai ciptaan yang dilindungi, terutama karena selain untuk memenuhi keinginan yang kuat bangsa Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945, juga terkait dengan empat fungsi buku, yaitu:
1.    Buku sebagai media atau perantara, artinya buku dapat menjadi latar belakang bagi kita atau pendorong untuk melakukan sesuatu.
2.    Buku sebagai milik, artinya buku adalah kenyataan yang sangat berharga, tak ternilai, karena merupakan sumber ilmu pengetahuan.
3.    Buku sebagai pencipta suasana, artinya buku setiap saat dapat menjadi teman dalam situasi apapun, buku dapat menciptakan suasana akrab sehingga mampu mempengaruhi perkembangan dan karakter seseorang menjadi baik. Karena buku merupakan sesuatu yang sangat bermanfaat dalam kehidupan seseorang dan merupakan sesuatu yang menambah wawasan setiap orang yang membacanya. Semakin banyak kita membaca semakin banyak pula ilmu yang kita dapatkan.
4.    Buku sebagai sumber kreativitas, artinya dengan banyak membaca buku dapat membawa kreativitas yang kaya gagasan dan kreativitas biasanya memiliki wawasan yang luas.[2]
Selain keempat fungsi tersebut, buku bagi bangsa Indonesia juga merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merupakan salah satu jenis ciptaan asli yang termasuk dalam perlindungan hak cipta seperti diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan konvensikonvensi Internasional. Hal ini dapat dilihat dari upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum di bidang hak cipta dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 dan kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, yang pada akhirnya diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
Langkah penyempurnaan terakhir pada tahun 2002 dilakukan dengan maksud penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan yang memberi perlindungan hukum terhadap berbagai karya cipta/ ciptaan dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dengan cara penyesuaian dengan persetujuan (Agreement on Trade Related Aspect Of Intellectual property rights) TRIPs. Tujuannya adalah untuk menghapus berbagai hambatan terutama untuk memberikan fasilitas yang mendukung upaya pertumbuhan ekonomi dan perdagangan nasional maupun internasional.

Kepedulian terhadap nilai-nilai individual pengaturan kakayaan intelektual menjadi lebih berbobot dalam situasi sekarang ini yang sedang mengalami krisis moneter yang mencuat pada semester kedua tahun 1997 dan merebak dengan krisis ekonomi dalam arti seluas-luasnya. Krisis ini lebih menyadarkan kita bahwasanya kebutuhan nasional untuk menata kembali pengaturan berbagai kekayaan intelektual bangsa Indonesia disamping menjadikannya juga sebagai sumber-sumber pendapatan ekspor kita, terutama disektor nonmigas, yang sangat penting bagi pembiayaan yang makin besar dan kelanjutan pembangunan nasional kita.

Untuk saat ini hal yang sangat mendesak untuk dipenuhi adalah memenuhi kebutuhan akses yang seluas-luasnya dan sebesar-besarnya ke pasar internasional bagi produk-produk nonmigas kita, selain mempertahankan dan kalau mungkin memperluas pasar nasional. Kesemuanya ini memerlukan adanya perlindungan hukum bagi berbagai komoditi, juga yang termasuk Hak Kekayaan Intelektual atau HAKI..Sumber daya manusia yang tangguh dan mampu bersaing dengan kekuatan pasar diluar batas-batas negara kita, yang selaras dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan standarstandar yang ditetapkan dalam perjanjian-perjanjian internasional. Sebagaimana diketahui bahwa hak cipta merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan Hak-Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) yang pengaturannya terdapat dalam ilmu hukum dan dinamakan Hukum HaKI.[3]
Hukum HaKI meliputi suatu bidang hukum yang membidangi hak-hak dari karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah pikir manusia bertautan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi dan moral.
Di dalam hak cipta atau (Copyrights), yang merupakan bagian HaKI terkandung hak-hak eksploitasi atau hak-hak ekonomi (Economic Rights) dan hak-hak moral (Moral Rights) berdasarkan hak-hak ekonomi yang di punyai, memungkinkan seorang pencipta mengeksploitasi suatu karya cipta sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan–keuntungan ekonomi, sehingga perlu dilindungi secara memadai. terkandung didalam suatu karya cipta nilai-nilai ekonomis. Oleh karna itu, suatu ciptaan jika tidak di kelola secara tertib berdasarkan seperangkat kaidah-kaidah hukum, dapat menimbulkan sengketa antara pemilik hak cipta dan pengelola (pemegang) hak cipta atau pihak lain yang melanggarnya. Untuk pengeturanya diperlukan seperangkat ketentuan-ketentuan hukum yang efektif dari segala kemungkinan pelanggaran oleh mereka yang tidak berhak atas hak cipta yang dimiliki seseorang.[4]
Dalam kontek pembicaraan hak kekayaan intelektual, yang dimaksud sebagai hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum untuk melakukan sesuatu, seperti memperbanyak untuk dijual secara komersil suatu ciptaan atau buku. Hubungan hak-hak semacam ini dengan kewajiban adalah kewajiban dari orang-orang lain yang bukan pencipta untuk tidak melanggar hak yang dimiliki pencipta.
Dari Uraian di atas tampak bahwa pencipta selain mempunyai hak-hak tertentu juga disertai dengan keistimewaan tertentu dan ketiadaan hak-hak pada mereka yang bukan pencipta.
Dalam Pasal 11 ayat (1a) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 (selanjutnya disebut UUHC 2002) menjadi Pasal 12 ayat (1a) yang menetapkan sebagai berikut:
Dalam Undang-Undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a.    Buku, program komputer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b.    Ceramah, kuliah, pidato.
Yang dimaksud istilah writing (karya tulis) adalah suatu ciptaan intelektual manusia yang dinyatakan dalam bahasa dengan menggunakan tanda-tanda tertentu sehingga mudah dibaca. Bentuk perwujudan dari suatu writing dapat bermacam-macam jenisnya seperti buku, surat kabar, majalah berkala dan pamflet.[5]
Dengan diaturnya buku sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi oleh pelbagai perundang-undangan nasional tidak dapat disangkal lagi bahwa kehadiran buku sebagai ciptaan yang harus dilindungi sudah jelas diakui. Hal ini disebabkan buku yang merupakan kekayaan intelektual seorang pencipta selain mempunyai arti ekonomis bagi yang mengeksploitasinya, juga mempunyai arti yang penting bagi pembangunan spiritual dan material suatu bangsa. Barangkali dapat kita sepakati, bahwa dalam rangka usaha mencerdaskan bangsa, minat baca masyarakat perlu dikembangkan. Minat baca ini tergantung dari ketersediaannya buku-buku bacaan dalam jumlah dan jenis yang memadai.
Dunia pembukuan terasa semakin penting apabila dikaitkan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Peran buku dalam proses pembangunan nasional di Indonesia cukup strategis. Perkembangan usaha penerbitan buku sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh unsur-unsur pokok dalam penerbitan, yaitu: penerbit, percetakan, toko buku, pengarang/pencipta dan perpustakaan. Karya cipta buku ini tidak luput pula dari tindak pidana yang mana objek tindak pidana itu sendiri adalah buku. Pelanggaran yang terjadi dalam hak cipta di bidang buku adalah Pembajakan buku. Perbuatan ini tidak hanya merugikan pengarang atau pencipta tapi juga merugikan pihak toko buku, pemilik modal dan terutama pihak penerbit, karena penerbit menjadi sumber produksi, jika para penerbit lesu darah, maka pihak yang terkena dampak adalah pemilik modal, dan yang kedua adalah pengarang.
Kerugian yang lebih jauh juga diderita oleh pemerintah dalam kaitannya dengan pajak. Hal lain yang tak kalah penting, akibat pembajakan buku adalah kerugian dalam pengembangan dunia intelektual di tanah air. Para pengarang/pencipta akan enggan menulis buku karena penghasilannya rendah, sehingga menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat karena seharusnya para ilmuwan berlomba-lomba menyebarkan ilmu yang dimiliki kepada masyarakat. Pembajakan buku inipun dikhawatirkan akan membawa dampak serius terhadap program gemar membaca yang dicanangkan oleh pemerintah.
Pembajakan buku dilakukan dengan mencetak buku yang diperkirakan dapat mendatangkan keuntungan, tanpa meminta izin kepada penerbit atau pengarang/pencipta. Dengan demikian pembajak tidak perlu membayar honor pengarang dan penerbit. Pembajakan dilakukan dengan mencetak buku yang bersangkutan tanpa merubah bentuk tulisan, dan lain-lain, termasuk mutu kertas, tetapi ada pula yang merubah bagian-bagian, huruf, mutu kertas, cetakan dan sebagainya.
Buku-buku bajakan biasanya dijual oleh pedagang-pedagang kecil yang menjual dengan mutu rendah dan kebanyakan diperdagangkan para penjaja di kios-kios. Sebagai contoh Novel berjudul Ketika Cinta Bertasbih episode II karya penulis ternama Habiburahman El Shirazy, rupanya cuma satu dari sekian banyak novel populer yang dipalsukan dan beredar luas di Batam. Sebelumnya, novel fenomenal Habiburahman bertajuk Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata juga dibajak.
Para pembajak buku ini lebih mementingkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Novel Ketika Cinta Bertasbih bajakan misalnya, saat ini diperdagangkan seharga Rp 65 ribu. Padahal, novel aslinya cuma Rp49.500 saja. Sepintas, agak sulit membedakan mana novel asli dan palsu. Namun jika diperhatikan, perbedaannya cukup mencolok. Sampul Novel Ketika Cinta Bertasbih asli lebih terang dan huruf judulnya timbul, sedangkan yang palsu tidak. Di halaman partama novel asli, terdapat stampel warna merah, sedangkan yang palsu stampel hitam. “Yang asli ada hologram penerbit, yang palsu tidak ada.[6]
Jika Indonesia tidak berusaha keras menegakkan hukum untuk memberantas pembajakan ini, maka negara-negara maju akan melakukan embargo kepada Indonesia. Penegakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentan Hak Cipta secara konsekuen, itu bukan hanya disebabkan oleh desakan pihak luar, tetapi karena kita ingin menghormati karya putra-putri kita dan mendorong mereka untuk lebih berkarya lagi.[7]

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah yang ada di atas maka dapat dirumuskan identifikasi masalah sebagai berikut:
1.    Kurangnya kesadaran pengarang/pencipta dan penerbit untuk mendaftarkan karya ciptaanya pada direktorat Hak Cipta untuk mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
2.    Kurangnya kesadaran dan penghargaan masyarakat pada umumnya terhadap perlindungan hukum dari karya cipta sehingga banyak menimbulkan pembajakan karya-karya cipta di bidang buku.
3.    Kurangnya kesadaran masyarakat (konsumen) yang masih saja membeli barang bajakan karena terpengaruh dengan harga yang murah padahal hal itu merugikan pihak lain (pencipta buku).

C. Rumusan Masalah
Dari Identifiksasi masalah yang ada di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Perlindungan Hukum terhadap pengarang/pencipta dan penerbit dalam perspektif Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta?

D.  Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah Perlindungan Hukum Bagi Pengarang/pencipta dan penerbit dilihat dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

E.  Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis yang menjadi harapan setelah penelitian ini selesai dilaksanakan, adalah:
1.   Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan HaKI mengenai Hak Cipta pada khususnya.
2.   Hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan bahan bacaan guna pengembangan bidang-bidang ilmu terkait.
3.   Hasil penulisan ini dapat menjadi dasar atau perbandingan bagi pihak lain yang ingin menerapkan kembali konsep penulisan ini terhadap objek yang sama tetapi terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menuju kearah penelitian yang lebih baik dan lebih sempurna.

2.   Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan setelah penelitian ini dilaksanakan adalah:
1.   Hasil penelitian ini dapat menambah, memperkaya ilmu pengetahuan seorang sarjana hukum dalam prakteknya khususnya dalam hukum Hak Kekeyaan Intelektual di bidang Hak Cipta.
2.   Agar dapat menambah bahan-bahan pendukung  atau bahan referensi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado dalam Studi Hukum Hak Kekayaan Intelektual khususnya dalam bidang hak cipta.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritis
Dalam perkembangan ilmu dan teknologi, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditujukan kaitanya satu sama lain secara bermakna, dengan demikian teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasi dan mensistematisasikan masalah yang diperbincangkan.
Hans Kelsen yang tidak menerima adanya pembedaan antara hukum dan negara, dalam konteks nasional menolak pembebanan kewajiban dan pemberian hak kepada negara. Beliau mengemukakan “sebenarnya tidak ada kewajiban dan hak negara. Kewajiban dan hak selalu merupakan kewajiban dan hak para individu” Namun demikian, beliau tidak menyangkal keterikatan dari pemerintah atau orang-orang yang mewakili negara terhadap norma-norma hukum dalam hal berhubungan dengan warga negara. Dengan kata lain, penyangkalan Hans Kelsen terhadap keterikatan negara dengan hukum tidak bersifat absolut, karena organ-organ negara (dalam arti sempit/materiil) tetap terikat perbuatannya dengan norma-norma hukum. Disamping itu, dalam kaitan dengan pergaulan masyarakat dunia dikemukakan bahwa negara dapat juga dibebankan kewajiban yang tercermin dari sanksi yang harus dipertanggungjawabkannya.[8]
Hans Kelsen mengemukakan bahwa dalam perlindungan hukum ada beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan yaitu: Negara, masyarakat dan individu. Perlindungan hukum pada individu yaitu menyangkut hak tubuh, jiwa/raga, kekayaan seperti harta benda. Jadi dalam kaitanya dengan perlindungan hukum bagi pencipta adalah kalau seandainya  Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta yang diibaratkan seperti Negara sedangkan pengarang/pencipta adalah masyarakat yang didalamnya ada individu-individu yang harus dilindungi. Bagaikan Negara yang melindungi rakyatnya begitu juga regulasi harus memperhatikan pencipta. Jadi undang-undang hak cipta harus memberikan jaminan pada pengarang/pencipta apabila terjadi pelanggaran hak cipta buku.
Berbicara mengenai perlindungan hukum, hingga sekarang ini para ahli belum menemukan batasan yang memuaskan tentang apa itu hukum. Maka dengan demikian pertanyaan tentang apa itu hukum, senantiasa merupakan pertanyaan yang sulit dan tidak mungkin seragam. Dengan perkataan lain, persepsi orang tentang hukum beranekaragam. Tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Hampir semua ahli hukum yang memberikan definisi tentang hukum berlainan isinya. Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh seorang sarjana hukum belanda Immanuel Kant (Tahun 1800) yang pernah mengatakan “noch suchen die juristen line definition zu ihren begriffe von rechts” yang artinya para juris masih mencari suatu definisi tentang apa itu hukum.
Para sarjana lainpun, seperti Utrech dan Appeldoorn, bahwa untuk memberikan suatu definisi yang tepat tentang hukum adalah tidak mungkin.[9] Akan tetapi meskipun sangat sulit untuk memberikan definisi tentang hukum, para ahli tetap mencoba untuk mendefinisikan hukum itu sesuai dengan latar belakang mereka masing-masing. Selanjutnya menurut Van Khan dalam bukunya “inleiding tot dea rechts wetenschap” mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan peraturan terhadap yang bersifat memaksa untuk melindugi kepentingan dalam masyarakat.[10] Selanjutnya oleh Borst, mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia dalam masyarakat, yang pelaksanaannya dipaksakan dan bertujuan mendapatkan takhta atau keadilan.[11]
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto.[12] Ada tiga konsep hukum dalam sejarah perkembangan pengkajian hukum yang dikempakannya antara lain:
a.    Hukum sebagai asas moral atau asas keadilan yang bernilai universalkan manjadi bagian intern sistem hukum alam.
b.   Hukum sebagai kaidah-kaidah positif  yang berlaku pada satu waktu tertentu dan terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi.
c.    Hukum sebagai institusi yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan bermasyarakat baik dalam proses pemilihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola-pola prilaku yang baru.
Selanjutnya menurut M. H. Tirtaamidjaja dalam bukunya pokok-pokok hukum perniagaan ditegaskan bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingka laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti-mesti menganti kerugian,jika melangar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta umpamanya didenda dan sebagainya. Jadi hukum dalam penelitian ini adalah upaya menjamin adanya kepastian hukum. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori dari Hans Kelsen tentang perlindungan Hukum.    

B. Kajian Konseptual
1. Perlindungan Hak Cipta
Pelanggaran hak cipta adalah perbuatan merugikan orang lain dan akan mempengaruhi laju pembangunan dalam bidang intelektual yang menghambat upaya meningkatkan kecerdasan bangsa. Karena itu hak cipta perlu dilindungi oleh hukum.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur oleh Undang-Undang guna mencegah terjadinya pelanggaran hak kekayaan intelektual oleh orang yang tidak berhak. Jika terjadi pelanggaran, maka pelanggar tersebut harus diproses secara hukum, dan bila terbukti melakukan pelanggaran, dia akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan undang-undang bidang hak kekayaan intelektual yang dilanggar itu. Undang-Undang bidang hak kekayaan intelektual mengatur jenis perbuatan pelanggaran serta ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun secara pidana.
Untuk memahami apakah perbuatan itu merupakan pelanggaran hak kekayaan intelektual perlu dipenuhi unsur-unsur penting berikut ini:
a.    Larangan undang-undang. Perbuatan yang dilakukan oleh Pengguna hak kekayaan intelektual dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang.
b.    Izin (lisensi). Penggunaan hak kekayaan intelektual dilakukan tanpa persetujuan (lisensi) dari pemilik atau pemegang hak terdaftar.
c.    Pembatasan undang-undang. Penggunaan hak kekayaan intelektual melampaui batas ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
d.   Jangka waktu. Penggunaan hak kekayaan intelektual dilakukan dalam jangka waktu perlindungan yang ditetapkan oleh undang-undang atau perjanjian tertulis atau lisensi.
Menurut ketentuan UUHC 2002 untuk memperoleh perlindungan hukum, setiap Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) wajib didaftarkan. Pendaftaran yang memenuhi persyaratan undang-undang merupakan pengakuan dan pembenaran atas HaKI seseorang, yang dibuktikan dengan Sertifikat pendaftaran sehingga memperoleh perlindungan hukum. Dalam Pasal 37 UUHC 2002 menegaskan bahwa pendaftaran ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas permohonan yang diajukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasa kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal HAKI.[13]

2. Pengertian Hukum Kekayaan Intelektual Pada Umumnya
Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, (Hak-Hak Kekayaan Intelektual) selanjutnya disebut HaKI mulai memasuki tahapan baru dalam perkembangan hukum di Indonesia. HaKI menjadi mengemuka tidak saja karena berlandaskan hukum, tetapi juga karena erat bertautan dengan bidangbidang lain sekaligus, seperti bidang-bidang teknologi ekonomi, sosial budaya, kesenian, komunikasi dan lain sebagainya.
Hal ini mendorong timbulnya kesadaran baru tentang arti penting dan adanya fungsi ekonomi HaKI. Sehingga dalam memandang persoalan HaKI, mau tidak mau harus dilihat dengan mempergunakan kacamata yang berdimensi luas, disamping masalah tehnis yuridisnya.
HaKI adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) yakni hak timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk yang berguna untuk manusia. Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil suatu kreativitas intelektual.
Dengan perkataan lain, Hak Kekayaan Intelektual adalah hak atas harta kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual dari manusia. Kekayaan semacam ini bersifat pribadi dan berbeda dari kekayaan-kekayaan yang timbul bukan dari kemampuan intelektual manusia, seperti hak atas :
1.    Harta kekayaan yang diperoleh dari alam terdiri dari;
a.    Tanah; hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak penambangan, hak sewa dan lain-lain.
b.    Air; hak mengelola sumber air, hak lintas damai di perairan pedalaman, hak perikanan dan lain-lain.
c.    Udara; hak lintas udara bagi pesawat-pesawat udara maskapai udara asing, hak siaran, dan sebagainya.
2.    Harta kekayaan yang diperoleh dari benda-benda tetap dan bergerak seperti;
a.    Hak milik atas tanah, gedung, bangunan, dan rumah susun
b.    Hak milik atas mesin-mesin, kekayaan intelektual
c.    Hak milik atas mobil, pesawat udara, surat-surat berharga.
Dari berbagai contoh ini, dapat dibedakan antara apa yang digolongkan
sebagai harta kekayaan intelektual (intellectual property) dengan harta-harta
kekayaan lain.
HaKI pada hakekatnya bersumber pada orisinilitas dan kreativitas yang
terdiri dari beberapa jenis yang dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu :
1.    Kekayaan Industrial (Industrial Property) terdiri dari:
a.    Penemuan-penemuan
b.    Merek
c.    Desain industri
d.   Indikasi geografis
2.    Hak Cipta (Copy Rights) dan hak-hak yang terkait (Neighboring Rights) yang terdiri antara lain;
a.    Karya-karya tulis
b.    Karya musik
c.    Rekaman suara
d.   Pertunjukan pemusik, aktor dan penyanyi[14]
Masing-masing kekayaan intelektual tersebut di atas pengaturan perlindungan hukumnya membidangi obyek-obyek yang berbeda.

3. Hak Cipta Bagian dari Hukum Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intlektual merupakan suatu hak yang timbul akibat adanya tindakan kreatif manusia yang menghasilkan karya-karya inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Hukum HaKI adalah hukum yang mengatur perlindungan bagi para pencipta dan penemu karya-karya inovatif sehubungan dengan pemanfaatan karya-karya mereka secara luas dalam masyarakat. Karena itu, tujuan hukum HaKI adalah menyalurkan kreativitas individu untuk kemanfaatan manusia secara luas. HaKI memiliki lingkup yang luas dimana didalamnya tercakup karya-karya kreatif di bidang hak cipta (Copyright) dan hak-hak terkait serta Hak Milik Industri (Industrial Property).
Bentuk-bentuk HaKI menurut TRIP’S selengkapnya adalah 1. Hak Cipta dan hak-hak terkait (Copyright and related rights); 2. Merek Dagang (Trademarks); 3. Indikasi Geografis (Geographical Indications); 4. Disain Industri (Industrial Designs); 5. Paten (Patents); 6. Disain Tataletak (Topografi) Sirkit Terpadu (Layout Designs of Integrated Circuit); dan 7. Informasi yang Dirahasiakan (Undisclosed Information).[15]
Sistem HaKI modern di Indonesia diawali dengan diratifikasinya Convention Establishing the WTO/Agreement on Related Aspect of Intellectual Property Right (Konvensi WTO/persetujuan Trips) dengan UU No. 7 tahun 1994. Ratifikasi ini diikuti dengan berbagai langkah penyesuaian, yaitu :
Revisi peraturan perundang-undangan yang telah ada serta pembuatan peraturan perundang-undangan baru di bidang HaKI. Berkaitan dengan program ini telah dilakukan beberapa perubahan peraturan di bidang HaKI menjelang diberlakukannya Trips secara penuh di Indonesia 1 Januari 2000. Beberapa perubahan peraturan tersebut mengenai :
a.    UU No. 12 tahun 1997 tentang 1997 perubahan UU No. 6 tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 tahun1987 tentang Hak Cipta;
b.    UU No. 13 tahun 1997 tentang perubahan UU No. 6 tahun 1989 tentang Paten;
c.    UU No. 14 tahun 1997 tentang perubahan UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek.
Disamping itu Pemerintah telah berhasil membuat peraturan baru di bidang HaKI, yaitu :
a.    UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
b.    UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri;
c.    UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (IC).
Pada Tahun 2001 dan 2002, pemerintah juga telah menyesuaikan kembali beberapa UU di bidang HaKI, antara lain:
a.    UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten;
b.    UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek;
c.    UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Sejalan dengan berbagai perubahan UU di bidang HaKI tersebut diatas, Indonesia juga telah meratifikasi 5 konvensi internasional di bidang HaKI,
yaitu :
a.    Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Keppres No. 15 tahun 1997);
b.    Paten Cooperation Treaty (PCT) and regulation under the PCT (Keppres No. 16 tahun 1997);
c.    Tradmark Law Treaty (Keppres No. 17 tahun 1997);
d.   Berne Convention for the Protection of Liberty and Artistic Work (Keppres No. 18 tahun 1997);
e.    Wipo Copyright Treaty (Keppres No. 19 tahun 1997)[16]
Semenjak menjadi anggota WTO, ragam serta pengaturan Hak Milik Intelektual menjadi demikian banyak, yang tadinya hanya mengenal UU Merek, Paten, dan Hak Cipta, maka sekarang harus membuat aturan juga untuk bidang yang lainnya, seperti halnya Desain Industri, Rahasia dagang, serta pengaturan Mengenai Layout Design. Disamping itu kewajiban yang tidak kalah pentingnya adalah memberlakukan UU tersebut serta menegakkan hukum atas pelanggaran yang terjadi.
Tanggal 29 Juli 2003 merupakan momentum yang sangat mempunyai arti penting pada bidang Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), karena sejak saat itu secara resmi diberlakukan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagai bagian dari HaKI, dengan demikian Undang-Undang tersebut telah berlaku secara efektif. Para pemilik hak cipta dengan sendirinya merasa mendapatkan perlindungan yang lebih mantap karena tujuan akhir dari perlindungan hak cipta adalah untuk memberikan penghargaan dan insentif atas suatu kreatifitas dari kegiatan intelektual manusia. Selain itu juga memberikan suatu keseimbangan perlindungan terhadap pencipta dan
pengguna ciptaan tersebut.[17]
HaKI terdiri dari Hak Cipta (yang meliputi seni, sastra dan ilmu pengetahuan) dan Hak Milik Industri (HMI) meliputi hak Paten, Hak Merek, Rahasia Dagang, Disain Industri, Desain Tata Letak Terpadu, dan Varietas tanaman.[18]
Pada hak cipta dikenal azas perlindungan otomatis (automatical protection), sehingga tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan ciptaanya. Artinya bahwa sebuah karya cipta yang diwujudkan oleh penciptanya, maka sejak saat itu secara otomatis karya cipta tersebut memiliki hak cipta dan mendapat perlindungan secara hukum. Azas Perlindungan Otomatis (Otomatical Protection) diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, selain itu azaz perlindungan otomatis juga diatur didalam tiga prinsip dasar yang dianut didalam konferensi Bern, yaitu :
1) Prinsip National Treatment
Ciptaan yang berasal dari sala satu negara peserta perjanjian (yaitu ciptaan seorang warga negara, negara peserta perjanjian, atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbiktan disalah satu negara peserta perjanjian) harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara sendiri.
2) Prinsip Automatic Protection
Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (must not be conditional upon compliance with any formality)
3) Prinsip Independence of Protection
Suatu perlindungan hukum diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta.
Untuk memberikan pengamanan pada karya cipta akan lebih baik jika didaftarkan khususnya apabila pada suatu saat terbentur pada masalah hukum yang berhubungan dengan ciptaan-ciptaan yang ada maka pendaftaran dari suatu ciptaan untuk lebih mempunyai kekuatan hukum. Asas perlindungan otomatis pada perlindungan hak cipta berhubungan dengan hak moral yang merupakan hak eksklusif atas suatu ciptaan seseorang. Hak moral senantiasa melekat pada penciptanya sejak ciptaan tersebut diwujudkan. Sehingga suatu ciptaan tidak wajib untuk didaftarkan karena tanpa didaftarkan sudah jelas kepemilikannya ada pada penciptanya.[19]
Karya-karya intelektual selain mempunyai bobot ekonomis juga menyangkut hak atas kepemilikan. Secara yuridis menyangkut konsepsi hukum tentang kepemilikan yang pada dasarnya mengacu pada konsep kebendaan yaitu benda imateriil. HaKI secara esensial mengandung pengertian hak kekayaan inteletual manusia. Semakin berbobot karya-karya intelektual seseorang semakin tinggi pula nilai ekonomi dari karya tersebut sehingga karya yang dihasilkan merupakan kekayaan yang dimiliki oleh para pemilik atau yang menghasilkan karya tersebut.

4. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, disahkan pada tanggal 29 Juli 2002 namun baru diberlakukan pada tanggal 29 Juli tahun 2003 (selanjutnya disebut dengan UUHC 2002) UUHC 2002 ini merupakan penyempurnaan dari UUHC 1997. Penyempurnaan ini didasarkan atas pertimbangan yang pada intinya dimaksudkan untuk lebih memberi perlindungan bagi para pencipta dan pemegang hak terkait dalam keseimbangan dengan kepentingan masyarakat pada umumnya. Termasuk dalam hal ini adalah untuk mengakomodasi beberapa ketentuan dalam Trips dan WIPO Copyrights Treaty yang belum sempat diakomodasi dalam perubahan UUHC 1997.
Pada sisi lain yang tidak kalah penting dari perjanjian-perjanjian international diatas, adalah perlunya penekanan pada faktor-faktor lokal misalnya keanekaragam sosial budaya dan etnik yang merupakan potensi besar bagi pembuatan kara cipta. Hal ini sejalan pula dengan kebijakan dibidang otonomi daerah saat ini. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang sebelumnya dinyatakan berlaku lagi.
Dalam UUHC 2002 mengandung berbagai ketentuan yang tidak terdapat dalam undang-undang sebelumnya, antara lain :
a.    Dipisahkan secara tegas antara hak cipta dan hak terkait
b.    Informasi pengeloaan hak (Rights Management Information), yang melarang perusakan atas informasi yang ada dalam media elektronik sebagai produk di bidang hak cipta dan hak terkait.
c.    Sarana kontrol teknologi yang melarang perusakan atau intervensi ke sarana kontrol teknologi yang dibuat dalam suatu produk di bidang hak cipta dan hak terkait
d.   Pangkalan data (database) sebagai ciptaan yang dilindungi
e.    Penyelesaian sengketa perdata yang ditangani oleh pengadilan niaga
f.     Penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa
g.    Penetapan sementara pengadilan yang memberi kesempatan pada pihak yang merasa dirugikan dapat meminta penetapan terlebih dahulu kepada hakim guna melarang beredarnya produk yang dianggap melanggar hak cipta atau hak terkait
h.    Jangka waktu penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung yang dibatasi masing-masing 90 (sembilan puluh) hari,
i.      Diperkenalkannya ancaman pidana penjara dan denda minimal bagi pelanggaran pasal-pasal tertentu dan
j.      Ancaman pidana bagi perbanyakkan penggunaan piranti lunak program komputer untuk kepentingan komersial secara melawan hukum. [20]

5. Hak-hak yang Melekat Pada Hak Cipta
Salah satu aspek hak khusus pada Hak Kekayaan Intelektual adalah hak ekonomi. Hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaan intelektual. Dikatakan Hak Ekonomi karena Hak atas Kekayaan Intelektual adalah benda yang dapat dinilai dengan uang.[21]
Hak Ekonomi tersebut berupa keuntungan sejumlah uang yang diperoleh karena penggunaan sendiri Hak atas Kekayaan Intelektual, atau karena penggunaan oleh pihak lain berdasarkan lisensi.[22]
Hak Ekonomi itu diperhitungkan karena Hak Kekayaan Intelektual dapat digunakan/ dimanfaatkan oleh pihak lain dalam perindustrian atau perdagangan yang mendatangkan keuntungan. Dengan kata lain, Hak atas Kekayaan Intelektual adalah objek perdagangan.[23]
Pendapat lain mengatakan seorang pencipta memiliki dua macam hak atas ciptaannya, yaitu hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights).[24] Adapun yang dimaksud hak ekonomi adalah hak khusus bagi pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya.[25] Hak tersebut berwujud hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak-hak ekonomi tersebut antara lain berwujud:[26]
1.    Hak reproduksi atau penggandaan (reproduction rights) Perbanyakan bermakna menambah jumlah ciptaan dengan pembuatan yang sama, hampir sama atau menyerupai ciptaan tersebut dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan suatu ciptaan.
2.    Hak adaptasi (adaptation rights) Hak untuk mengadaptasi dapat berupa penerjemah dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, aransemen musik, dramatisasi, meruba menjadi cerita fiksi menjadi non fiksi atau sebaliknya.
3.    Hak distribusi (distribusi rights) Hak distribusi merupakan hak pencipta untuk menyebarkan ciptaannya kepada masyarakat. Penyebaran tersebut dapat berupa penjualan, penyewaan atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal masyarakat.
4.    Hak pertunjukan (public performance rights)[27]
Setiap orang atau badan yang menampilkan, atau mempertunjukkan sesuatu karya cipta, harus meminta ijin dari si pemilik hak performing tersebut.
5.    Hak penyiaran (broadcasting rights)[28]
Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu ciptaan oleh peralatan tanpa kabel. Hak penyiaran ini meliputi penyiaran ulang, dan mentransmisikan ulang. Menurut UU Hak Cipta, pasal 18 ayat 1, bahwa untuk kepentingan nasional, maka dapat dilakukan pengumuman sesuatu ciptaan melalui radio televisi yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dengan tidak memerlukan izin terlebih dahulu dari pemegang hak cipta, asalkan kepada pemegang hak cipta diberi ganti rugi yang layak.
6.    Hak program kabel (cable casting rights)[29]
Hak ini hampir sama dengan hak penyiaran hanya saja mentransmisikannya melalui kabel. Badan penyiaran televisi mempunyai suatu radio tertentu, dari sana disiarkan program-program melalui kabel kepada pesawat para pelanggan. Jadi siarannya sudah pasti komersial
7.    Droit de Suite[30]
Droit de Suite adalah hak pencipta dan bersifat kebendaan, yang diatur dalam pasal 14 bis Konvensi Berne revisi Brussel 1948 dan ditambah pasal 14 hasil revisi Stockholm 1967.
8.    Hak pinjam masyarakat (public lending right)
Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan, yaitu dia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karyanya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan hak moral bagi pencipta adalah hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta atau hak-hak yang berkenaan dengan mengadakan larangan bagi orang lain melakukan perubahan karya ciptaannya, larangan mengadakan perubahan judulnya, larangan mengadakan perubahan nama penciptanya, dan hak bagi pencipta untuk melakukan perubahan karya ciptaannya.[31]
Sedangkan dalam bukunya J. C. T Simorangkir, SH mengatakan bahwa hak moril pencipta merupakan hak khas dan khusus serta langgeng daripada si pencipta atas hasil ciptaannya, yang tidak dapat dipindahkan dari penciptanya. Hak moril pencipta tersebut tetap melekat pada pencipta sekalipun hak cipta itu sendiri sudah dialihkan kepada pihak lain.[32]
Hak moral merupakan hak yang meliputi kepentingan pribadi/individu. Hak moral melekat pada pribadi pencipta, hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan denganjalan apapun tidak dapat dtinggalkan daripadanya, seperti mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya.[33]
Hak integritas yang merupakan kewenangan pencipta untuk memberi atau menolak perubahan atas ciptaannya.
Seperti disebut diatas bahwa hak cipta merupakan benda bergerak, sehingga tidak dapat disita menurut ketentuan pasal 4 UUHC 2002. Alasannya karena ciptaan bersifat pribadi dan manunggal dengan diri pencipta. Dalam pasal 4 UUHC 2002 menyebutkan bahwa :
1)   Hak cipta yang dimiliki oleh pencipta yang setelah penciptanya meninggal dunia. Menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan hak cipta tersebut tidak dapat disita kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
2)   Hak cipta yang tidak atau belum diumumkan setelah penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerimawasiat, dan hak cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak cipta itu diperoleh secara melawan hukum.
Apabila pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pemegang hak cipta sebagai yang berwenang menguasai hak cipta, dengan hak cipta itu melakukan pelanggaran hukum atau mengganggu ketertiban umum, maka yang dapat dilarang oleh hukum adalah perbuatan atau pemilik hak cipta yang menggunakan haknya itu.
                                                        
                                                           BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
“Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research).”[34] Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.”[35]
“Penelitian tipe ini lazim disebut sebagai “studi dogmatik” atau yang dikenal dengan doctrinal research.”[36] “Penelitian tipe doktrinal (doctrinal research) adalah mirip dengan tipe penelitian hukum normatif.”[37] “Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik.”[38] “Dogmatik hukum bersifat teoritis-rasional, sehingga pengungkapannya terikat pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika deduktif. Disamping itu, maka dogmatik hukum memperhitungkan kecermatan, ketetapan dan kejelasan.”[39] “Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research) ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka.”[40] Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan tersebut mencakup:
1.      Penelitian terhadap asas-asas hukum
2.      Penelitian terhadap sitematik hukum
3.      Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4.      Perbandingan hukum
5.      Sejarah hukum.[41]

B. Variabel Penelitian
“variable penelitian ini adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.”[42] Menurut Abdulkadir Muhammad, “rumusan masalah dibuat sekhusus mungkin, tetapi tetap mencerminkan adanya hubungan antara variable.”[43] Berdasarkan masalah yang dirumuskan pada bab satu, maka dapatlah ditetapkan variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:
1.   Bagaimanakah Perlindungan Hukum Bagi pengarang/pencipta dan penerbit dilihat dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
C. Data dan Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data sekunder berdasarkan studi pustaka / studi literatur (library research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan antara:
1.      Bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang terdiri dari:
a.    Norma dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule) UUD 1945;
b.   Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
c.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
d.   Konvensi-konvensi internasional di bidang hak cipta.
e.    Yurisprodensi yang ada hubunganya dengan pelanggaran hak cipta
2.    Bahan hukum sekunder yaitu yang memberi Penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian, makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.    Bahan hukum Tertier
Yaitu Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri
a. Kamus hukum
b. Kamus bahasa Indonesia
c. Kamus Bahasa Inggris
d. Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat kabar , jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya ).[44]

D. Lagkah-Langkah Penelitian
1. Pengumpulan Data[45]
Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan, studi dokumen, dan studi catatan hukum.[46] Kepustakaan yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, buku karya tulis bidang hukum.
Kegiatan studi kepustakaan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.       Penentuan sumber data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier), berupa perundang-undangan, literatur di bidang ilmu pengetahuan hukum, dan kamus.
b.      Identifikasi data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier) yang diperlukan, yaitu proses mencari dan menemukan bahan hukum berupa ketentuan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan; judul buku, nama pengarang, cetakan, kota penerbit, penerbit, tahun terbit dan nomor halaman karya tulis bidang hukum.
c.       Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah (pokok bahasan atau subpokok bahasan), dengan cara pengutipan atau pencatatan.
d.      Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.[47]

2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
a.       Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah/variabel penelitian.
b.      Penandaan data (coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan, atau dokumen); pemegang hak cipta (penulis, tahun penerbitan); atau rumusan masalah/variabel penelitian (masalah pertama tanda A, masalah kedua tanda B, dan seterusnya).
c.       Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis mehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.
d.      Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah/variabel penelitian.[48]
3. Analisis Data dan Pembahasan
Menurut Abdulkadir Muhammad, “Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: (1) Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; (2) Data yang terkumpul umumnya berupa informasi; (3) Hubungan antara variabel tidak dapat diukur dengan angka ….”[49]
Kemudian menurut Hilman Hadikusuma, “penelitian yang hanya melakukan studi kepustakaan (data sekunder) tanpa melakukan penelitian lapangan (data primer). Laporan skripsi itu akan hanya bersifat deskripsi analitis berdasarkan pendekatan masalah yang bersifat normatif-jurudis.”[50]
Penelitian ini juga memusatkan perhatiannya pada hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang abstrak, hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan perundang-undangan. Menurut Bambang Sunggono, “Pemusatan perhatian yang demikian ini akan membawa kepada penggunaan metode normatif dalam menggarap hukum.
Sesuai dengan cara pembahasan yang bersifat analitis, maka metode ini disebut sebagai normatif analitis.”[51]
Menurut Dengan demikian, analisis data dilakukan secara kualitatif, konprehensif, dan lengkap. Analisis kualitatif artinya menuraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Konprehensif artinya analisis data dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlewatkan atau terlupakan, semuanya masuk dalam analisis.












                                                         



                                                        BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A Perlindungan Hukum Bagi Pencipta dan Penerbit Berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Perlindungan hukum terhadap hak cipta pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah Indonesia secara terus menerus berusaha untuk memperbaharui peraturan perundang-undangan di bidang hak cipta untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada, baik perkembangan di bidang ekonomi maupun di bidang tehnologi.
Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa pelanggaran hak cipta telah mencapai tingkat yang membahayakan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat pada umumnya dan minat pengarang pada khususnya.[52]
Usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan terhadap karya cipta ini ternyata belum membuahkan hasil yang maksimal. UUHC 2002 dalam memberikan perlindungan hukum terhadap suatu karya cipta maupun terhadap hak dan kepentingan pencipta atau pemegang hak cipta sudah cukup bagus dibandingkan dengan UUHC sebelumnya. Dalam realitasnya, pelanggaran hak cipta masih menggejala dan seolah-olah tidak dapat ditangani walaupun pelanggaran itu dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam bentuk pelanggaran yang dilakukan dapat berupa pembajakan terhadap karya cipta, mengumumkan, mengedarkan maupun menjual karya cipta orang lain tanpa seizin pencipta ataupun pemegang hak. Dampak lain dari pelanggaran ini di samping akan merusak tatanan masyarakat pada umumnya, juga akan mengakibatkan lesunya gairah untuk berkarya di bidang ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan, seni dan sastra serta berkurangnya penghasilan atau pemasukan negara berupa pajak penghasilan yang seharusnya dibayar oleh pencipta atau pemegang hak cipta.[53]
Pelanggaran hak cipta sebagaimana diatur dalam UUHC 2002 dapat berupa mengambil, mengutip, merekam, memperbanyak atau mengumumkan sebagian atau seluruh ciptaan orang lain, tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta atau yang dilarang oleh Undang-Undang atau melanggar perjanjian. Dilarang Undang-Undang artinya Undang-Undang tidak memperkenankan perbuatan itu dilakukan karena :
1.    Merugikan pencipta atau pemegang hak cipta, misalnya mengkopi sebagian ciptaan orang lain kemudian dijualbelikan kepada masyarakat,
2.    Merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan, atau
3.    Bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Melanggar perjanjian artinya memenuhi kewajiban tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang telah disetujui kedua pihak, misalnya dalam perjanjian penerbitan disetujui untuk diterbitkan 3000 (tiga ribu) eksemplar, tetapi diterbitkan 5000 (lima ribu) eksemplar, dan lain sebagainya.
Ketentuan Pasal 14 UUHC Tahun 2002 menyebutkan suatu perbuatannyang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Perbuatan tersebut antara lain: Pengumuman dan atau perbanyak lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli,
1.    Pengumumam dan atau perbanyak segala sesuatu yang diumumkan dan atau diperbanyak oleh atau atas nama pemerintah, kecuali jika hak cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan dan atau diperbanyak, atau
2.    Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Perbuatan pelanggaran hak cipta pada dasarnya ada dua kelompok,
yaitu :
1.    Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan dan ketertiban umum.
2.    Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta.[54]
Berdasarkan hal itulah, penulis menilai diperlukan adanya perlindungan hukum bagi pencipta dan penerbit hak cipta atas buku. Perlindungan hukum yang ada merupakan upaya yang diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta guna mencegah terjadinya pelanggaran HaKI oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, di sini penulis hanya akan meneliti
dan membahas masalah perlindungan hukum terhadap pencipta dan penerbit
buku dengan adanya pelanggaran atau pembajakan buku berdasarkan UUHC
2002.
Penulis menganalisis bahwa perlindungan hukum diperlukan bagi pencipta atau pemegang hak cipta atas buku agar hak-hak yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta atas buku terlindungi. Perlindungan hukum tersebut dapat terlihat dari pasal-pasal yang ada dalam UUHC 2002, antara lain Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 15, Pasal 16 ayat 1 sampai dengan ayat (6), 29 ayat (1), dan (2), Pasal 30, Pasal 45 dan Pasal 46.
Buku merupakan salah satu objek dari ciptaan seseorang. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra (Pasal 1 angka 3 UUHC 2002). Sehingga dalam hal ini diperlukan perlindungan hukum. Buku atau lebih dikenal sebagai karya tulis di bidang sastra atau ilmu pengetahuan. Tetapi bila dicermati lebih jauh, sebenarnya buku memiliki pula beberapa komponen lainnya dari hak cipta, seperti gambar-gambar atau lukisan yang terdapat di dalam buku. Demikian pula bila buku secara fisik berbentuk benda tertentu dalam 3 (tiga) dimensi (banyak dijumpai dalam buku anak-anak) dilindungi dalam kelompok besar hak cipta sebagai karya seni. Peta dan fotografi yang tercantum dalam buku juga dilindungi sebagai karya cipta tersendiri (Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002).
Dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUHC 2002, menentukan bahwa jangka waktu perlindungan hukum bagi penulis atau pemegang hak cipta atas buku berlaku selama hidup pencipta (penulis atau pemegang hak cipta atas buku) dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sejak diumumkan setelah pencipta meninggal dunia.
Terdapat pula ketentuan khusus yang menyebutkan bahwa apabila hak cipta atas buku dimiliki atau dipegang oleh badan hukum, maka jangka waktu perlindungan menjadi 50 (lima puluh) tahun sejak diumumkan (Pasal 30 ayat 3 UUHC 2002).
Berlaku pula terhadap buku suatu ketentuan yang menerangkan hak cipta atau ciptaan yang penciptanya tidak diketahui. Pasal 11 ayat 1 UUHC 2002, menyebutkan bahwa jika suatu ciptaan tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. Hal ini dimaksudkan untuk menegaskan status hak cipta dalam hal suatu karya yang penciptanya tidak diketahui dan tidak atau belum diterbitkan. Sebagaimana layaknya ciptaan itu diwujudkan, misalnya dalam hal karya tulis atau musik, ciptaan tersebut belum diterbitkan dalam bentuk buku atau belum direkam. Dalam hal demikian, hak cipta atas karya tersebut dipegang oleh Negara untuk melindungi hak cipta bagi kepentingan penciptanya, sedangkan apabila karya tersebut berupa karya tulis dan telah diterbitkan, hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan dipegang oleh penerbit.
Pasal 11 ayat 2 UUHC 2002 menyebutkan jika suatu ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran penciptanya penerbit pemegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. Hal ini dimaksudkan bahwa penerbit dianggap pemegang hak cipta atas ciptaan yang diterbirkan dengan menggunakan nama samaran penciptanya. Dengan demikian suatu ciptaan yang diterbitkan tetapi tidak diketahui siapa penciptanya atau terhadap ciptaan yang hanya tertera nama samaran penciptanya, penerbit yang namanya tertera dalam ciptaan dan dapat membuktikan sebagai penerbit yang pertama kali menerbitkan ciptaan tersebut dianggap sebagai pemegang hak cipta. Hal ini tidak berlaku apabila pencipta dikemudian hari menyatakan identitasnya dan ia dapat membuktikan bahwa ciptaan tersebut adalah ciptaannya.
Ayat 3 dari pasal yang sama menyebutkan, jika suatu ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui pencipta dan atau penerbitnya, Negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. Penerbit dianggap memegang hak cipta atas ciptaan yang telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran penciptanya, penerbit yang pertama kali menerbitkan ciptaan tersebut dianggap mewakili penciptanya. Hal ini tidak berlaku apabila dikemudian hari pencipta asli atau ahli warisnya dapat membuktikan bahwa
ciptaan tersebut adalah ciptaannya.
Ketentuan mengenai konsep pemegang hak cipta, pada prinsipnya pemilik dan pemegang hak cipta adalah pencipta (dalam dunia perbukuan pengarang atau penulis) tetapi dalam hal-hal tertentu hak cipta dipegang oleh pihak di luar pencipta. Hal ini dapat terjadi baik karena pelimpahan hak cipta karena kehendak pencipta yang dituangkan dalam suatu kesepakatan/pernyataan ataupun karena ketentuan hukum seperti warisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam hak cipta tersebut dibuat dalam hubungan dinas baik lingkungan pekerjaan pencipta maupun dalam kerangka pesanan. Dalam hal ini, untuk keseimbangan kepentingan pencipta atas ketentuan tersebut maka undang-undang menegaskan pula bahwa kepentingan pencipta harus diperhatikan dalam hal penggunaan ciptaan tersebut diperluas di luar hubungan dinas.
Salah satu ketentuan mengenai pengecualian terhadap pelanggaran hak cipta yang sangat erat kaitannya dengan buku sebagai karya cipta telah disempurnakan dalam UUHC 2002 yang baru.
Pertama, pendekatan kuantitatif dalam kerangka pengambilan bagian dari suatu ciptaan yang selama ini menjadi acuan untuk menentukan adanya pelanggaran hak cipta telah diubah menjadi kualitatif. Lebih lanjut diperjelas kondisi dan persyaratan untuk dianggap sebagai pengecualian terhadap pelanggaran hak cipta dahulu berkaitan dengan ketetunan yang bersifat kuantitatif tersebut, yaitu sepanjang ciptaan yang menjadi sumber pengutipan disebutkan dan perbuatan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya, maka penggunaan suatu penciptaan untuk keperluan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, tidak dianggap sebagai pelanggaran.
Secara jelas dalam Pasal 15 UUHC 2002 menyebutkan bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta:
a.    Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.
b.    Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelajaran di dalam atau di luar pengadilan.
c.    Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan :
(i)   Ceramah, yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan, atau
(ii) Pertunjukkan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.
d.   Perbanyak suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dalam huruf Braille guna keperluan para tuna netra, kecuali perbanyakan itu bersifat komersial.
e.    Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya.
Pasal 16 UUHC 2002, membahas tentang penerjemahan dan perbanyakan. Pasal 16 menyebutkan :
1)   Untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra, menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat :
a.       Mewajibkan pemegang hak cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan atau perbanyakan ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan.
b.      Mewajibkan pemegang hak cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan atau memperbanyak ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal pemegang hak cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c.       Menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan atau perbanyakan ciptaan tersebut dalam hal pemegang hak cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
2)   Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
3)   Kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu :
a.       3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Republik Indonesia.
b.      5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku Ilmu Sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Republik Indonesia.
c.       7 (tujuh) sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Republik Indonesia.
1)   Penerjemahan dan atau perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah negara lain.
2)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disertai dengan pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan keputusan presiden.
3)   Ketentuan tentang cara pengajuan permohonan untuk menerjemahkan dan atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
UUHC 2002 menambahkan pengaturan masalah lisensi hak cipta. Secara umum ditegaskan bahwa suatu perjanjian lisensi berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dan perjanjian tersebut pada prinsipnya bersifat non ekslusif, kecuali diperjanjikan lain. Untuk kekuatan mengikatnya terhadap pihak ketiga maka perjanjian lisensi tersebut harus dicatatkan di Kantor Hak Cipta. Untuk dapat tercatat di Kantor Hak Cipta, perjanjian lisensi tersebut tidak boleh menimbulkan akibat yang dapat merugikan perekonomian Indonesia. Dalam konteks ini, maka sekalipun perjanjian lisensi yang bersifat ekslusif tidak dilarang, tetapi penerapannya akan sangat bergantung pada test apakah perjanjian ini dapat merugikan perekonomian negara kita atau tidak, misalnya pembayaran pajak.
Penambahan dalam UUHC 2002 mengenai lisensi ini adalah mengenai jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada pemegang hak cipta oleh penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi. Secara lengkap Bab V tentang Lisensi dalam UUHC 2002 adalah :
Pasal 45 :
1)   Pemegang Hak Cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
2)   Kecuali diperjanjikan lain, lingkup lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
3)   Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pembayaran royalty kepada pemegang Hak Cipta oleh penerima lisensi.
4)   Jumlah royalti dan wajib dibayarkan kepada pemegang hak cipta oleh penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.
Pasal 46 “Kecuali diperjanjikan lain, pemegang hak cipta tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2”.
Pasal 47 :
1)   Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)   Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatat di Direktoral Jenderal.
3)   Direktorat Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian lisensi diatur dengan keputusan presiden.
Setelah melihat gambaran mengenai UUHC 2002, penulis beranggapan bahwa isi dari UUHC telah menjangkau perlindungan hokum terhadap karya cipta atas buku terutama bagi pengarang dan penerbit. Hal ini tampak jelas adanya hak-hak bagi pemegang hak cipta, dalam hal ini pencipta dan penerbit yang benar-benar dilindungi. Tidak hanya pencipta dan penerbit sebagai pemegang hak ciptaan, ahli waris dari pencipta pun mempunyai hak untuk melakukan penuntutan.[55]

A.1 Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Terjadinya Pelanggaran
Hak Cipta
Pembajakan buku bukanlah suatu fenomena yang asing lagi. Masalah pembajakan buku bukan sekedar persoalan antara pencipta dengan oknumoknum pembajak semata, melainkan persoalan antara si penegak hukum dan penghargaan masyarakat atas hak cipta.
Pembajakan buku sangat berpengaruh terhadap banyaknya buku yang akan terbit. Jika pembajakan buku makin banyak, maka buku yang terbit akan menurun, yang mana hal ini disebabkan menurunnya niat pencipta untuk menulis buku. Dampak lain bagi penerbit, banyaknya dituntut royalti oleh pencipta atau pengarang buku yang diterbitkan oleh pembajak karena hak terbitnya ada pada penerbit yang sah. Penerbit juga dirugikan karena pembajakan buku mengakibatkan omzet penjualan buku-buku berkurang.
Pembajakan buku merupakan tindak pidana kejahatan. Dari segi penegakan hukum, ketidakseragaman penafsiran dan tindakan para pejabat penegak hukum dalam menghadapi pelanggaran hak cipta merupakan faktorfaktor yang menunjukkan bahwa pembajakan belum ditangani secara efektif. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap perlindungan hak cipta harus lebih ditingkatkan.
Penegakan hukum sebagai usaha menjalankan hukum dapat mempunyai arti sempit, arti luas dan arti yang tidak terbatas. Dalam arti sempit penegakan hukum adalah menjalankan hukum oleh polisi, sebagaimana pengertian orang awam tentang hukum. Dalam arti luas, penegakan hokum adalah menjalankan hukum oleh alat-alat perlengkapan negara, yakni kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Pengertian hukum yang tidak terbatas adalah tugas dari pembentuk undang-undang, hakim, jaksa, pengacara, aparat pemerintah, pamong praja, lembaga pemasyarakatan dan aparat eksekusi, serta setiap orang ynag menjalankan hukum yaitu badan resmi dan setiap orang yang bersangkutan dengan proses berjalannya hokum.[56]
Penegakan hukum menurut Mahadi sebagai hal menegakkan atau mempertahankan hukum oleh penegak hukum apabila telah terjadi pelanggaran hukum atau diduga hukum akan atau mungkin dilanggar. Banyak hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam menegakkan Undang-undang yang dalam hal ini UUHC.[57]
Pelanggaran hak cipta khususnya terhadap buku dapat dikenakan sanksi atau hukuman. Berdasarkan Pasal 42 ayat (3) lama atau Pasal 43B UUHC 1997, pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, selain dapat dituntut secara perdata, juga dapat dituntut secara pidana. Demikian UUHC 2002 juga telah menyediakan dua sarana hukum yang dapat digunakan untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, yaitu melalui instrumen hokum perdata dan pidana. Dalam konteks hukum perdatas berdasarkan KUH Perdata, penulis menganalisa bahwa pihak pencipta buku dapat mengajukan gugatannya berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Hal ini disebabkan karena adanya suatu perbuatan pelanggaran hak subjektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri.[58]Hak subjektif orang lain merupakan hak cipta yang dimiliki oleh pencipta yang terdiri dari hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti uang, sedangkan hak moral yang menyangkut perlindungan atau reputasi dari si Pencipta. Perbuatan yang dilakukan karena adanya perbuatan melawan hukum tersebut dapat digugat dengan ganti rugi yang ditentukan hukum dan
hukum yang berlaku dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian”.
Perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUH Perdata
mempunyai 5 (lima) unsur yaitu :
1.    Adanya suatu perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh perbuatan si Pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Karena itu, perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak.
2.    Perbuatan tersebut melawan hukum
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut.
a.       Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b.      Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum atau
c.       Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
d.      Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
e.       Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam
f.       bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
3.    Adanya kesalahan si pelaku
Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum tersebut, Undang-Undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu tanggung jawab tanpa kesalahan tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Jikapun dalam hal tertentu diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan tersebut, hal tersebut tidaklah didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan kepada Undang-Undang lain. Karena pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” dalam suatu perbuatan melawan hukum. Adapun unsur kesalahan tersebut sebagai berikut :
a.    Ada unsur kesengajaan atau
b.    Ada unsur kelalaian
c.    Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf, seperti keadaan
b.    overmacht, membela diri.
4.    . Adanya kerugian
Adanya kerugian bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian immateril, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateriil yang juga akan dinilai dengan uang.
5.    Hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian Tiap-tiap perbuatan atau masalah yang merupakan syarat daripada sesuatu akibat yang terjadi harus dianggap sebagai sebab daripada akibat itu. Syarat daripada akibat adalah bilamana perbuatan atas masalah itu tidak dapat ditiadakan, sehingga tidak timbul sesuatu akibat.[59]
Perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata penulis menilai bahwa hal tersebut jelas menimbulkan kerugian bagi pencipta atau pemegang hak cipta atas buku, selain itu juga merugikan pihak negara dan masyarakat (konsumen). Kerugian yang diderita oleh pencipta adalah dimana keuntungan yang seharusnya diterima (royalty) dapat digunakan untuk biaya pengembangan tidak diperoleh karena tindakan tersebut, sedangkan kerugian yang diderita negara merupakan hilangnya pajak yang seharusnya diterima oleh negara. Selain itu juga kerugian yang diderita oleh masyarakat berupa rendahnya kreativitas dalam menciptakan suatu karya karena semakin banyaknya barang atau jasa yang dijual di pasaran dengan harga yang relatif murah, selain itu karena karya yang dihasilkan tidak mendapatkan penghargaan dan perlindungan hukum yang pasti.
Penuntutan ganti kerugian tersebut dimungkinkan menurut Pasal 1365
KUH Perdata, antara lain :
1.    Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang.
2.    Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan pada keadaan semula.
3.    Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum.
4.    Larangan untuk melakukan suatu perbuatan.
5.    Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum.
6.    Mengumumkan keputusan dari sesuatu yang telah diperbaiki.
Sedangkan dalam konteks hukum berdasarkan UUHC 2002, penulis menganalis bahwa jika ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang telah dilindungi oleh Undang-Undang dilanggar, maka si pencipta maupun penerbit hak cipta atas buku berhak mengajukan gugatan untuk menuntut ganti kerugian ke Pengadilan Niaga, dengan tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta tersebut. Pencipta juga berhak untuk meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu (Pasal 56 ayat (1) UUHC 2002). Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memintakan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, penemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta (Pasal 56 ayat (2) UUHC 2002). Sebelum memutuskan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumumam dan atau perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta (ayat (3)). Selain itupun pencipta atau ahli waris suatu ciptaan dapat juga mengajukan gugatan ganti kerugian atas pelanggaran hak cipta (Pasal 24 tentang hak moral dan Pasal 58 UUHC 2002).
Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, 56 dan Pasal 58 wajib diputus dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan di Pengadilan Niaga yang bersangkutan (Pasal 59 UUHC 2002).
Pemegang hak cipta atas buku juga berhak untuk meminta kepada hakim Pengadlan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan yang segera dan efetif untuk (Pasal 67 UUHC 2002) :
1.    Mencegah berlanjutnya pelanggaran hak cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang diduga melanggar hak cipta atau hak terkait ke dalam jalur perdagangan, termasuk tindakan importasi.
2.    Menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta atau hak terkait tersebut guna menghindari terjadinya penghilangan barang bukti.
3.    Meminta kepada pihak yang merasa dirugikan untuk memberikan bukti yang menyatakan bahwa pihak tersebut memang berhak atas hak cipta atau hak terkait dan hak pemohon tersebut memang sedang dilanggar, demikian ketentuan Pasal 67 UUHC 2002.
Dalam hal penetapan tersebut dibatalkan, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta penetapan sementara atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh penetapan sementara tersebut (Pasal 70 UUHC 2002).
Hak untuk mengajukan tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 UUHC 2002, pemegang hak cipta atas buku berhak untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap pelanggar hak cipta (Pasal 66 UUHC 2002).
Dalam hal tuntutan pidana, penulis menganalisa bahwa pihak penggugat dapat meminta pihak penyidik untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran hak ciptanya. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan HaKI diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Hak Cipta (Pasal 71 ayat (1) UUHC 2002).
Dalam pasal 71 ayat 2 UUHC 2002 menyebutkan bahwa pihak
penyidik berwenang untuk melakukan :
1.    Pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

2.    Pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

3.    Meminta keterangan dari pihak atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

4.    Pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

5.    Pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain

6.    Penyitaan bersama-sama dengan pihak kepolisian terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Hak Cipta.

7.    Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

Sedangkan ayat (3) masih dalam pasal yang sama, menyebutkan bahwa pihak penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukannya dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Adapun sanksi pidana yang dapat dijatuhi hukuman kepada para pembajak atau pelanggar ini dapat berdasarkan ketentuan Pasal 72 UUHC 2002. Ketentuan pidana dalam pasal 72 UUHC 2002 menyebutkan :
1.    Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

2.    Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

3.    Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 5.00.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

4.    Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

5.    Barang siapa yang dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20 atau Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratur lima puluh juta rupiah).

6.    Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 24 dan pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

7.    Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

8.    Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

9.    Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).[60]

Ketentuan sanksi yang dicantumkan dalam UUHC 2002 tersebut dimaksudkan untuk memberikan ancaman pidana yang lebih berat, sebagai salah satu upaya penangkal pelanggaran Hak Cipta. Selain itu pula dimaksudkan untuk memungkinkan penahanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Selain penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 UUHC, penulis menganalisis bahwa para pihak dalam hal ini dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitarse atau alternative penyelesaian sengketa (Pasal 65 UUHC 2002).
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999).
Jika menggunakan arbitrase maka sebelumnya sudah diperjanjikan atau adanya kesepakatan yang berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam surat perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat terjadi sebelum sengketa atau setelah terjadinya sengketa. Selain itu dalam pelaksanaan arbitrasenya para pihak harus mencantumkan dengan jelas apakah arbitrase dilaksanakan melalui arbitrase ad hoc atau melalui arbitrase institusional. Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang ditujukan untuk kasus tertentu untuk satu kali penunjukkan. Sedangkan arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen (Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York). Arbitrase institusional dibagi menjadi dua sifat yatiu nasional dan internasional (Pasal 59 dan Pasal 65 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999). Yang termasuk dalam arbitrase nasional adalah BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan BAMI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia). Yang termasuk dalam arbitrase yang bersifat internasional adalah The Court of Arbritration of The Internasional Chamber of Commerce (ICC) Paris, The London Court of Internasional Arbitration, Arbitration Institute Stocholm.
Bila dalam menyelesaikan sengketa tersebut menunjukkan arbitrase ad hoc, maka perjanjian tersebut harus mencantumkan bagaimana pemilihan para wasit akan dilaksanakan. Bila penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusional, maka harus disebutkan dengan jelas badan arbitrase mana yang ditunjuk oleh para pihak. Arbitrase ini berfungsi untuk memberikan suatu putusan berkenaan dengan hak-hak dari para pihak. Adapun putusan yang dijatuhkan oleh Dewan Arbitrase bisa secara tunggal maupun terdiri dari beberapa arbitrator yang mana putusan tersebut mengikat para pihak.
Manakala para pihak sudah sepakat memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka pengadilan harus menolak untuk memeriksa sengketa tersebut. Tujuan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa akan sia-sia, bila pengadilan masih memeriksa sengketa, yang sejak semula disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian, karena tanpa adanya suatu sengketa, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu yang mengikat, mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian
tersebut.
Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian. Terhadap pendapat yang mengikat itu tidak dapat diajukan upaya hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi. Mengenai putusan arbitrase yang tidak ditandatangani oleh seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.[61]



                                                             BAB V
                                                         PENUTUP

A Kesimpulan
Setelah Penulis meneliti dan membahas mengenai Perlindndungan Hukum Karya cipta Buku Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.    Perlindungan hukum terhadap pencipta atau penerbit sudah selayaknya mendapat perhatian serius mangingat arti pentingnya buku guna kemajuan dibidang ilmu pengetahuan seni dan sastra. Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah memberikan perlindungan hukum terhadap pencipta maupun penerbit hal ini dapat dilihat dari jangka waktu yang diberikan terhadap pencipta dan penerbit berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal juga sanksi terhadap pelanggaran Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini dapat diancam dengan sanksi pidana dan perdata. Namun dalam realitasnya penegakan hukum Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta belum menunjukkan hasil yang optimal hal ini disebabkan oleh:
a.Kurangnya kesadaran masyarakat baik pencipta maupun pemegang hak cipta untuk mendaftarkan karya ciptaanya pada direktorat Hak Cipta untuk mendapatkan perlindungan hukum.
b.Kurangnya kesadaran dan penghargaan masyarakat pada umumnya terhadap perlindungan hukum dari karya cipta sehingga banyak menimbulkan pembajakan karya-karya cipta.
c.Kurangnya kesadaran masyarakat umum (konsumen) yang masih saja membeli barang bajakan karena terpengaruh dengan harga yang murah padahal hal itu merugikan pihak lain (pencipta)

B SARAN
1.    Kesadaran masarakat kita akan UUHC yang ada masih kurang dan aparat penegak hukumnyapun belum melaksanakan hukum itu dengan baik pula padahal UUHC 2002 telah mengatur dengan baik hal-hal yang terkait dengan penyelesaian sengketa yang terjadi dalam hak cipta. Penulis beranggapan bahwa UUHC akan berlaku efektif apabila semua pihak baik masarakat, aparat penegak hukum, pemegang hak cipta benar-benar dengan kesadaran yang tinggi melaksanakan apa yang telah diatur dalam UUHC.
2.    Sikap dan mental manusia yang harus dimulai dahulu dengan baik sikap menghargai hasil karya orang lain serta taat dan patuh akan peraturan harus dimulai sejak dini sehingga kesadaran untuk menegakkan hukum dapat dilaksanakan oleh semua pihak.



                                                     DAFTAR PUSTAKA

A.  Buku-Buku

Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6. Jakarta: Bina Aksara.

Damian, Edy. 2002.  Hukum Hak Cipta. Bandung: Alumni.

Hadikumsuma, Hilman. 1995.  Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1. Bandung: Mandar Maju.

HFA, Vollmar. 1983.  Pengantar Studi Hukum Perdata I. Jakarta: Rajawali Press.

Kantaatmadja, Mieke. 1998.  Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad ke-21. Bandung: Genesa.

Mahadi, 1985.  Hak Milik Immaterial. Jakarta: BPHN-Bina Cipta.

Maulana, Insan Budi,Ridwan Khairandy,Nurjihad. 2000.  Kapita Selekta Hak Kekayaan Intlektual. Jakarta: Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta Bekerjasama Dengan Yayasan Klinik Haki.

Muhammad,  Abdul Kadir. 2001.  Kajian Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Citra A ditya Bakti.

Muhammad, Abdul Kadir. 2002.  Kajian Hukum Kekayaan Hak Intelektual. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muhammad, Abdulkadir. 2004.  Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Poernomo, Bambang. 1984. Orientasi Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Amarta Buku.

Purba, A. Zen Umar. 2000.  Sistem HKI Memasuki Era Globalisasi. Semarang: Aditya Bakti.

Rohmadi, Usman. 2003.  Hukum Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia. Bandung: Alumni
Rosidi, Ajib. 1984.  Undang-Undang Hak Cipta: Pandangan Seorang Awam. Jakarta: Djambatan.

Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Perikatan. Bandung, Bina Cipta.
Simorangkir, J.C.T. 1979.  Hak Cipta Lanjutan. Jakarta: Djambatan.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 1995.  Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suhardo, Ety S. 2002. Makalah yang disampaikan pada Seminar Implikasi Undang-Undang Tahun 2002 tentang Hak Cipta Bagi Dunia Bisnis. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Semarang.
Sunggono, Bambang. 2003.  Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Soeroso, R. 1992. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 4. Bandung : Sinar Grafika.

von Gerber, K. F. dan Paul Laban. 1997. Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), cet. 8. Bandung: Citra Aditya Bakti.


B.  Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia,  Undang-Undang Dasar Tahun 1945
________. Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 2002, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 4220.


C.  Lain-Lain

www. Google.com, Perlindungan Hukum Hak Cipta Buku. Diakses pada
tanggal 1 Desember 2010.

www. Google.com, pembajakan buku. Diakse pada tanggal 1 Desember 2010.
www.yahoo.com, Teori Hukum Hans Kelsen. Di akses 15 Juli 2010.
www. Google.com. Perlindungan Hukum.  Diakses pada tanggal 1 Desember 2010.
www.google.com. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Diakses pada tanggal 27 Februari 2011.


[1] www. Google.com, Perlindungan Hukum Hak Cipta Buku. Diakses pada tanggal 1 Desember 2010.
[2] Edy damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 153.
[3] Mohammad Abdul Kadir, Kajian Hukum Kekayaan Hak Intelektual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 54.
[4] Edy Damian, Op. Cit, hal. 8.
[5] Ibid. hal. 154.
[6] www. Google. Com. Buku Laris Marak di Bajak. Diakses pada tanggal 1 Desember 2011.
[7] www. Google.com, pembajakan buku. Diakse pada tanggal 1 Desember 2010.

[8] www.yahoo.com, Teori Hukum Hans Kelsen. Di akses 15 Juli 2010.
[9] R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 4 (Bandung : Sinar Grafika, 1992), hal 24.
[10] Ibid.
[11] Ibid. hal 27.
[12] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Dan Metode Penelitian Hukum, Cet 1. (Bandung : Citra Aditya Bakti,2004) hal.
[13] www. Google.com. Perlindungan Hukum.  Diakses pada tanggal 1 Desember 2010.
[14] Edy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 303.
[15] Mieke Kantaatmadja, Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad ke-21, (Bandung: Genesa, 1998), hal 12-14.
[16] A. Zen Umar Purba, Sistem HKI Memasuki Era Globalisasi, (Semarang: Bandung, 2000), hal. 13-14.
[17] Ety S. Suhardo, Makalah yang disampaikan pada Seminar Implikasi Undang-Undang Tahun 2002 tentang Hak Cipta Bagi Dunia Bisnis, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Semarang, 11 Desember 2003), hal. 20-21.
[18] Ibid.
[19] Ibid
[20] Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Bandung: Citra Umbara, 2002), hal. 205-247.
[21] Vollmar HFA, (diterjemahkan oleh J.S. Adiwimata), Pengantar Studi Hukum Perdata I, Jakarta : Rajawali Press, 1983) hal. 195.
[22]  Abdul Kadir Muhammad,  Kajian Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Citra A ditya Bakti, 2001), hal. 25.
[23] Ibid
[24] Ajib Rosidi, Undang-Undang Hak Cipta : Pandangan Seorang Awam, (Jakarta: Djambatan, 1984), hal 13.
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Muhammad, Op Cit, hal. 53.
[28] Ibid, hal. 56.
[29] Ibid
[30] Ibid
[31] J.C.T. Simorangkir, Hak Cipta Lanjutan, (Jakarta: Djambatan, 1979), ha. 39.
[32] Ibid
[33] Usman Rohmadi, Hukum Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), hal. 86.

[34] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13-14; Lihat juga Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 184.

[35] Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 52.

[36] Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 86.

[37] Bambang Sunggono, Ibid., hal. 93.

[38] Abdulkadir Muhammad, Op. cit.

[39] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc. cit., hal. 4; Bandingkan dengan “rechtsdogmatiek” dari K. F. von Gerber dan Paul Laban, lihat, Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), cet. 8, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 85.

[40] Ibid., hal. 13-14; Lihat, Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.,; Lihat Juga, Hilman Hadikumsuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 65-66.

[41] Ibid., hal. 13-14.

[42] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6, (Jakarta: Bina Aksara, 1989) hal. 89, 90, 92.

[43]  Abdulkadir Muhammaad, Loc. cit., hal. 62.
[44]  Abdulkadir, Op. cit., hal. 56.

[45] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125; Lihat juga, Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184.

[46] Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184; Lihat juga Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 125.
[47] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125.

[48] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125.

[49] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 92.

[50] Hilman Hadikumsuma, Loc. cit., hal. 120, 121.


[51] Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 68, 186;
[52] Maulana, Insan Budi,Ridwan Khairandy,Nurjihad Kapita Selekta Hak Kekayaan Intlektual
(Jakarta: Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta Bekerjasama Dengan Yayasan Klinik Haki, 2000), hal. 89
[53] Ibid, hal. 89.
[54] Indonesia, Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
[55] Maulana, Insan Budi,Ridwan Khairandy, Nurjihad.  Kapita Selekta Hak Kekayaan Intlektual (Jakarta: Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta Bekerjasama Dengan Yayasan Klinik Haki, 2000), hal. 67-69.

[56] Bambang Poernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana,  (Yogyakarta: Amarta Buku, 1984), hal. 119.
[57] Mahadi, Hak Milik Immaterial, ( Jakarta: BPHN-Bina Cipta, 1985), hal. 90.
[58] Setiawan, Pokok-Pokok Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1977), hal.  76.
[59] Op Cit, Bambang Pornomo, hal. 45
                [60]Indonesia, undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Kekayaan Intelektual. Lembaran Negara Nomor 85 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220.
[61]www.google.com. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Diakses pada tanggal 27 Februari 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar