Kamis, 21 Juni 2012

S K R I P S I



TINJAUAN  YURIDIS TENTANG 
PERJANJIAN  SEWA  MENYEWA  RUMAH
MENURUT KUHPerdata



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang sedang dialami negara Indonesia sekarang ini, tidak semua orang mampu memiliki sebuah rumah sendiri, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tersebut. Pemenuhan akan kebutuhan rumah bagi yang belum dan/atau tidak mampu banyak dilakukan dengan cara menyewa. Kebutuhan akan tempat yang dapat dipergunakan untuk berteduh bagi manusia merupakan suatu kebutuhan yang primer di samping kebutuhan sandang dan pangan. Pertambahan penduduk yang sangat cepat terutama di kota-kota besar, masalah kekurangan perumahan menjadi lebih parah lagi,
sedangkan untuk membangun dengan cepat rumah-rumah baru adalah merupakan satu-satunya jalan yang paling efektif, sebagaimana hal ini belum secara merata dapat dibangun oleh pemerintah karena melihat kebutuhankebutuhan lainnya yang masih sangat perlu untuk diprioritaskan, belum lagi harga rumah dan tanah yang semakin tinggi, sehingga tidak semua orang dapat menjangkau untuk membeli rumah.
Fenomena tersebut disikapi oleh para pemilik modal yang mempunyai lebih dari satu rumah untuk melakukan investasi dengan cara menyewakan kepada pihak lain yang membutuhkan rumah, sehingga terjadilah sewa menyewa rumah dimana para pihak secara bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Di satu sisi pemilik rumah mempunyai keuntungan atas investasi rumah dengan cara disewakan sedangkan pihak yang menyewa juga memperoleh manfaat atas rumah yang mereka sewa tentu saja dengan harga yang lebih murah daripada mereka harus membeli rumah yang semakin hari harganya semakin tinggi.
Sewa menyewa merupakan bentuk dari salah satu perjanjian yang terdiri dari dua pihak yaitu pihak penyewa dan pihak yang menyewakan. Perjanjian pada pokoknya mengatur hubungan dimana kedua belah pihak saling mempunyai prestasi secara timbal balik, sehingga menimbulkan suatu hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian.
Pengertian sewa menyewa diatur dalam pasal 1548 KUHPerdata yang rumusnya adalah sebagai berikut:
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.
Perjanjian sewa menyewa rumah juga akan menimbulkan suatu hak dan kewajiban diantara masing-masing pihak. Pihak penyewa mempunyai hak untuk menempati rumah yang disewa dalam suatu waktu tertentu yang telah ditentukan dan berkewajiban membayar sejumlah harga tertentu yang telah diperjanjikan. Pihak pemilik rumah berhak atas pembayaran sejumlah uang tertentu dan berkewajiban menyerahkan rumahnya kepada penyewa untuk masa waktu tertentu. Perjanjian sewa menyewa rumah dianggap sah dan mengikat pada saat tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak.
Ketentuan sewa menyewa rumah diatur dalam berbagai peraturan mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu dalam Bab VII buku II yang mengatur hubungan sewa menyewa. Disamping ketentuan dalam KUHPerdata, pemerintah juga mengatur tentang sewa menyewa perumahan yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 1963 tentang hubungan sewa menyewa perumahan, dan PP No. 17 Tahun 1963 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perumahan serta PP No. 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan Milik.[1]
Seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian konsensual. Artinya, ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.[2] Dimana mereka saling mengikatkan diri untuk memenuhi sesuatu
prestasi, maka timbullah hukum perikatan yaitu suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak yang lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberikan sesuatu.[3]
Seperti dalam hal sewa-menyewa rumah, seorang pemilik rumah (kreditur) dan penyewa rumah (debitur) yang telah melakukan perikatan harus memenuhi prestasi mereka masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati.
Dalam hubungan sewa-menyewa tersebut, sering terjadi dimana prestasi tidak dilakukan oleh salah satu pihak. Perbuatan tersebut dalam istilah hukum dikenal dengan wanprestasi.
Adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan banyak penduduk yang kekurangan tempat tinggal. Disisi lain ada penduduk yang kelebihan tempat tinggal. Bagi mereka yang kelebihan tempat tinggal, mereka menyewakan rumah-rumah tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan. Dengan adanya keadaan yang demikian menyebabkan timbulnya perjanjian sewa menyewa rumah. Perjanjian sewa menyewa ini merupakan perjanjian konsensuil, dimana Undang Undang membedakan antara perjanjian sewa menyewa secara tertulis dan secara lisan. Sewa menyewa secara tertulis berakhir demi hukum “otomatis”, yaitu bila waktu yang ditentukan habis, tanpa diperlukan pemberitahuan pemberhentian. Sedangkan sewa menyewa secara lisan, yaitu jika pihak yang menyewakan memberitahukan pada penyewa bahwa ia akan menghentikan sewanya. Pemberitahuan dilakukan dengan mengindahkan menurut kebiasaan setempat.
Untuk dapat mengusahakan agar setiap warga Negara dapat menikmati perumahan yang layak perlu adanya ketentuan mengenai hubungan sewa menyewa dengan harga sewa yang memberikan perlindungan kepada penyewa maupun yang menyewakan. Maka kemudian ditetapkan peraturan-peraturan tentang penentuan harga sewa, tujuan penggunaan, klasifikasi tempat, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur akibat hukum yang timbul karena tidak berlakunya peraturan-peraturan lama, juga cara-cara menyelesaikannya jika ada sengketa dalam sewa menyewa rumah.[4]
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.” Dengan penekanan pada kata ‘semua’, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa apa saja dan berisi apa saja, sepanjang isi perjanjian tidak melanggar kausa halal dan ketentuan undang-undang yang ada. Selain itu, berdasarkan pasal 1338 ayat (3) KUHPer ditentukan bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Ketentuan ini menghendaki bahwa suatu perjanjian dilaksanakan secara jujur, yakni dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Namun seringkali para pihak tidak memperhatikan ketentuan yang ada di atas, sehingga perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan mengalami hambatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan dalam proposal skripsi ini yang berjudul: “Tinjauan Yuridis Perjanjian Sewa-menyewa Rumah Menurut KUHPerdata”. 

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada di atas maka dapat dikemukakan identifiksasi masalah sebagai berikut:
1.      Kurangnya perhatian para pihak terhadap prosedur sewa menyewa rumah.
2.      Kurangnya perhatian para pihak terhadap hak dan kewajiban dalam perjanjian sewa-menyewa rumah.
3.      Adakalanya para pihak menyimpang dari apa yang diperjanjikan.
4.      Seringkali para pihak dalam membuat perjanjian sewa-menyewa rumah tidak memperhatikan ketentuan dan pembatasan KUHPerdata.

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan dan Identifikasi yang telah dikemukakan diatas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian, yaitu :
1. Bagaimanakah perjanjian sewa menyewa rumah menurut KUHPerdata?
2. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa menyewa  rumah di dalam KUHPerdata?

D. Tujuan Penelitian 
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1.      Untuk mendeskripsikan perjanjian sewa menyewa rumah menurut KUHPerdata.
2.      Untuk mendeskripsikan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa ruman di dalam KUHPerdata.   
3.       
E.     Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
Adapun yang menjadi manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah:
1.      Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu sumbangan sederhana bagi perkembangan pemikiran hukum di Indonesia dan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan yang bermanfaat di bidang hukum, dalam upaya penerapan hukum perjanjian yang sehat, terutama dalam pelaksanaan sewa-menyewa rumah.
2.      Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dan/ atau perbandingan bagi pihak lain yang ingin menerapkan kembali konsep penelitian ini terhadap objek yang sama tetapi terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menuju kearah penelitian yang lebih baik dan lebih sempurna.
     
2.      Manfaat Praktis
1.      Untuk menambah bahan dan masukan informasi pada para pelaku hukum atau penyewa dan pemberi sewa dalam melakukan persiapan sewa-menyewa rumah.
2.      Dan penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya tentang pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa rumah.




BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A.    Kajian Teoritis
Rousseau dengan romantik-nya dalam mengamati pendirian negara dan masyarakat juga dapat kita lihat pada bukunya Du Contrat Social (Perjanjian Sosial). Tulisan ini menggambarkan semangat kembali ke alam pedesaan yang asri, dengan meninggalkan perkotaan, perdagangan, industri, uang, dan kemewahan. Namun, Rousseau tidak asal menolak kota, ia setuju arti kota pada Yunani Kuno. Dalam bukunya, Rousseau berpendapat bahwa dalam mendirikan negara dan masyarakat kontrak sosial sangat dibutuhkan. Namun, Rousseau berpendapat bahwa negara dan masyarakat yang bersumber dari kontrak sosial hanya mungkin terjadi tanpa paksaan. Negara yang disokong oleh kemauan bersama akan menjadikan manusia seperti manusia sempurna dan membebaskan manusia dari ikatan keinginan, nafsu, dan naluri seperti yang mencekamnya dalam keadaan alami. Manusia akan sadar dan tunduk pada hukum yang bersumber dari kemauan bersama. Kemauan bersama yang berkwalitas dapat mengalahkan kepentingan diri, seperti yang menjadi pokok permasalahan pemikiran Hobbes.[5]
Secara umum teori perjanjian negara menganggap bahwa negara itu tercipta adalah dengan persetujuan dari masyarakat. Mereka mengadakan suatu musyawarah untuk membentuk negara dan pemerintahan yang akan mengatur dan menjamin kepentingan individual mereka, sehingga kehidupan mereka secara individual dapat terjamin . Pemerintah dianggap sebagai institusi yang telah disepakati bersama diantara masyarakat dan dipilih dari anggota masyarakat itu sendiri, sehingga secara moral pemerintah ini juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat karena masyarakat tersebutlah yang mengangkat mereka.
Menurut Rousseau bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik sehingga manusia pada saat sebelum adanya negara(state of nature) tetap dapat eksis. Rousseau berpendapat bahwa manusia itu pada hakekatnya baik. Alasan pembentukan negara menurut dia adalah supaya ada kekuatan memaksa yang bersifat legal untuk mempergunakan kekerasan kalau terdapat pengingkaran terhadap hak alamiah manusia itu. Tidak ada satu negara di dunia ini terbukti dalam sejarah dibentuk berdasarkan permufakatan seluruh warga masyarakat dari negara itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori yang telah dikemukakan ini hanyalah berfungsi sebagai alat analisis saja, tanpa pernah terbukti secara empirik.[6]

B.     Kajian Konsepsional
Dengan berdasarkan judul skripsi yaitu: Tinjauan Yuridis Perjanjian Sewa-menyewa Rumah, maka perlu diberikan penjelasan terhadap beberapa istilah pokok yang terdapat dalam judul skripsi tersebut.
B.1. Perihal Perjanjian Secara Umum
1. Pengertian Perjanjian
Pengaturan umum mengenai perjanjian di Indonesia terdapat di dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang Perikatan. Buku III KUHPerdata tersebut menganut sistem terbuka (open system), artinya setiap orang bebas mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, baik perjanjian bernama (nominaat) maupun perjanjian tidak bernama (innominaat), asalkan tidak melanggar
ketertiban umum dan kesusilaan. Sedangkan pasal-pasal dari Hukum Perjanjian yang
terdapat dalam Buku III tersebut merupakan apa yang dinamakan aanvulendrecht
atau hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal dalam Buku III
KUHPerdata boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang
membuat perjanjian.[7]
Kemudian, sistem terbuka dalam KUHPerdata tersebut mengandung suatu asas yang disebut asas kebebasan berkontrak, yang lazimnya disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dan dengan melihat pada Pasal 1319 KUHPerdata maka diakui 2 (dua) macam perjanjian dalam Hukum Perjanjian yaitu Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat.[8] Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perjanjian apa saja, baik yang diatur dalam KUHPerdata (nominaat) dan yang diatur di luar KUHPerdata
(innominaat) tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari Buku III KUHPerdata yang ada dalam Bab I dan Bab II.
Perjanjian nominaat atau perjanjian bernama yaitu perjanjian-perjanjian yang
diatur di dalam Buku III KUHPerdata dari Bab V sampai dengan Bab XVIII, seperti
Perjanjian Jual-Beli, Perjanjian Sewa-Menyewa, Perjanjian Tukar-Menukar, dan sebagainya. Sedangkan, perjanjian innominaat atau perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang terdapat di luar Buku III KUHPerdata, yang timbul, tumbuh, berkembang dalam praktik dan masyarakat, dengan kata lain perjanjian tersebut belum dikenal saat KUHPerdata diundangkan. Timbulnya perjanjian ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.[9]
Subekti memberikan definisi perjanjian adalah sebagai berikut: “Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”. Ia juga menyebutkan bahwa perjanjian juga dinamakan persetujuan karena kedua pihak tersebut itu setuju untuk melakukan sesuatu.[10]
b. 2. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian
Setiap ketentuan hukum mempunyai sistem tersendiri yang berlaku sebagai
asas dalam hukum tersebut. Demikian pula halnya dalam hukum perjanjian, yang
memiliki asas-asas sebagai berikut:
a. Asas Personalia
Asas personalia atau asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian adalah hanya untuk kepentingan perseorangan saja.45 Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata, Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta diterapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.”
b. Asas Konsensualitas
Asas konsesualitas atau asas sepakat adalah asas yang menyatakan bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu timbul atau dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat atau kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas. Asas ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan tanpa menyebutkan harus adanya formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai itu.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract) diatur di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Artinya para pihak diberi kebebasan untuk membuat dan mengatur sendiri isi perjanjian tersebut, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, memenuhi syarat sebagai perjanjian, tidak dilarang oleh Undangundang, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.[11]
d. Asas Kepercayaan.
Suatu perjanjian tidak akan terwujud apabila tidak ada kepercayaan antara para
pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, karena suatu perjanjian menimbulkan suatu akibat hukum bagi para pihak yaitu pemenuhan prestasi dikemudian hari.
e. Asas Kekuatan Mengikat.[12]
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa dipenuhinya syarat sahnya perjanjian maka sejak saat itu pula perjanjian itu mengikat bagi para pihak. Mengikat sebagai Undang-undang berarti pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat tersebut berakibat hukum melanggar Undang-undang.
f. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik ini dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
g. Asas Keseimbangan.[13]
Asas ini menghendaki kedua belah pihak dalam perjanjian memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Salah satu pihak yang memiliki hak untuk menuntut prestasi berhak menuntut pelunasan atas prestasi dari pihak lainnya.
h. Asas Kepatutan dan Kebiasaan.[14]
Asas ini dituangkan di dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa: “Perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang diatur di dalamnya tetapi juga terhadap hal-hal yang menurut sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”
b.3. Syarat Sahnya Perjanjian
Persyaratan suatu perjanjian merupakan hal mendasar yang harus diketahui dan dipahami dengan baik. Suatu perjanjian akan mengikat dan berlaku apabila perjanjian tersebut dibuat dengan sah. Berikut ini akan dibahas mengenai persyaratan yang dituntut oleh Undang-undang bagi perjanjian agar dapat dikatakan sah. Terdapat 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; Dalam tercapainya kata sepakat atau kesepakatan dalam mengadakan perjanjian, kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Artinya, para pihak dalam perjanjian untuk mencapai kata sepakat tersebut tidak dalam keadaan menghadapi tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.[15] Tidak dalam keadaan menghadapi tekanan tersebut dimaksudkan bahwa para pihak dalam mencapai kata sepakat harus terbebas dari kekhilafan (kesesatan), paksaan dan penipuan seperti yang tercantum dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yang berbunyi: “Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang adalah cakap menurut hukum, kecuali jika oleh Undang-undang tidak cakap. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan perempuan yang bersuami. Tetapi pada subjek yang terakhir, yaitu perempuan bersuami telah dihapuskan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, sehingga sekarang kedudukan perempuan yang bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria dan cakap untuk mengadakan perbuatan hukum.
3. Suatu hal tertentu;
Mengenai suatu hal tertentu diatur di dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata. Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, apa yang diperjanjikan atau barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya dan tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata adalah mengenai suatu sebab yang halal. Terkait dengan hal ini, Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tidak mungkin ada suatu persetujuan yang tidak memiliki sebab atau causa, oleh karena causa sebetulnya adalah isi dari persetujuan dan tiap-tiap persetujuan Terhadap dua syarat sahnya perjanjian yang pertama, yaitu syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat perikatan disebut sebagai syarat subyektif. Sebab mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir, yaitu syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan itu.[16]
Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan.
Sedangkan apabila salah satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
b. 4. Hapusnya Perjanjian
Setiap pihak yang membuat perjanjian pastilah menginginkan pelaksanaan isi perjanjian dengan sempurna dan secara sukarela. Namun adakalanya salah satu pihak dalam perjanjian mengingkari terhadap isi dari perjanjian yang telah disepakati bersama tersebut. Terhadap keingkaran dari salah satu pihak memberi hak pada pihak
lain untuk memaksakan pelaksanaan prestasi kepada debitur. Tentunya tidak dengan
cara main hakim sendiri (eagen richting). Umumnya pemaksaan prestasi harus
melalui kekuatan putusan vonis pengadilan.
Setelah perjanjian dilaksanakan maka kemudian akan diakhiri. Berakhirnya
suatu perjanjian dapat disebabkan karena:[17]
a. Ditentukan oleh para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.
c. Karena adanya suatu peristiwa tertentu, misalnya salah satu pihak meninggal
dunia.
d. Karena putusan hakim.
e. Karena tujuan perjanjian telah tercapai.
f. Dengan persetujuan para pihak.
Selanjutnya Subekti menyatakan, bahwa suatu perjanjian akan berakhir apabila:[18]
a. Berakhir dengan sendirinya, apabila jangka waktu perjanjian ini habis.
b. Berakhir sebelum jangka waktu berakhir, apabila:
1. Masing-masing pihak telah memenuhi segala hak dan kewajiban masingmasing
sebelum jangka waktu perjanjian berakhir.
2. Salah satu pihak melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal ini dan atau
menyebabkan kerugian terhadap pihak lain tanpa alasan yang sah. Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut pihak yang dirugikan berhak untuk memutuskan perjanjian secara sepihak.
3. Berlakunya suatu syarat batal. Hapusnya perikatan akibat berlakunya suatu sarat batal dapat terjadi pada perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya didasarkan pada suatu peristiwa yang belum atau tentu terjadi.
4. Lewat waktu (daluwarsa). Lewat waktu atau daluwarsa menurut Pasal 1946 KUHPerdata adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan. Lewat waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa acquisitive, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari perikatan disebut daluwarsa extinctif. Apabila suatu perikatan yang lahirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Sedangkan perikatan yang berakhirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi dinamakan dengan perikatan dengan syarat batal. Pasal 1265 KUHPerdata menentukan apabila syarat batal dipenuhi, maka menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian.
b.5. Perjanjian Sewa Menyewa
Perjanjian sewa menyewa diatur dalam ketentuan Buku Ketiga, Bab Ketujuh, Pasal 1548 sampai Pasal 1600 KUHPerdata. Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai
unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini
berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang
tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk
perjanjian sewa menyewa.[19]
Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata, yang dimaksud dengan sewa
menyewa, adalah: “Sewa menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari
suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga,
yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”.
Apabila dilihat dari isi pasal tersebut tampak bahwa unsur-unsur dalam
perjanjian sewa menyewa adalah sebagai berikut:
1.      Sewa menyewa merupakan perjanjian timbal balik antara para pihak yaitu pihak penyewa dengan yang menyewakan.
2.      Adanya konsensus antara kedua belah pihak.
3.       Obyeknya suatu benda, baik benda bergerak maupun benda tetap untuk diambil manfaatnya.
4.      Dalam tenggang waktu tertentu, artinya tidak dimaksudkan untuk selamanya.
5.      Adanya harga sewa, dalam hal ini tidak harus dibayar sekaligus melainkan asal ada harga sewa yang dibayarkan.
Selain yang diberikan oleh KUHPerdata, beberapa sarjana juga memberikan definisi mengenai sewa menyewa, antara lain:
Subekti memberi definisi sewa menyewa yaitu:
Perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan.[20]
M. Yahya Harahap memberi definisi sewa menyewa adalah: Perjanjian sewa menyewa (huur en venhuur) adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya (volledige genot).”[21]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sewa didefinisikan sebagai
berikut:
1. Pemakaian sesuatu dengan membayar uang.
2. Uang yang dibayarkan karena memakai atau meminjam sesuatu, ongkos, biaya pengangkutan (transport).
3. Yang boleh dipakai setelah dibayar dengan uang.[22]
Sementara menyewa, didefinisikan sebagai memakai (meminjam, mengusahakan, dan sebagainya) dengan membayar uang sewa. Berdasarkan rumusan mengenai sewa menyewa menurut Pasal 1548 KUHPerdata, maka sewa menyewa merupakan:
1. Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa.
2. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa
untuk sepenuhnya dinikmati.
3. Penikmatan berlangsung untuk jangka waktu tertentu dengan pembayaran
sejumlah harga sewa yang tertentu pula.[23]
Kata waktu tertentu dalam urutan Pasal 1548 KUHPerdata tersebut menimbulkan pertanyaan apakah maksudnya itu, sebab dalam sewa menyewa sebenarnya tidak perlu disebutkan untuk berapa lama barang disewakan, asal sudah disetujui berapa harga sewanya untuk satu, jam, satu hari, satu bulan, atau satu tahun.
Ada yang menafsirkan bahwa maksudnya tidak lain daripada untuk mengemukakan
bahwa pembuat Undang-undang memang memikirkan pada perjanjian sewa menyewa dimana waktu sewa ditentukan, misalnya untuk enam bulan, untuk dua tahun, dan sebagainya.
Pasal 1548 KUHPerdata menggunakan istilah sewa menyewa (huur en verhuur). Perkataan tersebut seolah-olah memberikan pengertian yang sama, yang dapat menimbulkan salah pengertian seolah-o1ah para pihak saling sewa menyewakan antara mereka. Padahal sebenarnya tidak demikian, yang benar-benar
terjadi adalah satu pihak menyewakan barang kepada pihak penyewa, dan si penyewa
membayar sejumlah harga atas barang yang disewakan. Dengan perkataan lain, hanya sepihak saja yang menyewakan dan bukan saling sewa menyewakan antara mereka.
Karena itu, yang dimaksud dengan sewa menyewa dalam Pasal 1548 KUHPerdata tersebut tiada lain ialah persewaan saja. Itulah sebabnya dalam beberapa
pasal yang lain, persetujuan sewa menyewa ini hanya disebut dengan istilah “sewa”
(huur), seperti pada Pasal 1501 dan Pasal 1570 KUHPerdata.
Menurut Pasal 772 KUHPerdata bahwa mengizinkan seseorang yang mempunyai hak memungut hasil (Vruchtgebruik) atas suatu barang, untuk menyewakan suatu barang tersebut, sedangkan menurut Pasal 823 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Pemakai tidak diperbolehkan menyerahkan atau menyewakan
haknya kepada orang lain”.
Perjanjian sewa menyewa meliputi perbuatan dua pihak secara timbal balik, yaitu pihak pemilik benda sebagai pihak yang menyewakan, dan pihak pemakai benda sebagai penyewa. Perjanjian sewa menyewa diawali oleh perbuatan pihak yang
menyewakan lebih dahulu, kemudian baru perbuatan pihak penyewa. Sejalan dengan ketentuan diatas, menurut Pasal 827 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa: “Hak mendiami tak boleh diserahkan atau disewakan kepada orang lain”. Karena pada hakekatnya didalam perjanjian sewa-menyewa itu yang berhak untuk menikmati dan mempunyai hak untuk memungut hasil sesuatu barang yang mana menjadi obyek dari sewa menyewa tersebut ialah pihak yang secara langsung menyewa barang tersebut kepada pihak pemilik barang yang menyewakan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1550 KUHPerdata menyebutkan tentang kewajiban dari pihak yang menyewakan barang, yakni: Pihak yang menyewakan karena sifat persetujuan dan tanpa perlu adanya suatu janji, wajib untuk:
1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa
2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat
dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan
3. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram daripada barang yang
disewakan selama berlangsungnya sewa.
Mengenai kewajiban yang pertama, yakni kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada pihak penyewa, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1551 KUHPerdata, yang menyewakan harus menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan yang sebaik-baiknya.
Mengenai penyerahan benda pada persetujuan sewa menyewa adalah penyerahan nyata atau sering disebut penyerahan secara deliverence. Penyerahan nyata yang dimaksud dalam sewa menyewa ini dapat dipersamakan dengan pengertian penyerahan nyata dalam persetujuan jual beli. Yang menyerahkan harus melakukan tindakan pengosongan serta menentukan barang yang disewa, karena dalam sewa menyewa pihak yang menyewakan wajib melakukan penyerahan nyata
dan tidak bisa dituntut untuk melakukan penyerahan yuridis (yuridische levering). Hal ini juga sesuai dengan kedudukan si penyewa atas barang yang disewa. Penyewa
bukan sebagai pemilik, dan tidak perlu menjadi seorang bezitter.
Kewajiban yang kedua adalah kewajiban untuk memelihara dan melakukan perbaikan atau reparasi selama perjanjian sewa menyewa masih berjalan sehingga barang yang disewa tetap dapat dipakai dan dipergunakan sesuai dengan yang dikehendaki pihak penyewa, kecuali reparasi kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1551 ayat 2 KUHPerdata yaitu “ia harus selama waktu sewa menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan, yang perlu dilakukan, terkecuali pembetulan-pembetulan yang menjadi wajibnya si penyewa.”
Sehingga selama perjanjian sewa menyewa masih berlangsung maka pemeliharaan dan perbaikan menjadi kewajiban pihak yang menyewakan. Reparasi dan pemeliharaan berat menjadi kewajiban pihak yang menyewakan, sedangkan reparasi kecil sebagai akibat kerusakan pemakaian normal atas barang yang disewa dibebankan kepada pihak penyewa. Pemeliharaan ini berlangsung sejak dimulainya
perjanjian sewa menyewa sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.
Kewajiban pemeliharaan dan reparasi atas barang yang disewa harus dipenuhi
oleh pihak yang menyewakan. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi maka dapat dianggap melakukan wanprestasi. Suatu reparasi pemeliharaan yang betul-betul dibutuhkan merupakan suatu kewajiban positif bagi pihak yang menyewakan. Pasal 1555 ayat 1 KUHPerdata mewajibkan si penyewa untuk memperbolehkan pihak yang menyewakan melakukan reparasi yang betul-betul tidak dapat ditangguhkan sampai sewa menyewa berakhir.
Meskipun si penyewa wajib memperbolehkan dilakukannya reparasi, namun
Pasal 1555 ayat 2 dan ayat 3 KUHPerdata melindungi kcepentingan si penyewa terhadap reparasi yang dilakukan. Dalam Pasal 1555 ayat 2 KUHPerdata disebutkan
bahwa harga sewa harus dikurangi menurut imbangan waktu dari bagian barang yang
tidak dapat dipakai oleh si penyewa selama reparasi berlangsung, dengan syarat bahwa reparasi tersebut berlangsung lebih dari 40 hari.
Menurut Pasal 1555 ayat 3 KUHPerdata disebutkan bahwa apabila reparasi
menyebabkan barang yang disewa itu tidak dapat di diami oleh si penyewa dan keluarganya, maka si penyewa dapat memutuskan sewanya. Akan tetapi pasal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memutuskan hubungan sewa menyewa apabila reparasi hanya untuk sebagian dari barang yang disewa dan bagian selebihnya secara pantas masih dapat dipergunakan oleh si penyewa.
Sedangkan didalam ketentuan Pasal 1560 KUHPerdata menyebutkan tentang
kewajiban dari pihak penyewa barang, yaitu: Si penyewa harus menepati dua kewajiban utama:
1. Untuk memakai barang yang disewa sebaga i seorang bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada suatu perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan;
2. Untuk membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban membayar suatu kewajiban apapun, maka yang terjadi, adalah suatu perjanjian pinjam pakai. Jika si pemakai barang diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam pakai yang terjadi, tetapi sewa menyewa.[24]
b.6. Pelaksanaan Perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang Undang Hukum Perdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar, yaitu harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satu memperoleh hak milik ialah jual beli. Pembeli yang beritikad baik adalah orang yang jujur, bersih karena ia tidak mengetahui tentang adanya cacat yang melekat pada itu, hal ini merupakan itikad baik sebagai unsure subjektif.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
b.7. Macam - macam perjanjian
Macam perjanjian obligator dimana terdapat jenis-jenisnya sebagai berikut:
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban.  Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Contoh : perjanjian pinjam pakai. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil. Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.  Contoh : perjanjian perdamaian, perjanjian damai. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
Contoh: penitipan Pasal 1694, pinjam pakai Pasal 1740, pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata.
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran. Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA, dalam KUHD misalnya perjanjian asuransi dan pengangkutan. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.




BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
“Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research).”[25] Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.”[26]
“Penelitian tipe ini lazim disebut sebagai “studi dogmatik” atau yang dikenal dengan doctrinal research.”[27] “Penelitian tipe doktrinal (doctrinal research) adalah mirip dengan tipe penelitian hukum normatif.”[28] “Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik.”[29] “Dogmatik hukum bersifat teoritis-rasional, sehingga pengungkapannya terikat pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika deduktif. Disamping itu, maka dogmatik hukum memperhitungkan kecermatan, ketetapan dan kejelasan.”[30] “Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research) ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka.”[31] Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan tersebut mencakup:
1.      Penelitian terhadap asas-asas hukum
2.      Penelitian terhadap sitematik hukum
3.      Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4.      Perbandingan hukum
5.      Sejarah hukum.[32]

B. Data dan Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data sekunder berdasarkan studi pustaka / studi literatur (library research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan antara:
1.      Bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang terdiri dari:
a.    Norma dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule) UUD 1945;
b.   Undang-Undang Dasar 1945
c.    Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
2.    Bahan hukum sekunder yaitu yang memberi Penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian, makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.    Bahan hukum Tertier
Yaitu Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri
a. Kamus hukum
b. Kamus bahasa Indonesia
c. Kamus Bahasa Inggris
d. Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat kabar , jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya ).[33]

C. Lagkah-Langkah Penelitian
1. Pengumpulan Data[34]
Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan, studi dokumen, dan studi catatan hukum.[35] Kepustakaan yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, buku karya tulis bidang hukum.
Kegiatan studi kepustakaan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.       Penentuan sumber data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier), berupa perundang-undangan, literatur di bidang ilmu pengetahuan hukum, dan kamus.
b.      Identifikasi data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier) yang diperlukan, yaitu proses mencari dan menemukan bahan hukum berupa ketentuan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan; judul buku, nama pengarang, cetakan, kota penerbit, penerbit, tahun terbit dan nomor halaman karya tulis bidang hukum.
c.       Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah (pokok bahasan atau subpokok bahasan), dengan cara pengutipan atau pencatatan.
d.      Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.[36]

2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
a.       Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah/variabel penelitian.
b.      Penandaan data (coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan, atau dokumen); pemegang hak cipta (penulis, tahun penerbitan); atau rumusan masalah/variabel penelitian (masalah pertama tanda A, masalah kedua tanda B, dan seterusnya).
c.       Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis mehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.
d.      Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah/variabel penelitian.[37]


3. Analisis Data dan Pembahasan
Menurut Abdulkadir Muhammad, “Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: (1) Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; (2) Data yang terkumpul umumnya berupa informasi; (3) Hubungan antara variabel tidak dapat diukur dengan angka ….”[38]
Kemudian menurut Hilman Hadikusuma, “penelitian yang hanya melakukan studi kepustakaan (data sekunder) tanpa melakukan penelitian lapangan (data primer). Laporan skripsi itu akan hanya bersifat deskripsi analitis berdasarkan pendekatan masalah yang bersifat normatif-jurudis.”[39]
Penelitian ini juga memusatkan perhatiannya pada hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang abstrak, hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan perundang-undangan. Menurut Bambang Sunggono, “Pemusatan perhatian yang demikian ini akan membawa kepada penggunaan metode normatif dalam menggarap hukum. Sesuai dengan cara pembahasan yang bersifat analitis, maka metode ini disebut sebagai normatif analitis.”[40]
Menurut Dengan demikian, analisis data dilakukan secara kualitatif, konprehensif, dan lengkap. Analisis kualitatif artinya menuraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Konprehensif artinya analisis data dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlewatkan atau terlupakan, semuanya masuk dalam analisis.




BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.  PERJANJIAN SEWA MENYEWAH RUMAH MENURUT KUHPerdata.
Tinjauan Tentang Sewa Menyewa Rumah Menurut KUHPerdata

Sewa menyewa ialah suatu persetujuan dalam pihak yang satu menyanggupkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan kepada pihak yang lain agar pihak ini dapat menikmatinya buat suatu jangka waktu tertentu pula, uang muka mana pihak yang belakangan ini sanggup membayarnya. (Subekti. 2000: 100).[41]
Sewa menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh suatu pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.
Rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal, atau bangunan pada
umumnya (seperti gedung,dsb). Pengertian Rumah menurut UUPP No. 4 tahun 1992, adalah selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk berlindung dari gangguan iklim atau mahluk hidup lainnya, rumah juga merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga, dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan, tentram.
Sewa menyewa rumah adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan suatu rumah, selama suatu waktu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. (Pasal 1548 Kitab Undang Undang Hukum Perdata).
Perjanjian sewa menyewa rumah merupakan suatu perjanjian konsensuil yang artinya sudah sah apabila telah ada kesepakatan mengenai
unsur pokoknya yaitu rumah dan harga sewa. Perjanjian sewa menyewa bertujuan untuk memberikan hak kebendaan, tapi hanya memberikan hak perseorangan terhadap orang yang menyewakan rumah untuk dinikmati dan
bukannya hak milik atas rumah.
Subyek dari perjanjian adalah para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa yaitu pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan rumah kepada pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa rumah dari pihak yang menyewakan. Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa menyewa adalah rumah dan harga. Dengan syarat rumah yang disewakan adalah rumah yang halal, artinya tidak bertentangan dengan Undang Undang , ketertiban, dan kesusilaan.[42]
Meskipun sewa menyewa rumah adalah suatu perjanjian konsensuil, namun oleh Undang Undang diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara perjanjian sewa menyewa rumah secara tertulis dan sewa menyewa secara lisan. Jika perjanjian sewa menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa menyewa rumah berakhir demi hukum atau (otomatis), apabila waktu  yang ditentukan telah habis, maka tanpa diperlukan sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu. Sebaliknya sewa menyewa rumah itu dibuat dengan lisan, maka sewa menyewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan harus memberitahukan kepada penyewa bahwa ia akan menghentikan sewanya. Pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa menyewa diperpanjang untuk waktu yang sama.
Meskipun waktunya telah ditentukan tetapi tidak dibuat secara tertulis maka perjanjian sewa menyewa rumah tidak berakhir tepat pada waktunya. Berakhirnya perjanjian sewa menyewa rumah setelah ada pemberitahuan dari salah satu pihak yang hendak mengakhirinya sewa menyewa tersebut. Sedangkan perjanjian sewa menyewa rumah baik tertulis atau tidak tertulis mengenai waktunya tidak ditentukan maka penghentiannya dan berakhirnya sewa menyewa rumah berjalan sampai saat yang dianggap pantas oleh kedua belah pihak. Pihak yang menyewakan tidak boleh mengakhiri sewa atas alasan mau dipakai sendiri rumah yang disewakan, kecuali ditentukan lebih dahulu dalam perjanjian (Pasal 1579 KUHPerdata).
Berdasarkan Pasal 1548 KUHPerdata Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.
Kemudian Pasal 1550 KUHPerdata menegaskan pihak yang menyewakan karena sifat persetujuan dan tanpa perlu adanya suatu janji, wajib untuk;
1.      menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa;
2.      memelihara barang itu sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud;
3.       memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang disewakan itu dengan tenteram selama berlangsungnya sewa.
Pasal 1551 KUHPerdata mengatakn Pihak yang menyewakan wajib untuk menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segala-galanya. Selama waktu sewa, ia harus menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan yang perlu dilakukan pada barang yang disewakan, kecuali pembentukan yang menjadi kewajiban penyewa. Selain itu juga pihak yang menyewakan harus menanggung penyewa terhadap semua cacat barang yang disewakan yang merintangi pemakaian barang itu, meskipun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuat persetujuan sewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan suatu kerugian bagi penyewa, maka pihak yang menyewakan wajib memberikan ganti rugi. (Pasal 1552 KUHPerdata). Kemudian jika barang yang disewakan musnah sama sekali dalam masa sewa karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barang yang bersangkutan hanya sebagian musnah, maka penyewa dapat memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga atau akan meminta pembatalan persetujuan sewa, tetapi dalam kedua hal itu ia tidak berhak atas ganti rugi. (Pasal 1553 KUHPerdata). Selama masa sewa berlangsung Pihak yang menyewakan tidak diperkenankan selama waktu sewa, mengubah bentuk atau susunan barang yang disewakan. (Pasal 1554 KUHPerdata). Jika dalam masa sewa pada barang yang disewakan itu terpaksa diadakan pembetulan-pembetulan yang tidak dapat ditunda sampai berakhirnya masa sewa, maka penyewa harus menerimanya betapapun beratnya kesusahan yang disebabkannya, dan meskipun selama dilakukannya pembetulan-pembetulan itu ia terpaksa kehilangan sebagian dari barang yang disewakan. (Pasal 1555 KUHPerdata), tetapi jika pembetulan-pembetulan itu berlangsung lebih lama dari empat puluh hari, maka harga sewa harus dikurangi menurut banyaknya waktu yang tersita dan bagian barang sewa yang tidak dapat dipakai oleh penyewa. Jika pembetulan-pembetulan sedemikian rupa sifatnya, sehingga barang sewa yang perlu ditempati oleh penyewa dan keluarganya tak dapat didiami, maka penyewa dapat memutuskan sewanya. Selain itu Pihak yang menyewakan tidak wajib menjamin penyewa terhadap rintangan dalam merintangi dalam menikmati barang sewa yang dilakukan oleh pihak ketiga tanpa berdasarkan suatu hak atas barang sewa itu, hal ini tidak mengurangi hak penyewa untuk menuntut sendiri orang itu. (Pasal 1556 KUHPerdarta). Jika sebaliknya penyewa diganggu dalam kenikmatannya karena suatu tuntutan hukum mengenai hak milik atas barang yang bersangkutan, maka ia berhak menuntut pengurangan harga sewa menurut perimbangan, asal gangguan atau rintangan itu telah diberitahukan secara sah kepada pemilik. (Pasal 1557 KUHPerdata). Jika orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut menyatakan bahwa mereka mempunyai suatu hak atas barang yang disewakan, atau jika penyewa sendiri digugat untuk mengosongkan seluruh atau sebagian dari barang yang disewa atau untuk menerima pelaksanaan pengabdian pekarangan, maka ia wajib memberitahukan hal itu kepada pihak yang menyewakan dan dapat memanggil pihak tersebut sebagai penanggung. Bahkan ia dapat menuntut supaya ia dikeluarkan dari perkara, asal ia menunjuk untuk siapa ia menguasai barang yang bersangkutan. Dan selama masa sewa berlangsung penyewa, jika tidak diizinkan, tidak boleh menyalahgunakan barang yang disewanya atau melepaskan sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan persetujuan sewa dan penggantian biaya, kerugian dan bunga sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak wajib menaati persetujuan ulang sewa itu. Jika yang disewa itu berupa sebuah rumah yang didiami sendiri oleh penyewa, maka dapatlah ia atas tanggung jawab sendiri menyewakan sebagian kepada orang lain jika hak itu tidak dilarang dalam persetujuan. (Pasal 1559 KUHPerdata).
Dalam Pasal 1560. Penyewa harus menepati dua kewajiban utama:
1.      memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sesuai dengan tujuan barang itu menurut persetujuan sewa atau jika tidak ada persetujuan mengenai hal itu, sesuai dengan tujuan barang itu menurut persangkaan menyangkut keadaan;
2.      membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan.
Jika penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu keperluan lain dari yang menjadi tujuannya, atau untuk suatu keperluan yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi pihak yang menyewakan maka pihak ini, menurut keadaan dapat meminta pembatalan sewa. (Pasal 1561). Jika antara pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa telah dibuat suatu pertelaan tentang barang yang disewakan, maka pihak yang belakangan ini wajib mengembalikan barang itu dalam keadaan seperti waktu barang itu diterima menurut pertelaan tersebut kecuali yang telah musnah atau berkurang harganya sebagai akibat dari tuanya barang atau sebagai akibat dari kejadian-kejadian yang tak disengaja dan tak dapat dihindarkan. (Pasal 1562). Jika tidak dibuat suatu pertelaan maka penyewa, mengenai pemeliharaan yang menjadi beban para penyewa, dianggap telah menerima barang yang disewa itu dalam keadaan baik, kecuali jika dibuktikan sebaliknya dan ia harus mengembalikan barang itu dalam keadaan yang sama. (Pasal 1563).
Seringkali selama masa sewa berlangsung terjadi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan baik itu secara sengsaja ataupun tidak sengaja sehingga membuat barang sewaan itu rusak dan hal ini mengakibatkan kerugian bagi pihak yang menyewakan, untuk mengantisipasi hal yang demikian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan suatu jaminan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1564, berbunyi Penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan pada barang yang disewakan selama waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya, akan tetapi ia tidak bertanggung jawab atas kebakaran, kecuali jika pihak yang menyewakan membuktikan bahwa kebakaran itu disebabkan oleh kesalahan penyewa. (Pasal 1565).
Dalam praktek seringkali terjdi kerusakan terhadap barang-barang sewaan yang bukan karena kesalahan dari pihak penyewa melainkan karena kesalahan dari orang yang ada di dalam rumah seperti misalnya teman-teman serumah, sehingga pihak penyewa mengatakan bahwa dia tidak mau memberikan ganti rugi atas barang sewaan yang sudah rusak tersebut. Untuk meghadapi masalah seperti ini Pasal 1566. KUHPerdata memberikan jaminan hukum yaitu “Penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan pada barang sewa oleh teman-temannya serumah, atau oleh mereka yang mengambil alih sewanya”.
Permasalahan lain juga timbul dalam sewa menyewa rumah yang sering terjadi yaitu pada saat masa sewa rumah berlangsung si penyewa yang sebelumnya tidak memiliki fasilitas untuk garasi mobil atau fasilitas lainya, sehingga ia memutuskan untuk membuatnya dengan menggunakan biaya sendiri. Dan setelah berakhirnya masa sewa menyewa rumah si penyewa ingin membawa semua fasilitas yang ada namun seringkali si pihak yang menyewakan melarang sehinngga terjadi perbedaan pendapat yang menimbulkan pertengkaran. Untuk mengatasi masalah ini Pasal 1567 KUHPerdata memberikan solusi yaitu “Pada waktu mengosongkan barang yang disewa, penyewa boleh membongkar dan membawa segala sesuatu yang dengan biaya sendri telah dibuat pada barang yang disewa asal pembongkaran dan pembawaan itu dilakukan tanpa merusak barang yang disewa”.
Jika terjadi perselisihan tentang harga sewa yang dibuat secara lisan dan sudah dijalankan, sedangkan tanda bukti pembayaran tidak ada, maka pihak yang menyewakan harus dipercaya atas sumpahnya kecuali bila penyewa memilih untuk menyuruh para ahli menaksir harga sewa. (Pasal 1569). Tidak hanya itu juga jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum bila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukan suatu pemberhentian untuk itu. (1570), kemudian jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan setelah salah satu pihak memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. (1571). Tidak hanya itu juga jika pihak yang satu.telah memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia berhak menghentikan sewanya, maka penyewa meskipun ia tetap menikmati barang yang bersangkutan, tidak dapat mengemukakan adanya suatu penyewa ulang secara diam-diam. (Pasal 1572). Jika setelah berakhir suatu penyewaan yang dibuat secara tertulis, penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan menguasainya, maka terjadilah suatu sewa baru, yang akibat-akibatnya diatur dalam Pasal-pasal mengenai penyewaan secara lisan. (Pasal 1573). Dalam hal kedua pasal tersebut di atas, penanggungan utang yang dibuat untuk penyewaan tidak meliputi kewajiban yang terjadi akibat perpanjangan sewa. (Pasa 1574). Persetujuan sewa sekali-kali tidak hapus dengan meninggalnya pihak yang menyewakan ataupun pihak yang menyewa. (Pasal 1575). Dalam Pasal 1576 berbuny “Dengan dijualnya barang yang disewa, sewa yang dibuat sebelumnya tidak diputuskan kecuali bila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang. Jika ada suatu perjanjian demikian, penyewa tidak berhak menuntut ganti rugi bila tidak ada suatu perjanjian yang tegas, tetapi jika ada perjanjian demikian, maka ia tidak wajib mengosongkan barang yang disewa selama ganti rugi yang terutang belum dilunasi.
Pasal 1577 menegaskan Pembeli dengan perjanjian membeli kembali tidak dapat menggunakan wewenangnya untuk memaksa penyewa mengosongkan barang yang disewa, sebelum ia menjadi pemilik mutlak dengan lewatnya tenggang waktu yang ditentukan untuk pembelian kembali. Kemudian dalam Pasal 1578. “Seorang pembeli yang hendak menggunakan wewenangnya yang diperjanjikan dalam persetujuan sewa, untuk memaksa penyewa mengosongkan barang sewa jika barangnya dijual, wajib memperingatkan penyewa sekian lama sebelumnya, sebagaimana diharuskan oleh adat setempat mengenai penghentian sewa. Dalam hal sewa tanah, peringatan tersebut harus disampaikan sedikitnya satu tahun sebelum pengosongan. Tidak hanya itu juga dalam Pasal 1579.Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya. Pasal 1580. “Jika dalam persetujuan sewa telah disetujui bahwa pihak yang menyewakan akan berhak memakai sendiri rumah atau tanah yang disewakan maka ia wajib memberitahukan kehendaknya untuk menghentikan sewa sekian lama sebelumnya. sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1578.
Dalam Pasal 1581 KUHPerdataPenyewa yang tidak melengkapi sebuah sewa rumah dengan perabot rumah secukupnya. dapat dipaksa untuk mengosongkan rumah itu kecuali bila ia memberikan cukup jaminan untuk pembayaran uang sewa”.
Pasal 1582. “Seorang penyewa kedua tidak wajib membayar kepada pemilik lebih dari jumlah harga sewa kedua yang masih terutang kepada penyewa pertama pada waktu dilakukan suatu penyitaan. dan ia tak boleh mengajukan pembayaran yang dilakukan sebelumnya. kecuali jika pembayaran itu dilakukan menurut suatu perjanjian yang dinyatakan dalam persetujuan sewa itu atau menurut kebiasaan setempat”.
Kemudian dalam Pasal 1583.Pembetulan-pembetulan kecil sehari-hari, dipikul oleh penyewa. Jika tidak ada persetujuan mengenai hal itu maka dianggap demikianlah pembetulan pada lemari toko, daun jendela, kunci dalam, kaca jendela, baik di dalam maupun di luar rumah dan segala sesuatu yang dianggap termasuk itu, menurut kebiasaan setempat. Meskipun demikian, pembetulan-pembetulan itu harus dipikul oleh pihak yang menyewakan bila pembetulan itu terpaksa dilakukan karena kerusakan barang yang disewa atau karena keadaan yang memaksa”. Pasal 1584. Menjaga kebersihan sumur, kolam air hujan, dan tempat buang air besar dibebankan kepada pihak yang menyewakan, jika tidak diperjanjikan sebaliknya. Menjaga kebersihan asap, jika tidak ada perjanjian dibebankan kepada pihak yang menyewa. Pasal 1585. Sewa mebel untuk melengkapi sebuah rumah, tempat kediaman, toko atau ruangan lainnya, harus dianggap telah dibuat untuk jangka waktu penyewaan rumah, tempat kediaman, toko atau ruangan menurut kebiasaan setempat. Pasal 1586. Penyewaan kamar yang dilengkapi dengan mebel harus dianggap telah dilakukan untuk tahunan, bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap tahun; untuk bulanan, bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap bulan; untuk harian, bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap hari. Jika tidak ternyata bahwa penyewaan dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap tahun, tiap bulan atau tiap hari, maka penyewaan dianggap telah dibuat menurut kebiasaan setempat.
Pasal 1587. Jika penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu yang ditentukan dalam suatu persetujuan tertulis, tetap menguasai barang sewa, sedangkan pihak yang menyewakan tidak melawannya maka dianggaplah bahwa penyewa tetap menguasai barang yang disewanya atas dasar syarat-syarat yang sama untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat, dan ia tidak dapat meninggalkan barang sewa atau dikeluarkan dari situ, kecuali sesudah ada pemberitahuan tentang penghentian sewa, yang dilakukan menurut kebiasaan.
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, dalam ketentuan waktu dan harga tertentu. Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya (Pasal 1548 KUH Perdata). Perjanjian sewa menyewa dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan, perjanjian ini akan mengikat serta sah pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu barang dan harga. Perjanjian sewa menyewa yang dilakukan secara tertulis masa sewanya berakhir secara otomatis apabila waktu yang telah ditentukan telah habis tanpa diperlukan pemberitahuan pemberhentian terhadapnya (Pasal 1570 KUH Perdata), dan bila perjanjian sewa menyewa dilakukan secara lisan maka perjanjian berakhir pada saat pihak yang menyewakan memberitahu kepada pihak penyewa bahwa si pemberi sewa akan menghentikan sewanya. Pemberitahuan dalam perjanjian ini sangat penting dikarenakan terkait dengan jangka waktu, karena jika tidak ada sebuah pemberitahuan maka sewa tersebut dianggap telah diperpanjang (Pasal 1571 KUH Perdata). Perjanjian sewa menyewa yakni merupakan perjanjian yang sederhana, dapat dibuat sendiri (akta bawah tangan) atau dibuat dihadapan notaril (akta notariil), adapun klausula penting yang harus ada dalam perjanjian ini adalah sebagai berikut:
  1. Subjek perjanjian atau para pihak, yaitu si penyewa dan pihak yang menyewakan;
  2. Objek yang diperjanjikan, yaitu rumah yang disewakan dengan penjelasan detail mengenai letak, luas, barang serta fasilitas yang ada dalam rumah tersebut;
  3. Jangka waktu sewa menyewa, yaitu waktu dimulainya sewa dan kapan sewa menyewa berakhir, apakah dapat diperpanjang secara otomatis atau harus terdapat persetujuan terlebih dahulu dari pihak yang menyewakan;
  4. Harga sewa serta cara pembayaran sewa tersebut;
  5. Tanggung jawab atas fasilitas yang ada, seperti pembayaran listrik, air, telepon, ataupun bilamana terjadi kerusakan dan perbaikan pada rumah yang ditempati selama masa sewa;
  6. Larangan kepada pihak penyewa untuk menyewakan kembali bangunan yang disewa kepada pihak ketiga tanpa ijin atau persetujuan dari pihak yang menyewakan serta larangan untuk mengubah bentuk bangunan tanpa ijin tertulis dari pemilik asli;
  7. Syarat-syarat yang membatalkan perjanjian seperti jika terjadi keadaan kahar (force majeur) contoh gempa, banjir, perang dan sebagainya; dan
  8. Ketentuan terhadap mekanisme penyelesaian bilamana terjadi perselisihan, ada yang menggunakan mekanisme musyawarah untuk mufakat atau dengan menunjuk pengadilan negeri dimana objek sewa berada.
B.  HAK DAN KEWAJIBAN SEWA MENYEWAH RUMAH MENURUT KUHPerdata.
Perjanjian sewa menyewa merupakan salah satu perjanjian bernama yaitu perjanjian yang tercantum dan diatur dalam KUHPerdata yang terdiri dari Perjanjian Jual Beli, Perjanjian Tukar Menukar, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan, Perjanjian Persekutuan, Perjanjian Perkumpulan, Perjanjian Penitipan Barang, Perjanjian Pinjam Pakai dan Perjanjian Pinjam Meminjam. Seperti halnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian yang memperoleh pengaturan yang terperinci dari dalam KUHPerdata.
Apabila perjanjian jual beli memerlukan pengaturan yang terperinci karena berkaitan dengan peralihan kepemilikan sehingga terdapat banyak permasalahan hukum yang mungkin timbul, perjanjian sewa menyewa berkaitan dengan beralihnya penggunaan manfaat selama jangka waktu tertentu, sehingga akan banyak menimbulkan permasalahan hukum yang berkaitan dengan benda yang diperjanjikan selama perjanjian berjalan dan saat berakhirnya perjanjian.
Perbedaan dengan perjanjian jual beli adalah dalam sewa menyewa tidak ada penyerahan dalam arti pengalihan hak milik, yang terjadi adalah penyerahan kekuasaan atas suatu barang untuk dinikmati penyewa. Oleh karena itu, tidak dituntut atau tidak dipersyaratkan bahwa yang menyerahkan barang harus pemilik barang, sebagaimana halnya dalam perjanjian jual beli atau tukar menukar. Jadi, meskipun seseorang hanya mempunyai “hak menikmati hasil” atas suatu barang dan “bukan pemilik”, yang bersangkutan sudah dapat secara sah menyewakan barang terkecuali hak menikmati hasil yang ditimbulkan dari sewa menyewa itu sendiri tanpa adanya ijin dari yang menyewakan atau perjanjian untuk sewa yang ditentukan oleh Undangundang, seperti diperbolehkannya penyewa rumah untuk menyewakan ulang sebagian rumah yang disewanya.
KUHPerdata menempatkan pengaturan terhadap sewa menyewa pada Bab Ketujuh tentang Sewa Menyewa yang merupakan bagian dari Buku Ketiga tentang Perikatan. Bab tersebut dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu sebagai berikut:[43]
1.    Bagian Kesatu, tentang Ketentuan Umum. Bagian ini terdiri dari 2 Pasal, yaitu Pasal 1548, 1549. Pasal 1547 dihapus.
2.     Bagian Kedua, tentang aturan-aturan yang sama-sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan penyewaan tanah. Bagian ini terdiri dari 30 Pasal, yaitu Pasal 1550 sampai dengan Pasal 1580. Pasal 1568 dihapus.
3.     Bagian Ketiga, tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa rumah dan perabot rumah. Bagian ini terdini dari 7 Pasal, yaitu Pasal 1581 sampai dengan Pasal 1587.
4.    Sitohang, Ikhtisar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Kudamas Intra Asia, 1989, hal.18
5.    Bagian keempat, tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa tanah.
Bagian ini terdiri dari 13 Pasal, yaitu Pasal 1588 sampai dengan Pasal 1600.
Pada intinya, ketentuan pada KUHPerdata tentang sewa menyewa tersebut,
dapat diuraikan menjadi beberapa bagian yaitu:
1. Jenis barang yang dapat disewakan
Sebagai objek perjanjian jenis barang yang disewakan tidak dibatasi jenisnya. Tidak hanya benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan tetapi juga bendabenda bergerak seperti dinyatakan pada Pasal 1549 KUHPerdata alinea terakhir yang masih diberlakukan yaitu; “Semua jenis barang, baik yang tak bergerak, baik yang bergerak dapat disewakan”. Dalam perkembangannya, sewa menyewa tidak hanya sekedar untuk barangbarang yang tidak termanfaatkan oleh pemiliknya, tetapi saat ini telah menjadi lapangan bisnis dari mulai berskala kecil sampai skala besar.
2. Kewajiban Pihak yang Menyewakan
Dinyatakan atau tidak dinyatakan dalam klausul perjanjian sewa menyewa, pihak yang menyewakan berkewajiban untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.    Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa (Pasal 1550 ayat 1 KUHPerdata).
2.    Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550 ayat 2 KUH Perdata).
3.    Memberikan si penyewa kenikmatan yang tentram atas barang yang disewakan, selama berlangsungnya sewa menyewa (Pasal 1550 ayat 3 KUHPerdata).
4.    Menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segalagalanya selama waktu sewa, menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan yang perlu dilakukan, kecuali pembetulanpembetulan yang menjadi kewajiban si penyewa (Pasal 1551 KUHPerdata).
5.    Menanggung si penyewa terhadap semua cacat atas barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang, walaupun pihak yang menyewakan tidak mengetahuinya pada waktu perjanjian sewa itu dibuat. Jika cacat itu telah mengakibatkan suatu kerugian bagi si penyewa, kepada pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti rugi (Pasal 1552 KUHPerdata).
6.    Menjamin si penyewa dari gangguan pihak ketiga yang diakibatkan oleh tuntutan hak terhadap barang yang disewakan. Untuk hal si penyewa dapat menuntut pengurangan harga sewa sesuai dengan imbangan akibatnya. Gangguan dari pihak ketiga yang tidak berhubungan dengan pihak yang menyewakan bukan merupakan tanggungannya (Pasal 1556 dan 1557 KUHPerdata
Berdasarkan Pasal 1554 dan 1555 KUHPerdata diatur ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a.       Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya.
b.      Pihak yang menyewakan tidak diperkenankan selama waktu sewa, untuk mengubah wujud maupun susunan letak barang yang disewakan kecuali apabila selama waktu sewa terpaksa harus diadakan pembetulan-pembetulan atas barang sewa yang tidak mungkin menunggu sampai berakhirnya waktu sewa yang dalam hal ini si penyewa harus menerimanya. Namun apabila pembetulan itu berlangsung lebih lama dan empat puluh hari harga sewa harus dikurangi menurut imbangan waktu dan bagian dari barang yang disewakan yang tidak dapat dipakai oleh si penyewa. Apabila berakibat pembetulan itu sampai tidak bisa ditempati oleh si penyewa dan keluarganya, si penyewa dapat memutuskan sewanya.
Dalam perjanjian sewa menyewa terdapat hak dan kewajiban para pihak antara lain yaitu hak penyewa rumah, adalah sebagai berikut :
1). Menerima rumah yang disewanya dari pihak yang menyewakan
2). Memakai rumah yang disewanya tersebut dalam keadaan yang terpelihara untuk keperluan si penyewa.
Sedangkan kewajiban pokok dari penyewa rumah yaitu :
1). Memakai rumah yang disewa sebagai “Bapak rumah yang baik” sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada itu menurut perjanjian sewa menyewa.
2). Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian. Kewajiban memakai sewaan sebagai “Bapak rumah yang baik”, berarti kewajiban untuk memakai seakan-akan itu miliknya sendiri. Kewajiban kedua merupakan kewajiban utama yaitu pembayaran harga sewa, bentuk pembayarannya tidak diatur dalam Undang Undang. Pembayaran uang sewa ditempat kreditur, yaitu pihak yang  menyewakan. Waktu pembayaran berlangsung selama waktu sewa berlangsung. Tanggung jawab penyewa rumah meliputi juga perbuatan dan kesalahan seisi rumah serta orang lain yang mengambila alih atau oper penyewa dari si penyewa rumah. Pihak penyewa harus mengembalikan (sebagaimana keadaan rumah) pada waktu diteria penyewa dari pihak yang menyewakan rumah.
Hak dari yang menyewakan rumah adalah :
1). Menerima pembayaran uang sewa pada waktu yang telah ditentukan.
2). Berhak menerima kembali rumah yang disewakan dari pihak penyewa
sebagaimana keadaan rumah pada waktu diserahkannya pada penyewa.
Sedangkan yang menjadi kewajiban dari pihak yang menyewakan rumah
adalah :
1). Menyerahkan rumah yang disewakan kepada si penyewa
2). Memelihara yang disewakan hingga dapat dipakai untuk keperluan yang
dimaksudkan.
3). Memberikan kepada si penyewa kenikmatan tentram dari yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.
Pihak yang menyewakan wajib menyerahkan rumah yang disewakan dalam keadaan terpelihara (Pasal 1551 ayat (1) KUHPerdata). Kewajiban memberikan kenikmatan tentram kepada penyewa rumah sebagai kewajiban pihak yang menyewakan untuk menanggulangi tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ketiga, jadi bukan gangguan fisik (Pasal 1556 KUHPerdata).
Kewajiban dan tanggungjawab penyewa diatur dalam KUHPerdata sebagai
berikut:
a.       Memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak rumah yang baik (als goed huisvader) (Pasal 1560 ayat 1 KUHPerdata).
b.      Mempergunakan barang yang disewa sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau bila tidak ada suatu perjanjian mengenai hal itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan. Apabila ternyata si penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu maksud atau keperluan lain dari tujuan pemakaian yang seharusnya atau untuk tujuan lain yang menimbulkan kerugian kepada pihak yang menyewakan, pihak yang menyewakan menurut keadaan meminta pembatalan sewanya (Pasal 1560 ayat 2 dan Pasal 1561 KUHPerdata).
c.       Jika antara pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa telah dibuat suatu pratelan (bagian per bagian) tentang barang yang disewakan, maka pihak yang belakangan ini diwajibkan mengembalikan barangnya dalam keadaan dimana barang itu diterimanya menurut pratelan tersebut; dengan kekecualian apa yang telah musnah atau berkurang harganya sebagai akibat dari tuanya barang atau tidak dapat dihindarkan. Jika tidak dibuat suatu pratelan, maka si penyewa mengenai pemeliharaan, yang menjadi beban para penyewa, dianggap telah menerima barang yang disewa dalam keadaan yang baik, kecuali jika dibuktikan sebaliknya dan ia harus mengembalikan barangnya dalam keadaan yang sama (Pasal 1562 dan Pasal 1653 KUHPerdata).
d.      Si penyewa bertanggungjawab untuk segala kerusakan yang diterbitkan pada barang disewa selama waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi diluar salahnya. Akan tetapi ia tidak bertanggungjawab jawab untuk kebakaran, kecuali jika pihak yang menyewakan membuktikan bahwa kebakaran itu disebabkan kesalahan si penyewa (Pasal 1564 dan Pasal 1565 KUHPerdata).
e.       Si penyewa bertanggungjawab atas segala kerusakan dan kerugian yang diterbitkan pada barang yang disewa, oleh kawan-kawannya serumah atau oleh mereka kepada siapa ia telah mengoperkan sewanya. Namun demikian, si penyewa diperbolehkan, pada waktu mengosongkan barang yang disewa, membongkar dan membawa segala apa yang dengan biaya sendiri telah menyuruh membuat pada barang yang disewa, asal pembongkaran dan pembawaan itu dilakukan dengan tidak merusakkan barang yang disewa.
Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa
KUHPerdata mengatur berakhirnya sewa menyewa pada Pasal 1570 berturutturut sampai dengan Pasal 1580. Ada 2 (dua) hal penting yang berkaitan dengan berakhirnya sewa, yaitu:
a.       Perjanjian sewa tidak sekali-kali hapus dengan meninggalnya pihak yang menyewakan maupun dengan meninggalnya pihak si penyewa.
b.      Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu sewa menyewa yang telah dibuat sebelumnya tidaklah putus, kecuali apabila hal tersebut telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang, dan apabila ada diperjanjikan demikian, si penyewa tidak berhak menuntut suatu ganti rugi jika tidak ada suatu janji yang tegas. Tetapi apabila janji yang demikian itu memang ada, si penyewa tidak diwajibkan mengosongkan barang yang disewa selama ganti rugi yang terutang belum dilunasi.
c.       Pembeli objek perjanjian sewa menyewa dengan “janji membeli kembali” tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa si penyewa mengosongkan barang yang disewa, sebelum ia dengan lewatnya tenggang waktu yang ditentukan untuk pembelian kembali, menjadi pemilik mutlak.
d.      Seorang pembeli yang hendak menggunakan kekuasaan yang diperjanjikan dalam perjanjian sewa, untuk jika barangnya dijual, memaksa si penyewa mengosongkan barang yang disewa, diwajibkan memperingatkan si penyewa sekian lama sebelumnya, sebagaimana diharuskan oleh adat kebiasaan setempat mengenai pemberhentian sewa.
e.       Apabila perjanjian sewa tidak dibuat secara tertulis, sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.
Penyewaan Ulang
Penyewaan ulang adalah sewa yang seharusnya sudah berakhir, namun terus dilanjutkan kembali. Sewa ulang tersebut bisa dengan ketentuan dan persyaratan perjanjian yang sama seperti sebelumnya atau bisa juga dengan perubahan,
berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Berdasarkan ketentuan KUHPerdata apabila pihak yang satu (orang yang menyewakan) telah memberitahukan kepada pihak yang lainnya (penyewa) bahwa ia
hendak menghentikan sewanya, si penyewa meskipun ia tetap menikmati barangnya,
tidak dapat memajukan adanya suatu penyewaan ulang secara diam-diam (Pasal 1572
KUHPerdata). Apabila perjanjian sewa dibuat secara tertulis dan setelah sewa berakhir si penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan menguasainya, terjadilah suatu sewa baru yang akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal tentang penyewaan dengan lisan (Pasal 1573 KUHPerdata). Namun dalam kedua perjanjian sewa seperti iti, penanggungan utang yang dibuat untuk sewanya tidak meliputi kewajiban-kewajiban yang timbul dari perpanjangan sewa (Pasal 1574 KUHPerdata).
Mengulang sewakan
Mengulang sewakan tidak sama dengan penyewaan ulang. Yang dimaksudkan dengan mengulang sewakan Mengulang sewakan adalah jika si penyewa menyewakan lagi rumahnya kepada orang lain, tetapi perjanjian sewa masih dipertahankan, sehingga penyewa itu berada dalam hubungan sewa dengan pemilik. Apabila si penyewa tidak diizinkan dan tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang yang disewanya atau melepaskan sewanya kepada orang lain atas ancaman pembatalan perjanjian sewanya dari penggantian biaya, rugi dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan setelahnya pembatalan itu, tidak diwajibkan menaati perjanjian ulang sewa. Dimaksud dengan melepaskan sewa adalah apabila si penyewa keluar atau menarik diri selaku penyewa dan digantikan oleh orang lain atau pihak ketiga, yang bertindak sebagai penyewa dalam sewa menyewa tersebut.[44]



BAB V PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
A.  Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Sewa menyewa rumah dilakukan dengan perjanjian tertulis yang dibuat secara baku dengan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu Pasal 1320 tentang syarat-syarat sahnya perjanjian pada umumnya. Dengan perjanjian sewa menyewa tersebut baik penyewa maupun yang menyewakan sama-sama mempunyai bukti bahwa telah terjadi perbuatan hukum tentang sewa menyewa rumah. Bentuk perjanjian tersebut adalah tertulis dan mempunyai kekuatan hukum bagi masing-masing pihak jika terjadi perselisihan. Ini sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang isinya persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika jangka waktu sewa berakhir maka penyewa harus meninggalkan dan mengosongkan rumah tersebut sesuai dengan isi perjajian yang dibuat. Jika terjadi perselisihan waktu sewa dapat diselesaikan dengan musyawarah untuk mupakat, maupun dilakukan sesuai dengan jalur hukum. Kendala-kendala yang dihadapi oleh yang menyewakan dalam mengambil alih rumah adalah Penyewa menyewakan kembali rumah yang disewanya kepada orang lain dengan perjanjian dibawah tangan tanpa seijin yang menyewakan. Dengan demikian jika jangka waktu perjanjian sewa menyewa berakhir, maka penyewa tersebut sulit untuk meninggalkan dan mengosongkan rumah tersebut.
B.  Saran
1.    Kepada para pihak yang terlibat dalam proses sewa menyewa rumah sebelum perjanjian itu disepakati harus terlebih dahulu mengerti tentang isi perjanjian tersebut supaya benar-benar para pihak itu dapat memahami isi perjanjian tersebut.
2.    Kepada Penyewa apabila sudah memahami isi dari perjajian sewa menyewa tersebut, baru menandatanginya, dan jika batas waktu sewa menyewa berakhir harus meninggalkan dan mengosongkan rumah seperti dalam keadaan semula.



DAFTAR PUSTAKA
Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cet. 2., (Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hadikumsuma, Hilman. 1995.  Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1. Bandung: Mandar Maju.

Harahap Yahya,  M. 1986.  Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet. l. Bandung, Alumni.

Kansil T.S.C. 1979. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Muhammad, Abdulkadir. 2004.  Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan. 2003. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rashid, Harus. 1983. Upaya Penyelesaian Sengketa Sewa Menyewa Perumahan Menurut Perundang-Undangan. Jakarta: Balai Aksara.

Sabine, G. H. 1985. Teori-Teori Politik : Sejarah pertumbuh dan perkembangannya. Jakarta: Bina Cipta.

Salim. 1999. Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta, Sinar Grafika.

Salaim. 2003. Hukum Kontrak Teori Dan Tehknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.

Salim. 2005. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, cet. 3, Jakarta, Sinar Grafika.

Setiawan, R. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung, Bina Cipta.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Subekti. 1993. Aspek-aspek Hukum Nasional. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Subekti, R. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Umbara.
Subekti, 2004. Hukum Perjanjian, Cet. 20. Jakarta,: Intermasa.

Subekti, 1993. Pokok-Pokok Hukum Perdata., Jakarta: ntermasa.
Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Suryodiningrat, M.R. 1991. Perikatan-Periaktan Bersumber Perjanjian. Bandun: Tarsito.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, cet.7. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Wijaya, Rai. 2004.  Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Teori dan Praktek, Edisi Revisi. Bekasi: Mega Poin.

www. Google.com. Diakses pada tanggal 10 April  2010.



[1] R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Umbara, 1995), hal. 39.
[2] Ibid, hal. 40.
[3] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1979), hal. 247.
[4] www. Google.com. Diakses pada tanggal 10 April  2010.
[5] Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 34-35.

[6] H. G. Sabine, Teori-Teori Politik : Sejarah pertumbuh dan perkembangannya, (Jakarta: Bina Cipta, 1985), hal. 47-48.
[7] Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 20, (Jakarta,: Intermasa,  2004), hal. 13.
[8] Ibid. hal. 14.
[9] Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, cet. 3, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), hal. 6.
[10] Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 73.

[11] Op. Cit, hal. 35.
[12] Ibid.
[13] Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cet. 2., (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 30.

[14] Ibid.
[15] Ibid. hal. 73.
[16] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 155.

[17] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1977), hal, 107.
[18] Subekti, Aspek-aspek Hukum Nasional, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.

[19] Op. Cit, hal. 48.
[20] Salim, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta, Sinar Grafika1999), hal. 59.

[21] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata., Jakarta, Intermasa, 1993, hal. 164.

[22] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, cet.7, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, hal. 933.
[23] M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet. l, (Bandung, Alumni, 1986), hal. 220.

[24] Op. Cit, hal 67-69.

[25] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13-14; Lihat juga Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 184.

[26] Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 52.

[27] Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 86.

[28] Bambang Sunggono, Ibid., hal. 93.

[29] Abdulkadir Muhammad, Op. cit.

[30] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc. cit., hal. 4; Bandingkan dengan “rechtsdogmatiek” dari K. F. von Gerber dan Paul Laban, lihat, Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), cet. 8, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 85.

[31] Ibid., hal. 13-14; Lihat, Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.,; Lihat Juga, Hilman Hadikumsuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 65-66.

[32] Ibid., hal. 13-14.
[33]  Abdulkadir, Op. cit., hal. 56.

[34] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125; Lihat juga, Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184.

[35] Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184; Lihat juga Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 125.
[36] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125.

[37] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125.

[38] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 92.

[39] Hilman Hadikumsuma, Loc. cit., hal. 120, 121.


[40] Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 68, 186;
[41] Harus, Rashid. Upaya Penyelesaian Sengketa Sewa Menyewa Perumahan Menurut Perundang-Undangan. (Jakarta: Balai Aksara, 1983), hal. 89.
[42] Salaim. Hukum Kontrak Teori Dan Tehknik Penyusunan Kontrak. (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 59.
[43] R.M., Suryodiningrat, Perikatan-Periaktan Bersumber Perjanjian, (Bandun: Tarsito, 1991), hal. 33.

[44] Rai Wijaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Teori dan Praktek, Edisi Revisi, (Bekasi: Mega Poin, 2004), hal. 178.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar