TINJAUAN YURIDIS TENTANG
PERJANJIAN SEWA
MENYEWA RUMAH
MENURUT
KUHPerdata
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam keadaan yang
sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang
sedang dialami negara Indonesia sekarang ini, tidak semua
orang mampu memiliki sebuah rumah sendiri, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan rumah tersebut. Pemenuhan akan
kebutuhan rumah bagi yang belum dan/atau tidak mampu banyak dilakukan dengan
cara menyewa. Kebutuhan akan tempat yang dapat dipergunakan untuk berteduh bagi
manusia merupakan suatu kebutuhan yang primer di samping
kebutuhan sandang dan pangan. Pertambahan penduduk yang sangat cepat terutama di
kota-kota besar, masalah kekurangan perumahan menjadi
lebih parah lagi,
sedangkan untuk membangun dengan cepat rumah-rumah baru
adalah merupakan
satu-satunya jalan yang paling efektif, sebagaimana hal ini belum
secara merata dapat dibangun oleh pemerintah karena
melihat kebutuhankebutuhan lainnya yang masih sangat perlu untuk diprioritaskan,
belum lagi harga rumah dan tanah yang semakin tinggi, sehingga tidak semua orang dapat
menjangkau untuk membeli rumah.
Fenomena tersebut
disikapi oleh para pemilik modal yang mempunyai
lebih dari satu rumah untuk melakukan investasi dengan
cara menyewakan kepada pihak lain yang membutuhkan rumah, sehingga terjadilah sewa
menyewa rumah dimana para pihak secara bersama-sama untuk
mendapatkan keuntungan. Di satu sisi pemilik rumah mempunyai keuntungan atas investasi
rumah dengan cara disewakan sedangkan pihak yang menyewa
juga memperoleh
manfaat atas rumah yang mereka sewa tentu saja dengan harga
yang lebih murah daripada mereka harus membeli rumah yang
semakin hari harganya semakin tinggi.
Sewa menyewa
merupakan bentuk dari salah satu perjanjian yang
terdiri dari dua pihak yaitu pihak penyewa dan pihak yang
menyewakan. Perjanjian pada pokoknya mengatur hubungan dimana kedua belah pihak
saling mempunyai prestasi secara timbal balik, sehingga
menimbulkan suatu hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian.
Pengertian sewa
menyewa diatur dalam pasal 1548 KUHPerdata yang
rumusnya adalah sebagai berikut:
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya
kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu
tertentu dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu
disanggupi pembayarannya.
Perjanjian sewa
menyewa rumah juga akan menimbulkan suatu hak
dan kewajiban diantara masing-masing pihak. Pihak penyewa
mempunyai hak untuk menempati rumah yang disewa dalam suatu waktu tertentu yang telah
ditentukan dan berkewajiban membayar sejumlah harga
tertentu yang telah diperjanjikan. Pihak pemilik rumah berhak atas pembayaran
sejumlah uang tertentu dan berkewajiban menyerahkan rumahnya kepada penyewa untuk
masa waktu tertentu. Perjanjian sewa menyewa rumah
dianggap sah dan mengikat pada saat tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak.
Ketentuan sewa
menyewa rumah diatur dalam berbagai peraturan
mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu dalam
Bab VII buku II yang mengatur hubungan sewa menyewa. Disamping ketentuan dalam
KUHPerdata, pemerintah juga mengatur tentang sewa menyewa
perumahan yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 1963 tentang hubungan sewa
menyewa perumahan, dan PP No. 17 Tahun 1963 tentang
Pokok-Pokok Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perumahan
serta PP No. 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh
Bukan Milik.[1]
Seperti halnya
dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lain pada
umumnya, sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian konsensual.
Artinya, ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur
pokoknya, yaitu barang dan harga.[2]
Dimana mereka saling mengikatkan diri untuk memenuhi
sesuatu
prestasi, maka timbullah hukum perikatan yaitu suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas
sesuatu dan pihak yang lain mempunyai kewajiban untuk
melakukan atau memberikan sesuatu.[3]
Seperti dalam hal
sewa-menyewa rumah, seorang pemilik rumah (kreditur) dan penyewa rumah (debitur) yang telah
melakukan perikatan harus memenuhi prestasi mereka masing-masing sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati.
Dalam hubungan sewa-menyewa tersebut, sering terjadi
dimana prestasi
tidak dilakukan oleh salah satu pihak. Perbuatan tersebut dalam istilah
hukum dikenal dengan wanprestasi.
Adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan banyak
penduduk yang kekurangan tempat tinggal. Disisi lain ada penduduk yang
kelebihan tempat tinggal. Bagi mereka yang kelebihan tempat tinggal, mereka menyewakan
rumah-rumah tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan. Dengan adanya keadaan
yang demikian menyebabkan timbulnya perjanjian sewa menyewa rumah. Perjanjian
sewa menyewa ini merupakan perjanjian konsensuil, dimana Undang Undang
membedakan antara perjanjian sewa menyewa secara tertulis dan secara lisan.
Sewa menyewa secara tertulis berakhir demi hukum “otomatis”, yaitu bila waktu
yang ditentukan habis, tanpa diperlukan pemberitahuan pemberhentian. Sedangkan
sewa menyewa secara lisan, yaitu jika pihak yang menyewakan memberitahukan pada
penyewa bahwa ia akan menghentikan sewanya. Pemberitahuan dilakukan dengan
mengindahkan menurut kebiasaan setempat.
Untuk dapat mengusahakan agar setiap warga Negara dapat
menikmati perumahan yang layak perlu adanya ketentuan mengenai hubungan sewa
menyewa dengan harga sewa yang memberikan perlindungan kepada penyewa maupun
yang menyewakan. Maka kemudian ditetapkan peraturan-peraturan tentang penentuan
harga sewa, tujuan penggunaan, klasifikasi tempat, dan peraturan-peraturan lain
yang mengatur akibat hukum yang timbul karena tidak berlakunya
peraturan-peraturan lama, juga cara-cara menyelesaikannya jika ada sengketa
dalam sewa menyewa rumah.[4]
Dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata disebutkan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.” Dengan penekanan pada kata
‘semua’, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan bahwa kita
diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa apa saja dan berisi apa saja,
sepanjang isi perjanjian tidak melanggar kausa halal dan ketentuan
undang-undang yang ada. Selain itu, berdasarkan pasal 1338 ayat (3) KUHPer
ditentukan bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Ketentuan ini menghendaki bahwa suatu perjanjian dilaksanakan secara jujur,
yakni dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Namun
seringkali para pihak tidak memperhatikan ketentuan yang ada di atas, sehingga
perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan mengalami hambatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk
mengangkat permasalahan dalam proposal skripsi ini yang berjudul: “Tinjauan
Yuridis Perjanjian Sewa-menyewa Rumah Menurut KUHPerdata”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang ada di atas maka dapat dikemukakan identifiksasi masalah sebagai
berikut:
1. Kurangnya
perhatian para pihak terhadap prosedur sewa menyewa rumah.
2. Kurangnya
perhatian para pihak terhadap hak dan kewajiban dalam perjanjian sewa-menyewa
rumah.
3. Adakalanya
para pihak menyimpang dari apa yang diperjanjikan.
4. Seringkali
para pihak dalam membuat perjanjian sewa-menyewa rumah tidak memperhatikan
ketentuan dan pembatasan KUHPerdata.
C.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan dan Identifikasi yang
telah dikemukakan diatas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam
penelitian, yaitu :
1.
Bagaimanakah perjanjian sewa menyewa rumah menurut KUHPerdata?
2.
Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa menyewa rumah di dalam KUHPerdata?
D.
Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan perjanjian
sewa menyewa rumah menurut KUHPerdata.
2. Untuk mendeskripsikan hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa ruman di dalam KUHPerdata.
3.
E.
Manfaat
Penelitian
1.
Manfaat
Teoritis
Adapun yang menjadi
manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah:
1. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu sumbangan sederhana bagi perkembangan
pemikiran hukum di Indonesia dan dapat memberikan masukan dan bahan
pertimbangan yang bermanfaat di bidang hukum, dalam upaya penerapan hukum
perjanjian yang sehat, terutama dalam pelaksanaan sewa-menyewa rumah.
2. Hasil
penelitian ini dapat menjadi dasar dan/ atau perbandingan bagi pihak lain yang
ingin menerapkan kembali konsep penelitian ini terhadap objek yang sama tetapi
terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menuju kearah penelitian yang
lebih baik dan lebih sempurna.
2.
Manfaat
Praktis
1. Untuk
menambah bahan dan masukan informasi pada para pelaku hukum atau penyewa dan
pemberi sewa dalam melakukan persiapan sewa-menyewa rumah.
2. Dan
penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan pengetahuan yang bermanfaat
bagi penulis pada khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya tentang
pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa rumah.
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A.
Kajian
Teoritis
Rousseau
dengan romantik-nya dalam mengamati pendirian negara dan masyarakat juga dapat
kita lihat pada bukunya Du Contrat Social
(Perjanjian Sosial). Tulisan ini menggambarkan semangat kembali ke alam
pedesaan yang asri, dengan meninggalkan perkotaan, perdagangan, industri, uang,
dan kemewahan. Namun, Rousseau tidak asal menolak kota, ia setuju arti kota
pada Yunani Kuno. Dalam bukunya,
Rousseau berpendapat bahwa dalam mendirikan negara dan masyarakat kontrak
sosial sangat dibutuhkan. Namun, Rousseau berpendapat bahwa negara dan
masyarakat yang bersumber dari kontrak sosial hanya mungkin terjadi tanpa
paksaan. Negara yang disokong oleh kemauan bersama akan menjadikan manusia
seperti manusia sempurna dan membebaskan manusia dari ikatan keinginan, nafsu,
dan naluri seperti yang mencekamnya dalam keadaan alami. Manusia akan sadar dan
tunduk pada hukum yang bersumber dari kemauan bersama. Kemauan bersama yang
berkwalitas dapat mengalahkan kepentingan diri, seperti yang menjadi pokok
permasalahan pemikiran Hobbes.[5]
Secara
umum teori perjanjian negara menganggap bahwa negara itu tercipta adalah dengan
persetujuan dari masyarakat. Mereka mengadakan suatu musyawarah untuk membentuk
negara dan pemerintahan yang akan mengatur dan menjamin kepentingan individual
mereka, sehingga kehidupan mereka secara individual dapat terjamin . Pemerintah
dianggap sebagai institusi yang telah disepakati bersama diantara masyarakat
dan dipilih dari anggota masyarakat itu sendiri, sehingga secara moral
pemerintah ini juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat karena masyarakat
tersebutlah yang mengangkat mereka.
Menurut Rousseau bahwa manusia pada hakekatnya adalah
baik sehingga manusia pada saat sebelum adanya negara(state of nature) tetap dapat eksis. Rousseau berpendapat bahwa manusia itu
pada hakekatnya baik. Alasan pembentukan negara menurut dia adalah supaya ada
kekuatan memaksa yang bersifat legal untuk mempergunakan kekerasan kalau
terdapat pengingkaran terhadap hak alamiah manusia itu. Tidak ada satu negara di dunia ini
terbukti dalam sejarah dibentuk berdasarkan permufakatan seluruh warga
masyarakat dari negara itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori yang telah
dikemukakan ini hanyalah berfungsi sebagai alat analisis saja, tanpa pernah
terbukti secara empirik.[6]
B.
Kajian
Konsepsional
Dengan
berdasarkan judul skripsi yaitu: Tinjauan Yuridis Perjanjian Sewa-menyewa
Rumah, maka perlu diberikan penjelasan terhadap beberapa istilah pokok yang
terdapat dalam judul skripsi tersebut.
B.1. Perihal Perjanjian Secara Umum
1. Pengertian Perjanjian
Pengaturan umum
mengenai perjanjian di Indonesia terdapat di dalam
Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
tentang Perikatan. Buku III KUHPerdata tersebut menganut sistem terbuka (open
system), artinya setiap orang bebas mengadakan perjanjian yang berisi apa saja,
baik perjanjian bernama (nominaat) maupun perjanjian tidak bernama (innominaat), asalkan tidak
melanggar
ketertiban umum dan kesusilaan. Sedangkan pasal-pasal
dari Hukum Perjanjian yang
terdapat dalam Buku III tersebut merupakan apa yang
dinamakan aanvulendrecht
atau hukum pelengkap (optional law), yang berarti
bahwa pasal-pasal dalam Buku III
KUHPerdata boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh
pihak-pihak yang
membuat perjanjian.[7]
Kemudian, sistem
terbuka dalam KUHPerdata tersebut mengandung suatu
asas yang disebut asas kebebasan berkontrak, yang
lazimnya disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dan dengan melihat pada
Pasal 1319 KUHPerdata maka diakui 2 (dua) macam perjanjian dalam Hukum
Perjanjian yaitu Perjanjian Nominaat dan
Perjanjian Innominaat.[8]
Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perjanjian apa saja,
baik yang diatur dalam KUHPerdata (nominaat) dan yang diatur di luar
KUHPerdata
(innominaat) tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari Buku III KUHPerdata
yang ada dalam Bab I dan Bab II.
Perjanjian nominaat
atau perjanjian bernama yaitu perjanjian-perjanjian yang
diatur di dalam Buku III KUHPerdata dari Bab V sampai
dengan Bab XVIII, seperti
Perjanjian Jual-Beli, Perjanjian Sewa-Menyewa, Perjanjian
Tukar-Menukar, dan sebagainya. Sedangkan, perjanjian innominaat atau
perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang terdapat di luar Buku III
KUHPerdata, yang timbul, tumbuh, berkembang dalam praktik dan masyarakat, dengan
kata lain perjanjian tersebut belum dikenal saat KUHPerdata diundangkan.
Timbulnya perjanjian ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.[9]
Subekti memberikan
definisi perjanjian adalah sebagai berikut: “Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal”. Ia juga menyebutkan bahwa perjanjian juga dinamakan persetujuan
karena kedua pihak tersebut itu setuju untuk melakukan sesuatu.[10]
b.
2. Asas-Asas Dalam
Hukum Perjanjian
Setiap ketentuan
hukum mempunyai sistem tersendiri yang berlaku sebagai
asas dalam hukum tersebut. Demikian pula halnya dalam
hukum perjanjian, yang
memiliki asas-asas sebagai berikut:
a. Asas Personalia
Asas personalia atau asas kepribadian merupakan
asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian
adalah hanya
untuk kepentingan perseorangan saja.45 Asas ini dapat ditemukan dalam
Pasal 1315 dan Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata, Pasal 1315
KUHPerdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta diterapkannya suatu janji selain
untuk dirinya sendiri.”
b. Asas Konsensualitas
Asas konsesualitas atau asas sepakat adalah asas
yang menyatakan bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu timbul atau
dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat atau kesepakatan. Dengan
perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang
pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.
Asas ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata yang
menyebutkan salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan tanpa menyebutkan harus
adanya formalitas tertentu disamping kesepakatan yang
telah tercapai itu.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract) diatur
di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.
Artinya para pihak diberi kebebasan untuk membuat dan
mengatur sendiri isi perjanjian tersebut, sepanjang tidak melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan, memenuhi syarat sebagai perjanjian, tidak dilarang oleh Undangundang,
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan sepanjang
perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.[11]
d. Asas Kepercayaan.
Suatu perjanjian tidak akan terwujud apabila tidak ada
kepercayaan antara para
pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, karena suatu
perjanjian menimbulkan suatu akibat hukum bagi para pihak yaitu pemenuhan prestasi
dikemudian hari.
e. Asas Kekuatan Mengikat.[12]
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa
dipenuhinya syarat sahnya perjanjian maka sejak saat itu pula perjanjian itu
mengikat bagi para pihak. Mengikat sebagai Undang-undang berarti pelanggaran
terhadap perjanjian yang dibuat tersebut berakibat hukum melanggar Undang-undang.
f. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik ini dapat ditemukan dalam rumusan Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.”
g. Asas Keseimbangan.[13]
Asas ini menghendaki kedua belah pihak dalam perjanjian
memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Salah satu pihak yang memiliki hak untuk
menuntut prestasi berhak menuntut pelunasan atas prestasi
dari pihak lainnya.
h. Asas Kepatutan dan Kebiasaan.[14]
Asas ini dituangkan di dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yang
menegaskan bahwa: “Perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang diatur di
dalamnya tetapi juga terhadap hal-hal yang menurut
sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”
b.3. Syarat Sahnya Perjanjian
Persyaratan suatu perjanjian merupakan hal mendasar yang
harus diketahui dan dipahami dengan baik. Suatu perjanjian akan mengikat dan berlaku
apabila perjanjian tersebut dibuat dengan sah. Berikut ini akan dibahas mengenai
persyaratan yang dituntut oleh Undang-undang bagi
perjanjian agar dapat dikatakan sah. Terdapat 4 (empat) syarat sahnya
perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
Dalam tercapainya kata sepakat atau kesepakatan dalam
mengadakan perjanjian, kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.
Artinya, para pihak dalam perjanjian untuk mencapai kata
sepakat tersebut tidak dalam keadaan menghadapi tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat”
bagi perwujudan kehendak tersebut.[15]
Tidak dalam keadaan menghadapi tekanan tersebut
dimaksudkan bahwa para pihak dalam mencapai kata sepakat harus terbebas dari
kekhilafan (kesesatan), paksaan dan penipuan seperti yang tercantum dalam Pasal
1321 KUHPerdata, yang berbunyi: “Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan
karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan.”
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum.
Pada asasnya, setiap orang adalah cakap menurut hukum, kecuali jika oleh Undang-undang
tidak cakap. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang
dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu orang-orang yang belum dewasa,
mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan perempuan
yang bersuami. Tetapi pada subjek yang terakhir, yaitu perempuan bersuami telah dihapuskan
oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963,
sehingga sekarang kedudukan perempuan yang bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan
pria dan cakap untuk mengadakan perbuatan hukum.
3. Suatu hal tertentu;
Mengenai suatu hal tertentu diatur di dalam Pasal 1332
sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata. Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu
perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya
bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, apa yang diperjanjikan
atau barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya
dan tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barangnya
tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur
di dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata adalah mengenai suatu
sebab yang halal. Terkait dengan hal ini, Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tidak
mungkin ada suatu persetujuan yang tidak memiliki sebab
atau causa, oleh karena causa sebetulnya adalah isi dari persetujuan dan tiap-tiap
persetujuan Terhadap dua syarat sahnya perjanjian yang pertama, yaitu syarat
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat
perikatan disebut sebagai syarat subyektif. Sebab mengenai orang-orang atau subyek
yang mengadakan
perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir, yaitu syarat suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai
syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan
itu.[16]
Keempat syarat di
atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi
dalam suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu
syarat tersebut perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Apabila salah satu dari syarat
subyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu
pihak untuk dibatalkan.
Sedangkan apabila
salah satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu
perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula
dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
b.
4. Hapusnya
Perjanjian
Setiap pihak yang membuat perjanjian pastilah
menginginkan pelaksanaan isi perjanjian dengan sempurna dan secara sukarela. Namun
adakalanya salah satu pihak dalam perjanjian mengingkari terhadap isi dari perjanjian
yang telah disepakati bersama tersebut. Terhadap keingkaran dari salah satu
pihak memberi hak pada pihak
lain untuk memaksakan pelaksanaan prestasi kepada
debitur. Tentunya tidak dengan
cara main hakim sendiri (eagen richting). Umumnya
pemaksaan prestasi harus
melalui kekuatan putusan vonis pengadilan.
Setelah perjanjian
dilaksanakan maka kemudian akan diakhiri. Berakhirnya
suatu perjanjian dapat disebabkan karena:[17]
a. Ditentukan oleh para pihak yang bersangkutan dalam
perjanjian.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu
perjanjian.
c. Karena adanya suatu peristiwa tertentu, misalnya salah
satu pihak meninggal
dunia.
d. Karena putusan hakim.
e. Karena tujuan perjanjian telah tercapai.
f. Dengan persetujuan para pihak.
a. Berakhir dengan sendirinya, apabila jangka waktu
perjanjian ini habis.
b. Berakhir sebelum jangka waktu berakhir, apabila:
1. Masing-masing pihak telah memenuhi segala hak dan
kewajiban masingmasing
sebelum jangka waktu perjanjian berakhir.
2. Salah satu pihak melanggar ketentuan-ketentuan dalam
pasal ini dan atau
menyebabkan kerugian terhadap pihak lain tanpa alasan
yang sah. Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut pihak yang dirugikan
berhak untuk memutuskan perjanjian secara sepihak.
3. Berlakunya suatu syarat batal. Hapusnya perikatan
akibat berlakunya suatu sarat batal dapat terjadi pada perikatan bersyarat, yaitu perikatan
yang lahirnya maupun berakhirnya didasarkan pada suatu
peristiwa yang belum atau tentu terjadi.
4. Lewat waktu (daluwarsa). Lewat waktu atau daluwarsa
menurut Pasal 1946 KUHPerdata adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan. Lewat waktu untuk
memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa acquisitive, sedangkan
daluwarsa untuk dibebaskan dari perikatan disebut
daluwarsa extinctif. Apabila suatu perikatan yang lahirnya ditentukan oleh
peristiwa yang belum terjadi dinamakan perikatan dengan syarat tangguh.
Sedangkan perikatan yang berakhirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi
dinamakan dengan perikatan dengan syarat batal. Pasal 1265 KUHPerdata menentukan apabila
syarat batal
dipenuhi, maka menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali
pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perjanjian.
b.5. Perjanjian Sewa Menyewa
Perjanjian sewa menyewa diatur dalam ketentuan Buku
Ketiga, Bab Ketujuh, Pasal 1548 sampai Pasal 1600 KUHPerdata. Perjanjian sewa
menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensuil,
artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan
mengenai
unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Peraturan
tentang sewa menyewa ini
berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua
jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu
tertentu maupun yang
tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan
syarat mutlak untuk
perjanjian sewa menyewa.[19]
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata, yang dimaksud dengan sewa
menyewa, adalah: “Sewa menyewa ialah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak
lainnya kenikmatan dari
suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran sesuatu harga,
yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi
pembayarannya”.
Apabila dilihat dari isi pasal tersebut tampak bahwa
unsur-unsur dalam
perjanjian sewa menyewa adalah sebagai berikut:
1.
Sewa
menyewa merupakan perjanjian timbal balik antara para pihak yaitu
pihak penyewa dengan yang menyewakan.
2.
Adanya
konsensus antara kedua belah pihak.
3.
Obyeknya suatu benda, baik benda bergerak maupun
benda tetap untuk diambil manfaatnya.
4.
Dalam
tenggang waktu tertentu, artinya tidak dimaksudkan untuk selamanya.
5.
Adanya
harga sewa, dalam hal ini tidak harus dibayar sekaligus melainkan
asal ada harga sewa yang dibayarkan.
Selain yang
diberikan oleh KUHPerdata, beberapa sarjana juga memberikan
definisi mengenai sewa menyewa, antara lain:
Subekti memberi definisi sewa menyewa yaitu:
Perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian dimana
pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu
jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi
akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang
ditentukan.[20]
M. Yahya Harahap
memberi definisi sewa menyewa adalah: Perjanjian sewa
menyewa (huur en venhuur) adalah persetujuan
antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik
menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya
(volledige genot).”[21]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sewa didefinisikan
sebagai
berikut:
1. Pemakaian sesuatu dengan membayar uang.
2. Uang yang dibayarkan karena memakai atau meminjam
sesuatu, ongkos, biaya pengangkutan (transport).
3. Yang boleh dipakai setelah dibayar dengan uang.[22]
Sementara menyewa, didefinisikan sebagai memakai
(meminjam, mengusahakan, dan sebagainya) dengan membayar uang sewa.
Berdasarkan rumusan mengenai sewa menyewa menurut Pasal
1548 KUHPerdata,
maka sewa menyewa merupakan:
1. Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan
pihak penyewa.
2. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang
kepada si penyewa
untuk sepenuhnya dinikmati.
3. Penikmatan berlangsung untuk jangka waktu tertentu
dengan pembayaran
sejumlah harga sewa yang tertentu pula.[23]
Kata waktu tertentu
dalam urutan Pasal 1548 KUHPerdata tersebut
menimbulkan pertanyaan apakah maksudnya itu, sebab dalam
sewa menyewa sebenarnya tidak perlu disebutkan untuk berapa lama barang disewakan, asal
sudah disetujui
berapa harga sewanya untuk satu, jam, satu hari, satu bulan, atau satu tahun.
Ada yang menafsirkan bahwa maksudnya tidak lain daripada
untuk mengemukakan
bahwa pembuat Undang-undang memang memikirkan pada
perjanjian sewa menyewa dimana waktu sewa ditentukan, misalnya untuk enam bulan, untuk dua
tahun, dan sebagainya.
Pasal 1548
KUHPerdata menggunakan istilah sewa menyewa (huur en
verhuur). Perkataan tersebut seolah-olah memberikan pengertian yang
sama, yang dapat menimbulkan salah pengertian seolah-o1ah para pihak
saling sewa menyewakan antara mereka. Padahal sebenarnya tidak
demikian, yang benar-benar
terjadi adalah satu pihak menyewakan barang kepada pihak
penyewa, dan si penyewa
membayar sejumlah harga atas barang yang disewakan.
Dengan perkataan lain, hanya sepihak saja yang menyewakan dan bukan saling sewa
menyewakan antara mereka.
Karena itu, yang
dimaksud dengan sewa menyewa dalam Pasal 1548
KUHPerdata tersebut tiada lain ialah persewaan saja.
Itulah sebabnya dalam beberapa
pasal yang lain, persetujuan sewa menyewa ini hanya
disebut dengan istilah “sewa”
(huur), seperti
pada Pasal 1501 dan Pasal 1570 KUHPerdata.
Menurut Pasal 772
KUHPerdata bahwa mengizinkan seseorang yang
mempunyai hak memungut hasil (Vruchtgebruik) atas
suatu barang, untuk menyewakan suatu barang tersebut, sedangkan menurut Pasal
823 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Pemakai tidak diperbolehkan menyerahkan atau menyewakan
haknya kepada orang lain”.
Perjanjian sewa
menyewa meliputi perbuatan dua pihak secara timbal balik,
yaitu pihak pemilik benda sebagai pihak yang menyewakan,
dan pihak pemakai benda sebagai penyewa. Perjanjian sewa menyewa diawali oleh perbuatan pihak
yang
menyewakan lebih dahulu, kemudian baru perbuatan pihak
penyewa. Sejalan dengan ketentuan diatas, menurut Pasal 827 KUHPerdata juga
menyebutkan bahwa: “Hak mendiami tak boleh diserahkan
atau disewakan kepada orang lain”. Karena pada hakekatnya didalam perjanjian
sewa-menyewa itu yang berhak untuk menikmati dan mempunyai hak untuk memungut
hasil sesuatu barang yang mana menjadi obyek dari sewa menyewa tersebut ialah
pihak yang secara langsung menyewa barang tersebut kepada pihak pemilik barang yang
menyewakan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1550 KUHPerdata menyebutkan tentang
kewajiban dari pihak yang menyewakan barang, yakni:
Pihak yang menyewakan karena sifat persetujuan dan tanpa
perlu adanya suatu janji, wajib untuk:
1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa
2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga
barang itu dapat
dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan
3. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram
daripada barang yang
disewakan selama berlangsungnya sewa.
Mengenai kewajiban
yang pertama, yakni kewajiban untuk menyerahkan
barang yang disewa kepada pihak penyewa, maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 1551 KUHPerdata, yang menyewakan harus menyerahkan barang yang
disewakan dalam keadaan yang sebaik-baiknya.
Mengenai penyerahan
benda pada persetujuan sewa menyewa adalah
penyerahan nyata atau sering disebut penyerahan secara deliverence.
Penyerahan nyata yang dimaksud dalam sewa menyewa ini dapat dipersamakan dengan
pengertian penyerahan nyata dalam persetujuan jual beli.
Yang menyerahkan harus melakukan tindakan pengosongan serta menentukan barang
yang disewa, karena dalam sewa menyewa pihak yang menyewakan wajib melakukan
penyerahan nyata
dan tidak bisa dituntut untuk melakukan penyerahan
yuridis (yuridische levering). Hal ini juga sesuai dengan kedudukan si penyewa atas
barang yang disewa. Penyewa
bukan sebagai pemilik, dan tidak perlu menjadi seorang bezitter.
Kewajiban yang
kedua adalah kewajiban untuk memelihara dan melakukan
perbaikan atau reparasi selama perjanjian sewa menyewa
masih berjalan sehingga barang yang disewa tetap dapat dipakai dan dipergunakan
sesuai dengan yang dikehendaki pihak penyewa, kecuali reparasi kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1551 ayat 2 KUHPerdata yaitu “ia harus selama waktu
sewa menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan, yang perlu
dilakukan, terkecuali pembetulan-pembetulan yang menjadi
wajibnya si penyewa.”
Sehingga selama perjanjian sewa menyewa masih berlangsung
maka pemeliharaan
dan perbaikan menjadi kewajiban pihak yang menyewakan. Reparasi
dan pemeliharaan berat menjadi kewajiban pihak yang
menyewakan, sedangkan reparasi kecil sebagai akibat kerusakan pemakaian normal
atas barang yang disewa dibebankan kepada pihak penyewa. Pemeliharaan ini
berlangsung sejak dimulainya
perjanjian sewa menyewa sampai dengan berakhirnya
perjanjian tersebut.
Kewajiban
pemeliharaan dan reparasi atas barang yang disewa harus dipenuhi
oleh pihak yang menyewakan. Apabila kewajiban ini tidak
dipenuhi maka dapat dianggap melakukan wanprestasi. Suatu reparasi
pemeliharaan yang betul-betul dibutuhkan merupakan suatu kewajiban positif bagi pihak
yang menyewakan. Pasal 1555 ayat 1 KUHPerdata mewajibkan si penyewa untuk
memperbolehkan pihak yang menyewakan melakukan reparasi
yang betul-betul tidak dapat ditangguhkan sampai sewa menyewa berakhir.
Meskipun si penyewa
wajib memperbolehkan dilakukannya reparasi, namun
Pasal 1555 ayat 2 dan ayat 3 KUHPerdata melindungi
kcepentingan si penyewa terhadap reparasi yang dilakukan. Dalam Pasal 1555 ayat 2
KUHPerdata disebutkan
bahwa harga sewa harus dikurangi menurut imbangan waktu
dari bagian barang yang
tidak dapat dipakai oleh si penyewa selama reparasi
berlangsung, dengan syarat bahwa reparasi tersebut berlangsung lebih dari 40 hari.
Menurut Pasal 1555
ayat 3 KUHPerdata disebutkan bahwa apabila reparasi
menyebabkan barang yang disewa itu tidak dapat di diami
oleh si penyewa dan keluarganya, maka si penyewa dapat memutuskan sewanya.
Akan tetapi pasal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memutuskan
hubungan sewa menyewa apabila reparasi hanya untuk sebagian dari barang yang disewa dan
bagian selebihnya
secara pantas masih dapat dipergunakan oleh si penyewa.
Sedangkan didalam
ketentuan Pasal 1560 KUHPerdata menyebutkan tentang
kewajiban dari pihak penyewa barang, yaitu:
Si penyewa harus menepati dua kewajiban utama:
1. Untuk memakai barang yang disewa sebaga i seorang
bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu
menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada suatu perjanjian mengenai
itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan;
2. Untuk membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah
ditentukan. Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban
membayar suatu kewajiban apapun, maka yang terjadi,
adalah suatu perjanjian pinjam pakai. Jika si pemakai barang diwajibkan membayar,
maka bukan lagi pinjam pakai yang terjadi, tetapi sewa menyewa.[24]
b.6.
Pelaksanaan Perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang Undang
Hukum Perdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian,
artinya pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar, yaitu
harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satu memperoleh
hak milik ialah jual beli. Pembeli yang beritikad baik adalah orang yang jujur,
bersih karena ia tidak mengetahui tentang adanya cacat yang melekat pada itu,
hal ini merupakan itikad baik sebagai unsure subjektif.
Pelaksanaan
perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh
pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu
mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara
sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau
dibatalkan secara sepihak saja.
b.7.
Macam - macam perjanjian
Macam perjanjian obligator dimana terdapat jenis-jenisnya
sebagai berikut:
1).
Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban. Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu
perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain
tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2)
KUHPerdata).
2).
Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah suatu
perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Contoh :
perjanjian pinjam pakai. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang
memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3).
Perjanjian konsensuil, formal dan, riil. Perjanjian konsensuil ialah perjanjian
dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan
dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis. Contoh : perjanjian perdamaian, perjanjian
damai. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya
kata sepakat, harus diserahkan.
Contoh:
penitipan Pasal 1694, pinjam pakai Pasal 1740, pinjam mengganti Pasal 1754
KUHPerdata.
4).
Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran. Perjanjian bernama adalah
suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan
kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata
ditambah titel VIIA, dalam KUHD misalnya perjanjian asuransi dan pengangkutan.
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang
sulit dikualifikasikan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
“Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
atau penelitian hukum kepustakaan (library research).”[25]
Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau
kaidah yang berlaku. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif
tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi,
undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.”[26]
“Penelitian
tipe ini lazim disebut sebagai “studi dogmatik” atau yang dikenal dengan doctrinal
research.”[27]
“Penelitian tipe doktrinal (doctrinal research) adalah mirip dengan tipe
penelitian hukum normatif.”[28]
“Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik.”[29]
“Dogmatik hukum bersifat teoritis-rasional, sehingga pengungkapannya terikat
pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika deduktif. Disamping itu,
maka dogmatik hukum memperhitungkan kecermatan, ketetapan dan kejelasan.”[30]
“Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library
research) ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data
sekunder belaka.”[31] Menurut
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan tersebut mencakup:
1. Penelitian terhadap asas-asas
hukum
2. Penelitian terhadap sitematik
hukum
3. Penelitian terhadap taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal
4. Perbandingan hukum
5. Sejarah hukum.[32]
B.
Data dan Sumber Data
Adapun
yang menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data
sekunder berdasarkan studi pustaka / studi literatur (library research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan
antara:
1. Bahan
hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang terdiri dari:
a. Norma
dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule)
UUD 1945;
b. Undang-Undang
Dasar 1945
c. Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
2. Bahan
hukum sekunder yaitu yang memberi Penjelasan mengenai bahan hukum primer
seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian,
makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Bahan
hukum Tertier
Yaitu Bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri
a.
Kamus hukum
b.
Kamus bahasa Indonesia
c.
Kamus Bahasa Inggris
d.
Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat kabar , jurnal hukum,
majalah dan lain sebagainya ).[33]
C.
Lagkah-Langkah Penelitian
Pengumpulan
data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan, studi dokumen, dan studi
catatan hukum.[35]
Kepustakaan yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, buku karya tulis
bidang hukum.
Kegiatan
studi kepustakaan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.
Penentuan sumber data sekunder (sumber
hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier), berupa
perundang-undangan, literatur di bidang ilmu pengetahuan hukum, dan kamus.
b.
Identifikasi data sekunder (sumber hukum
primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier) yang diperlukan, yaitu
proses mencari dan menemukan bahan hukum berupa ketentuan dalam pasal-pasal
peraturan perundang-undangan; judul buku, nama pengarang, cetakan, kota
penerbit, penerbit, tahun terbit dan nomor halaman karya tulis bidang hukum.
c.
Inventarisasi data yang relevan dengan
rumusan masalah (pokok bahasan atau subpokok bahasan), dengan cara pengutipan
atau pencatatan.
d.
Pengkajian data yang sudah terkumpul
guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.[36]
2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul
kemudian diolah. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data
yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan
dengan masalah/variabel penelitian.
b. Penandaan data (coding), yaitu memberikan catatan atau
tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan,
atau dokumen); pemegang hak cipta (penulis, tahun penerbitan); atau rumusan
masalah/variabel penelitian (masalah pertama tanda A, masalah kedua tanda B,
dan seterusnya).
c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang
data secara teratur, berurutan, logis mehingga mudah dipahami dan
diinterpretasikan.
d. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data
menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah/variabel
penelitian.[37]
3. Analisis Data dan Pembahasan
Menurut Abdulkadir Muhammad,
“Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: (1)
Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; (2) Data yang terkumpul
umumnya berupa informasi; (3) Hubungan antara variabel tidak dapat diukur
dengan angka ….”[38]
Kemudian menurut Hilman
Hadikusuma, “penelitian yang hanya melakukan studi kepustakaan (data sekunder)
tanpa melakukan penelitian lapangan (data primer). Laporan skripsi itu akan
hanya bersifat deskripsi analitis berdasarkan pendekatan masalah yang bersifat
normatif-jurudis.”[39]
Penelitian ini juga memusatkan
perhatiannya pada hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang abstrak, hukum
sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, terlepas dari kaitannya dengan
hal-hal di luar peraturan perundang-undangan. Menurut Bambang Sunggono,
“Pemusatan perhatian yang demikian ini akan membawa kepada penggunaan metode
normatif dalam menggarap hukum. Sesuai dengan cara pembahasan yang bersifat
analitis, maka metode ini disebut sebagai normatif analitis.”[40]
Menurut Dengan demikian, analisis
data dilakukan secara kualitatif, konprehensif, dan lengkap. Analisis kualitatif
artinya menuraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,
runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Konprehensif artinya analisis
data dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek sesuai dengan lingkup
penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlewatkan atau terlupakan,
semuanya masuk dalam analisis.
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. PERJANJIAN
SEWA MENYEWAH RUMAH MENURUT KUHPerdata.
Tinjauan Tentang Sewa Menyewa Rumah
Menurut KUHPerdata
Sewa menyewa ialah suatu persetujuan dalam pihak yang satu
menyanggupkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan kepada pihak yang lain
agar pihak ini dapat menikmatinya buat suatu jangka waktu tertentu pula, uang
muka mana pihak yang belakangan ini sanggup membayarnya. (Subekti. 2000: 100).[41]
Sewa menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari
suatu, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh
suatu pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.
Rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal, atau bangunan
pada
umumnya
(seperti gedung,dsb). Pengertian Rumah menurut UUPP No. 4 tahun 1992, adalah
selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia
untuk berlindung dari gangguan iklim atau mahluk hidup lainnya, rumah juga
merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga, dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi dan, tentram.
Sewa menyewa rumah adalah suatu persetujuan dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya
kenikmatan suatu rumah, selama suatu waktu dan dengan pembayaran sesuatu harga
yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. (Pasal 1548
Kitab Undang Undang Hukum Perdata).
Perjanjian sewa menyewa rumah merupakan suatu perjanjian
konsensuil yang artinya sudah sah apabila telah ada kesepakatan mengenai
unsur
pokoknya yaitu rumah dan harga sewa. Perjanjian sewa menyewa bertujuan untuk
memberikan hak kebendaan, tapi hanya memberikan hak perseorangan terhadap orang
yang menyewakan rumah untuk dinikmati dan
bukannya
hak milik atas rumah.
Subyek dari perjanjian adalah para pihak yang terlibat dalam
perjanjian sewa menyewa yaitu pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Pihak
yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan rumah kepada
pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang
menyewa rumah dari pihak yang menyewakan. Yang menjadi objek dalam perjanjian
sewa menyewa adalah rumah dan harga. Dengan syarat rumah yang disewakan adalah
rumah yang halal, artinya tidak bertentangan dengan Undang Undang , ketertiban,
dan kesusilaan.[42]
Meskipun sewa menyewa rumah adalah suatu perjanjian
konsensuil, namun oleh Undang Undang diadakan perbedaan (dalam
akibat-akibatnya) antara perjanjian sewa menyewa rumah secara tertulis dan sewa
menyewa secara lisan. Jika perjanjian sewa menyewa itu diadakan secara
tertulis, maka sewa menyewa rumah berakhir demi hukum atau (otomatis), apabila
waktu yang ditentukan telah habis, maka
tanpa diperlukan sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu. Sebaliknya sewa
menyewa rumah itu dibuat dengan lisan, maka sewa menyewa itu tidak berakhir
pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan harus
memberitahukan kepada penyewa bahwa ia akan menghentikan sewanya. Pemberitahuan
mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut
kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah
bahwa sewa menyewa diperpanjang untuk waktu yang sama.
Meskipun waktunya telah ditentukan tetapi tidak dibuat
secara tertulis maka perjanjian sewa menyewa rumah tidak berakhir tepat pada
waktunya. Berakhirnya perjanjian sewa menyewa rumah setelah ada pemberitahuan
dari salah satu pihak yang hendak mengakhirinya sewa menyewa tersebut.
Sedangkan perjanjian sewa menyewa rumah baik tertulis atau tidak tertulis
mengenai waktunya tidak ditentukan maka penghentiannya dan berakhirnya sewa
menyewa rumah berjalan sampai saat yang dianggap pantas oleh kedua belah pihak.
Pihak yang menyewakan tidak boleh mengakhiri sewa atas alasan mau dipakai
sendiri rumah yang disewakan, kecuali ditentukan lebih dahulu dalam perjanjian
(Pasal 1579 KUHPerdata).
Berdasarkan
Pasal 1548 KUHPerdata Sewa
menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri
untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu
tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut
terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap
maupun yang bergerak.
Kemudian Pasal 1550 KUHPerdata menegaskan pihak yang
menyewakan karena sifat persetujuan dan tanpa perlu adanya suatu janji, wajib
untuk;
1. menyerahkan barang yang disewakan
kepada penyewa;
2. memelihara barang itu sedemikian
rupa sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud;
3. memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati
barang yang disewakan itu dengan tenteram selama berlangsungnya sewa.
Pasal 1551 KUHPerdata mengatakn
Pihak yang menyewakan wajib untuk
menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segala-galanya.
Selama waktu sewa, ia harus menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan yang perlu
dilakukan pada barang yang disewakan, kecuali pembentukan yang menjadi
kewajiban penyewa. Selain itu juga pihak yang menyewakan harus
menanggung penyewa terhadap semua cacat barang yang disewakan yang merintangi
pemakaian barang itu, meskipun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak
mengetahuinya pada waktu dibuat persetujuan sewa. Jika cacat-cacat itu telah
mengakibatkan suatu kerugian bagi penyewa, maka pihak yang menyewakan wajib
memberikan ganti rugi. (Pasal 1552 KUHPerdata). Kemudian jika barang yang
disewakan musnah sama sekali dalam masa sewa karena suatu kejadian yang tak
disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barang yang
bersangkutan hanya sebagian musnah, maka penyewa dapat memilih menurut keadaan,
akan meminta pengurangan harga atau akan meminta pembatalan persetujuan sewa,
tetapi dalam kedua hal itu ia tidak berhak atas ganti rugi. (Pasal 1553
KUHPerdata). Selama masa sewa berlangsung Pihak yang menyewakan tidak
diperkenankan selama waktu sewa, mengubah bentuk atau susunan barang yang disewakan.
(Pasal 1554 KUHPerdata). Jika dalam masa sewa pada barang yang disewakan itu
terpaksa diadakan pembetulan-pembetulan yang tidak dapat ditunda sampai
berakhirnya masa sewa, maka penyewa harus menerimanya betapapun beratnya
kesusahan yang disebabkannya, dan meskipun selama dilakukannya
pembetulan-pembetulan itu ia terpaksa kehilangan sebagian dari barang yang
disewakan. (Pasal 1555 KUHPerdata), tetapi jika pembetulan-pembetulan itu
berlangsung lebih lama dari empat puluh hari, maka harga sewa harus dikurangi
menurut banyaknya waktu yang tersita dan bagian barang sewa yang tidak dapat
dipakai oleh penyewa. Jika pembetulan-pembetulan sedemikian rupa sifatnya,
sehingga barang sewa yang perlu ditempati oleh penyewa dan keluarganya tak
dapat didiami, maka penyewa dapat memutuskan sewanya. Selain itu Pihak yang
menyewakan tidak wajib menjamin penyewa terhadap rintangan dalam merintangi
dalam menikmati barang sewa yang dilakukan oleh pihak ketiga tanpa berdasarkan
suatu hak atas barang sewa itu, hal ini tidak mengurangi hak penyewa untuk
menuntut sendiri orang itu. (Pasal 1556 KUHPerdarta). Jika sebaliknya penyewa
diganggu dalam kenikmatannya karena suatu tuntutan hukum mengenai hak milik
atas barang yang bersangkutan, maka ia berhak menuntut pengurangan harga sewa
menurut perimbangan, asal gangguan atau rintangan itu telah diberitahukan
secara sah kepada pemilik. (Pasal 1557 KUHPerdata). Jika orang-orang yang
melakukan perbuatan-perbuatan tersebut menyatakan bahwa mereka mempunyai suatu
hak atas barang yang disewakan, atau jika penyewa sendiri digugat untuk
mengosongkan seluruh atau sebagian dari barang yang disewa atau untuk menerima
pelaksanaan pengabdian pekarangan, maka ia wajib memberitahukan hal itu kepada
pihak yang menyewakan dan dapat memanggil pihak tersebut sebagai penanggung.
Bahkan ia dapat menuntut supaya ia dikeluarkan dari perkara, asal ia menunjuk
untuk siapa ia menguasai barang yang bersangkutan. Dan selama masa sewa
berlangsung penyewa, jika tidak diizinkan, tidak boleh menyalahgunakan barang
yang disewanya atau melepaskan sewanya kepada orang lain, atas ancaman
pembatalan persetujuan sewa dan penggantian biaya, kerugian dan bunga sedangkan
pihak yang menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak wajib menaati persetujuan
ulang sewa itu. Jika yang disewa itu berupa sebuah rumah yang didiami sendiri
oleh penyewa, maka dapatlah ia atas tanggung jawab sendiri menyewakan sebagian
kepada orang lain jika hak itu tidak dilarang dalam persetujuan. (Pasal 1559
KUHPerdata).
Dalam Pasal 1560.
Penyewa harus menepati dua kewajiban utama:
1. memakai barang sewa sebagai seorang
kepala rumah tangga yang baik, sesuai dengan tujuan barang itu menurut
persetujuan sewa atau jika tidak ada persetujuan mengenai hal itu, sesuai
dengan tujuan barang itu menurut persangkaan menyangkut keadaan;
2. membayar harga sewa pada waktu yang
telah ditentukan.
Jika penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu
keperluan lain dari yang menjadi tujuannya, atau untuk suatu keperluan yang
dapat menimbulkan suatu kerugian bagi pihak yang menyewakan maka pihak ini,
menurut keadaan dapat meminta pembatalan sewa. (Pasal 1561). Jika antara pihak
yang menyewakan dan pihak yang menyewa telah dibuat suatu pertelaan tentang
barang yang disewakan, maka pihak yang belakangan ini wajib mengembalikan
barang itu dalam keadaan seperti waktu barang itu diterima menurut pertelaan
tersebut kecuali yang telah musnah atau berkurang harganya sebagai akibat dari
tuanya barang atau sebagai akibat dari kejadian-kejadian yang tak disengaja dan
tak dapat dihindarkan. (Pasal 1562). Jika tidak dibuat suatu pertelaan maka
penyewa, mengenai pemeliharaan yang menjadi beban para penyewa, dianggap telah
menerima barang yang disewa itu dalam keadaan baik, kecuali jika dibuktikan sebaliknya
dan ia harus mengembalikan barang itu dalam keadaan yang sama. (Pasal 1563).
Seringkali selama masa sewa berlangsung terjadi
kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan baik itu secara sengsaja ataupun tidak
sengaja sehingga membuat barang sewaan itu rusak dan hal ini mengakibatkan kerugian
bagi pihak yang menyewakan, untuk mengantisipasi hal yang demikian Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata memberikan suatu jaminan hukum seperti yang diatur
dalam Pasal 1564, berbunyi
Penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan pada barang
yang disewakan selama waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa kerusakan
itu terjadi di luar kesalahannya, akan tetapi ia tidak bertanggung jawab atas kebakaran,
kecuali jika pihak yang menyewakan membuktikan bahwa kebakaran itu disebabkan
oleh kesalahan penyewa. (Pasal 1565).
Dalam praktek seringkali terjdi kerusakan terhadap
barang-barang sewaan yang bukan karena kesalahan dari pihak penyewa melainkan karena
kesalahan dari orang yang ada di dalam rumah seperti misalnya teman-teman
serumah, sehingga pihak penyewa mengatakan bahwa dia tidak mau memberikan ganti
rugi atas barang sewaan yang sudah rusak tersebut. Untuk meghadapi masalah
seperti ini Pasal 1566. KUHPerdata
memberikan jaminan hukum yaitu “Penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan
atau kerugian yang ditimbulkan pada barang sewa oleh teman-temannya serumah,
atau oleh mereka yang mengambil alih sewanya”.
Permasalahan lain juga timbul dalam sewa menyewa rumah yang
sering terjadi yaitu pada saat masa sewa rumah berlangsung si penyewa yang
sebelumnya tidak memiliki fasilitas untuk garasi mobil atau fasilitas lainya,
sehingga ia memutuskan untuk membuatnya dengan menggunakan biaya sendiri. Dan
setelah berakhirnya masa sewa menyewa rumah si penyewa ingin membawa semua
fasilitas yang ada namun seringkali si pihak yang menyewakan melarang sehinngga
terjadi perbedaan pendapat yang menimbulkan pertengkaran. Untuk mengatasi
masalah ini Pasal 1567 KUHPerdata
memberikan solusi yaitu “Pada waktu mengosongkan barang yang disewa,
penyewa boleh membongkar dan membawa segala sesuatu yang dengan biaya sendri
telah dibuat pada barang yang disewa asal pembongkaran dan pembawaan itu
dilakukan tanpa merusak barang yang disewa”.
Jika terjadi perselisihan tentang harga sewa yang dibuat
secara lisan dan sudah dijalankan, sedangkan tanda bukti pembayaran tidak ada,
maka pihak yang menyewakan harus dipercaya atas sumpahnya kecuali bila penyewa
memilih untuk menyuruh para ahli menaksir harga sewa. (Pasal 1569). Tidak hanya
itu juga jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum
bila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukan suatu pemberhentian
untuk itu. (1570), kemudian jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa
itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan setelah salah satu
pihak memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia hendak menghentikan
sewanya dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.
(1571). Tidak hanya itu juga
jika pihak yang satu.telah memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia
berhak menghentikan sewanya, maka penyewa meskipun ia tetap menikmati barang
yang bersangkutan, tidak dapat mengemukakan adanya suatu penyewa ulang secara
diam-diam. (Pasal 1572). Jika setelah berakhir suatu penyewaan yang dibuat
secara tertulis, penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan
menguasainya, maka terjadilah suatu sewa baru, yang akibat-akibatnya diatur
dalam Pasal-pasal mengenai penyewaan secara lisan. (Pasal 1573). Dalam hal
kedua pasal tersebut di atas, penanggungan utang yang dibuat untuk penyewaan
tidak meliputi kewajiban yang terjadi akibat perpanjangan sewa. (Pasa 1574).
Persetujuan sewa sekali-kali tidak hapus dengan meninggalnya pihak yang
menyewakan ataupun pihak yang menyewa. (Pasal 1575). Dalam Pasal 1576 berbuny “Dengan dijualnya barang
yang disewa, sewa yang dibuat sebelumnya tidak diputuskan kecuali bila telah
diperjanjikan pada waktu menyewakan barang. Jika ada suatu perjanjian demikian,
penyewa tidak berhak menuntut ganti rugi bila tidak ada suatu perjanjian yang
tegas, tetapi jika ada perjanjian demikian, maka ia tidak wajib mengosongkan
barang yang disewa selama ganti rugi yang terutang belum dilunasi.
Pasal 1577
menegaskan Pembeli dengan perjanjian membeli kembali tidak dapat
menggunakan wewenangnya untuk memaksa penyewa mengosongkan barang yang disewa,
sebelum ia menjadi pemilik mutlak dengan lewatnya tenggang waktu yang
ditentukan untuk pembelian kembali. Kemudian dalam Pasal 1578. “Seorang pembeli yang hendak
menggunakan wewenangnya yang diperjanjikan dalam persetujuan sewa, untuk
memaksa penyewa mengosongkan barang sewa jika barangnya dijual, wajib
memperingatkan penyewa sekian lama sebelumnya, sebagaimana diharuskan oleh adat
setempat mengenai penghentian sewa. Dalam hal sewa tanah, peringatan tersebut
harus disampaikan sedikitnya satu tahun sebelum pengosongan. Tidak hanya itu
juga dalam Pasal 1579. “Pihak
yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan hendak memakai
sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya. Pasal
1580. “Jika dalam persetujuan
sewa telah disetujui bahwa pihak yang menyewakan akan berhak memakai sendiri
rumah atau tanah yang disewakan maka ia wajib memberitahukan kehendaknya untuk
menghentikan sewa sekian lama sebelumnya. sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
1578.
Dalam Pasal 1581 KUHPerdata “Penyewa yang tidak melengkapi sebuah
sewa rumah dengan perabot rumah secukupnya. dapat dipaksa untuk mengosongkan rumah
itu kecuali bila ia memberikan cukup jaminan untuk pembayaran uang sewa”.
Pasal 1582. “Seorang
penyewa kedua tidak wajib membayar kepada pemilik lebih dari jumlah harga sewa
kedua yang masih terutang kepada penyewa pertama pada waktu dilakukan suatu
penyitaan. dan ia tak boleh mengajukan pembayaran yang dilakukan sebelumnya.
kecuali jika pembayaran itu dilakukan menurut suatu perjanjian yang dinyatakan
dalam persetujuan sewa itu atau menurut kebiasaan setempat”.
Kemudian dalam Pasal 1583.
“Pembetulan-pembetulan kecil sehari-hari, dipikul oleh penyewa. Jika
tidak ada persetujuan mengenai hal itu maka dianggap demikianlah pembetulan
pada lemari toko, daun jendela, kunci dalam, kaca jendela, baik di dalam maupun
di luar rumah dan segala sesuatu yang dianggap termasuk itu, menurut kebiasaan
setempat. Meskipun demikian, pembetulan-pembetulan itu harus dipikul oleh pihak
yang menyewakan bila pembetulan itu terpaksa dilakukan karena kerusakan barang
yang disewa atau karena keadaan yang memaksa”. Pasal 1584. Menjaga kebersihan sumur, kolam air hujan, dan
tempat buang air besar dibebankan kepada pihak yang menyewakan, jika tidak
diperjanjikan sebaliknya. Menjaga kebersihan asap, jika tidak ada perjanjian
dibebankan kepada pihak yang menyewa. Pasal 1585. Sewa mebel untuk melengkapi sebuah rumah, tempat
kediaman, toko atau ruangan lainnya, harus dianggap telah dibuat untuk jangka
waktu penyewaan rumah, tempat kediaman, toko atau ruangan menurut kebiasaan
setempat. Pasal 1586. Penyewaan
kamar yang dilengkapi dengan mebel harus dianggap telah dilakukan untuk
tahunan, bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap tahun; untuk bulanan,
bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap bulan; untuk harian, bila dibuat
atas pembayaran sejumlah uang tiap hari. Jika tidak ternyata bahwa penyewaan
dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap tahun, tiap bulan atau tiap hari,
maka penyewaan dianggap telah dibuat menurut kebiasaan setempat.
Pasal 1587. Jika penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya
waktu yang ditentukan dalam suatu persetujuan tertulis, tetap menguasai barang
sewa, sedangkan pihak yang menyewakan tidak melawannya maka dianggaplah bahwa
penyewa tetap menguasai barang yang disewanya atas dasar syarat-syarat yang
sama untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat, dan ia tidak dapat
meninggalkan barang sewa atau dikeluarkan dari situ, kecuali sesudah ada
pemberitahuan tentang penghentian sewa, yang dilakukan menurut kebiasaan.
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari
suatu barang, dalam ketentuan waktu dan harga tertentu. Sewa menyewa adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu
waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut
belakangan itu disanggupi pembayarannya (Pasal 1548 KUH Perdata). Perjanjian
sewa menyewa dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan, perjanjian ini akan
mengikat serta sah pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur
pokoknya yaitu barang dan harga. Perjanjian sewa menyewa yang dilakukan secara
tertulis masa sewanya berakhir secara otomatis apabila waktu yang telah
ditentukan telah habis tanpa diperlukan pemberitahuan pemberhentian terhadapnya
(Pasal 1570 KUH Perdata), dan bila perjanjian sewa menyewa dilakukan secara
lisan maka perjanjian berakhir pada saat pihak yang menyewakan memberitahu
kepada pihak penyewa bahwa si pemberi sewa akan menghentikan sewanya.
Pemberitahuan dalam perjanjian ini sangat penting dikarenakan terkait dengan
jangka waktu, karena jika tidak ada sebuah pemberitahuan maka sewa tersebut
dianggap telah diperpanjang (Pasal 1571 KUH Perdata). Perjanjian sewa menyewa yakni
merupakan perjanjian yang sederhana, dapat dibuat sendiri (akta bawah tangan)
atau dibuat dihadapan notaril (akta notariil), adapun klausula penting yang
harus ada dalam perjanjian ini adalah sebagai berikut:
- Subjek
perjanjian atau para pihak, yaitu si penyewa dan pihak yang menyewakan;
- Objek
yang diperjanjikan, yaitu rumah yang disewakan dengan penjelasan detail
mengenai letak, luas, barang serta fasilitas yang ada dalam rumah
tersebut;
- Jangka
waktu sewa menyewa, yaitu waktu dimulainya sewa dan kapan sewa menyewa
berakhir, apakah dapat diperpanjang secara otomatis atau harus terdapat
persetujuan terlebih dahulu dari pihak yang menyewakan;
- Harga
sewa serta cara pembayaran sewa tersebut;
- Tanggung
jawab atas fasilitas yang ada, seperti pembayaran listrik, air, telepon,
ataupun bilamana terjadi kerusakan dan perbaikan pada rumah yang ditempati
selama masa sewa;
- Larangan
kepada pihak penyewa untuk menyewakan kembali bangunan yang disewa kepada
pihak ketiga tanpa ijin atau persetujuan dari pihak yang menyewakan serta
larangan untuk mengubah bentuk bangunan tanpa ijin tertulis dari pemilik
asli;
- Syarat-syarat
yang membatalkan perjanjian seperti jika terjadi keadaan kahar (force majeur) contoh gempa,
banjir, perang dan sebagainya; dan
- Ketentuan
terhadap mekanisme penyelesaian bilamana terjadi perselisihan, ada yang
menggunakan mekanisme musyawarah untuk mufakat atau dengan menunjuk
pengadilan negeri dimana objek sewa berada.
B. HAK
DAN KEWAJIBAN SEWA MENYEWAH RUMAH MENURUT KUHPerdata.
Perjanjian sewa
menyewa merupakan salah satu perjanjian bernama yaitu
perjanjian yang tercantum dan diatur dalam KUHPerdata
yang terdiri dari Perjanjian Jual Beli, Perjanjian Tukar Menukar, Perjanjian Sewa
Menyewa, Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan, Perjanjian Persekutuan, Perjanjian
Perkumpulan, Perjanjian Penitipan Barang, Perjanjian Pinjam Pakai dan Perjanjian
Pinjam Meminjam. Seperti halnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa merupakan
perjanjian yang memperoleh pengaturan yang terperinci
dari dalam KUHPerdata.
Apabila perjanjian
jual beli memerlukan pengaturan yang terperinci karena berkaitan
dengan peralihan kepemilikan sehingga terdapat banyak
permasalahan hukum yang mungkin timbul, perjanjian sewa menyewa berkaitan dengan
beralihnya penggunaan manfaat selama jangka waktu tertentu, sehingga akan
banyak menimbulkan permasalahan hukum yang berkaitan dengan benda yang
diperjanjikan selama perjanjian berjalan dan saat berakhirnya perjanjian.
Perbedaan dengan
perjanjian jual beli adalah dalam sewa menyewa tidak ada
penyerahan dalam arti pengalihan hak milik, yang terjadi
adalah penyerahan kekuasaan atas suatu barang untuk dinikmati penyewa. Oleh karena itu, tidak
dituntut atau tidak dipersyaratkan bahwa yang menyerahkan barang harus pemilik
barang, sebagaimana halnya dalam perjanjian jual beli atau tukar menukar. Jadi,
meskipun seseorang hanya mempunyai “hak menikmati hasil” atas suatu barang dan
“bukan pemilik”,
yang bersangkutan sudah dapat secara sah menyewakan barang terkecuali
hak menikmati hasil yang ditimbulkan dari sewa menyewa
itu sendiri tanpa adanya ijin dari yang menyewakan atau perjanjian untuk sewa yang
ditentukan oleh Undangundang, seperti diperbolehkannya penyewa rumah untuk menyewakan ulang sebagian
rumah yang disewanya.
KUHPerdata
menempatkan pengaturan terhadap sewa menyewa pada Bab
Ketujuh tentang Sewa Menyewa yang merupakan bagian dari
Buku Ketiga tentang Perikatan. Bab tersebut dibagi menjadi 4 (empat) bagian,
yaitu sebagai berikut:[43]
1.
Bagian
Kesatu, tentang Ketentuan Umum. Bagian ini terdiri dari 2 Pasal, yaitu
Pasal 1548, 1549. Pasal 1547 dihapus.
2.
Bagian Kedua, tentang aturan-aturan yang
sama-sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan penyewaan tanah. Bagian ini terdiri
dari 30 Pasal, yaitu Pasal 1550 sampai dengan Pasal 1580. Pasal 1568 dihapus.
3.
Bagian Ketiga, tentang aturan-aturan yang
khusus berlaku bagi sewa rumah dan perabot rumah. Bagian ini terdini dari 7 Pasal, yaitu
Pasal 1581 sampai dengan Pasal 1587.
4.
Sitohang,
Ikhtisar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Kudamas Intra Asia,
1989, hal.18
5.
Bagian
keempat, tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa tanah.
Bagian ini terdiri dari 13 Pasal, yaitu Pasal 1588 sampai
dengan Pasal 1600.
Pada intinya, ketentuan pada KUHPerdata tentang sewa
menyewa tersebut,
dapat diuraikan menjadi beberapa bagian yaitu:
1. Jenis barang yang dapat disewakan
Sebagai objek perjanjian jenis barang yang disewakan
tidak dibatasi jenisnya. Tidak hanya benda tidak bergerak seperti tanah dan
bangunan tetapi juga bendabenda bergerak seperti dinyatakan pada Pasal 1549 KUHPerdata
alinea terakhir yang masih diberlakukan yaitu; “Semua jenis barang, baik yang
tak bergerak, baik yang bergerak dapat disewakan”.
Dalam perkembangannya, sewa menyewa tidak hanya sekedar
untuk barangbarang yang tidak termanfaatkan oleh pemiliknya, tetapi saat ini
telah menjadi lapangan bisnis dari mulai berskala kecil sampai skala besar.
2. Kewajiban Pihak yang Menyewakan
Dinyatakan atau tidak dinyatakan dalam klausul perjanjian
sewa menyewa, pihak yang menyewakan berkewajiban untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Menyerahkan
barang yang disewakan kepada si penyewa (Pasal 1550 ayat 1
KUHPerdata).
2.
Memelihara
barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550 ayat 2 KUH
Perdata).
3.
Memberikan
si penyewa kenikmatan yang tentram atas barang yang
disewakan, selama berlangsungnya sewa menyewa (Pasal 1550
ayat 3 KUHPerdata).
4.
Menyerahkan
barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segalagalanya
selama waktu sewa, menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan
pada barang yang disewakan yang perlu dilakukan, kecuali
pembetulanpembetulan yang menjadi kewajiban si penyewa (Pasal 1551
KUHPerdata).
5.
Menanggung
si penyewa terhadap semua cacat atas barang yang disewakan,
yang merintangi pemakaian barang, walaupun pihak yang
menyewakan tidak mengetahuinya pada waktu perjanjian sewa itu dibuat.
Jika cacat itu telah mengakibatkan suatu kerugian bagi si
penyewa, kepada pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti rugi (Pasal 1552
KUHPerdata).
6.
Menjamin
si penyewa dari gangguan pihak ketiga yang diakibatkan oleh
tuntutan hak terhadap barang yang disewakan. Untuk hal si
penyewa dapat menuntut pengurangan harga sewa sesuai dengan imbangan akibatnya.
Gangguan dari pihak ketiga yang tidak berhubungan dengan
pihak yang menyewakan bukan merupakan tanggungannya (Pasal 1556 dan 1557
KUHPerdata
Berdasarkan Pasal
1554 dan 1555 KUHPerdata diatur ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a.
Pihak
yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan
hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali
jika telah diperjanjikan sebaliknya.
b.
Pihak
yang menyewakan tidak diperkenankan selama waktu sewa, untuk
mengubah wujud maupun susunan letak barang yang disewakan
kecuali apabila selama waktu sewa terpaksa harus diadakan pembetulan-pembetulan
atas barang sewa yang tidak mungkin menunggu sampai
berakhirnya waktu sewa yang dalam hal ini si penyewa harus menerimanya. Namun apabila
pembetulan itu berlangsung lebih lama dan empat puluh
hari harga sewa harus dikurangi menurut imbangan waktu dan bagian dari barang
yang disewakan yang tidak dapat dipakai oleh si penyewa. Apabila berakibat pembetulan itu
sampai tidak bisa ditempati oleh si penyewa dan
keluarganya, si penyewa dapat memutuskan sewanya.
Dalam perjanjian sewa menyewa terdapat hak dan kewajiban
para pihak antara lain yaitu hak penyewa rumah, adalah sebagai berikut :
1).
Menerima rumah yang disewanya dari pihak yang menyewakan
2).
Memakai rumah yang disewanya tersebut dalam keadaan yang terpelihara untuk keperluan
si penyewa.
Sedangkan kewajiban pokok dari penyewa rumah yaitu :
1).
Memakai rumah yang disewa sebagai “Bapak rumah yang baik” sesuai dengan tujuan
yang diberikan kepada itu menurut perjanjian sewa menyewa.
2).
Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian.
Kewajiban memakai sewaan sebagai “Bapak rumah yang baik”, berarti kewajiban
untuk memakai seakan-akan itu miliknya sendiri. Kewajiban kedua merupakan
kewajiban utama yaitu pembayaran harga sewa, bentuk pembayarannya tidak diatur
dalam Undang Undang. Pembayaran uang sewa ditempat kreditur, yaitu pihak
yang menyewakan. Waktu pembayaran
berlangsung selama waktu sewa berlangsung. Tanggung jawab penyewa rumah
meliputi juga perbuatan dan kesalahan seisi rumah serta orang lain yang
mengambila alih atau oper penyewa dari si penyewa rumah. Pihak penyewa harus
mengembalikan (sebagaimana keadaan rumah) pada waktu diteria penyewa dari pihak
yang menyewakan rumah.
Hak dari yang menyewakan rumah adalah :
1).
Menerima pembayaran uang sewa pada waktu yang telah ditentukan.
2).
Berhak menerima kembali rumah yang disewakan dari pihak penyewa
sebagaimana
keadaan rumah pada waktu diserahkannya pada penyewa.
Sedangkan
yang menjadi kewajiban dari pihak yang menyewakan rumah
adalah
:
1).
Menyerahkan rumah yang disewakan kepada si penyewa
2).
Memelihara yang disewakan hingga dapat dipakai untuk keperluan yang
dimaksudkan.
3).
Memberikan kepada si penyewa kenikmatan tentram dari yang disewakan selama
berlangsungnya persewaan.
Pihak
yang menyewakan wajib menyerahkan rumah yang disewakan dalam keadaan
terpelihara (Pasal 1551 ayat (1) KUHPerdata). Kewajiban memberikan kenikmatan
tentram kepada penyewa rumah sebagai kewajiban pihak yang menyewakan untuk
menanggulangi tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ketiga, jadi bukan gangguan
fisik (Pasal 1556 KUHPerdata).
Kewajiban dan tanggungjawab penyewa diatur dalam
KUHPerdata sebagai
berikut:
a.
Memakai
barang yang disewa sebagai seorang bapak rumah yang baik
(als goed huisvader) (Pasal 1560 ayat 1 KUHPerdata).
b.
Mempergunakan
barang yang disewa sesuai dengan tujuan yang diberikan
pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau bila
tidak ada suatu perjanjian mengenai hal itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung
dengan keadaan. Apabila ternyata si penyewa memakai
barang yang disewa untuk suatu maksud atau keperluan lain dari tujuan
pemakaian yang seharusnya atau untuk tujuan lain yang menimbulkan kerugian kepada pihak
yang menyewakan, pihak yang menyewakan menurut keadaan
meminta pembatalan sewanya (Pasal 1560 ayat 2 dan Pasal 1561 KUHPerdata).
c.
Jika
antara pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa telah dibuat
suatu pratelan (bagian per bagian) tentang barang
yang disewakan, maka pihak yang belakangan ini diwajibkan mengembalikan barangnya
dalam keadaan
dimana barang itu diterimanya menurut pratelan tersebut; dengan
kekecualian apa yang telah musnah atau berkurang harganya
sebagai akibat dari tuanya barang atau tidak dapat dihindarkan. Jika tidak dibuat suatu
pratelan, maka si penyewa mengenai pemeliharaan, yang menjadi beban
para penyewa,
dianggap telah menerima barang yang disewa dalam keadaan yang
baik, kecuali jika dibuktikan sebaliknya dan ia harus
mengembalikan barangnya dalam keadaan yang sama (Pasal 1562 dan Pasal 1653
KUHPerdata).
d.
Si
penyewa bertanggungjawab untuk segala kerusakan yang diterbitkan pada
barang disewa selama waktu sewa, kecuali jika ia
membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi diluar salahnya. Akan tetapi ia tidak
bertanggungjawab jawab untuk kebakaran, kecuali jika pihak yang menyewakan membuktikan
bahwa kebakaran itu disebabkan kesalahan si penyewa
(Pasal 1564 dan Pasal 1565 KUHPerdata).
e.
Si
penyewa bertanggungjawab atas segala kerusakan dan kerugian yang
diterbitkan pada barang yang disewa, oleh kawan-kawannya
serumah atau oleh mereka kepada siapa ia telah mengoperkan sewanya. Namun demikian, si
penyewa diperbolehkan, pada waktu mengosongkan barang
yang disewa, membongkar dan membawa segala apa yang dengan biaya sendiri telah
menyuruh membuat pada barang yang disewa, asal
pembongkaran dan pembawaan itu dilakukan dengan tidak merusakkan barang yang disewa.
Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa
KUHPerdata mengatur berakhirnya sewa menyewa pada Pasal
1570 berturutturut sampai dengan Pasal 1580. Ada 2 (dua) hal penting yang
berkaitan dengan berakhirnya sewa, yaitu:
a.
Perjanjian
sewa tidak sekali-kali hapus dengan meninggalnya pihak yang
menyewakan maupun dengan meninggalnya pihak si penyewa.
b.
Dengan
dijualnya barang yang disewa, suatu sewa menyewa yang telah dibuat
sebelumnya tidaklah putus, kecuali apabila hal tersebut
telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang, dan apabila ada
diperjanjikan demikian, si penyewa tidak berhak menuntut suatu ganti rugi jika tidak
ada suatu janji yang tegas. Tetapi apabila janji yang demikian itu memang ada,
si penyewa tidak diwajibkan mengosongkan barang yang disewa selama ganti rugi yang
terutang belum dilunasi.
c.
Pembeli
objek perjanjian sewa menyewa dengan “janji membeli kembali”
tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa si
penyewa mengosongkan barang yang disewa, sebelum ia dengan lewatnya tenggang
waktu yang ditentukan untuk pembelian kembali, menjadi
pemilik mutlak.
d.
Seorang
pembeli yang hendak menggunakan kekuasaan yang diperjanjikan
dalam perjanjian sewa, untuk jika barangnya dijual,
memaksa si penyewa mengosongkan barang yang disewa, diwajibkan
memperingatkan si penyewa sekian lama sebelumnya, sebagaimana diharuskan oleh adat
kebiasaan setempat mengenai pemberhentian sewa.
e.
Apabila
perjanjian sewa tidak dibuat secara tertulis, sewa itu tidak berakhir
pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain
hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat.
Penyewaan Ulang
Penyewaan ulang adalah sewa yang seharusnya sudah
berakhir, namun terus dilanjutkan kembali. Sewa ulang tersebut bisa dengan
ketentuan dan persyaratan perjanjian yang sama seperti sebelumnya atau bisa juga
dengan perubahan,
berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Berdasarkan
ketentuan KUHPerdata apabila pihak yang satu (orang yang
menyewakan) telah memberitahukan kepada pihak yang
lainnya (penyewa) bahwa ia
hendak menghentikan sewanya, si penyewa meskipun ia tetap
menikmati barangnya,
tidak dapat memajukan adanya suatu penyewaan ulang secara
diam-diam (Pasal 1572
KUHPerdata). Apabila perjanjian sewa dibuat secara tertulis dan
setelah sewa berakhir si penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan
dibiarkan menguasainya, terjadilah suatu sewa baru yang akibat-akibatnya diatur
dalam pasal-pasal tentang penyewaan dengan lisan (Pasal 1573 KUHPerdata). Namun
dalam kedua perjanjian sewa seperti iti, penanggungan utang yang dibuat untuk
sewanya tidak meliputi kewajiban-kewajiban yang timbul dari perpanjangan sewa
(Pasal 1574 KUHPerdata).
Mengulang sewakan
Mengulang sewakan tidak sama dengan penyewaan ulang. Yang
dimaksudkan dengan mengulang sewakan Mengulang sewakan adalah jika si penyewa
menyewakan lagi rumahnya kepada orang lain, tetapi
perjanjian sewa masih dipertahankan, sehingga penyewa itu berada dalam hubungan
sewa dengan pemilik. Apabila si penyewa tidak diizinkan dan tidak diperbolehkan mengulang
sewakan barang yang disewanya atau melepaskan sewanya
kepada orang lain atas ancaman pembatalan perjanjian sewanya dari penggantian
biaya, rugi dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan setelahnya pembatalan
itu, tidak diwajibkan menaati perjanjian ulang sewa. Dimaksud dengan melepaskan
sewa adalah apabila si penyewa keluar atau menarik diri selaku penyewa dan
digantikan oleh orang lain atau pihak ketiga, yang bertindak sebagai penyewa
dalam sewa menyewa tersebut.[44]
BAB V PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Sewa menyewa rumah dilakukan
dengan perjanjian tertulis yang dibuat secara baku dengan berpedoman pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu Pasal 1320 tentang syarat-syarat sahnya
perjanjian pada umumnya. Dengan perjanjian sewa menyewa tersebut baik penyewa maupun
yang menyewakan sama-sama mempunyai bukti bahwa telah terjadi perbuatan hukum
tentang sewa menyewa rumah. Bentuk perjanjian tersebut adalah tertulis dan
mempunyai kekuatan hukum bagi masing-masing pihak jika terjadi perselisihan.
Ini sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang isinya
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Jika jangka waktu sewa berakhir maka penyewa harus
meninggalkan dan mengosongkan rumah tersebut sesuai dengan isi perjajian yang dibuat.
Jika terjadi perselisihan waktu sewa dapat diselesaikan dengan musyawarah untuk
mupakat, maupun dilakukan sesuai dengan jalur hukum. Kendala-kendala yang
dihadapi oleh yang menyewakan dalam mengambil alih rumah adalah Penyewa
menyewakan kembali rumah yang disewanya kepada orang lain dengan perjanjian dibawah
tangan tanpa seijin yang menyewakan. Dengan demikian jika jangka waktu
perjanjian sewa menyewa berakhir, maka penyewa tersebut sulit untuk
meninggalkan dan mengosongkan rumah tersebut.
B. Saran
1.
Kepada para pihak yang
terlibat dalam proses sewa menyewa rumah sebelum perjanjian itu disepakati
harus terlebih dahulu mengerti tentang isi perjanjian tersebut supaya
benar-benar para pihak itu dapat memahami isi perjanjian tersebut.
2.
Kepada Penyewa apabila sudah
memahami isi dari perjajian sewa menyewa tersebut, baru menandatanginya, dan
jika batas waktu sewa menyewa berakhir harus meninggalkan dan mengosongkan
rumah seperti dalam keadaan semula.
DAFTAR PUSTAKA
Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.
1.
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Campbell,
Tom. 1994. Tujuh
Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cet. 2., (Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hadikumsuma,
Hilman. 1995. Metode Pembuatan Kertas
Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1. Bandung: Mandar Maju.
Harahap Yahya, M. 1986. Segi-Segi Hukum
Perjanjian, cet. l. Bandung, Alumni.
Kansil T.S.C. 1979. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Muhammad,
Abdulkadir. 2004. Hukum dan
Penelitian Hukum, cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan. 2003. Perikatan
Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Rashid,
Harus. 1983. Upaya Penyelesaian Sengketa
Sewa Menyewa Perumahan Menurut Perundang-Undangan. Jakarta: Balai Aksara.
Sabine,
G. H. 1985. Teori-Teori
Politik : Sejarah pertumbuh dan perkembangannya. Jakarta: Bina Cipta.
Salim. 1999. Hukum
Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta, Sinar Grafika.
Salaim.
2003. Hukum Kontrak Teori Dan Tehknik
Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.
Salim. 2005. Perkembangan
Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, cet. 3,
Jakarta, Sinar Grafika.
Setiawan,
R. 1977.
Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung, Bina Cipta.
Soekanto,
Soerjono dan Mamudji, Sri, 1995. Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Subekti. 1993. Aspek-aspek
Hukum Nasional.
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Subekti, R. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Umbara.
Subekti, 2004.
Hukum Perjanjian, Cet. 20.
Jakarta,: Intermasa.
Subekti, 1993. Pokok-Pokok Hukum Perdata., Jakarta: ntermasa.
Sunggono,
Bambang. 2003. Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Suryodiningrat, M.R.
1991.
Perikatan-Periaktan Bersumber Perjanjian. Bandun: Tarsito.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi ke-2,
cet.7.
Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Wijaya, Rai. 2004. Merancang Suatu
Kontrak (Contract Drafting), Teori dan Praktek, Edisi Revisi. Bekasi: Mega Poin.
www.
Google.com. Diakses pada tanggal 10 April
2010.
[3] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1979), hal. 247.
[5] Tom Campbell,
Tujuh Teori Sosial. (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), hal. 34-35.
[6] H. G. Sabine,
Teori-Teori Politik : Sejarah pertumbuh
dan perkembangannya, (Jakarta: Bina Cipta, 1985), hal. 47-48.
[8] Ibid. hal. 14.
[9] Salim H.S., Perkembangan
Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, cet. 3, (Jakarta,
Sinar Grafika,
2005),
hal. 6.
[10] Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.
1, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 73.
[11] Op. Cit, hal. 35.
[12] Ibid.
[13] Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis, Cet. 2., (Bandung, PT.Citra
Aditya Bakti, 1999), hal. 30.
[14] Ibid.
[15] Ibid. hal. 73.
[16] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang
Lahir Dari Perjanjian, cet. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 155.
[19] Op. Cit, hal. 48.
[20] Salim, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak), (Jakarta, Sinar
Grafika1999), hal. 59.
[22] Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi ke-2, cet.7, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, hal.
933.
[24] Op. Cit, hal 67-69.
[25] Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.
13-14; Lihat juga Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 184.
[26] Abdulkadir Muhammad, Hukum
dan Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 52.
[27] Bambang Sunggono, Metodologi
Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 86.
[28] Bambang Sunggono, Ibid.,
hal. 93.
[29] Abdulkadir Muhammad, Op. cit.
[30] Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Loc. cit., hal. 4; Bandingkan dengan “rechtsdogmatiek”
dari K. F. von Gerber dan Paul Laban, lihat, Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar,
Metode, dan Sejarah Perkembangan), cet. 8, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hal. 85.
[31] Ibid., hal. 13-14; Lihat,
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.,; Lihat Juga, Hilman Hadikumsuma, Metode
Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1, (Bandung: Mandar
Maju, 1995), hal. 65-66.
[32] Ibid., hal. 13-14.
[33]
Abdulkadir, Op. cit., hal. 56.
[34] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit,
hal. 125; Lihat juga, Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184.
[35] Bambang Sunggono, Loc. cit.,
hal. 184; Lihat juga Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 125.
[36] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit,
hal. 125.
[37] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit,
hal. 125.
[38] Abdulkadir Muhammad, Loc.
cit., hal. 92.
[39] Hilman Hadikumsuma, Loc. cit.,
hal. 120, 121.
[40] Bambang Sunggono, Loc. cit.,
hal. 68, 186;
[41] Harus, Rashid. Upaya Penyelesaian Sengketa Sewa Menyewa
Perumahan Menurut Perundang-Undangan. (Jakarta: Balai Aksara, 1983), hal.
89.
[42] Salaim. Hukum Kontrak Teori Dan Tehknik Penyusunan Kontrak. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), hal. 59.
[43] R.M., Suryodiningrat, Perikatan-Periaktan
Bersumber Perjanjian, (Bandun: Tarsito, 1991), hal. 33.
[44] Rai Wijaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract
Drafting), Teori dan Praktek, Edisi Revisi, (Bekasi: Mega Poin, 2004), hal. 178.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar