Kamis, 16 Mei 2012
ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
RUANG BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
Penerapan hukum pidana atau suatu
perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat
perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana menurut waktu
menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan
perbuatan (feit) pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau
belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat
dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas (nullum
delictum nula poena sine praevia lege poenali)
Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP.
Tidak dapat
dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan
perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
asas ini dirumuskan oleh Anselm von
Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)”
dimana adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang
mengandung tiga prinsip dasar :
- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
- Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
- Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).
RUANG BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT
Teori tetang ruang lingkup
berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi
hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua)
pendapat yaitu :
- Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial).
- Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif.
Dalam hal ini asas-asas hukum pidana
menurut tempat :
1. Asas Teritorial.
Asas ini diatur dalam KUHP yaitu dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan :
Ketentuan pidana
dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan
suatu tindak pidana di Indonesia.
Perluasan dari Asas Teritorialitas
diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
Ketentuan pidana
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di
luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia”.
2. Asas
Personal (nasional aktif).
Pasal 5 KUHP menyatakan :
(1). Ketetentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di
luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan
Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu
perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana
perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.
(2). Penuntutan
perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa
menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.
Sekalipun rumusan Pasal 5 ini
memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah
Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi
sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas
nasional pasif)
karena Ketentuan pidana yang
diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah Indonesia
tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai
perlindungan terhadap kepentingan nasional.
3. Asas
Perlindungan (nasional pasif)
Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena Pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena Pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
- Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1).
- Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2).
- Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3).
- Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).
4. Asas
Universal.
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian
yang diakui meliputi :
- Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
- Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial.
- Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya.
- Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine
praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat
dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan
perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von
Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana
adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung
tiga prinsip dasar :
- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
- Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
- Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).
Adagium
ini menganjurkan supaya :
- Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;
- Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;
- Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud
dalam asas legalitas yaitu :
- Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
- Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
- Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam
pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
- Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-undangan (formil).
- Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut).
- Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis).
- Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex Certa).
- Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
- Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
- Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar