Jumat, 18 Mei 2012

HUKUM AGRARIA DALAM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

HUKUM AGRARIA
DALAM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

  1. Konsep Dasar Pengembangan Dan Penataan Wilayah
  1. Konsep Pengembangan Wilayah.
Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep  pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia.[1]
Secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI[2].
Berpijak pada pengertian diatas maka pembangunan seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik dengan  mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya.
Pengembangan wilayah diselenggarakan dengan memerhatikan potensi dan peluang keunggulan sumberdaya darat  dan/atau  laut di  setiap  wilayah,  serta memerhatikan  prinsip  pembangunan  berkelanjutan  dan  daya  dukung  lingkungan.  Tujuan  utama pengembangan  wilayah  adalah  peningkatan  kualitas  hidup  dan  kesejahteraan masyarakat  serta  pemerataannya. [3]
Pelaksanaan  pengembangan  wilayah  tersebut dilakukan  secara terencana  dan  terintegrasi dengan  semua rencana  pembangunan sektor dan bidang. Rencana pembangunan dijabarkan dan disinkronisasikan ke dalam rencana tata ruang yang konsisten, baik materi maupun jangka waktunya
  1. Konsep Penataan Wilayah
Penataan wilayah dapat dipandang sebagai sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan.   Ruang kehidupan yang nyaman mengandung pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia.
Sedangkan  ruang yang produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang. Keseluruhan tujuan ini diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan
Beranjak dari pemahaman diatas, maka tentunya setiap tahap penataan wilayah  yang terdiri atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, haruslah diletakan pada pemikiran pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang di dalamnya terkandung pula prinsip wawasan lingkungan (pro-environment).
Prinsip berkelanjutan dan prinsip berwasan lingkungan sebagaimana disebutkan diatas, memiliki keterkonsep erat satu sama lain. Dalam hal ini, Jimly Asshiddiqie[4], berpendapat bahwa :
”Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan salah satu perwujudan dari wawasan lingkungan yang dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945 tersebut. Sebaliknya, prinsip pembangunan yang berkelanjutan juga harus di terapkan dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa lingkungan hidup sebagai unsur utamanya, dan tidak ada wawasan lingkungan tanpa pembangunan berkelanjutan”
Merujuk pada pengertian diatas, maka untuk dapat memanfaatkan nilai dan manfaat dari sumber bagi pengembangan wilayah nasional secara berkelanjutan serta menjamin kepentingan umum secara luas (public interest), diperlukan sebuah konsep pengelolaan wilayah yang bertujuan agar seluruh sumber daya dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. 
Pengaturan tersebut dimaksudkan dalam kerangka  untuk pemanfaatan bumi, air, dan udara serta seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya, sejalan dengan tujuan negara sebagaimana tegaskan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.[5]
  1. Konsep Pengaturan Tata Ruang
Pada hakikatnya adalah suatu kebijakan publik yang bermaksud untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan para pelaku pembangunan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, selaras, seimbang dan berkelanjutan.  Selain itu, penataan ruang adalah suatu proses untuk menentukan apa yang akan dicapai di masa depan dan menjelaskan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut” [6]
Pengaturan tata ruang  sebagaimana dikemukakan diatas, tidak terlepas dari konsep perencanaan, dimana dalam konsep negara hukum perencanaan merupakan bagian dari tindakan pemerintah dalam melaksanaan tugas-tugas administrasi negara sehingga perencanaan tidak dapat dipisahkan dari lapangan hukum administrasi negara.  Dalam kaitan ini, Philipus M Hadjon[7], menyatakan bahwa :
”Pada negara hukum kemasyarakatan moderen, rencana selaku figur hukum dari hubungan hukum administrasi tidak dapat lagi dihilangkan dari pemikiran. Rencana-rencana dijumpai pada pelbagai bidang kegiatan pemerintahan, misalnya pengaturan tata ruang, pengurusan kesehatan, dan pendidikan.  Rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang tertib (teratur).  Dengan sendirinya hanya rencana-rencana yang berkekuatan hukum yang memiliki arti bagi hukum administrasi negara. Suatu rencana menunjukan kebijaksanaan apa yang akan dijalankan oleh tata usaha negara pada suatu lapangan bidang tertentu”
Pernyataan tersebut di atas sekaligus untuk memberikan batasan bahwa perencanaan dalam kaitan dengan pengaturan dan penataan ruang yang dimaksudkan di sini adalah perencanaan dalam prespektif hukum administrasi merupakan salah satu instrumen pemerintahan sebab pada kenyataannya, hampir semua organ pemerintahan membuat rencana-rencana dalam rangka menjalankan kegiatannya.
Pengaturan tata ruang merupakan dasar bagi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyusunan rencana tata ruang tentunya harus memperhatikan keterkaitan antar wilayah, antar fungsi kawasan dan antar kegiatan kawasan. Keterkaitan antar wilayah merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antar wilayah, yaitu wilayah nasioanal, wilayah provinsi, dan wilayah kabupaten/kota.  Keterkaitan antar fungsi kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antar kawasan, antara lain meliputi keterkaitan antar kawasan lindung dan kawasan budidaya. Keterkaitan antar kegiatan kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antar kawasan, antara lain meliputi keterkaitan antar kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan [8]
Di Indonesia, penataan ruang itu sendiri diatur dalam Undang Nomor 26 Tahun 2007, dimana penataan ruang merupakan proses perencanaan tata tuang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.[9] Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 angka (13), angka (14) dan angka (15) dijelaskan bahwa :
Perencanaan Tata Ruang  adalah suatu proses untuk menentukan suatu struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta biayanya
Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang
Merujuk pada proses penataan ruang sebagaimana dijelaskan diatas, maka perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah dan antar sektor bagi perwujudan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan dalam satu kesatuan wilayah yang meliputi wilayah darat, wilayah laut termasuk ruang udara dengan kata kunci yaitu keterpaduan.[10]
Dengan demikian, bahwa perencanaan tata ruang merupakan proses untuk menghasilkan rencana tata ruang yang mencakup proses penyusunan rencana tata ruang dan proses penetapan rencana tata ruang. Rencana tata ruang setelah ditetapkan selanjutnya menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang dan pengendaliannya.
Rencana tata ruang berisi rencana struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang. Rencana struktur ruang adalah arahan pengembangan elemen-elemen pembentuk struktur ruang yang terdiri dari sistem pusat-pusat permukiman, sistem jaringan transportasi (darat, laut, udara), sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan prasarana sumber daya air yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Adapun rencana pola pemanfaatan ruang berisi arahan distribusi peruntukan ruang untuk berbagai kegiatan baik peruntukan ruang untuk fungsi lindung maupun fungsi budidaya.
Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia[11], maka ditempuh melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni :
  1. proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).
  2. proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri,
  3. proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
 
Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.
Tujuan pengembangan wilayah tersebut diatas, merupakan salah satu bagian dalam perwujudan tujuan sistem perencanaan pembangunan Nasional, yaitu untuk menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antar pemanfaatan ruang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Dalam sistem perencanaan pembangunan Nasional maupun perencanaan tata ruang keduanya menekankan suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan (prioritas) secara berhierarki, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia.
Jika perencanaan pembangunan Nasional berwujud spasial dan non spasial, maka perencanaan tata ruang lebih menekankan pada aspek spasial yang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam lainnya. 
Adapun produk yang dihasilkan dari upaya/proses perencanaan tata ruang adalah  Rencana Tata Ruang. Pengertian Rencana Tata Ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dalam aktivitas sosial-ekonomi dan aktivitas lainnya dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability). Produk RTR secara garis besar terdiri atas RTRW Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota untuk wilayah administratif yang berhirarki, serta RTR Kawasan fungsional.
Sebagai matra spasial dalam pelaksanaan pembangunan nasional, pengaturan tata ruang memberikan prinsip-prinsip pemanfaatan ruang yang dapat mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah dan antar sektor bagi perwujudan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan dalam satu kesatuan wilayah yang meliputi wilayah darat, wilayah laut termasuk ruang udara.[12]
Rencana tata ruang digunakan sebagai acuan kebijakan spasial bagi pembangunan di setiap sektor, lintas sektor, maupun wilayah agar pemanfaatan ruang dapat sinergis, serasi, dan berkelanjutan. Rencana Tata Ruang Wilayah disusun secara hierarki. Dalam rangka mengoptimalkan penataan ruang perlu ditingkatkan (a) kompetensi sumber daya manusia dan kelembagaan di bidang penataan ruang, (b) kualitas rencana tata ruang, dan (c) efektivitas penerapan dan penegakan hukum dalam perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian pemanfaatan ruang.
Implementasi proses-proses penataan ruang tersebut di atas diselenggarakan berdasarkan : [13]
  1. Berdasarkan Sistem, dimana penataan ruang berdasarkan sistem, terdiri atas sistem wilayah dan sistem intenal perkotaan;
  2. Fungsi utama kawasan, dimana penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan, yang terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya;
  3. Wilayah administratif, dimana Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif, terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, wilayah propinsi dan kabupaten/kota;
  4. Sistem fungsi kawasan, dimana Penataan ruang berdasarkan kawasan, terdiri atas kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan; dan
  5. Nilai strategsi kawasan, dimana Penataan ruang berdasarkan nilai stategis kawasan, terdiri atas kawasan strategis nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Hasil dari perencanaan tata ruang berdasarkan wilayah administratif adalah berupa Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Provinsi (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten; dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota)
Sedangkan hasil perencanaan tata ruang berdasarkan kedalamnya (kerinciannya) adalah berupa :
  1. Rencana Umum (seperti RTRW Nasional/ Provinsi/ Kabupaten/Kota); dan
  2. Rencana Rinci (seperti RDTR Kabupaten/Kota, RTR Kawasan Pulau/Kepulauan, RTR Kawasan Strategis Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota).
Sementara itu, hasil perencanaan tata ruang berdasarkan kegiatan kawasan adalah berupa :
  1. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan; dan
  2. Rencana Tata Ruang Kawasan Pedesaan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara berhirarkis menurut kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci. RTRWN disusun dengan memperhatikan wilayah Nasional sebagai satu kesatuan wilayah yang lebih lanjut dijabarkan kedalam strategi serta struktur dan pola pemanfaatan ruang pada wilayah propinsi (RTRWP), termasuk di dalamnya penetapan sejumlah kawasan tertentu dan kawasan andalan yang diprioritaskan penanganannya.
Pengaturan tata ruang sesuai peruntukan merupakan tantangan pada masa yang akan datang yang harus dihadapi untuk mengatasi krisis tata ruang yang telah terjadi. Untuk itu diperlukan penataan ruang yang baik dan berada dalam satu sistem yang menjamin konsistensi antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Penataan ruang yang baik diperlukan bagi :
  1. arahan lokasi kegiatan,
  2. batasan kemampuan lahan, termasuk di dalamnya adalah daya dukung lingkungan dan kerentanan terhadap bencana alam,
  3. efisiensi dan sinkronisasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan.
Penataan ruang yang baik juga harus didukung dengan regulasi tata ruang yang searah, dalam arti tidak saling bertabrakan antarsektor, dengan tetap memerhatikan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, serta kerentanan wilayah terhadap terjadinya bencana.
  1. Prinsip-Prinsip Dalam Penataan Dan Pengembangan Dalam Konsep Pengelolaan Wilayah Laut
  1. Prinsip-prinisp Dalam Hukum Agrarian (UUPA)
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, merupakan landasan kosntitusional bagi pembentukan politik dan hukum agrarian nasional, yang di dalamnya berisikan dua (2) hal pokok, yakni :
  1. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara.
  2. Tujuan penguasaan tersebut adalah  untuk sebesar-besarnya kemakmuran  rakyat.
Politik agraria [14]mendasarkan keyakinan bahwa bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Negara Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan YME dan merupakan kekayaan nasional.  Adapun pelaksanaannya akan diatur di dalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan Pemerintah dan peraturan-perundangan lainnya. Demikianlah maka pada pokoknya tujuan Undang-undang Pokok Agraria ialah : [15]
  1. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
  2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan ke- sederhanaan dalam hukum pertanahan.
  3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya
Lebih lanjut dapat kita lihat bahwa wujud dari politik hukum agraria itu sendiri adalah kewenangan atau kekuasaan negara untuk mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsur-unsur agraria, yang meliputi bumi, air, dan ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang dituangkan dalam kebijaksanaan yang dalam kenyataannya tertuang dalam kaidah-kaidah hukum. Sedangkan tujuannya dari politik agrarian itu sendiri adalah :
  1. Politik agraria nasional ditujukan untuk kemakmuran, kebahagiaan, dan kemakmuran rakyat Indonesia.
  2. Politik agraria nasional yang dijelmakan dalam sebuah UU untuk dijadikan dasar bagi pelaksanaan politik agraria tersebut, harus dapat melenyapkan dualisme, ketimpangan dalam pola pemilikan, penggunaan, dan penguasaan tanah.
Dalam operasionalisasi pembaruan agraria terutama dalam kaitannya dengan perundang-undangan, terdapat prinsip-prinsip yang harus dijadikan dasar berkaitan dengan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yakni antara lain : [16]
 
  1. Prinsip Keberlanjutan
Prinsip ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (1), yang menyatakan, bahwa : "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia" Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa- sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, mengandung makna (i) adanya tanggung jawab untuk “menjaga” dan (ii) hal itu pula mewajibkan negara untuk “melestarikan” segala sumber daya dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keberlanjutan masa depan demi kesejateraan rakyat sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan negara di dalam UUD NRI Tahun 1945.
  1. Prinsip Ketuhanan
Prinsip ini didasarkan pada Asas Ketuhanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 UUPA[17]. Ketentuan tersebut menggambarkan adanya pengakuan segenap bangsa Indonesia bahwa “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia” merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Konsep ini pula yang melahirkan tanggung jawab bagi negara untuk menjaga dan melestarikannya sesuai dengan tujuan negara yakni sebebsar-besarnya kemakmuran rakyat.
  1. Prinsip Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat
Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa-untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa.  
Dari prespektif inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat (1), pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada ting- katan yang tertinggi :
a.  mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
b.  menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
c.  menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukkum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (pasal 2 ayat 2 dan 3). Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya sampai disitulah batas kekuasaan" Negara tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam BAB II
  1. Prinsip pengakuan dan penghormatan hak masyarakat hukum adat
Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka di dalam pasal 3[18] diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini.
Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.
  1. Prinsip Sosial
Prinsip ini diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat).
  1. Prinsip Nasional/Kebangsaan
Prinsip ini lahir dari asas kebangsaan yang diakui oleh UUPA. Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1 hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).
  1. Prinsip Perencanaan
Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara tersebut di atas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana ("planning") mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum ("National planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
  1. Prinsip-Prinsip Pengembangan Dan Penataan Wilayah Dalam Konsep Pengelolaan Wilayah Laut
Sejalan dengan konsep pengembangan wilayah sebagaimana dikemukan diatas, hubungannya dengan pengelolaan wilayah laut (termasuk pesisir) maka perlu diperhatikan beberapa prinsip-prinsip dasar, yang meliputi keterpaduan perencanaan, desentralisasi pengelolaan, pembangunan berkelanjutan, serta keterbukaan dan partisipasi masyarakat.[19]
  1. Prinisp Keterpaduan
Prinsip keterpaduan menjadi salah satu prinsip yang mendasar dalam kerangka penataan ruang yang berfungsi untuk memberikan landasan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan baik yang bersifat kewilayaan maupun sektoral, khususnya dalam kerangka pemanfaatan sumber daya alam. Prinsip keterpaduan merupakan salah satu asas dalam kerangka penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 2 butir (a) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Penataan ruang pada wilayah laut menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh terhadap subsistem yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem wilayah ruang nasional secara keseluruhan[20].   Sejalan dengan hal tersebut diatas,  maka pengaturan penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utama, yang ditekankan pada pendekatan kesisteman yang kompleks berlandaskan pada 4 (empat) prinsip utama yakni  (1). holistik dan terpadu, (2). keseimbangan antar fungsi kawasan (misal antar kota-desa, lindung-budidaya, pesisir-daratan, atau hulu-hilir), (3). keterpaduan penanganan secara lintas sektor/stakeholders dan lintas wilayah administratif, serta (4). pelibatan peran serta masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang [21]
Selain hal-hal yang dikemukakan diatas, terdapat pula beberapa hal pokok yang menjadi dasar dari prinsip keterpaduan yakni keterpaduan perencanaan sektoral secara horizontal dan vertikal; keterpaduan ekosistem darat dan laut; keterpaduan sains dan manejemen; dan keterpaduan antar negara.
Memperhatikan uraian sebagaimana dikemukakan diatas, terlihat jelas bahwa pola keterpaduan menjadi sangat penting dan mutlak dalam konteks penataan ruang secara terpadu sehingga dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan yang terlibat di dalamnya. Fungsi keterpaduan tersebut tidak hanya keterpaduan lintas sektoral dan lintas propinsi saja melainkan juga keterpaduan antara kepentingan nasional dengan kepentingan daerah, sehingga proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah khususnya dalam pemanfaatan sumber daya di wilayah laut.
  1. Prinisp Desentralisasi Pengelolaan Dan Penguatan Kelembangan
Seiring dengan perkembangan pelaksanaan otonomi daerah, masalah penataan ruang yang dihadapi pun semakin kompleks.  Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, wewenang pengaturan tata ruang dimaksudkan sebagai pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Wewenang  penyelenggaraan tata ruang yang kemudian di implementasikan dalam rencana tata ruang merupakan dasar bagi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang 
Wewenang pemerintah daerah provinsi berkaitan dengan perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, juga diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yakni Perencanaan Tata Ruang[22], Pemanfaatan Ruang[23], dan  Pengendalian Pemanfaatan Ruang[24],
Pemberian wewenang kepada daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang memerlukan memerlukan koordinasi guna mengharmonisasikan dan menyeleraskan pembangunan baik pembangunan nasional, pembangunan daerah, maupun pembangunan antar daerah. Untuk itu diperlukan kebijakan dan strategi penataan ruang dan pengembangan wilayah yang mampu menjawab berbagai  isu-isu ataupun permasalahan pembangunan yang berkembang dewasa ini, terutama berkaitan dengan penataan ruang wilayah laut mengingat pengaturan mengenai batas-batas wilayah laut dalam pemanfaatan sumber daya laut belum sepenuhnya memiliki kepastian hukum.
Namun demikian, desentralisasi sebagai bentuk penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, namun haruslah diletakan dalam prespektif Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampuh meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta poteni dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[25] Philipus M. Hadjon[26] menegaskan bahwa :
”Daerah memiliki kemandirian dan kebebasan dalam menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, dan terhadap urusan pemerinatahan yang diserahkan itu, daerah mempunyai kebebasan (vrijheid) untuk mengatur dan mengurus sendiri dengan pengawasan dari pemerintah pusat atau susunan pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan tetap adanya pengawasan, kebebasan itu tidak mengandung adanya kemerdekaan (onafhankelijk)”
Dengan demikian meskipun otonomi daerah adalah kebebasan dan kemandirian bersifat staatsrechtelijk, untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. tetapi daerah otonom bukanlah satuan kenegaraan, sehingga kebebasan dan kemandirian tersebut haruslah dimaknai dalam konsep negara kesatuan sebagaimana dimaksudkan dalam  Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam konsep hukum administrasi wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan tujuan dan maskud diberikannya wewenang itu, sehingga pemberian wewenang tersebut sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang tersebut. 
Oleh karenanya, setiap tindak pemerintahan seharusnya bertumpuh pada sebuah kewenangan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan, sehingga akan jelas maksud dan tujuan pemberian wewenang itu sendiri, sehingga dapat menjadi ukuran dalam menentukan stadar wewenang itu sendiri.  Dalam hubungan ini, Philipus M Hadjon[27], menjelaskan bahwa:
”setiap tindakan pemerintah senantiasa didasarkan pada suatu kewenangan yang sah. Setiap kewenangan dibatasi oleh isi/materi, wilayah dan waktu. Catat dalam aspek-aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid) yang menyangkut  pertama cacat isi (onbevoegdheid ratione materiae), kedua, cacat wilayah (onbevoegdheid ratione locu), dan  ketiga, cacat waktu (onbevoegdheid ratione temporis)
Sementara itu, Tatiek Sri Djatmiati[28], dalam disertasinya menguraikan hubungan antara hukum administrasi dengan kewenangan, yakni bahwa :
”Hubungan administrasi atau hukum tata pemerintahan (administratiefrecht atau bestuursrecht) berisikan norma-norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum (improper legal or improper ilegal) , sehingga apabila terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara “improper ilegal” maka badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggungjawabkan”
Pendapat terakhir ini, dihubungkan dengan adanya standar wewenang, yakni standar umum (untuk semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu) maka standar wewenang tersebut digunakan untuk menguji penggunaan wewenang (wewenang pemerintahan). Pengujian terhadap penggunaan wewenang tersebut didasarkan norma hukum administrasi yakni norma umum dan norma khusus (asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Selain itu, pengujian terhadap penggunaan wewenang pemerintahan dapat pula didasarkan pada kategori suatu keputusan baik yang bersifat terikat maupun keputusan yang bebas. Dalam pada itu, Philipus M Hadjon[29], menjelaskan bahwa :
”Bagi KTUN terikat, pada dasarnya KTUN itu hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya suatu ruang kebebasan bagi pejabat yang bersangkutan. Sedangkan KTUN bebas didasarkan pada suatu kebebasan bertindak yang lazimnya dikenal dengan asas ‘freies ermessen’ (discretionary power)”
Untuk membedakan membedakan kebebasan pemerintahan, yang dibedakan dalam kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan menilai (beoordelingsvrijheid). Philipus M Hadjon[30], kembali menjelaskan bahwa :
”Adanya kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan. Sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah terpenuhi. Selanjutnya mengenai kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhya, adalah hak yang diberikan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi. Kebesan penilaian dapat terwujud dalam dua cara  sebagai kewenangan organ pemerintah untuk memutuskan secara mandiri atau denga cara apa penanganannya.  Disamping sebagai wewenang untuk mengintepretasikan norma-norma tersamar yang mendiskrisikan bagaimana wewenang tersebut digunakan. ...Bentuk pertama dari kebebasan penilai seringkali dilukiskan sebagai kewenangan diskresi (bebas); bentuk kedua sebagai kewenangan untuk mengintepretasikan norma tersamar”
Dengan demikian, maka pengujian terhadap keputusan yang dibuat atas dasar wewenang terikat didasarkan pada ketentuan perundang-undangan sebagai hukum tertulis. Sedangkan untuk keputusan yang bersumber pada kewenangan bebas, maka terbuka kemungkinan untuk menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar penilaian.
Sejalan dengan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan (dalam menjalankan urusan pemerintahan) yang sedemikian kompleks, maka pemerintah memiliki kebebasan untuk bertindak. Philipus M Hadjon[31], mengemukakan bahwa :
”Dengan adanya kebebasan untuk bertindak, tidak berarti bahwa administrasi negara bebas dari undang-undang, akan tetapi kebebasan itu diberikan agar pemerintah sendiri membuat ketentuan dalam situasi yang konkrit, yang pada dasarnya berarti kebebasan untuk menerapkan peraturan dalam situasi konkrit, kebebasan untuk mengatur situasi konkrit tersebut, dan kebebasan untuk bertindak meskipun tidak ada/belum ada pengaturannya secara tegas (sifat aktifnya pemerintah)”
Kebebasan untuk bertindak sebagaimana diuraikan diatas, lazimnya disebut Freis Ermessen.  Ketika  freis Ermessen ini dituangkan kedalam peraturan tertulis, maka akan menjadi peraturan kebijaksanaan (Beleidsregel). Dengan kata lain, peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan pemerintah yang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid” yaitu menampakan keluar suatu kebijakan tertulis.
Menurut Abdul Latif[32], “Peraturan kebijaksanaan selalu muncul dalam lingkup penyelenggaraan pemerintahan yang ‘tidak terikat’ (vrijbeleid) dalam arti tidak diatur secara tegas oleh peraturan perundang-undangan.  Selain itu juga, dipengaruhi oleh keterbatasan pangaturan dari ketentuan tertulis (peraturan perundang-undangan) jika dibandingkan dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat.
Sebagaimana diketahui bawha pembangunan daerah merupakan bagian integral dan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan pembangunan di daerah. Oleh karena itu, kinerja pembangunan nasional merupakan agregat dari kinerja pembangunan seluruh daerah, sedangkan pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional merupakan proses dari pencapaian tujuan di tingkat provinsi dan pencapaian tujuan di tingkat kabupaten/kota. 
Berdasarkan pemahaman tersebut diatas, maka pemberian kewenangan yang begitu luas kepada daerah tentunya memerlukan koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmonisasikan dan menyerasakan arah pembangunan baik pembangunan nasional maupun pembangunan daerah, maupun pembangunan antar daerah. Dengan demikian, konsep perencanaan pembangunan baik nasional mapun daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memungkinkan akan terjadinya hubungan saling komplementer dan keserasian yang lebih baik dalam sinergisitas konsep dan implementasi antara sistem penataan ruang dan sistem perencanaan pembangunan nasional. [33]
Dalam pada itu, proses perencanaan sebagaimana dijelaskan diatas, dihubungkan dengan konsep perencanaan pembangunan , mencakup 5 (lima) pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan itu sendiri yang mencakup politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom-up)[34]
Selain desentraliasi pengelolaan, aspek penguatan kelembagaan pemerintahan di daerah juga merupakan bagian terpenting dalam kerangka pengaturan tata ruang (termasuk pada wilayah laut). Penguatan kelembagaan diarahkan untuk mendorong perubahan terhadap konsep budaya partisipasi masyarakat yang konstruktif, koodinasi lintas sektor yang produktif,  desentralisasi keputusan yang efektif, pendekatan hukum lintas sumberdaya yang memperhatikan daya dukung lingkungan, dan terbuka pada  pertimbangan ilmu dan teknologi secara positif.
Untuk itulah, maka penguatan kelembagaan dimaksudkan dalam kerangka pengembangan  institusi yang mempunyai: [35]
  1. Kemampuan untuk melakukan koordinasi lintas sektor;
  2. Unit lembaga yang mempunyai peran koordinasi yang efektif;
  3. Kewenangan mengatur dan mengambil keputusan dalam sistem pemberian izin kegiatan;
  4. Kemampuan menginternalisasikan budaya partisipasi dan kinerja yang baik;
  5. Kepemimpinan yang tidak berpihak dan memahami konsep pembangunan berkelanjutan’ dan 
  6. Kemampuan menumbuhkan pembentukan dana lingkungan.
Dari apa yang dikemukakan diatas, maka desentralisasi pengelolaan dan penguatan kelembagaan yang dilakukan baik melalui sistem perencanaan tata ruang maupun pembangunan nasional haruslah senantiasa melibatkan berbagai sektor kepentingan yang terlibat di dalamnya sehingga dapat mengakomodir berbagai kepentingan yang bersifat sektoral dan mampu untuk meminimalisir berbagai konflik di dalam pelasanaannya.
  1. Prinsp Pembangunan Berkelanjutan;
Secara konseptual, pengertian pembangunan berkelanjutan berasal dari ilmu ekonomi yang terutama di kaitkan dengan persoalan efisiensi dan keadilan (equity) untuk menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Pengertian dari segi ekonomi ini juga dilatarbelakangi oleh ilmu biologi yang membahas keberlanjutan dari segi kemampuan dan kesesuaian (capability and surtability) suatu likasi dengan potensi regenerasi/produktivitas lingkungan hidupnya. [36]
Konsep ‘berkelanjutan’ (sustainability)  sebenarnya telah lama dikenal sebagai bagian dari biologi. Pada konferensi “Analisa dan Manajemen Penggunaan Berkelanjutan Tanah Hutan Tropis” (Forests Land Assessment and Management for Sustainable Uses) perkataan ‘sustainable use’ diartikan sebagai :
‘continuing national use of land without severe or permanent deterioration in the quality and quantity of one or more component of the integrated ecosystem or landscape unit’.
Istilah ‘pembangunan berkelanjutan’ atau sustainable development  merupakan konsep baru yang terkait dengan konsep pembangunan. Arti keterkaitan ini dapat dihubungkan dengan masalah efisien dan keadilan. Melakukan efisien untuk memperbesar kue pembangunan, dan keadilan (equity) untuk pembagian yang layak dan menjaga keberlanjutan pemanfaatannya.
Pengertian pembangunan berkelanjutan dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implicit dalam berbagai perjanjian internasional dan berbagaai instrumen lainnya. [37]. Sedangkan Rokhmin Dahuri[38], mengemukakan bahwa : 
”Prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable marine development)  adalah suatu upaya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia terutama stakeholders sedemikian rupa, sehingga laju tingkat pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan laut untuk menyediakannya”
Prinsip-prinsip umum pembangunan berkelanjutan dalam sistem pengaturan sumberdaya alam mengalami perkembangan yang cepat sejak Deklarasi Stockholm – 1972, kemudian berkembang dan diperluas dalam Deklarasi Rio – 1992, dan kemudian mencapai puncaknya pada Deklarasi Johannesburg pada tahun 2002[39]. Prinsip-prinsip tersebut diharapkan dapat mempengaruhi pembentukan kaidah hukum baru meliputi:[40]
  1. Kewajiban yang dimuat dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockholm dan prinsip 2 Deklarasi Rio yang mengatur hak berdaulat negara atas sumberdaya alam dan tanggungjawab negara untuk mencegah dampak lingkungan yang bersifat lintas batas batas negara;
  2. Prinsip melakukan tindakan pencegahan (the principle of prevention action);
  3. Prinsip bertetangga yang baik dan kewajiban melakukan kerjasama internasional;
  4. Prinsip pembangunan berkelanjutan (the principle of sustainable development);
  5. Prinsip kehati-hatian (the precautionary principle);
  6. Prinsip pencemar membayar (the polluter – pays principle); dan 
  7. Prinsip kebersamaan dengan tanggungjawab yang berbeda (the principle of common but differentiated responsibility).
Selanjutnya, Rokhmin Dahuri[41], mengatakan bahwa terdapat 5 (lima) persyaratan agar pembangunan wilayah/ekosistem (termasuk pesisir dan lautan) dapat berlangsung secara berkelanjutan antara lain adalah:
Pertama, perlu adanya keharmonisan ruang (spatial harmony) untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan. Kedua, tingkat/laju pemanfaatan sumber daya alam dapat pulih (seperti sumber daya perikanan dan mangrove), tidak boleh melebihi kemampuan pulih  (renewable capacity). Dalam pengelolaan sumber daya perikanan disebut dengan potensi lestari (maximum sustainable yield) dan dalam pengelolaan mangrove, disebut dengan jatah tebagan yang diperblehkan (total allowance harvest). Ketiga, eksploitasi bahan tambang dan mineral (sumber daya tidak pulih) harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan dan tatanan fungsi ekosistem pesisir dan lautan. Keempat, jenis limbah yang dibuang kepesisir dan lautan bukan bersifat bahan berbahaya beracun (B3) seperti logam berat dan pestisida. Kelima, pembangunan dermaga (jetty), pemecah gelombang (breakwaters), pelabuhan laut, dan infrastuktur lainnya, harus menyesuaikan dengan karakteristik dan dinamika alamiah lingkungan pesisir dan lautan.         
Menyadari bahwa pentinya sumberdaya kelautan, yakni sebagai salah satu sumber ekonomi nasional, maka timbul kesadaran untuk merubah kembali tatanan serta arah pembangunan nasional yang tidak semata-mata berorientasi pada daaratan (land based oriented) namun diarahkan kepada pembangunan berbasis kelautan (maritim) [42]. Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya kelautan bagi pengembangan wilayah secara berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum secara luas, diperlukan suatu kebijakan dan penanganan khusus dari pemerintah yang terintegrasi dan berkesinambungan.
Untuk itulah maka, arah kebijkaan pengelolaan sumber daya laut sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan sebagaiman dikemukakan diatas, diperlukan suatu pedoman dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah laut denngan memperhatikan lingkungan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi konflik dalam pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir, berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan antar kepentingan sektor.[43]
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui bawa prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi sangat penting dalam konteks pengaturan tatar ruang laut secara terpadu, mengingat bahwa pengelolaan wilayah laut dan pesisir yang melibatkan berbagai sektor utamanya pada pemanfaatan sumber daya alam di wilayah laut, memberikan dampak antara lain pada wewenang pengelolaan yang tidak terintegrasi, terdapat perbedaan tujuan, sasaran dan rencana sehingga memunculkan rivalitas/konflik diantara pengguna dan tumpang tindihnya perencanaan
Terkait dengan rivalitas atau konflik dalam penggunaan wilayah laut dan pesisir, dapat terjadi pada skala multi-nasional (the multi-national scale), sehingga akan memunculkan konflik internasional (internasional conflicts) yang terjadi berkaitan dengan zona atau batas yuridiksi nasional dengan negara tetangga, berkaitan dengan polusi atau degradasi ekosistem lingkungan serta berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam dan konflik lokal (domestic conflicts) yang dapat terjadi antara pengguna atau antara pemerintah dengan pengguna atau dapat saja terjadi secara kumulatif.[44].
Memperhatikan berbagai isu dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir terutama berkaitan dengan upaya penataan wilayah laut dan pesisir secara terpadu, maka pedoman dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut dan pesisir sebagaimana dikemukakan diatas dalam hubungan dengan penataan ruang wilayah laut untuk pengelolaan wilayah laut secara terpadu lebih lanjut diimplementasikan dalam konsep Integrated Coastal Management [45]
Sebagai kerangka acuan dalam mengelola wilayah laut utamanya dalam kaitan dengan pengaturan tata ruang pada wilayah laut, dapat mengacu kepada konsep pengelolaan wilayah laut secara terpadu, dengan didasarkan pada Integrated Coastal Manegement (ICM),  dimana pengaturan mengenai tata ruang pada wilayah laut ditekankan pada sistem kewenangan kewilayaan/zonasi baik pada tataran nasional maupun pada tataran lokal daerah. Kebijakan dan strategi dalam penataan ruang laut berdasarkan Integrated Coastal Manegement (ICM), berisikan prinsip-prinsip yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir, integrasi undang-undang terkait dan integrasi sektoral.  
Integrated Coastal Management, merupakan suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang melibatkan dua atau lebih ekosiste, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan. Dalam konteks demikian, Integrated Coastal Management, mengandung tiga dimensi yaitu dimensi sektoral, bidang ilmu dan ekologis.[46]
Pengelolaan tepadu secara sektoral berarti adanya koordinasi antara tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration), dan antar tingkat pemerintahan (vertical integration). Selanjutnya pengelolaan terpadu secara keilmuan berarti bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam rangka penataan ruang menggunakan interdisiplin ilmu (interdiclipinary approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan[47]
  1. Prinisp Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan prinsip utama dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Asas kepastian hukum dalam negara hukum merupakan asas yang mengutamakan landasan peraturan  perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.[48]
Berkaitan dengan penataan ruang, asas kepastian hukum dirumuskan dalam Pasal 2 huruf (h) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, dimana dalam penjelasannya dijelaskan bahwa ”yang dimaksudkan dengan asas kepastian hukum adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
Kepastian hukum sangat penting untuk menentukan pihak-pihak mana yang mempunyai akses,hak memiliki, dan memanfaatkan sumber daya laut dan pesisir. Pemilikan dan penguasaan sumber daya tersebut dilindungi oleh negara dan diakui oleh stakeholders lainnya. Dengan demikian, setiap orang atau kelompok dapat mengelola wilayah laut dan pesisir  secara terencana dan memiliki rasa kepemilikan (stewardship), yang menjadi nilai dasar pelestarian tersebut. 
Kepastian hukum juga dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan pada masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir,tanpa intervensi pihak penguasa atau pengguna sumber daya dari daerah lain.  Bagi dunia usaha, kepastian hukum memberikan jaminan keamanan investasi jangka panjang serta mengurangi resiko berusaha.  Sedangkan bagi Pemerintah Daerah, kepastian hukum dapat menjamin konsistensi dan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab. 
Prinsip-prinsip tersebut diatas diharapkan mampu menjadi kerangka dasar dalam pengelolaan wilayah laut secara terpadu. Dengan demikian, seluruh aktivitas yang terkait dalam pengelolaan wilayah laut termasuk pesisir seyogyanya  dapat memperhatikan prinsip-prinip tersebut diatas.
 
 
  1. Pendekatan Dalam Hukum Agraria Berkenaan Dengan Wewenang Pengelolaan Atas Wilayah Laut.
  1. Konsep Hak Menguasai Negara
Konsepsi mengenai hak menguasai negara (HMN) di dasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945[49].   Pengaturan tersebut dimaksudkan dalam kerangka  untuk pemanfaatan bumi, air, dan udara serta seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya, kemakmuran rakyat sejalan dengan tujuan negara sebagaimana tegaskan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.[50]
Pemaknaan tujuan negara sebagaimana ditegaskan dalam UUD NRI Tahun 1945, tidak terlepas dari konsep ”hak penguasaan negara” yang teraktualisasi secara tegas  dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.  Konsepsi ”dikuasai oleh negara” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun l945 tersebut, telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi, yang merumuskan bahwa penguasaan negara tersebut adalah sesuatu yang lebih tinggi dari pemilikan[51].
Terhadap makna “dikuasai oleh negara” dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dinyatakan bahwa:
“….pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkonsep dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ” dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Rumusan pengertian dikuasai negara dalam rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan diatas tidak saja memiliki keterkonsep dengan prinsip kedaulatan rakyat tetapi juga mengandung prinsip demokrasi. Corak pengaturan konstitusional mengenai kedaulatan rakyat atau demokrasi ekonomi ini pula yang menyebabkan UUD NRI Tahun 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik melainkan juga konstitusi ekonomi. Artinya, menurut UUD NRI Tahun 1945, rakyat Indonesia itu berdaulat tidak saja di bidang politik, tepapi juga dibidang ekonomi dan sosial.[52]
Makna dalam frasa ”dikuasai oleh negara” dimaknai sebagai bagian dari fungsi mengatur (regelendaad) dan fungsi negara sebagai pengelola (beheersdaad) sebagai bagian dari tanggung jawab negara.  Pengurusan yang dimaksud adalah kewenangan negara c.q pemerintah untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licencie), dan konsesi (concessie). Fungsi tersebut juga berkonsep dengan tanggung jawab negara semata-mata, tetapi juga sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. 
Dalam persfektif konsep hak asasi manusia, dalam hal hubungan negara dengan warganya, rakyat berposisi sebagai pemegang hak (right holder), sementara di sisi lain negara berkedudukan sebagai pengemban kewajiban (duty holder), dimana kewajiban negara yang mendasar adalah melindungi dan menjamin hak asasi warganya (rakyat) segaimana dijamin oleh konstitusi (undang-undang dasar).
Dengan didasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dalam konsep dengan hak menguasai dari negara sebagaimana dikemukakan diatas,  lebih lanjut dapat pula kita Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.[53] Di dalam Pasal 2 ayat (2), disebutkan bahwa :
“Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a.  mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.  menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c.  menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”
Dari rumusan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 diatas, makna “hak menguasai negara” tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.  Rakyat secara kolektif itu dikontsruksikan oleh UUD NRI Tahun 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan:
  1. kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
  2. pengaturan (regelendaad),
  3. pengelolaan (beheersdaad) dan
  4. pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran  rakyat.  
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie) dan konsesi (concessie).[54]
  1. Wewenang Pengelolaan
Pelimpahan wewenang HMN sebagaimana dikemukakan diatas, selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA, disebutkan bawha :
Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
 
Selanjutnya dalam penjelasan umum UUPA sebagaimana disebutkan dalam Angka II Nomor 2, yakni bahwa :
… Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya HM, HGU, HGB, atau HP atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.
Dengan demikian, maka dapat kita ketahui bahwa hak pengelolaan adalah merupakan hak yang lahir dari adanya HMN sebagaimana dijelaskan sebelumnnya diatas. Dengan kata lain, Hak Pengelolaan merupakan hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya[55].
Adapun wewenang pemengang hak pengelolaan yakni merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, dan menyerahkan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.[56] Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPA,  di sebutkan pula bahwa :
“……Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:
  1. untuk keperluan Negara,
  2. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
  3. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
  4. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
  5. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
Beranjak dari uraian yang dikemukakan diatas,  hak menguasai negara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945  junto Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960,  dalam hubungannya dengan penataan dan pengaturan tata ruang pada wilayah laut haruslah dimaknai pula dalam hal “mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut”   Wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa sebagaimaan dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf (a) UUPA
Dengan demikian,  penataan dan pengaturan terhadap ruang pada wilayah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menatakelola wilayah laut beserta dengan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, sehingga perlu dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
 
 
 
 
 
 
 
 
Daftar Bacaan
 
Jimly Asshiddiqie, (2009),  Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Penerbit Rajawali Pers, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Jimly asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta 2006
Dina Sunyowati (2008), Kerangka Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Konsep Integral Coastal Managemet Dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Disertasi, Arlaingga.\
Philipus M.Hadjon (2005), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to the Administrative Law, Gadja Mada University Press
Hermit Herman (2008), Pembahasan Undang-Undang Panataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007), Mandar Maju, Jakarta.
Materi Acuan Pengelolaan Wilayah Laut Dan Pesisir Terpadu, Kementerian Perencaaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Depatemen Kelautan Dan Perikanan, Depatemen Hukum Dan Hak Azasi Manusia bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, Jakarta, 2005.
Philipus M Hadjon (1994), Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Airlangga.
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004.
 Philipus M. Hadjon (1980), Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), h. 144-145
Phlipus M  Hadjon Discretionary Power  Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Makalah tanpa tahun penerbit, h. 3-6 
Philipus M Hadjon (1980), Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling).
H. Abdul Latif, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintah Daerah, UII Press, Yogyakarta.
Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan  (Termasuk Perlindungan) Sumber Daya Alam Yang Berbasis  Pembangunan Sosial Dan Ekonomi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII,  Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional  Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Rohmin Dahuri (2003), Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Lautan, Orasi Ilmiah Sebagai Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Lautan Institur Pertanian Bogor.
Rohmin Dahuri Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.


[1] Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya.  Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam pengembangan wilayah. Lebih lanjut lihat, Pengembangan Wilayah Dan Penataan Ruang Di Indonesia, Direktur Jenderal  Penataan Ruang.
[2] Lekipiouw Sherlock, Program PascaSarjana, Universitas Airlangga, Tesis, Surabaya, 2009, h. 121
[3] Lebih lanjut lihat Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahu 2005-2025, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700, Bab IV, bagian IV.1.5 mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan
[4] Jimly Asshiddiqie, (2009),  Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Penerbit Rajawali Pers, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.133-134
[5] Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, mengandung cita-cita luhur dan filosofis mengenai tujuan negara Republik Indonesia. Hal mana nampak dalam alenea keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Lihat Jimly asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta 2006, h.176
[6] Dina Sunyowati (2008), Kerangka Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Konsep Integral Coastal Managemet Dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Ringkasan Disertasi, Arlaingga, h. 81
[7] Philipus M.Hadjon (2005), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to the Administrative Law, Gadja Mada University Press, h. 156
[8] Hermit Herman (2008), Pembahasan Undang-Undang Panataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007), Mandar Maju, Jakarta., h. 116
[9] Pasal 1 angka (5), Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007, Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725.
[10] Keterpaduan pemanfaatan ruang darat, laut dan udara termasuk ruang di dalam bumi mengandung pengertian bahwa ruang darat, laut dan udara termasuk ruang di dalam bumi dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan Lihat Pasal 1 angka (1), Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
[11] Secara nasional, pada saat ini tidak banyak dokumen yang memuat tujuan dan sasaran kewilayahan, selain yang termuat di dalam GBHN 1999 – 2004 dalam rangka mengatasi kesenjangan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI), Agenda Kabinet Gotong Royong untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta di dalam PP No.47/1997 tentang RTRWN.
[12] Lihat Penjelasan Pasal 2 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
[13] Lihat ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
[14] Politik agrarian merupakan kebijaksanaan agraria, yaitu garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus, dan membagi tanah dan sumber daya alam lainnya termasuk hasilnya, untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
[15] Lihat penjelasan umum UUPA
[16] Lihat Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, konsideran Menimbang huruf d
[17] Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional
[18] Pasal 3 itu menentukan, bahwa : "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masya-rakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".
[19] Lebih lanjut lihat Materi Acuan Pengelolaan Wilayah Laut Dan Pesisir Terpadu, Kementerian Perencaaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Depatemen Kelautan Dan Perikanan, Depatemen Hukum Dan Hak Azasi Manusia bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, Jakarta, 2005., h. 5 -8
[20] Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan ’keterpaduan’ adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan anatara lain adalah Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
[21] Lekipiouw Sherlock, Ibid
[22] meliputi antara lain : Penyusunan dan penetapan RTRWP; Penyusunan dan penetapan kawasan strategis provinsi; dan Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWP
[23] meliputi antara lain : Penyusunan program dan anggaran provinsi di bidang penataan ruang, serta fasilitasi dan koordinasi antar kabupaten/kota; Pemanfaatan kawasan strategis provinsi; Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWP; Pemanfaatan investasi di kawasan strategis provinsi dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha; Pemanfaatan SPM (Standar Pelayanan Minimal)di bidang penataan ruang; Perumusan kebijakan strategi operasionalisasi RTRWp dan rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi; pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah provinsi da kawasan strategis provinsi
[24] meliputi antara lain Pengendalian pemanfaatan wilayah provinsi termasuk lintas kabupaten kota; Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang provinsi; Pemberian ijin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWP dan pembatalan ijin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW; Pengambilalihan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam hal pemerintah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang; Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak diselesaikan pada tingkat kabupaten/kota;  Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antar kabupaten/kota; Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat provinsi.
[25]   Penjelasan umum butir (a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
[26]   Philipus M Hadjon (2005), Op Cit, h. 79 – 80
[27]  Philipus M Hadjon (1994), Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Airlangga., h. 9
[28]  Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004., h. 62-63
[29] Philipus M. Hadjon (1980), Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), h. 144-145
[30]  Phlipus M  Hadjon Discretionary Power  Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Makalah tanpa tahun penerbit, h. 3-6 
[31] Philipus M Hadjon (1980), Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), h. 39 - 40
[32]  H. Abdul Latif, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintah Daerah, UII Press, Yogyakarta, h. 92-93
[33] Sistem Pembangunan Nasional di atur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421 (selanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004)
[34]   Lebih lanjut lihat Penjelasan Umum Butir (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
[35] Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan  (Termasuk Perlindungan) Sumber Daya Alam Yang Berbasis  Pembangunan Sosial Dan Ekonomi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII,  Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional  Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003.
[36]  Daud Silalahi, Ibid., h. 11
[37]   Ibid
[38]  Rohmin Dahuri (2003), Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Lautan, Orasi Ilmiah Sebagai Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Lautan Institur Pertanian Bogor, hal 19
[39] Deklarasi Stockholm 1972 dihasilakan melalui United Nations Conference on The Human Environment 1972. Selanjuntya disusul dengan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Dan Pembangunan Berkelanjutan (United Nations Conference on Environment and Develompment atau disebut UNCED) di Rio de Janeiro Tahun 1982 yang menghasilakan a). Convention on Biological Diversity; b). Convention on Climate Chage, Agenda 21; c). The Forrest Principles,; dan d). Rio Declaration. KTT Johannesburg, Afrika Selatan 26 Agustus – 4 September Tahun 2002, yang dikenal luas sebagai  World Summit on Sustainable Development  membawa perkembangan baru yang memperkuat dalil saling ketergantungan dan saling memperluas antar komponen pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) pembangunan ekonomi, (2) pembangunan sosial, dan (3) perlindungan daya dukung ekosistem.
[40] Daud Silalahi, Ibid, Lihat juga Dina Sunyowati (2008),  , h. 21-23
[41]    Rokhmin Dahuri, Ibid, h. 20-21
[42]  Dampak pemanfaatan wilayah laut dan pesisir yang sektoral nampak pada kewenangan pengelolaan yang tidak teintegrasi, terdapat perbedaan tujuan, sasaran dan rencana sehingga memunculkan konflik diantara pengguna wilayah laut dan pesisir serta tumpang tindihnya perencanaan. Dampak lain juga adalah tingkat pemanfaatan yang dilakukan secara eksploratif dan melampaui daya dukung lingkungan memberikan impliaksi terhadap laju peningkatan kerusakan fisik lingkungan laut dan pesisir yang meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun
[43] Contoh konkritnya antara lain ketidakselarasan dan ketidakserasian antara penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalma masalah konservasi. Selanjutnya antara penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan. Konflik muncul karena adanya kegiatan pertambangan yang dilakukan tidak sesuai dengan pemanfatan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan” Lebih lanjut lihat Dina Sunyowati I, h. 5 -6
[44]  Dina Sunyowati (2008), Op Cit, h. 17-18
[45]   Integrated Coastal Management, (ICM) merupakan pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environment servis) yang terdapat di kawasan pesisir dan laut, dengan cara melakukan penilaianp secara menyeluruh (comprehensive assessment) terhadap sumber daya alam dan jasa, lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Tujuan yang diharapkan dari adanya Integrated Coastal Management adalah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di wilayah laut, mengurangi rusaknya sumber daya pesisir dan laut dan hunian penduduk, memelihara/mempertahankan proses ekologi dan dukungan terhadap life supporting system keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan laut melalui penataan ruang wilayah laut. Pada dasarnya, suatu Integrated Coastal Management terdiri dari 4 (empat) elemen hirarki perencanaan yakni  (1) rencana strategi ; (2) recana zonasi; (3) rencana pengelolaan dan (4) recana aksi. Pembahasan lebih lanjut mengenai ICM dapat dilihat pada Dina Sunyowati (2008), Kerangka Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Konsep Integrated Coastal menagement Dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya
[46]  Rohmin Dahuri Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001., h. 12
[47] Rohmin Dahuri, Ibid
[48] Lihat Penjelasan Pasal 2 ayat (3) butir 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005. Ketentuan yang sama pula disebutkan dalam Pasal 3 butir (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (LN Tahun 1999 Nomor 75, TLN Nomor 3851)
[49] Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.
[50] Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, mengandung cita-cita luhur dan filosofis mengenai tujuan negara Republik Indonesia. Hal mana nampak dalam alenea keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Lihat Jimly asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta 2006, h.176
[51] Lebih lanjut lihat Perkara Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 mengenai pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 dan Perkara Nomor 02/PUU-I/2003 mengenai pengujian UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi, tanggal 1 Desember Tahun 2004
[52] Jimly Asshiddiqie, (2009),  Loc Cit, h.106
[53] Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 1960, Nomor 104 (disingkat UU Nomor 5 Tahun 1960)
[54] Lihat Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1960, Bagian II, Dasar-Dasar Hukum Agraria Nasional
[55] Lebih lanjut lihat, Pasal 1 angka 2 PP 40/1996 jo Pasal 1 angka 4 PP 24/1997 jo Pasal 1 angka 3 Permen Agraria/Kepala BPN 3/1999 jo Pasal 1 angka 3 Permen Agraria/Kepala BPN 9/1999,
[56] Lebih lanjuit lihat, PP Nomor 36 Tahun 1997, PAsal 2 Permendagri 1/1977, Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar