Selasa, 15 Mei 2012

Sistem Hukum Indonesia, Unikum yang Dinamis

Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan, yang tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu yang dapat dimengerti mengingat dalam kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan yang tidak ‘diintervensi’ norma hukum.

Slogan-slogan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain-lainya menegaskan bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma hukum sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian, apakah itu berarti hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum, untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau kalaupun berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan.
Berdasarkan pendapat Ludwig von Bertalanffy, H. Thierry, William A. Shorde/ Voich Jr., Bachsan Mustofa ( 2003: 5-6) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem hukum adalah sistem sebagai jenis satuan yang dibangun dengan komponen-komponen sistemnya yang berhubungan secara mekanik fungsional yang satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan. Sistem hukum terdiri dari komponen jiwa bangsa, komponen struktural, komponen substansial, dan komponen budaya hukum.

Suherman (2004: 10-11) tidak sependapat jika pengertian sistem hukum hanya penggabungan istilah sistem dan hukum. Menurutnya pengertian spesifik dalam hukum harus tercermin dari istilah sistem hukum. Suherman mengemukakan pendapat J.H. Merryman sebagai perbandingan. Menurutnya sistem hukum adalah suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, atau aturan, dalam konteks ini ada suatu negara federal dengan lima puluh sistem hukum di Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa secara terpisah, serta ada sistem hukum yang berbeda seperti halnya dalam organisasi Masyarakat Ekonomi Eropah dan Perserikatan Bangsa-bangsa.

Bagaimanapun juga, sebagai suatu sistem, sistem hukum seharusnya: terdiri dari bagian-bagian, bagian-bagian tersebut saling berhubungan, masing-masing bagian dapat dibedakan tetapi saling mendukung, semuanya ditujukan pada tujuan yang sama, dan berada dalam lingkungan yang kompleks (pendapat ini dihubungkan dengan pendapat Shrode dan Voich (dalam Amirin, 1987: 11)).

Untuk komponen sistem hukum, pendapat yang sering dijadikan rujukan adalah apa yang dikemukakan oleh Friedman (selain Mustofa dan Suherman, juga Acmad Ali (2003: 7-dst)), yang menyatakan bahwa sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum.

Ada pendapat bahwa hukum Indonesia, dengan segala keterbatasannya, telah terbangun menjadi suatu sistem. Norma hukum Indonesia, ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari seabad, melewati berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak pendidikan hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia telah menjadi bahan kajian. Hampir tidak ada yang menyerukan agar dilakukan ‘revolusi’[1] dalam hukum, yang banyak diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum tertentu. Dengan demikian krisis hukum yang sering disebut-sebut, boleh jadi bukan krisis dalam sistem hukum secara keseluruhan, tetapi krisis dalam penegakan hukum.

Sebagai suatu sistem, bagaimanakah gambaran umum Sistem Hukum Indonesia?[2] Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law; hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21) membedakan sistem hukum yang utama di dunia (TheWorld’s Major Legal Systems) menjadi: civil law; common law; Islamic law; socialist law; sub-Sahara Africa; dan Far East. Munir Fuady (2007: 32-dst.) myatakan terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum.[3] Menurutnya tradisi hukum dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi hukum keagamaan.

Di antara sistem-sistem hukum yang dikenal, sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem hukum yang dianut negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan sebutan Romano-Germanic Legal System adalah sistem hukum yang semula berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis, berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.

Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).

Sistem Hukum Adat dinyatakan dianut oleh beberapa negara di antaranya oleh Monggolia dan Srilangka (ada juga yang mengkategorikan Indonesia sebagai negara penganut sistem hukum adat). Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu, yang umumnya terdapat dalam Kitab Suci. Arab Saudi, Iran, Sudan, Suriah, dan Vatikan dikategorikan sebagai negara dengan sistem hukum agama. Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.

Secara umum antara Sistem Hukum Eropah Kontinental dengan Sistem Hukum Anglo Saxon dibedakan berdasarkan mana yang dipentingkan dalam pembentukan dan penegakkan hukum, melalui peraturan perundang-undangan atau melalui jurisprudensi, secara lebih mendasar mana yang lebih dipentingkan hukum tertulis atau hukum kebiasaan. Mengingat kekurangan dan kelebihan antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, maka secara filosofis hal ini berhubungan dengan masalah pengutamaan antara kepastian dan keadilan, yang meskipun sama-sama merupakan nilai dasar hukum tetapi antara keduanya terdapat spannungsverhaltnis (ketegangan satu sama lain).
Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.

Sistem Hukum Anglo Saxon
cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.

Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan.

Kompleksitas sistem hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Pertama kali kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Indonesia asli. Sebagai produk kebudayaan asli ini adalah hukum adat. Kebudayaan ini berlangsung sebelum kedatangan kebudayaan India (Hindu). Selanjutnya Indonesia memasuki masa pengaruh kebudayaan Hindu. Pada abad ke-13 sampai ke-14 masuk pengaruh Islam, dan hukum Islam berkembang dan memperkaya sistem hukum yang ada di Indonesia. Baru pada abad ke-17 masuk kebudayaan Eropa-Amerika.

Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua sistem hukum yang paling berpengaruh (Eropah Kontionental dan Anglo Saxon), cenderung lebih dekat dengan sistem Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu, yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis). Masyarakat tradisional Indonesia yang bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-pemuka adat sebagai tokoh penting yang menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/ tokoh/ ketua suku menjadi sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak.

Pada masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas konkordansi, maka hukum yang berlaku di Hindia Belanda sejalan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Belanda merupakan salah satu pendukung terkemuka sistem hukum Eropah Kontinental. Dengan demikian, secara mutatis mutandis sistem Eropah Kontinental dilaksanakan di Indonesia. Walaupun demikian pada dasarnya Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek) yang membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Dengan adanya lembaga penundukan diri secara sukarela, banyak penduduk Indonesia saat itu menunduukan diri untuk terikat pada Hukum Barat, terutama yang berusaha di bidang perdagangan. Dalam perkembangan hukum di Indonesia selanjutnya, tampak kuatnya pengaruh hukum kolonial dan cenderung meninggalkan hukum adat (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).

Setelah kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental tampak dalam semangat untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan yang lebih mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Ajaran yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat beberapa waktu sebelumnya, yaitu Mazhab Sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny dan teori keputusan yang dikemukakan oleh Ter Haar, dianggap tidak relevan. Mazhab sejarah menyatakan bahwa hukum itu hinkt achter de feiten aan, hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh secara historis atas dasar peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Teori keputusan menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh penguasalah yang merupakan hukum. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa hukum hanya menyangkut kejadian yang sudah sering terjadi. Kedua paham ini dianggap tidak sejalan dengan pembangunan yang identik dengan perubahan, dengan kemungkinan terjadinya hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dari sudut pandang ini inilah kedua mazhab ini dianggap tidak relevan (lihat antara lain Sunarjati Hartono, 1982).

Dalam perkembangannya kemudian, sebagai dampak pergaulan Indonesia dalam kancah internasional, munculah bidang-bidang hukum baru seperti corporative law, computer law, cyber law, dan sebagainya. Kebijakan dalam bidang-bidang ini dan kebijakan-kebijakan global lainnya, legitimasinya banyak mengacu pada Sistem Common law.

Pemberian wewenang yang lebih luas kepada Pengadilan Agama, tidak hanya sekadar menangani nikah, talak, rujuk, juga membuat pengaruh Hukum Islam bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam semakin luas, setelah sebelumnya memberikan warna bagi Hukum Adat di beberapa tempat di Indonesia.

Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.

Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum sipil mendapat tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.

Pencermatan terhadap kondisi nyata sistem Hukum Indonesia dan Sistem Hukum yang dicita-citakan seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan hukum, termasuk dalam pembangunan pendidikan hukum. Legislator yang handal dan Juris yang berkemampuan sama-sama diperlukan. Tetapi, ahli mana yang jumlahnya lebih banyak dibutuhkan, keahlian apa yang lebih banyak diperlukan tentu berbeda.

Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.
 sumber: sudut-sepi.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar