OLEH: VANDERIK WAILAN, SH
Hukum dalam lingkup ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di
kalangan para sarjana hukum, hal tersebut telah membawa para sarjana
hukum membagi ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebagai
langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan tentang apa itu hukum?,
Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum. Dalam bahasa Inggris
ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law
dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama
merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan
dalam mencapai keadilan dan yang kedua, merupakan aturan perilaku yang
ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat[1].
Pengertian pertama dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang[2]. Kata law di dalam bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi[3]. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science
akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan
terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri.
Demi menghindari hal semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata Latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Dapat dilihat dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman
memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas
sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum[4].
Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang
berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain
sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu
yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum
itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang
empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu
hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang
secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur
kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.[5]
Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis[6].
Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat
empirik maupun evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi
tentang hukum, melainkan lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu
mengenai hukum secara luas. Hari Chand secara tepat membandingkan mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang mempelajari bidang ilmunya masing-masing[7].
ia menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran yang akan mempelajari anatomi
manusia harus mempelajari kepala, telingga, mata dan semua bagian tubuh
dan struktur, hubungan dan fungsinya masing-masing. sama halnya dengan
seorang mahasiswa hukum yang akan mempelajari substansi hukum, harus
belajar konsep hukum, kaidah-kaidah hukum, struktur dan fungsi dari
hukum itu sendiri. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa disamping ia
mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, seorang mahasiswa
kedokteran juga perlu mempelajari faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi tubuh, misalnya panas, dingin, air, kuman-kuman, virus,
serangga dan lain-lain. Sama halnya juga dengan mahasiswa hukum, yaitu
mempelajari faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi hukum itu
diantaranya, faktor sosial, politik, budaya, ekonomi dan nilai-nilai
yang terkandung dalam bidang ilmu lain.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem
nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah
memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu
hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum
disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi
sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan
studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan
moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para
pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari
perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum
terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena
sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada
tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian.
Perspektif Ilmu Hukum
Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif
dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu
hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu
dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam Ilmu Hukum.
Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang
objeknya juga hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini
adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat.
Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu
gejara sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk kedalam
hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari hukum. Dalam setiap
perbincangan yang demikian tentu saja akan menjawab pertanyaan mengapa
dibutuhkan hukum sedangkan sudah ada norma-norma sosial yang lain.
Apakah yang diinginkan dengan kehadiran hukum. Dalam perbincangan yang
demikian, ilmu hukum akan menyoal apa yang tujuan hukum. Dalam hal
demikian apa yang menjadi senyatanya ada berhadapan dengan apa yang
seharusnya. Pada perbincangan akan dicari jawaban yang nantinya akan
menjembantani antara dua realitas tersebut.
Persoalan berikutnya adalam merupakan suatu conditio sine qua non dalam hukum adalah masalah keadilan. Mengenai masalah tersebut perlu diingat pandangan Gustav Radbruch yang secara tepat menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada mencapai keadilan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”[7].
Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik,
melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat
dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah
tetapi esensial keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dalam hidup
bermasyarakat. Pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum
tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri.
Dengan demikian memunculkan suatu pertanyaan mengenai mengelola
keadilan tersebut. Maka disinilah mucullah preskriptif ilmu hukum.
Untuk memahami validitas aturan hukum, banyak masalah yang timbul dalam
kehidupan manusia, karena manusia adalah merupakan anggota masyarakat
dan sekaligus mahluk yang memiliki kepribadian. Sebagai anggota
masyarakat perilakunya harus diatur. Dan apabila masyarakat meletakkan
aturan-aturan itu yang ditekankan adalah ketertiban, maka dengan
demikian maka akan menghambat pengembangan pribadi anggota-anggotanya.
Sebaliknya, setiap orang cenderung meneguhkan kepentingan sambil kalau
perlu melanggar hak-hak orang lain.
Untuk mempelajari konsep-konsep hukum berarti
mempelajari hal-hal yang semula ada dalam alam pikiran yang dihadirkan
menjadi sesuatu yang nyata. Konsep hukum, bentukkan hukum ataupun
konstruksi hukum merupakan hal-hal yang sangat dibutuhkan di dalam
kehidupan bermasyarakat. Adanya konsep hak milik, misalnya merupakan
sesuatu yang sangat esensial dalam hidup bermasyarakat. Konsep demikian
tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan mengalami proses berpikir yang
panjang. Dengan diketemukannya konsep-konsep semacam itu, mau tidak mau
akan diikuti oleh aturan-aturan yang menyertainya.
Mempelajari norma-norma hukum merupakan esensial di dalam ilmu hukum.
Belajar ilmu hukum tanpa mempelajari norma-norma hukum sama halnya
dengan belajar ilmu kedokteran tanpa mempelajari tubuh manusia. Oleh
karena itu ilmu hukum merupakan ilmu normatif, hal ini tidak
dapat disangkal dan memang demikian kenyataannya. Dengan demikian tidak
ada alasan bagi seorang sarjana hukum akan tetap menganggap ilmu hukum
adalah merupakan ilmu yang normatif.
Sifat ilmu hukum sebagai ilmu terapan merupakan konsekuensi dari sifat
preskriptifnya. Suatu penerapan yang salah akan berpengaruh terhadap
sesuatu yang bersifat substansial. Suatu tujuan yang benar tetapi dalam
pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang hendak dicapai akan
berakibat tidak ada artinya. Mengingat hal tersebut dalam menetapkan
standar prosedur atau cara harus berpengang kepada sesuatu yang
substansial. Dalam hal inilah ilmu hukum akan menelaah
kemungkinan-kemungkinan dalam menetapkan standar tersebut.
Berdasarkan sifat keilmuan ilmu hukum dapat dibagi menjadi tiga lapisan, dalam bukunya Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ketiga lapisan tersebut adalah rechtsdogmatiek (Dogma Hukum), rechtsteorie (Teori Hukum) dan rechtsfilosie (Filsafat Hukum)[8].
Dalam hal kemurnian ilmu hukum sebagai suatu ilmu, dari ketiga
pembagian tersebut dapat dilihat bahwa dua diantaranya (dogma hukum dan
teori hukum) adalah merupakan ilmu hukum yang murni dan belum
terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain sedangkan filsafat hukum telah
terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain karena didalamnya akan mempelajari
banyak hal yang bersilangan dengan ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu ilmu
hukum mempunyai dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek teoritis.
Hukum Sebagai Ilmu Pengetahuan Modern
Dalam hal sekarang untuk menunjukkan paradigma tertentu yang mendominasi
ilmu pada waktu tertentu. Sebelum adanya paradigma ini didahului dengan
aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisir yang mengawali
pembentukan suatu ilmu (pra-paradigmatik)
Bertolak dari gagasan Kuhn tentang paradigma dalam konteks perkembangan
ilmu seperti tersebut di atas, maka berikut ini dipaparkan paradigma
(ilmu) hukum, yang tampaknya juga berperan dalam perkembangan hukum.
Bermula dari gagasan tentang hukum alam yang mendapatkan tantangan dari
pandangan hukum yang kemudian (paradigma hukum alam rasional), ilmu
hukum kemudian telah berkembang dalam bentuk revolusi sains yang khas.
Namun terdapat perbedaan dengan paradigma yang terdapat pada ilmu alam
(eksak), dimana kehadiran paradigma baru cenderung akan menumbangkan
paradigma lama. Dalam paradigma ilmu sosial (termasuk ilmu hukum)
kehadiran suatu paradigma baru di hadapan paradigma lama tidak selalu
menjadi sebab tumbangnya paradigma lama. Paradigma yang ada hanya saling
bersaing, dan berimplikasi pada saling menguat, atau melemah.
Hukum alam memberikan dasar moral terhadap hukum, sesuatu yang tidak
mungkin dipisahkan dari hukum selama hukum diterapkan terhadap manusia.
Potensi hukum alam ini mengakibatkan hukum alam senantiasa tampil
memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan moral dan etika. Implikasinya hukum alam
menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum negara.
Paradigma Hukum Historis yang berpokok pangkal pada Volksgeist
tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap warganegara dari bangsa itu
menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah jiwa bangsa yang
sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu yang
menghasilkan hukum positif. Hal itu menurut Savigny tidak terjadi
dengan menggunakan akal secara sadar, akan tetapi tumbuh dan berkembang
di dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat dilihat dengan panca indera.
Oleh Bentham, teori itu secara analogis diterapkannya pada bidang
hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang
dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat
dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya
adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya dan berkurangnya
penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk, jika penerapannya menghasilkan
akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar
penderitaan.
Dengan demikian, paradigma utilitarianis merupakan paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi
pemikiran hukum. Prinsip utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan
dan evaluasi hukum.Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang
sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat,
dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan
dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum
adalah ketentuan tentang pengaturan pengaturan penciptaan kesejahteraan
negara.
Perbincangan tentang keadilan rasanya merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang filsafat hukum,
mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan
salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang
perjalanan sejarah filsafat hukum.
Memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat
beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian
keadilan. Namun untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah
membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para
pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak
dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai
pada hakikat yang paling dalam.
Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta
diciptakan dg prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme
norma hkm alam primer yang bersifat umum menyatakan: Berikanlah kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentuk an oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.
Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan
hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari
keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni
unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa lex, summa crux[9]. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.
Dalam paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat secara
luas. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesauatu adil atau tidak adalah
seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare).
Adapun apa yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan
perspektif ekonomi.”.
Penulis dan Footnote
Penulis
Ronny Junaidy K
djpp.depkumham.go.id
Edited by Sekedar Berbagi
Footnote
[1]. Cf. Rescoe pound, law finding through experience and reason, lectures, university of georgia press, athens. 1960. P.1.
[2]. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LL.M., Prof., Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, Hal. 18.
[3]. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LL.M., Prof., Ibid., Hal 19
[4]. Jan Gijssels and Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?., Kluwer, Rechtwetenschappen, Antwerrpen, 1982, p. 8.
[5]. Ibid., p. 9
[6]. Dalam Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, P. Van Dijk et.al. menterjemahkan rechtsdogmatiek ke dalam bahasa jerman sebagai jurisprudenz, yang artinya memang tepat jurisprudence, lihat P van Dijk et.al., Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, Tjeenk-Willijnk., 1985, pp. 447-448. Bahasa Latin sui generis berarti hanya satu dari jenis tersebut.
[7]. Dalam terjemahan : Akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya; oleh karena itu, keadilan telah ada sebelum adanya hukum.
[8]. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hal. 8
[9]. Angkasa, Dalam Bahan Kuliah Filsafat Hukum, Pascasarjana MIH Unsoed.
Ronny Junaidy K
djpp.depkumham.go.id
Edited by Sekedar Berbagi
Footnote
[1]. Cf. Rescoe pound, law finding through experience and reason, lectures, university of georgia press, athens. 1960. P.1.
[2]. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LL.M., Prof., Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, Hal. 18.
[3]. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LL.M., Prof., Ibid., Hal 19
[4]. Jan Gijssels and Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?., Kluwer, Rechtwetenschappen, Antwerrpen, 1982, p. 8.
[5]. Ibid., p. 9
[6]. Dalam Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, P. Van Dijk et.al. menterjemahkan rechtsdogmatiek ke dalam bahasa jerman sebagai jurisprudenz, yang artinya memang tepat jurisprudence, lihat P van Dijk et.al., Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, Tjeenk-Willijnk., 1985, pp. 447-448. Bahasa Latin sui generis berarti hanya satu dari jenis tersebut.
[7]. Dalam terjemahan : Akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya; oleh karena itu, keadilan telah ada sebelum adanya hukum.
[8]. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hal. 8
[9]. Angkasa, Dalam Bahan Kuliah Filsafat Hukum, Pascasarjana MIH Unsoed.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar