Add caption |
Undang- undang tidak
mengatur secara eksplisit yang merinci mengenai alasan dari pemberian grasi. Jan Remmelink mengemukakan alasan-alasan
pemberian grasi sebagai berikut:
1. Jika setelah vonis berkekuatan hukum pasti terpidana menghadapi
suatu keadaan khusus yang sangat tidak menguntungkan baginya. Misalnya
terpidana menderita penyakit tidak tersembuhkan atau keluarganya terancam akan
tercerai berai;
2. Jika setelah vonis berkekuatan hukum pasti, ternyata bahwa hakim
secara tidak layak telah tidak memberi perhatian pada keadaan, yang bila ia
ketahui sebelumnya, akan mengakibatkan penjatuhan pidana yang jauh lebih
rendah. Patut dicermati bahwa hal ini bukanlah alasan untuk memohonkan
peninjauan kembali. Terpikirkan juga sejumlah kesalahan hakim lainnya yang
tidak membuka peluang bagi permohonan peninjauan kembali;
3. Jika semenjak putusan berkekuatan hukum pasti, ternyata situasi
kemasyarakatan telah berubah total, misalnya deklarasi perihal situasi darurat
sipil karena tiadanya pangan telah dicabut atau pandangan politik yang dulu
berlaku telah mengalami perubahan mendasar;
4. Jika ternyata telah terjadi kesalahan hukum yang besar. Terbayangkan di sini putusan-putusan
pengadilan terhadap para pelaku kejahatan perang, yang di periksa dan diadili
setelah perang usai. Melalui grasi , putusan-putusan yang nyata sangat tidak
adil masih dapat diluruskan[1].
Sedangkan Utrecht, menyebutkan 4 alasan pemberian grasi secara singkat, yaitu
1. kepentingan keluarga terpidana;
2. terpidana pernah berjasa pada masyarakat;
3. terpidana menderita penyakit yang tidak dapat di sembuhkan;
4.
terpidana berkelakuan baik selama berada di lembaga permasyarakatan dan
memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya[2].
Di negara
maju seperti Amerika dan Australia, terdapat lembaga-lembaga pengampunan
seperti grasi (clemency), komunikasi
(communication), dan pemaafan eksekutif (gubernatorial pardon), sejak tahun
1976 sampai dengan 2005 di seluruh Amerika terdapat 229 terpidana mati yang
mendapat grasi (clemency) berdasarkan
alasan-alasan sebagai berikut:
Alasan
|
Jumlah
|
1. Permohonan jaksa / hakim / judge /
prosecutor
2. Menjalani lama pemenjaraan / length of
sentence
3. Kemungkinan tidak bersalah (innocence)
4. Pemberian hukuman mati
yang tak layak (inproper / death
sentences)
5. Disparitas / terdakwa
6. Pandangan / political view
7. Tak ada alasan / no reason
8. Keraguan atas kesalahannya / doubt of guilty
9. Alasan kesehatan mental / dismental
10. Permohonan Paus (John Pope)
11. Cacat hukum / flawed
12. Ketidakadilan
|
1
8
13
9
3
1
8
10
6
1
167
2
|
*Sumber: “Executive Clemency Process and Execution warrant Precedure
in Death Penalty Cases”, National Coalition to Abolish the Death Penalty (1993)
with updates by DPIC.
Dari data
tersebut, jumlah terbanyak adalah alasan cacat hukum yaitu sebanyak 167 orang.
Kemungkinan seperti ini juga mungkin terjadi dalam putusan-putusan pidana di Indonesia.
Putusan-putusan yang mempunyai cacat hukum tidak seharusnya diberikan putusan
pidana yang berat, apalagi sampai dijatuhi pidana mati. Dengan diberikannya
grasi, putusan-putusan yang mempunyai cacat huku diharapkan dapat memperoleh
putusan yang lebih adil.
Grasi dalam
hukum pidana, tidak hanya mengenai ampunan
atau pengurangan hukuman terhadap putusan hakim saja. Kita perlu melihat
grasi dari sisi lainnya, untuk mengetahui mengenai eksistensi grasi dalam
perspektif hukum pidana. Sisi-sisi lain tersebut, yakni grasi sebagai hak warga
negara, grasi mengatasi keterbatasan hukum (recovery system), grasi sebagai
dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana, dan grasi dihubungkan dengan
tujuan pemidanaan.
a. Grasi Sebagai Hak Warga
Negara
Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, pemberian grasi merupakan pencabutan atau upaya
meringankan sanksi yang dijatuhkan melalui putusan pengadilan pidana. Dahulu
kala, penguasa beranjak dari kekuasaan mutlak yang dimilikinya menganugerahkan
grasi sebagai wujud kebajikan hatinya. Sekarang kita tak lagi mengenal grasi
dalam bentuk seperti itu, terutama karena hak prerogatif (hak istemewa) telah
diserahkan kepada pemerintah dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Kepala
Negara atau dalam sistem pemerintahan presidensiil ada di tangan presiden.
Dalam uraian sebelumnya
juga telah dijelaskan mengenai perubahan sistem pemerintahan yang dianut oleh
Negara Republik Indonesia,
yaitu menjadi presidensiil murni. Dalam sistem pemerintahan presidensiil murni,
meskipun tidak ada pembedaan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan,
tugas dan wewenang presiden sebagai puncak kepemimpinan negara, tetap saja ada
tugas dan wewenangnya yang merupakan lingkup pemerintahan atau eksekutif dan
kewenangan yang berada di luar lingkup tersebut. Meskipun hal ini tidak secara
nyata dibedakan, seperti nampak dalam sistem pemerintahan parlementer.
Kewenangan
presiden di luar lingkup eksekutif tersebut, misalnya kewenangan di bidang
judisial. Kewenangan ini mencakup pemulihan yang terkait dengan putusan
pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun
menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan.
Mengenai
pemberian ampunan atau grasi, perlu diketahui konsep bahwa terpidana yang
mengajukan permohonan grasi ini bukan sebagai terpidana, melainkan sebagai
warga negara. Sebagai seorang warga negara, seseorang berhak meminta ampun
kepada presiden sebagai pemimpin negara. Pasal 28 D ayat (1) Amandemen
Undang-undang Dasar 1945 dalam sub mengenai Hak Asasi Manusia, diatur mengenai
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Inilah yang menjadi
dasar setiap warga negara apapun status yang sedang disandangnya, untuk
mendapatkan suatu kepastian hukum.
Pemberian
grasi bukan isu kepastian hukum, tetapi cerminan tingkat kearifan hukum
presiden dan juga masyarakat. Dengan adanya pertimbangan dari Mahkamah Agung,
dan berbagai faktor sosial serta respon dari kelompok tertentu, pemberian grasi
mencerminkan kearifan hukum dari presiden. Mungkin kita lupa bahwa pemberian
grasi adalah juga tempat dimana kita memberikan tempat bagi hati nurani
kemanusiaan kita.
Bagi pemohon
yang dijatuhi pidana mati, grasi merupakan
persoalan hidup dan mati. Melalui pemberian grasi, mungkin saja seseorang yang
dijatuhi pidana mati dapat menjadi penjara seumur hidup atau pidana penjara
dalam waktu tertentu. Hal seperti ini akan terasa lebih arif. Karena terpidana
akan mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Berbeda dengan pidana mati
yang tidak memberikan kesempatan
Seorang pemohon
yang mengajukan permohonan grasi mempunyai satu dari dua alasan berikut, mengapa
ia mengajukan grasi:
1. seorang
yang telah mengakui kesalahannya dan memohon ampun atas kesalahannya, namun
pidana yang dijatuhkan kepadanya dirasakannya terlalu berat. Sehingga ia
mengajukan grasi dengan harapan memperoleh keringanan pidana (hukuman);
2. seorang yang merasa dirinya benar-benar tidak
bersalah, berniat ingin mencari keadilan bagi dirinya. Dengan mengajukan grasi
ia berharap presiden dapat mengoreksi kesalahan pengadilan sebelumnya, sehingga
keadilan dapat ditegakkan.
Menurut Adami
Chazawi, dengan mengajukan grasi berarti dari sudut hukum pemohon telah
dinyatakan bersalah, dan dengan mengajukan
permohonan ampuan (grasi) berarti dia telah mengakui kesalahannya itu[3].
b. Grasi Mengatasi Keterbatasan
Hukum (Recovery System)
Keterbatasan dan
kelemahan dalam sistem hukum, dapat terjadi dimana saja dan pada tingkat
masyarakat manapun. Negara-negara maju seperti Amerika, meskipun tingkat kejahatan
dan kontrol terhadap aparat pelaksana hukum sangat tinggi, namun orang masih
menyadari kemungkinan terjadi kekeliruan pada subjek orang dan penerapan hukumnya. Lebih dari pada itu, terdapat
pula pengertian bahwa sampai di suatu titik tertentu hukum mempunyai keterbatasan
internal (the limit of law). Seperti
tentang adanya kelemahan-kelemahan dalam sistim pengumpulan informasi di
lingkungan peradilan pidana yang dapat merusak kehidupan atau masa depan
seseorang.
Di negara
yang menganut sistim common law, dalam hal ini Amerika, sebelum seseorang
didakwa dengan pasal pidana mati (capital punishment), saksi- saksi yang
mmberatkan terdakwa (ade charge)
harus digelar dalam sebuah sidang terpisah atau pendahuluan (preliminary hearing),
untuk menentukan apakah kesaksian itu dapat diterima secara hukum dan dapat
dijadikan alat bukti di persidangan utama. Tidak dengan mudah sebuah kesaksian
yang memberatkan terdakwa dapat diperlakukan sebagai alat bukti.
Sistim yang
demikian ini tidak terdapat dalam sistim beracara di Indonesia. Seorang terdakwa yang diancaman
pidana mati mempunyai kedudukan yang sangat rentan atau lemah. Satu kesaksian
atau lebih dapat dengan mudah di gelar tanpa diperiksa tingkat kelayakannya, yang seharusnya dilaksanakan
khusus untuk itu. Bedanya, sistim beracara pidana di Indonesia terkesan begitu mudah
memperlakukan sebuah kesaksian menjadi alat bukti yang nota benenya dapat
mengakibatkan kehancuran hidup si
terdakwa.
Beban
mengejar pengajuan target perkara, sering kali mendorong aparat Kepolisian menggunakan
cara-cara yang tidak fair untuk menjebak
terdakwa. Saksi terdakwa yang dijadikan saksi memperoleh kemudahan seperti
pengurangan hukuman atau bebas dari tuntutan hukum[4].
Praktik demikian ini telah umum di lingkungan para penyidik perkara pidana di Kepolisian.
Hakim di
Indonesia, sesuai dengan sistim beracara hakim aktif, mempunyai peran yang aktif dalam persidangan.
Peran aktif ini sering kali tidak dijalankan sesuai standar profesi kehakiman.
Banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya gaji yang relatif rendah, dan tingkat
pendidikan hukum yang hanya S1. Kita dapat membayangkan seseorang yang baru
selesai dari program S1, kemudian diterima sebagai hakim dan mengikuti kursus
calon hakim selama 12 bulan, kemudian magang selama 6 bulan, lalu mulai
menangani perkara.
Putusan-putusan dan analisa hukum hakim tidak tebuka untuk
umum. Sehingga publik tidak dapat mengetahui bobot analisa hukum hakim. Hal ini
di satu pihak tidak mendidik hakim, karena
tidak ada sarana mempertajam analisa hukum hakim akibatnya sebuah putusan dapat
menjadi bias atau error. Keadaan jauh berbeda dengan hakim-hakim di negara
maju, sebelum seseorang menjadi hakim
yang bersangkutan harus menjadi jaksa (rata- rata 10 tahun), kemudian menjadi
pembela (rata-rata 10 tahun), baru kemudian dia dapat dicalonkan menjadi hakim.
Begitupun mengenai putusan pengadilan, meskipun peran hakim pasif dalam sistim
juri, hakim selalu memberikan argumen hukum secara tertulis yang dapat dibaca
oleh siapapun.
Kesemua keterbatasan
dan kelemahan sistim hukum tersebut, mengharuskan kita untuk menyingkapi
prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum. Bidang-bidang hukum sendiri telah
menyediakan lembaga atau sarana untuk memungkinkan memperbaiki ”error-error hukum
itu”, seperti adanya lembaga peninjauan kembali ( herziening) yang dapat
digunakan oleh terpidana. Di luar ranah hukum, lembaga rekoveri untuk error itu
adalah grasi. Grasi dapat sebagai sarana mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam
penyelenggaraan hukum. Oleh karenanya lembaga ini tidak dengan kebetulaan berada
di luar sistim peradilan. Di sini sebenarnya presiden dapat melakukan
koreksi-koreksi dengan menunjukan kearifan hukumnya. Kearifan hukum di perlukan
untuk megisi lubang-lubang dalam penyelenggaraan sistem hukum dan peradilan
pada khususnya.
c.
Hapusnya Hak Negara Untuk
Menjalankan Pidana
Jan remelink
memasukan grasi sebagai salah satu dari tiga alasan gugurnya kewenangan untuk
mengeksekusi pidana[5]. Adami Chazawi juga menyebutkan hal yang
sama, namun ia menyebutnya dengan istilah hapusnya hak negara untuk menjalankan
pidana[6].
Dasar hapusnya hak negara
menjalankan pidana yang di tentukan dalam KUHP, ialah:
1.
Matinya terpidana ( Pasal 83 )
2.
Daluarsa dari eksekusi ( Pasal
84 )
Sedangkan dasar dari hapusnya hak negara
menjalankan pidana di luar KUHP adalah grasi yang diberikan oleh presiden dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Amademen Undang-undang Dasar 1945
Pasal 14 jo. Undang-undang No 22 tahun
2002).
Prinsip dasar pemberian grasi
ialah diberikan pada orang yang telah dipidana dengan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Sifat pemberian grasi sekedar mengoreksi
mengenai pidana yang dijatuhkan, tidak mengoreksi substansi pertimbangan pokok
perkaranya. Sifat yang demikian ini tampak dari tiga hal yang dapat diputuskan
oleh presiden dalam permohoanan grasi, yakni:
1.
Meniadakan pelaksanaan seluruh
pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan pengadilan;
2.
Melaksanakan sebagian saja dari pidana yang dilakukan dalam
putusan;
3.
Mengubah jenis pidana
(komutasi) jenis pidananya yang telah dijatuhkan dalam putusan menjadi pidana
yang lebih ringan seperti tersebut dalam Pasal 10 KUHP.
Dari tiga hal tersebut di atas,
yang menjadi dasar dari hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana adalah
poin no1 saja. Sedangkan poin no 2 dan 3 tidak menghapuskan hak negara untuk
melaksanakan pidana, tetapi sekedar meringankan pelaksanaan pidananya.
d. Hubungan Grasi dengan
Tujuan Pemidanaan
Terlepas dari
hal-hal tersebut diatas, mengenai pemberian grasi harus didasarkan pada tujuan
pemidanaan, presiden baik mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang
diajukan, haruslah disandarkan pada tujuan pemidanaan. Menurut literatur
mengenai KUHP ( Undang-undang N0 1 tahun 1946 ) dengan menilik sistim dan
susunan yang masih tidak berubah dari materi hukum induknya (WvS Ned.) dapat
dikatakan mempunyai tujuan pemidanaan dengan aliran kompromis atau teori gabungan, mencakup semua aspek yang ada
di dalamnya[7].
Jadi, dalam
permohonan grasi ini presiden harus mempertimbangkan masalah pembalasan juga
tidak lupa mempertimbangkan masalah mengenai perlindungan tertib hukum masyarakat,
baik mengabulkan atau menolak permohonan grasi dari permohonan. Dalam hal ini
masukan dari Mahkamah Agung sangat diperlukan oleh presiden sebagai badan yang
memang brekompeten untuk itu, dalam pengambilan putusan oleh presiden.
[1] Jan Remmelink, Hukum Pidana:
Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam
KUHP Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2003, hlm.587
[2] E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas, Bandung, 1965, hlm.240
[3] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian II, Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002,hlm.192
[5] Jan Remmelink, Op.Cit,
hlm.583
[6] Adami Chazawi, Op.Cit,
hlm.168
[7] Bambang Waluyo, Asas-asas
Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hlm.33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar