DI HUBUNGKAN DENGAN UU NO 25 TAHUN 2003
O L E H: V.WAILAN, SH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pencucian
uang tidak dilakukan seperti kejahatan tradisional lainnya walaupun
bentuk kejahatannya sama seperti penipuan atau penyuapan. Penipuandan
penyuapan ini merupakan tindak pidana kejahatan menurut KUHP. Apakah
sama cara melakukan kedua tindak pidana ini dari waktu ke waktu atau
dari situasi ke situasi berlainan atau oleh orang yang satu dengan orang
yang lain atau dapat terjadi pelakunya sama, akan tetapi objek dan
korbannya tidak sama .
Kejahatan
berkembang seiring perkembangan IPTEK. Kegiatan pencucian uang akan
menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK. Penipuan, penyuapan secra
tradisional akan langsung dilakukan dengan tunai. Akan tetapi penyuapan
dan kegiatan penipuan dilakukan dengan kecanggihan teknologi tidak harus
pada suatu tempat tertentu.
Praktik
money laundering bisa dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian
ke luar negeri. Sifat money laundering menjadi universal dan bersifat
internasional yakni melintasi batas-batas yurisdiksi negara Berarti
Money laundering berhubungan dengan dan dicapai dengan kemajuan
teknologi melalui system cyberspace (internet), pembayaran dilakukan
melalui bank secara elektronik (cyberpayment)
1.2. Tujuan
Dalam karya tulis ini permasalahan yang akan di bahas yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut :
- Tindak pidana perbankan :
1.a) pengertian dan istilah tindak pidana perbankan
1.b) jenis-jenis tindak pidana di bidang perbankan :
1.b.a) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
1.b.b) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
1.b.c) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
1.b.d) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
2. Tindak Pidana Pencucian Uang
3. Pencegahan Tindak Pidana Perbankan dan Tindak Pidana Pencucian Uang :
3.a) Tindak Pidana Perbankan
3.b) Tindak Pidana Pencucian Uang :
3.b.a) peranan PPATK
3.b.b)Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle/KYC)
1.3. Rumusan Masalah
- sebutkan pengertian dan jenis-jenis tindak pidana perbankan ?
- jelaskan pengertian dan permasalahan yang timbul dalam tindak pidana pencucian uang ?
- sebutkan dan jelaskan pencegahan dalam menanggulangi tindak pidana perbankan ?
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan karyatulis ini adalah :
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah ,tujuan, dan rumusan masalah
Bab II pembahasan , yang akan dibahas mengenai :
1. Tindak pidana perbankan :
1.a) pengertian dan istilah tindak pidana perbankan
1.b) jenis-jenis tindak pidana di bidang perbankan :
1.b.a) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
1.b.b) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
1.b.c) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
1.b.d) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
2. Tindak Pidana Pencucian Uang
3. Pencegahan Tindak Pidana Perbankan dan Tindak Pidana Pencucian Uang :
3.a) Tindak Pidana Perbankan
3.b) Tindak Pidana Pencucian Uang :
3.b.a) peranan PPATK
3.b.b)Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle/KYC)
Bab III Penutup, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tindak pidana perbankan
1.a) pengertian dan istilah tindak pidana perbankan
Terdapat
dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun maksud
dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana
Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”.
Tindak pidana perbankan mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan tindak pidana di bidang perbankan tampaknya lebih netral dan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam bank .[1]
Istilah
“tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan untuk menampung segala
jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada
pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah
tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the
bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).
1.b) jenis-jenis tindak pidana di bidang perbankan
Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) terdapat tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam:
1. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, diatur dalam Pasal 46.
2. Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, diatur dalam Pasal 47 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 47 A.
3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank diatur dalam pasal 48 ayat (1) dan ayat (2).
4. Tindak
pidana yang berkaitan dengan usaha bank diatur dalam pasal 49 ayat (1)
huruf a,b dan c, ayat (2) huruf a dan b, Pasal 50 dan Pasal 50A
1.b.a) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
Tindak
pidana ini disebut juga dengan tindak pidana bank gelap. Pasal 46 ayat
(1) menyebutkan, bahwa barang siapa menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar
rupiah).
Ketentuan
ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap
badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi
perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan
dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Pasal ini satu-satunya
pasal dalam UU Perbankan yang mengenakan ancaman hukuman terhadap
korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau pimpinannya.
1.b.b) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
Pasal
47 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa barang siapa tanpa membawa
perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa
bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ayat (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi,
pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja
memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah).
Pasal
47A. UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi,
atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang
wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
1.b.c) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
Pasal 48 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan
bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan
sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan
ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam
dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama
2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
1.b.d) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a) membuat
atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam
laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau rekening suatu bank;
b) menghilangkan
atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan
dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan
kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c) mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu
pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen
atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank,
atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan,
menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut,
diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama
8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
Selanjutnya
Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pihak Terafiliasi yang dengan
sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. \5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Suatu
pertanyaan yang sering timbul adalah apakah tindak pidana yang diatur
dalam UU Perbankan merupakan tindak pidana umum atau khusus. Hal ini
berkaitan dengan tugas penyidikan terhadap tindak pidana ini. Terdapat
kesan, bahwa pihak Kepolisian menganggapnya sebagai tindak pidana umum,
karena walaupun tindak pidana ini diatur di luar KUHP, tetapi UU
Perbankan tidak mengatur Hukum Acara khusus mengenai tindak pidana
perbankan. Ada pihak lain yang menyebut sebagai tindak pidana khusus,
karena diatur di luar KUHP, ancaman hukum berat dan kumulatif dengan
minimum hukuman dan ada sedikit hukum acara seperti yang diatur dalam
Pasal 42 yang berkaitan dengan permintaan keterangan yag bersifat
rahasia bank dalam proses peradilan perkara pidana.
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. : M01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4
Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana tindak pidana perbankan termasuk dalam tindak pidana khusus
(sebagai penjelasan dari Pasal 284 KUHAP)
Dalam
kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan ini kejahatan yang
dilakukan oleh orang dalam perlu mendapat perhatian khusus. Dalam hal
terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh
orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya
diterapkan yaitu :
1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya
Pasal 263 (pemalsuan) Pasal 372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam
jabatan), 378 (penipuan), 362 (pencurian), dll.
2) Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3/1971, UU No. 31/99 jo UU
no. Tahun 2002. Ketentuan UU Korupsi biasanya diterapkan terhadap kasus
yang menimpa bank pemerintah UU ini dipergunakan untuk memudahkan
menjerat pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan memperoleh uang
pengganti atas kerugian negara.
3) UU Perbankan. Ketentuan dalam undang-undang ini biasanya diterapkan apabila Komisasris, Direksi, Pegawai dan pihak terafiliasi dengan bank (“orang dalam”) atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya.
2. Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak
Pidana Pencucian Uang ( money laundering) secara populer dapat
dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan
perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan
oleh organized crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotik dan tindak
pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul
uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat
digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang
tersebut berasal dari kegiatan illegal.[2]
Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
a) Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposit box;
b) Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/ giro;
c) Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;
d) Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan;
e) Penggunaan fasilitas transfer atau EFT;
f) Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait; dan
g) pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Secara sederhana terdapat tiga tahap dalam proses pencucian yaitu[3] :
1) Placement (penempatan) ini dideteksi juga dengan adanya kewajiban orang yang membawa uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah seratus juta ruliah atau lebih untuk
melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai. Kemudian Direktorat
Jenderal Bea Cukai melaporkannya kepada PPATK (Pasal 16 UU No. 15 Tahun
2002).
2) Layering, diartikan sebagai memindah-mindahkan hasil kejahatan dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud agar sumber dan pemiliknya dapat dikaburkan. (pembukaan sebanyak mungkin rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif)
3) Integration,
yaitu suatu proses dimana uang hasil kejahatan yang telah dicuci di
investasikan kembali pada suatu bisnis yang legal sehingga tampak tidak
berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang
menjadi sumber dari uang yang di-laundry.
3. Pencegahan Tindak Pidana Perbankan dan Tindak Pidana Pencucian Uang
3.a) Tindak Pidana Perbankan pencegahan dengan :
3.a.1) pengawasan internal :pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris
3.a.2)pengawasan eksternal : pemerintah maupun pihak BI melakukan audit kepada bank yang bersangkutan
3.b) Tindak Pidana Pencucian Uang :
3.b.a) peranan PPATK(pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan)
PPATK
memiliki tugas dan wewenang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 26
dan 27 UU-TPPU (undang-undang tindak pidana pencucian uang No.25 Tahun 2003 ) antara lain:
a. Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh.
b. Memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang.
c. Melaporkan hasil anilisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
d. Meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK).
e. Melakukan
audit terhadap PJK mengenai kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam
UU-TPPU dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan.
f. Memberikan
pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang
dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf b.
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tersebut, PPATK bersifat independen sebagaimana yang dimuat dalam UU-TPPU yaitu :
a) Bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
b) Tidak
diperkenankannya setiap pihak untuk melakukan segala bentuk campur
tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
c) Diwajibkannya
kepala dan wakil kepala PPATK untuk menolak setiap campur tangan dari
pihak manapun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
3.b.b)Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle/KYC)
Menurut
Peraturan Bank Indonesia, yang dimaksud dengan Prinsip KYC adalah
prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah,
memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang
mencurigakan.
Dalam menerapkan Prinsip KYC dimaksud bank diwajibkan :
a) Menetapkan kebijakan mengenai penerimaan nasabah, prosedur identifikasi nasabah, dan prosedur
pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah, serta prosedur
manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan KYC.
b) Melaporkan transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction) kepada BI selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah diyakini oleh bank.
c) Menerapkan
prinsip KYC yang berlaku di suatu negara bagi kantor cabang bank yang
berada di luar negeri, sepanjang standar KYCnya sama atau lebih ketat
dari yang diatur dalam PBI, dan jika ketentuan setempat lebih longgar
wajib diterapkan PBI KYC. Dalam hal penerapan PBI KYC mengakibatkan
pelanggaran ketentuan negara setempat, wajib dilaporkan kepada kantor
pusatnya dan BI.
d) Bank
wajib menerapkan prinsip KYC dan melakukan pengkinian data base nasabah
yang telah ada (existing customer) selambat-lambatnya tanggal 13 Juni
2002.
e) Bank
wajib melaksanakan program pelatihan kepada karyawan bank mengenai
prinsip KYC selambat-lambatnya tanggal 13 Februari 2002.
f) Penerapan
sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan
menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi
yang dilakukan oleh nasabah bank sudah harus siap selambat-lambatnya
tanggal 13 Juni 2002.
Adapun sanksi apabila apabila bank tidak melaporkan
perubahan Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah
selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut
serta tidak melaporkan kepada BI transaksi yang mencurigakan yang
terjadi di bank yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak
transaksi tersebut diketahui oleh bank, dikenakan sanksi berupa
kewajiban membayar sebesar Rp.1 juta per hari kelambatan dan
setinggi-tingginya Rp.30 juta.
Sedangkan
sanksi apabila bank tidak melaksanakan kewajiban lainnya adalah dengan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(2) huruf b, c, e, f atau g Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.10 tahun 1998 yaitu berupa :
a) teguran tertulis;
b) penurunan tingkat kesehatan bank;
c) pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
d) pemberhentian
pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti
sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi
mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan BI, atau;
e) pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan.
Kendala yang dihadapi bank dalam melaksanakan prinsip KYC berupa:
a) Takut kehilangan nasabah
Bank merasa khawatir kehilangan nasabah apabila menerapkan sepenuhnya
prinsip KYC baik terhadap nasabah lama (existing customer) maupun
terhadap nasabah baru (new customer). Hal tersebut karena tidak serentaknya bank-bank dalam menerapkan prinsip KYC pada nasabah. Kondisi ini memberikan peluang bagi nasabah untuk menolak memberikan informasi dan memindahkan dananya ke bank yang belum menerapkan prinsip KYC.
b) Skala usaha bank
Bagi
bank yang tergolong dalam skala besar (sebagai contoh memiliki karyawan
lebih dari 21.000 dengan 800 kantor cabang dan 8 juta nasabah di
seluruh Indonesia) cenderung lebih sulit menerapkan prinsip KYC sepenuhnya, seperti pendataan profil nasabah, pelatihan bagi karyawan, dan pengadaan sistem informasi, yang untuk itu dibutuhkan waktu yang panjang, biaya yang besar dan keahlian yang memadai.
c) Ketidakpercayaan perbankan terhadap penegakan hukum
Walaupun
UU-TPPU telah memberikan kepastian akan jaminan keamanan bagi bank
dalam pelaksanaan penyampaian laporan sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 15, dan Pasal 40 – Pasal 42 UU-TPPU namun bank masih meragukan pelaksanaannya khususnya terhadap aparat penegak hukum.
Disamping itu kurangnya perhatian masyarakat terhadap ketentuan KYC merupakan kendala utama yang dihadapi oleh seluruh bank dalam menerapkan prinsip KYC. Hal tersebut karena:
a) pengisian
formulir KYC menyusahkan nasabah dan dirasa terlalu berlebihan (misal
pengisian jabatan, nama ibu kandung, hobi, pinjaman dari bank lain) dan tidak nyaman;
b) takut rahasia keuangannya diketahui oleh pihak lain misalnya perpajakan;
c) tidak merasa memperoleh manfaat dari pengisian KYC dan menganggap bank terlalu ingin tahu masalah internal nasabah.
Selain itu, dampak yang dihadapi bank pada saat menerapkan prinsip KYC antara lain :
a) nasabah menolak mengisi formulir KYC yang sudah dikirimkan dan akan menarik dananya apabila tetap diharuskan mengisi;
b) nasabah cenderung tidak jujur dalam mengisi data penghasilan dan sulit ditemui;
c) nasabah penyimpan dana berkeberatan memberikan slip gaji karena beranggapan bukan sebagai peminjam dana.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uaraian yang telah di jelaskan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa UU No.25 Tahun 2003 memiliki kekurangan antara lain :
a) Adanya
batasan “hasil tindak pidana” (proceed of crime) minimal Rp 500 juta.
Adanya batasan ini, selain ia tidak lazim juga terdapat celah yang dapat
dimanfaatkan bagi para pencuci uang untuk memecah-mecah hasil
kejahatannya dalam jumlah yang lebih kecil.
b) Batasan
waktu penyampaian laporan transaksi tunai. Dalam Pasal 13 ayat (3),
penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b dilakukan paling
lambat 14 hari kerja setelah transaksi dilakukan.Batasan waktu ini
dinilai terlalu lama, diusulkan batasan waktu penyampaian dapat dipersingkat.
c) Tidak dimasukkannya klausul “anti tipping
off” yaitu larangan bagi Penyedia Jasa Keuangan untuk memberitahukan
kepada nasabahnya berkaitan dengan laporan Transaksi Keuangan
Mencurikagakan yang terkait dengan nasabah tersebut. Larangan ini sangat
penting karena apabila pemilik rekening tersebut mengetahui bahwa
dirinya dilaporkan, dikhawatirkan yang bersangkutan dapat menghambat jalannya penyidikan, atau bahkan menarik simpanannya.
d) Pengertian transaksi keuangan yang mencurigakan perlu diperluas dengan menambahkan unsur “transaksi yang berkaitan dengan hasil tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Istilah “Tindak Pidana Di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs. HAK Moch Anwar, SH dan Prof Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, HAK Moch Anwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, (Bandung: Alumni, 1986). Lihat juga Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 74
UU No.15 Tahun 2002 PENCUCIAN UANG di ubah menjadi UU NO.25 Tahum 2003
Undang-undang No.10 tahun 1998 PERBANKAN
UU No. 3/1971, UU No. 31/99 jo UU no. Tahun 2002. Tindak Pidana Korupsi
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. : M01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Yunus
Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas
Tindak Pidana Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22 No.3,
2003), hal.26.
Guy
Stessens, Money Laundering : A New International Law Enforcement Model,
Cambridge University Press, First Published 2000, hal.9
[1] Istilah “Tindak Pidana Di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs. HAK Moch Anwar, SH dan Prof Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, HAK Moch Anwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, (Bandung: Alumni, 1986). Lihat juga Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 74
[2] Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana
Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22 No.3, 2003), hal.26.
[3] Guy Stessens, Money Laundering : A New International Law Enforcement Model, Cambridge
University Press, First Published 2000, hal.9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar