OLEH: V.WAILAN, SH
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”.
Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu
peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang
pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan
dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum
kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang
telah diadakan lebih dulu”.(1) Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.(2) Moeljatno menyebutkan
pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan”.(3) Oemar Seno Adji menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”.(4) Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti,
artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada
saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada
larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas
legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions).(5)
Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).
Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach
beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif
terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya
bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan
menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi,
menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa “Talmudic Jurisprudence” lah yang mendahului teori von Feurbach.(6) Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: “nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali”.(7)
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin,
ada menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum
Romawi kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari
juris Jerman, von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik.(8) J.E. Sahetapy
menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin
semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang
digunakan pada waktu itu.(9) Moeljatno menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi Kuno.(10) Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria,
yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam
undang-undang”. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal
adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam
sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang
berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya
secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu
perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari ajaran Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau
mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi
dalam ajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas.
Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah melindungi individu
terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi
kemerdekaan pribadi individu terhadap tuntutan tindakan yang
sewenang-wenang.(11) Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.(12)
Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari ketentuan Pasal 8 Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen
tahun 1789 yang berbunyi, “tidak ada orang yang dapat dipidana selain
atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”, dan merupakan
pandangan Lafayette dari Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights Virgina tahun 1776.
Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi “ketentuan perundang-undangan (wettelijk strafbepaling)”
dan “undang-undang” maka ruang lingkup asas legalitas dalam hukum
pidana materiil lebih luas dengan terminologi “perundang-undangan” dari
kata “undang-undang” pada ketentuan hukum acara pidana. Tegasnya, asas
legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel juga
dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Andi Hamzah
kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas
dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana
materiel, karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan
Belanda) “ketentuan perundang-undangan” (wettelijk strafbepaling)
sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-undang pidana. Jadi,
suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi
tidak boleh membuat aturan acara pidana.(13)
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang
pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti).
Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar
dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur
sebelum perbuatan dilakukan. Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam feriat
(undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum
merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini kiranya
mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran atas
pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih
dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat
dibenarkan.
Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa dan analogi.(14) Roelof H. Haveman menyebutkan keempat dimensi konteks di atas sebagai, though
it might be said that not every aspect is that strong on its own, the
combination of the four aspects gives a more true meaning to principle
of legality.(15) Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:
1) Tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.(16)
Komariah Emong Sapardjaja(17) dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen menyebutkan ada empat makna yang terkandung asal legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga,
hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana
didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. Polarisasi pemikiran Komariah Emong Sapardjaja dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen hakikatnya identik dengan pendapat dari Machteld Boot dengan titik tolak pandangan Jeschek dan Weigend yang menyebutkan empat syarat asas legalitas. Pertama, tidak ada perbuatan pidana dan pidana tanpa undang-undang sebelumnya (asas nullum crimen, noela poena sine lege pravia). Kedua, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis (asas nullum crimen, nulla poena sine lege scripta). Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine lege certa). Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat (asas nullum crimen, noela poena sine lege stricta). Lebih detail Machteld Boot menyebutkan bahwa:
“The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in Article
1 StGB is generally considered to include four separate requirements.
Fist, conduct can only be punished if the punishability as well as the
acconpanying penalty had been determined before the offence was
committed (nullum crimen, noela poena sine lege praevia). Furthermore,
these determinations have to be be included in statutes (Gesetze):
nullum crimen, noela poena sine lege scripta. These statutes have to be
difinite (bestimmt): nullum crimen, noela poena sine lege certa. Lastly,
these statutes may not be applied by analogy which is reflected in the
axion nullum crimen, noela poena sine lege stricta.”(18)
JH. J. Enschede, menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu: Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke strafbepaling...). Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende kracht hebben...).(19) Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv
(KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP Indonesia
1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang
dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk)
dalam ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang
mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate.
Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan
tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah
daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot
merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu
rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi
keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat
membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna
sebagai pedoman perilaku. Ketiga, dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan).(20)
Lebih lanjut Von Feurbach menyebutkan makna asas legalitas menimbulkan tiga peraturan lain. Pertama, setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege). Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine). Ketiga,
perbuatan yang diancam dengan pidana yang menurut undang-undang,
membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-undang
dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali).(21) Berikutnya Richard G. Singer dan Martin R. Gardner menyebutkan asas legalitas berkorelasi dengan 3 (tiga) dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif. Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut. Ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang.(22)
Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam
KUHP Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun
asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2008).(23)
Akan tetapi, Utrecht keberatan dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig)
tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas
menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan
hidup. Lebih terperinci maka Utrecht mengatakan bahwa:
“Terhadap azas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum
itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang
oleh hukum (=peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai
suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang
melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan,
tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban
umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar”’ masih juga “strafwaardig”.
Ada lagi satu alasan untuk menghapuskan pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu
suatu alasan yang dikemukakan oleh terutama hakim pidana di daerah
bahwa pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana
adat.”(24)
Akan tetapi, walaupun demikian pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi Hamzah diterima dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema. Lebih jauh dikatakan, bahwa:
“Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di
dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi
yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah
tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat
pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari sudut yang lain, yaitu
kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari
perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim
sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai negara berkembang
yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang
sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.”(25)
Barda Nawawi Arief(26) menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”, asas “lex certa”, dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas “nonretroaktif”. Asas legalitas formal (lex scripta) dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta).
Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan
(pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa
ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.
Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundang-undangan
tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan
tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas
legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat)
larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:
a) “nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis—unwritten law--);
b) “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan analogy);
c) “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut);
d) “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas –unclear terms-).
Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP
Tahun 2008 perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan
Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan
redaksional sebagai, “Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan
tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai
tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan”. Kemudian ketentuan asas legalitas ini lebih
lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008
disebutkan, bahwa:
“Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa
suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan
demikian oleh atau didasarkan pada Undang-undang. Dipergunakan asas
tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum
pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang
mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana
dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut
demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan
mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.”
Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid
menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum
transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa
berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied)
yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana
perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana,
maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan
baginya.(27)
Barda Nawawi Arief mempergunakan terminologi melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain dikarenakan sebagai berikut:
1) Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
2) Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel;
3) Dalam
hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang
Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep
KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai “nullum delictum sine ius”
atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi
juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum
yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;
4) Dalam
dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat
perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15
ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di atas);
5) Di
beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal)
ada ketentuan mengenai “pemaafan/pengampunan hakim” (dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain “rechterlijk pardon”, “Judicial pardon”, “Dispensa de pena” atau “Nonimposing of penalty”) yang merupakan bentuk “Judicial corrective to the legality principle”;
6) Ada
perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan
Undang-undang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan
ketentuan mengenai “pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana” (“the declaration of guilt without imposing a penalty”);
7) Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari “cyber-crime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “lex certa”, karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.(28)
Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas “lex temporis delicti”
sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini
menentukan apabila terjadi perubahan perundang-undangan maka
diterapkan ketentuan yang menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink
menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) memberikan jawaban dalam artian
bahwa bila undang-undang yang berlaku setelah tindak pidana ternyata
lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya secara surut diperkenankan.
Pandangan demikian diakui dan diterima di Belgia dan Jerman. A. Zainal Abidin Farid
menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undang-undang dalam pasal 1
ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau semua
aturan hukum maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori formil yang dianut oleh Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dan teori materiil tak terbatas. Menurut teori formil
maka perubahan undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi
undang-undang pidana yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain
dari undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang
pidana, bukanlah perubahan undang-undang menurut pasal 1 ayat (2) KUH
Pidana. Kemudian menurut teori materiil terbatas bahwa perubahan
undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum
pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat
dianggap sebagai perubahan undang-undang ex pasal 1 ayat (2) KUH Pidana.
Teori materiil tak terbatas dimana H.R. dalam
keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (N.J. 1922 h. 239) yang disebut
Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa ”perundang-undangan meliputi
semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi
semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat
undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan
karena waktu”.
Konklusi dasar asas legalitas sebagaimana diuraikan konteks di atas,
dikaji dari prespektif karakteristiknya terdapat dimensi-dimensi sebagai
berikut:
• Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.
• Tidak dapat diterapkan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
• Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
• Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas (asas lex certa).
• Tidak ada ketentuan pidana diberlakukan secara surut (asas nonretroaktif).
• Tidak ada pidana, kecuali ditentukan dalam undang-undang.
• Penuntutan pidana hanya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International Criminal Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23 dan article 24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat (1) menyebutkan, “A
person shall not be criminally responsible under this Statute unless
the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime
within the jurisdiction of the court”, dan ayat (2) menyebutkan, “The
definition of a crime shall not be extended by analogy. In case of
ambiguity. The definition shall be intepreted in favour of the person
being investigated, prosecuted, or convicted”, dan ayat (3), “This
article shll not affect the characterization of any conduct as criminal
under international law independently of the Statute”. Kemudian article 23 berbunyi, “A person convicted by the court may be punished only in accordance with the Statute”, dan article 24 ayat (1) selengkapnya berbunyi bahwa, “No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute”, dan ayat (2) berbunyi bahwa, “In
the event of change in the applicable to a given case prior to a final
judgment, the law more favorable to the person being investigated or
convicted shall apply”.
Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang
ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan
mulai berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas diformulasikan
dengan redaksional bahwa, “No one shall be convicted of any act or
omission that did notconstitute a criminal offence, under applicable
law, at the time when it was committed. A heavier penalty shall not be
imposed than the one that was applicable at the time the criminal
offence. If subsequent to the commission of the offense that law
provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person
shall benefit thereform”. Berikutnya, asas legalitas juga terdapat
dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis
Umum PBB 217A (III) tanggal 10 Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat
(2) disebutkan asas legalitas dengan redaksional bahwa, “No one shall
be had guilty of any penal offence on account of any act or omission
which did not constitute a penal offence, under national or
international law, at the time when it was commited. Not shall a heavier
by imposed than the one that was applicable at the time the penal
offence was committed”. Selain itu, asas legalitas juga dikenal
dalam Pasal 7 ayat (2) African Charter on Human and People Rights yang
ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober
1986 yang menyebutkan bahwa, “No one may be condemmed for an act or
omission which did not constitute a legally punishable offence for which
no provision was made at the time it was committed. Punishment is
personal and can be imposed only on the offender”.
Kemudian pada KUHP Jerman yang diumumkan tanggal 13 November 1998 (Federal Law Gazette I, p. 945, p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB) pada Section 1 No Punishment Without a Law
disebutkan bahwa, “Sebuah perbuatan hanya dapat dipidana apabila telah
ditetapkan oleh undang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan”, (An act may only be punished if its punishability was determined by law before the act was committed). Pada asasnya, asas legalitas ini di Jerman juga berorientasi kepada dimensi penuntutan, sehingga menurut George P. Fletcher di Jerman menganut “positive legality principle”.(29)
Kemudian asas legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada
ketentuan Pasal 42 Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas
dirumuskan dengan redaksional, “Only a person who has commited
an act prohibited by a statute in force at the moment of commission
there of, and which is subject to a penalty, shall be geld criminally
responsible. This principle shaal not prevent punishment of any act
which, at the moment of its commission, constituted an offence within
the meaning of international law”. Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam Pasal 7 Konstitusi Perancis dengan menyebutkan bahwa, “A
person may be accused, arrested, or detained only in the cases
specified by law and in accordance with the procedures which the law
provides. Those who solicit, forward, carry out or have arbitrary orders
carried out shall be punished; however, any citizen summoned or
apprehended pursuant to law obey forhwith; by resisting, he admits his
guilt”. Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol ditegaskan asas legalitas adalah, “No
one may be convicted or sentenced for actions or omissions which when
committed did not constitute a criminal offence, misdemeanour or
administrative offence under the law then in force” dan dalam Pasal 25 Konstitusi Italia asas legalitas dirumuskan sebagai, “No one shall be punished on the basic of a law which has entered into force before the offence has been committed”.
footnote
[1] P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990, hlm. 1
[2] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, 2005, hlm. 41 dan: Andi Hamzah, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Paper Panel Diskusi 27 tahun KUHAP, Indonesia Room, Hotel Shangri-La, Jakarta, 26 Nopember 2008, hlm. 12
[3] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 3
[4] Oemar Seno Adji, Peradiolan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 21
[5] Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 12
[6] J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 220
[7] Bambang Poernomo, Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun Model Penegakan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 5 Juli 1989, hlm. 8
[8] Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 356
[9] J.E. Sahetapy, Asas Retroaktif: Suatu Kajian Ulang, KHN Newsletter, Edisi Mei, 2003, hlm. 21
[10] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 23
[11] E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas, Bandung, 1960, hlm. 194
[12] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russell, New York, 1944, hlm. 52
[13] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum........., Op. Cit., hlm. 43
[14] Roelof H. Haveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern in Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, 2002, hlm. 50
[15] Roelof H. Haveman, The Legality of…, Ibid.
[16] Moeljatno, Asas-Asas Hukum..., Op. Cit., hlm. 25
[17] Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 6
[18] Machteld Boot, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction of the International Criminal Court: Genocide, Crime Against Humanity, War Crimes, Intersentia, Oxford, New York, 2001, hlm. 94
[19] CH. J. Enschede, Beginselen van Strafrecht, Kluwer, Deventer, 2002, hlm.26 dalam: Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 24
[20] Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar …., Op.Cit., hlm. 357-359
[21] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materiil Bagian Umum, Binacipta, Bandung, t.t., hlm. 51
[22] Richard G. Singer dan Martin R. Gardner, Crimes and Punishment: Cases, Materials and Readings in Criminal Law, Second Edition, Matthew Bender, 1997, hlm. 149
[23] Pada dasarnya, praktik peradilan mengenal asas legalitas materiil dengan menerapkan dan memutus kasus pidana adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart 1/1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan dan Acara Pengadilan Sipil. Misalnya, delik adat lokika sanggraha di Bali merupakan tindak pidana adat yang melanggar norma kesusilaan dan terhadap pelanggarnya dikenai reaksi adat dan serta dijatuhkan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 359 Kitab Adigama jo Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart 1/1951. Terhadap aspek ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 374 K/Pid/1990 tanggal 13 Maret 1993, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 948/K/Pid/1996 tanggal 15 November 1996. (Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 221-253). Kemudian asas legalitas materiil ini dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2005 diformulasikan dengan redaksional, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.”
[24] Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Universitas, Jakarta, 1958, hlm. 195-198
[25] Loebby Loqman, Perkembangan Azaz Legalitas Dalam Hukum Pidana Indonesia, Paper, Semarang, 2004, hlm. 6-7
[26] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 1
[27] A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 151
[28] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum....., Op.Cit., hlm. 10-11
[29] George P. Fletcher, Basic Concepts of Criminal Law, Oxford University Press, New York, 1998, hlm. 207
[2] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, 2005, hlm. 41 dan: Andi Hamzah, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Paper Panel Diskusi 27 tahun KUHAP, Indonesia Room, Hotel Shangri-La, Jakarta, 26 Nopember 2008, hlm. 12
[3] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 3
[4] Oemar Seno Adji, Peradiolan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 21
[5] Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 12
[6] J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 220
[7] Bambang Poernomo, Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun Model Penegakan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 5 Juli 1989, hlm. 8
[8] Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 356
[9] J.E. Sahetapy, Asas Retroaktif: Suatu Kajian Ulang, KHN Newsletter, Edisi Mei, 2003, hlm. 21
[10] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 23
[11] E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas, Bandung, 1960, hlm. 194
[12] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russell, New York, 1944, hlm. 52
[13] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum........., Op. Cit., hlm. 43
[14] Roelof H. Haveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern in Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, 2002, hlm. 50
[15] Roelof H. Haveman, The Legality of…, Ibid.
[16] Moeljatno, Asas-Asas Hukum..., Op. Cit., hlm. 25
[17] Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 6
[18] Machteld Boot, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction of the International Criminal Court: Genocide, Crime Against Humanity, War Crimes, Intersentia, Oxford, New York, 2001, hlm. 94
[19] CH. J. Enschede, Beginselen van Strafrecht, Kluwer, Deventer, 2002, hlm.26 dalam: Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 24
[20] Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar …., Op.Cit., hlm. 357-359
[21] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materiil Bagian Umum, Binacipta, Bandung, t.t., hlm. 51
[22] Richard G. Singer dan Martin R. Gardner, Crimes and Punishment: Cases, Materials and Readings in Criminal Law, Second Edition, Matthew Bender, 1997, hlm. 149
[23] Pada dasarnya, praktik peradilan mengenal asas legalitas materiil dengan menerapkan dan memutus kasus pidana adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart 1/1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan dan Acara Pengadilan Sipil. Misalnya, delik adat lokika sanggraha di Bali merupakan tindak pidana adat yang melanggar norma kesusilaan dan terhadap pelanggarnya dikenai reaksi adat dan serta dijatuhkan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 359 Kitab Adigama jo Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart 1/1951. Terhadap aspek ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 374 K/Pid/1990 tanggal 13 Maret 1993, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 948/K/Pid/1996 tanggal 15 November 1996. (Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 221-253). Kemudian asas legalitas materiil ini dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2005 diformulasikan dengan redaksional, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.”
[24] Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Universitas, Jakarta, 1958, hlm. 195-198
[25] Loebby Loqman, Perkembangan Azaz Legalitas Dalam Hukum Pidana Indonesia, Paper, Semarang, 2004, hlm. 6-7
[26] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 1
[27] A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 151
[28] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum....., Op.Cit., hlm. 10-11
[29] George P. Fletcher, Basic Concepts of Criminal Law, Oxford University Press, New York, 1998, hlm. 207
Tidak ada komentar:
Posting Komentar