Pengadilan-Pengadilan Khusus di Indonesia
Oleh: Arsil
[Penulis adalah Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indpendensi Peradilan (LeIP)].
[Penulis adalah Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indpendensi Peradilan (LeIP)].
1. Pengantar
Pengadilan khusus sebenarnya bukan merupakan barang baru di dunia peradilan Indonesia. Tercatat setidaknya dua pengadilan khusus pernah berdiri sebelum masuknya era reformasi, yaitu pengadilan ekonomi (UU Darurat No. 7 Tahun 1955) dan pengadilan anak (UU No. 3 Tahun 1997). Setelah masuknya era reformasi yang diawali dengan krisis moneter, pengadilan khusus mulai banyak didirikan. Pengadilan khusus yang pertama di era ini adalah pengadilan niaga, yang diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian diundangkan dengan UU No. 4 Tahun 1998, Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2000), Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30 Tahun 2002), Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004) dan yang terakhir yaitu Pengadilan Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004).
Pengadilan khusus sebenarnya bukan merupakan barang baru di dunia peradilan Indonesia. Tercatat setidaknya dua pengadilan khusus pernah berdiri sebelum masuknya era reformasi, yaitu pengadilan ekonomi (UU Darurat No. 7 Tahun 1955) dan pengadilan anak (UU No. 3 Tahun 1997). Setelah masuknya era reformasi yang diawali dengan krisis moneter, pengadilan khusus mulai banyak didirikan. Pengadilan khusus yang pertama di era ini adalah pengadilan niaga, yang diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian diundangkan dengan UU No. 4 Tahun 1998, Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2000), Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30 Tahun 2002), Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004) dan yang terakhir yaitu Pengadilan Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004).
2. Perkembangan Pengaturan Pengadilan Khusus
Dalam setiap UU yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman, baik UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 maupun UU No. 4 Tahun 2000,[1] telah diatur mengenai pengadilan khusus dan peradilan khusus, hanya saja dalam setiap UU tersebut terdapat derajat ketegasan pengaturan yang berbeda-beda. Dalam UU No. 19 Tahun 1964, pengaturan mengenai pengadilan khusus tidak terlalu jelas. Dalam batang tubuh UU tersebut sama sekali tidak disebutkan mengenai keberadaan pengadilan khusus. Satu-satunya pengaturan yang mengindikasikan dapat dibentuknya pengadilan khusus atau spesialisasi dalam salah satu lingkungan peradilan terdapat dalam bagian penjelasan. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964 disebutkan:
Dalam setiap UU yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman, baik UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 maupun UU No. 4 Tahun 2000,[1] telah diatur mengenai pengadilan khusus dan peradilan khusus, hanya saja dalam setiap UU tersebut terdapat derajat ketegasan pengaturan yang berbeda-beda. Dalam UU No. 19 Tahun 1964, pengaturan mengenai pengadilan khusus tidak terlalu jelas. Dalam batang tubuh UU tersebut sama sekali tidak disebutkan mengenai keberadaan pengadilan khusus. Satu-satunya pengaturan yang mengindikasikan dapat dibentuknya pengadilan khusus atau spesialisasi dalam salah satu lingkungan peradilan terdapat dalam bagian penjelasan. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964 disebutkan:
(1) Undang-undang ini membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan Tata-Usaha Negara. Peradilan Umum antara lain meliputi Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah yang disebut “peradilan administratif” dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut “peradilan kepegawaian” dalam Pasal 21 Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian (Lembaran-Negara tahun 1961 No. 263; Tambahan Lembaran-Negara No.2312).
Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa pengadilan khusus
dapat dibentuk hanya dalam lingkungan peradilan umum. Pokok
permasalahan adalah UU tersebut tidak mengatur peraturan
perundang-undangan dalam tingkatan apa yang diperlukan untuk membentuk
kengadilan-pengadilan khusus tersebut. Hal ini berdampak pada siapa
atau lembaga apa yang mempunyai kewenangan untuk membentuk pengadilan
khusus. Selain itu pengaturan tersebut juga tidak memperlihatkan apa
fungsi dari pembentukan pengadilan khusus.
Berbeda dengan UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 yang
menggantikan UU tersebut kemudian mengatur sedikit lebih jelas mengenai
pengadilan khusus, walaupun tetap pengaturannya masih dalam bagian
penjelasan UU, bukan dalam batang tubuh. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat
(1) disebutkan:
(1) Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.
Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup
kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam
masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan
pengkhususan berupa Pengadilan Lalu lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan
Ekonomi, dan sebagainya dengan UU.
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa pengaturan mengenai pengadilan
khusus sudah relatif lebih tegas dari peraturan sebelumnya. Ketentuan
ini membuka pintu untuk dibentuknya pengadilan-pengadilan khusus di
semua lingkungan peradilan, tidak terbatas hanya pada Peradilan Umum
semata. Pengaturan mengenai peraturan perundang-undangan apa yang
dibutuhkan untuk membentuk pengadilan khusus tersebut juga sudah cukup
jelas, yaitu UU. Jika dibandingkan kedua UU tersebut juga terlihat bahwa
dalam hal lingkungan peradilan sendiri terjadi perubahan-perubahan.
Jika sebelumnya lingkungan peradilan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Khusus -yang terdiri dari Peradilan Agama dan
Peradilan Militer-, dan Peradilan TUN, UU No. 14 Tahun 1970 membaginya
hanya menjadi dua, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Khusus yang mana
Peradilan Agama, TUN dan Militer digolongkan sebagai Peradilan Khusus.
Akan tetapi walaupun UU No. 14 Tahun 1970 membuka kemungkinan
diadakannya pengkhususan pada setiap lingkungan peradilan hal itu
ternyata tidak tercermin dalam UU yang mengatur mengenai masing-masing
lingkungan peradilan. Dari empat UU yang mengatur mengenai Badan
Peradilan, UU yang menyatakan dalam lingkungan peradilannya dapat
diadakan pengkhususan hanyalah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, sementara dalam tiga UU badan peradilan lainnya seperti UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sama sekali
tidak menyebutkan satu kata pun mengenai hal ini. Hal ini tentunya
menimbulkan satu pertanyaan, apakah dalam ketiga badan peradilan
tersebut dapat dibentuk pengadilan khusus (pengkhususan) atau tidak.
Tidak diaturnya mengenai pengadilan khusus dalam tiga badan peradilan
tersebut tampaknya memang bukan tanpa sengaja. Selain pada saat itu
memang belum pernah ada pengadilan khusus yang berada di bawah
lingkungan peradilan selain peradilan umum, tiga badan peradilan lainnya
itu sendiri sebenarnya secara inheren sudah dianggap merupakan
pengkhususan dari peradilan umum sehingga mungkin akan sedikit ganjil
jika dalam peradilan khusus tersebut diadakan pengkhususan lagi. Hal ini
bisa terlihat dari penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970
tersebut.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, satu hal yang perlu
dicatat dari kedua UU tersebut adalah bahwa istilah pengadilan khusus
belum dikenal. Istilah pengadilan khusus dinyatakan secara tegas baru
pada UU No. 4 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970.
Selain itu dalam UU No. 4 Tahun 2004 ini posisi pengadilan khusus tidak
lagi ditempatkan dalam bagian penjelasan UU akan tetapi telah
dimasukkan dalam bagian batang tubuh.
Pasal 15
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.
Penjelasan:
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Jika melihat dari perbandingan ketiga UU Kekuasaan Kehakiman di atas,
tampaknya penegasan pengaturan pengadilan khusus dalam bagian batang
tubuh dilakukan karena pada saat merumuskan UU No. 4 Tahun 2004,
pengadilan khusus yang sudah didirikan memang sudah cukup banyak. Hal
ini berbeda kondisinya ketika kedua UU sebelum dirumuskan, di mana
sebelumnya pengadilan khusus yang ada atau pernah ada hanya satu, yaitu
pengadilan ekonomi.
Ketidakjelasan mengenai apakah dalam lingkungan peradilan selain
peradilan umum dapat dibentuk juga pengadilan khusus atau tidak seperti
yang terjadi pada masa sebelumnya, kemudian dijawab dengan
dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 9A UU No. 9
Tahun 2004 ini akhirnya secara tegas dinyatakan bahwa dalam lingkungan
peradilan TUN (juga) dapat dibentuk pengadilan khusus atau
pengkhususan. Perubahan ini tampaknya terjadi karena dua hal, yaitu:
pertama, untuk dapat membuat pengadilan pajak, dimana menurut UU, pada
awalnya didirikan sebagai badan peradilan tersendiri, kemudian menjadi
bagian dari Badan Peradilan TUN. Kedua, karena adanya perubahan cara
pandang pembuat UU terhadap tiga badan/lingkungan peradilan selain
peradilan umum yang dulu dianggap sebagai peradilan khusus menjadi
tidak lagi dianggap sebagai peradilan khusus.
3. Dasar Pengkhususan
3. Dasar Pengkhususan
Kini muncul pertanyaan, kebutuhan apa yang diperlukan sebagai syarat
pembentukan pengadilan khusus. Mengenai hal ini ternyata baik UU
Kekuasaan Kehakiman maupun UU yang mengatur mengenai badan/lingkungan
peradilan tidak mengaturnya kecuali bahwa landasan hukumnya haruslah
undang undang. Sementara itu jika dilihat dari pengaturan dalam delapan
UU yang mengatur pengadilan khusus yang ada dan pernah ada dasar
pengkhususan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pengadilan yang
kekhususannya karena hukum materil yang menjadi ruang lingkupnya, dan
pengadilan yang kekhususannya karena subjek yang terlibat. Pengadilan
khusus yang termasuk dalam kategori pertama yaitu pengadilan ekonomi,
pengadilan niaga, pengadilan HAM, pengadilan pajak dan pengadilan
perikanan. Pada keenam pengadilan ini kompentensi absolutnya berkaitan
dengan objek hukum, maksudnya setiap perkara yang termasuk dalam objek
hukum tertentu menjadi wewenang pengadilan ini. Pada pengadilan ekonomi
setiap perkara tindak pidana ekonomi menjadi wewenang pengadilan
ekonomi, pada pengadilan niaga setiap perkara kepailitan, penundaan
kewajiban pembayaran utang dan HAKI merupakan wilayah pengadilan niaga.
Pada pengadilan pajak, sengketa pajak yang menjadi ruang lingkupnya.
Pada Pengadilan HAM memeriksa pelanggaran HAM berat, Pengadilan PHI
memeriksa perselisihan hubungan industrial, dan pada pengadilan
perikanan yaitu tindak pidana perikanan yang diatur dalam UU Perikanan.
Tidak ada perkara yang termasuk dalam lingkup hukum tersebut dapat
diselesaikan di luar pengadilan-pengadilan khusus tersebut.
Berbeda dari kategori pertama, pada kategori yang menjadi dasar
kekhususan adalah subjek yang terlibat. Pada pengadilan anak, subjek
yang menjadi sumber kekhususan adalah tersangka/terdakwanya, dalam hal
ini anak yang berusia antara 8-18 tahun. Pada pengadilan korupsi, tidak
semua perkara korupsi masuk ke dalam kompententsi absolutnya, hanya
perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi saja yang dapat diperiksa dalam pengadilan ini. Sedangkan
perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh pihak kejaksaan tetap
diperiksa pada pengadilan negeri.
Berdasarkan pengkhususan-pengkhususan tersebut terlihat bahwa
pengadilan korupsi merupakan pengadilan khusus yang paling berbeda dari
yang lainnya. Dasar pengkhususan pada pengadilan ini membuka
kemungkinan terjadinya disparitas putusan dalam perkara korupsi antara
perkara korupsi yang diperiksa oleh pengadilan negeri dengan yang
diperiksa oleh pengadilan korupsi. Di satu sisi kemungkinan disparitas
ini memang mungkin dipandang negatif, akan tetapi di sisi lain hal ini
sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong kinerja hakim karir.
Pengadilan korupsi yang mayoritas diisi oleh hakim ad hoc dapat menjadi
alat ukur apakah asumsi masyarakat bahwa pengadilan/ hakim karir sudah
sedemikian korupnya benar atau tidak. Jika ternyata dalam perkara
korupsi putusan dari pengadilan korupsi lebih baik daripada pengadilan
negeri umum, maka asumsi publik tersebut tentunya bukan isapan jempol
belaka, dan pengadilan harus berupaya untuk memperbaiki dirinya kalau
tidak ingin kepercayaan publik hilang sepenuhnya.
Berdasarkan bidang hukum, ada lima pengadilan khusus yang merupakan
pengadilan pidana, dua pengadilan khusus yang merupakan pengadilan
perdata, serta satu pengadilan khusus yang termasuk bidang TUN. Yang
masuk dalam bidang hukum pidana yaitu pengadilan ekonomi, pengadilan
anak, pengadilan HAM, pengadilan korupsi dan pengadilan perikanan. Dari
kelima UU yang mengaturnya, diatur juga mengenai hukum acara yang
berbeda dengan perkara pidana pidana pada umumnya. Pada pengadilan HAM,
pengadilan anak, dan pengadilan perikanan aturan KUHAP yang disimpangi,
yaitu mengenai jangka waktu penahanan. Pada pengadilan HAM ketentuan
jangka waktu tersebut diperpanjang melebihi aturan di KUHAP, sementara
pada pengadilan anak dan pengadilan perikanan justru sebaliknya, masa
penahanan pada setiap tahapan dipersingkat.
Pada pengadilan korupsi, keistimewaan yang diberikan oleh UU yaitu
mengenai upaya paksa. Jika pada perkara pidana lainnya penyitaan harus
dilakukan dengan seizin ketua pengadilan, hal ini tidak berlaku pada
pengadilan korupsi. Perkara yang sudah masuk pada tahap penyidikan dan
penuntutan juga tidak dapat dihentikan atau dikeluarkan SP3. Ketentuan
mengenai segala macam izin, seperti izin untuk membuka rahasia bank,
menahan serta menetapkan pejabat negara menjadi tersangka juga berbeda
dari hukum acara pada umumnya.
Kesamaan lain dari setiap pengadilan ini yaitu pengaturan mengenai
penyidik dan penuntut umum, dimana semuanya menuntut penyidik serta
penuntut umumnya dengan keahlian tertentu. Perbedaannya, pada pengadilan
korupsi, institusi yang menjadi penyelidik, penyidik dan penuntut umum
tidak lagi kepolisian dan kejaksaan, akan tetapi KPK. Sementara pada
pengadilan HAM yang berbeda hanya pada tahap penyelidikan, yaitu
dilakukan bukan oleh kepolisian melainkan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM).
Pengadilan khusus yang berdasarkan hukum perdata yaitu pengadilan
niaga dan pengadilan PHI, sementara yang termasuk pada pengadilan TUN
yaitu pengadilan pajak. Pada ketiga pengadilan ini penyimpangan
terhadap hukum acara yang berlaku cukup banyak.[2] Selain hal-hal
prosedural, keunikan dari hukum acara ketiga pengadilan ini yaitu pada
tingkatan pengadilan. Pada pengadilan niaga dan PHI tingkatan
pengadilan dipangkas menjadi 2 tingkat saja, yaitu pada tingkat pertama
dan kasasi saja, sementara untuk banding tidak ada. Pada pengadilan
pajak, pemangkasan tersebut lebih drastis lagi, putusan pengadilan
pajak tingkat pertama merupakan putusan yang bersifat final yang tidak
dapat diajukan banding maupun kasasi lagi, kecuali dalam hal tertentu
peninjauan kembali oleh MA. Tujuan dari pemangkasan tingkatan
pengadilan tersebut adalah untuk membuat proses penyelesaian dispute
menjadi lebih cepat.
4. Pengadilan Khusus Sebelum dan Sesudah 1998
Era reformasi ternyata memiliki dampak yang cukup berarti dalam dunia
peradilan di Indonesia mulai dari masuknya Hakim-Hakim Agung yang
berasal dari kalangan non-hakim atau yang biasa disebut dengan Hakim
Agung Non-Karir hingga diterapkannya sistem Satu Atap, yaitu
digabungkannya fungsi adminstratif, finansial dan organisatoris yang
awalnya berada di bawah Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung.
Perubahan lainnya yaitu dengan mulai munculnya Pengadilan-Pengadilan
Khusus yang berfungsi untuk memeriksa perkara-perkara tertentu yang
ditetapkan undang-undang.
Dalam hal pembentukan Pengadilan Khusus pun era reformasi mempunyai
dampak secara khusus. Dampak tersebut tercermin dari mulai
diperkenalkannya Hakim Ad Hoc dalam setiap pengadilan-pengadilan khusus
yang dibentuk pada era reformasi serta adanya pembatasan jangka waktu
pemeriksaan perkara di pengadilan. Faktor yang menyebabkan diaturnya
Hakim-Hakim Ad Hoc dan pembatasan jangka waktu ini didorong oleh semakin
kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan. Pada
masa orde baru hakim karir dipandang kurang independen dihadapan
kekuasaan, merebaknya isu korupsi di dunia peradilan juga merupakan
faktor yang mengurangi kepercayaan masyarakat tersebut. Faktor
menurunnya kepercayaan publik terhadap hakim karir ini kemudian
melahirkan hakim ad hoc.
Dalam hal pembatasan jangka waktu, faktor utamanya yaitu karena
merebaknya anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan
di pengadilan memakan waktu yang cukup lama. Anggapan ini sebenarnya
cukup beralasan khususnya untuk pemeriksaan perkara di tingkat banding
maupun kasasi, tidak jarang perkara di kedua tingkat tersebut memakan
waktu yang cukup lama. Asas peradilan cepat, sederhana serta murah
kemudian hanya menjadi asas di atas kertas semata. Faktor lamanya
pemeriksaan perkara di pengadilan tersebut kemudian disikapi oleh
pembuat UU dengan jalan memberikan jangka waktu yang pasti pada
pengadilan-pengadilan khusus tersebut.
5. Pengaturan Mengenai Hakim Ad Hoc
5. Pengaturan Mengenai Hakim Ad Hoc
Di antara enam pengadilan khusus yang mengatur mengenai hakim ad hoc
tidak ada satu pun yang memberikan pengertian yang cukup jelas
mengenai apa yang dimaksud dengan hakim ad hoc itu. Sementara itu dalam
Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia istilah ad hoc
diartikan sebagai “istimewa untuk hal itu”.[3] Satu hal yang sudah
jelas dari pengaturan dalam undang-undang mengenai hakim ad hoc adalah
bahwa hakim ad hoc berasal dari kalangan non hakim (karir), atau orang
yang bukan berprofesi sebagai hakim yang diangkat sebagai hakim. Akan
tetapi yang menjadi masalah adalah apakah rekrutmen hakim ad hoc
tersebut dilakukan per perkara atau direkrut untuk jangka waktu
tertentu.
Dalam beberapa pengadilan khusus memang masalah ini sudah cukup
jelas. UU Pengadilan Pajak misalnya, disebutkan bahwa hakim ad hoc
dapat diadakan untuk perkara tertentu, sementara dalam pengadilan HAM
dan PHI dikatakan bahwa hakim ad hoc direkrut untuk masa waktu lima
tahun. Dari sini terlihat bahwa mengenai rekrutmen hakim ad hoc
terdapat dua ‘preseden’, yaitu rekrutmen berdasarkan perkara tertentu
dan rekrutmen berdasarkan jangka waktu tertentu. Yang menjadi masalah
selanjutnya adalah ternyata dalam beberapa pengadilan hal tersebut
tidak diatur dengan tegas, seperti pada pengadilan niaga, korupsi, dan
perikanan. Dalam penyusunan Blue Print Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi[4] hal masalah ini sempat mencuat, ada pendapat yang mengatakan
bahwa rekrutmen hakim ad hoc seharusnya dilakukan per perkara,
walaupun pada akhirnya disepakati bahwa rekrutmen tersebut sebaiknya
dilakukan berdasarkan jangka waktu atau masa tugas mengikuti
sebagaimana yang diatur dalam pengadilan HAM. Salah satu faktor yang
menyebabkan pengaturan seperti dalam pengadilan HAM ini diikuti yaitu
untuk efisiensi dan efektifitas, mengingat proses rekrutmen hakim ad
hoc yang tentunya tidak bisa dilakukan secara cepat sementara terdapat
pembatasan jangka waktu persidangan tentunya rekrutmen berdasarkan
jangka waktu merupakan pilihan yang paling rasional.
Mengenai harus tidaknya hakim ad hoc ada dalam pengadilan khusus
tersebut pengaturannya juga berbeda-beda. Tidak semua pengadilan khusus
mewajibkan adanya hakim ad hoc. Pengadilan khusus yang mengatur hakim
ad hoc secara fakultatif ada dua, yaitu pengadilan niaga dan pengadilan
pajak. Dalam kedua pengadilan ini hakim ad hoc dapat diadakan dalam
keadaan tertentu. Dalam kedua pengadilan ini pengaturannya juga terdapat
sedikit perbedaan rumusan pengaturannya. Dalam pengadilan pajak
disebutkan dengan tegas, bahwa hakim ad hoc dapat direkrut jika
menyangkut perkara tertentu, sementara dalam pengadilan niaga hal
tersebut tidak disebutkan dengan tegas. UU hanya menyebutkan pada
pengadilan tingkat pertama dapat diangkat seorang ahli sebagai hakim ad
hoc. Kesamaan di antara kedua pengadilan ini yaitu bahwa hakim ad hoc
hanya dimungkinkan pada pengadilan tingkat pertama.
Pengadilan khusus yang mengatur hakim ad hoc sebagai syarat mutlak
yaitu pengadilan HAM, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan
PPHI, dan pengadilan perikanan. Persamaan dari keempat pengadilan ini
adalah komposisi hakim ad hoc lebih banyak dari komposisi hakim karir
dalam Majelis Hakim-nya. lebih banyak dari yaitu hakim ad hoc diadakan
di setiap tingkat pengadilan. Sementara itu, perbedaan dari keempatnya
terutama berkaitan dengan persyaratan-persyaratan untuk dapat diangkat
menjadi hakim ad hoc.
6. Syarat, Wewenang dan Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc
6. Syarat, Wewenang dan Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Pengaturan hakim ad hoc dalam semua UU pengadilan khusus adalah tidak
seragam. Tidak semua UU tersebut mengatur mengenai syarat, tata cara
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan Hakim ad hoc secara jelas. UU
yang mengatur mengenai tata cara pengangkatan, syarat dan lainnya yang
paling minim yaitu pada pengadilan perikanan. Dalam UU No. 31 Tahun 2004
tersebut satu-satunya ketentuan yang mengatur mengenai syarat yaitu
terdapat pada bagian penjelasan Pasal 78 ayat (1) yang mengatakan: ”Yang
dimaksud dengan “hakim ad hoc” adalah seseorang yang berasal dari
lingkungan perikanan, antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan,
organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum
perikanan.”
a. Wewenang Pengangkatan
Mengenai wewenang pengangkatan umumnya di setiap pengadilan diatur
bahwa hakim ad hoc diangkat oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung,
hanya pengaturan dalam pengadilan pajak hal tersebut tidak jelas. Hal
ini dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 ‘Dalam
memeriksa dan memutus perkara sengketa pajak tertentu yang memerlukan
keahlian khusus, Ketua dapat menunjuk hakim ad hoc sebagai Hakim
Anggota.’ Di sini tidak jelas siapa yang dimaksud dengan Ketua apakah
Ketua Pengadilan atau Ketua MA yang memiliki wewenang tersebut. Akan
tetapi tampaknya ketidakjelasan tersebut lebih disebabkan karena pada
awalnya pengadilan pajak didirikan memang bukan sebagai pengadilan
khusus akan tetapi peradilan khusus. Namun perubahan konstitusi yang
membatasi lingkungan peradilan hanya ada empat yang menyebabkan
peradilan pajak ini harus dirubah menjadi pengadilan khusus pajak.
Selain perubahan konstitusi, proses penyatuan atap juga merupakan
faktor yang membuat ketidakjelasan tersebut. Dalam UU tersebut
dikatakan pengaturan lebih lanjut tata cara pengangkatan hakim ad hoc
diatur dengan keputusan menteri, yang mana saat ini hal tersebut
kemungkinan besar tidak akan dimungkinkan lagi.[5] Sedikit perbedaan
terdapat pada pengadilan PHI. Pada pengadilan ini walaupun usulan
pengangkatan menjadi wewenang Ketua MA, akan tetapi usulan MA tersebut
harus didasari dari usulan yang diajukan oleh serikat buruh dan
organisasi pengusaha.
b. Syarat Hakim Ad Hoc
Mengenai syarat-syarat formil bagi hakim ad hoc juga berbeda-beda,
akan tetapi terdapat benang merah dari masing-masing pengadilan khusus
tersebut, yaitu kompentensi. Umumnya syarat kompentensi tersebut
diturunkan dalam bentuk gelar kesarjanaan dan pengalaman. Berdasarkan
UU, tidak semua pengadilan khusus mensyaratkan lulusan fakultas hukum
dan sejenisnya, cukup banyak juga pengadilan khusus yang tidak
mewajibkan lulusan fakultas hukum sebagai syarat mutlak. Pengadilan
Khusus yang mensyaratkan hanya gelar kesarjanaan hukum yaitu pngadilan
PHI khusus bagi hakim ad hoc pada MA. Pengadilan khusus yang
mensyaratkan lulusan fakultas hukum dan sejenisnya (Syariah atau lulusan
PTIK)[6] yaitu pengadilan HAM dan korupsi.
Pada pengadilan niaga, pajak dan PHI, khusus untuk hakim ad hoc pada
pengadilan negeri syarat yang berkaitan dengan gelar kesarjanaan tidak
diatur secara spesifik. Bahkan pada pengadilan PHI tampaknya
benar-benar hanya syarat formil belaka. Dalam UU nya disebutkan salah
satu syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada pengadilan
negeri yaitu berpendidikan serendah-rendahnya S1, tanpa dijelaskan S1
dari lulusan apa. Sementara pada pengadilan perikanan syaratnya yaitu
lulusan dari perguruan tinggi bidang perikanan atau organisasi d
ibidang perikanan dan memiliki keahlian dibidang hukum perikanan.[7]
Mengenai pengalaman di bidang tertentu pada pengadilan khusus tidak
semua pengadilan khusus mensyaratkan dengan jelas berapa lama pengalaman
di bidang tertentu tesebut dibutuhkan. UU yang mengatur secara tegas
hanya pada Pengadilan Korupsi dan Pengadilan PHI. Pada pengadilan
Korupsi pengalaman minimal di bidang hukum selama 15 tahun untuk Hakim
tingkat PN dan PT, dan 20 tahun untuk tingkat MA. Pada Pengadilan PHI
yaitu 5 tahun dibidang hubungan industrial baik untuk Hakim pada tingkat
Pertama maupun MA. Pada pengadilan khusus lainnya tidak diatur secara
jelas.
Khusus pada Pengadilan Niaga terdapat satu syarat formil lainnya yang
tidak ada dalam pengadilan-pengadilan khusus lainnya, yaitu untuk
dapat diangkat sebagai hakim ad hoc sebelumnya harus terlebih dahulu
lulus program pelatihan khusus pada Pengadilan Niaga.
c. Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Hingga saat ini Pengadilan Khusus yang telah memiliki Hakim Ad Hoc
baru 3 pengadilan, yaitu Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, dan
Pengadilan Korupsi. Dari keenam UU yang mengatur Pengadilan Khusus yang
mengatur soal hakim ad hoc tersebut hanya UU No. 30 Tahun2002 saja
yang menyatakan secara tegas adanya prinsip transparansi dan
partisipasi. Pengaturan secara tegas ini ternyata mempunyai dampak
nyata pada pelaksanaan proses rekrutmen hakim Ad Hoc tersebut. Jika
dalam proses rekrutmen Hakim Ad Hoc Pengadilan Niaga dan HAM Mahkamah
Agung melakukan proses rekrutmen tersebut secara tertutup, dalam proses
rekrutmen Hakim Tipikor Mahkamah Agung membentuk sebuah Panitia
Seleksi yang mengikutsertakan komponen civil society.
Tahap yang dilalui pada rekrutmen Hakim Ad Hoc Tipikor yaitu, MA
membentuk Pansel, kemudian Pansel mengumumkan dibukanya pendaftaran
Hakim Ad Hoc. Setelah calon-calon hakim ad hoc tersebut mendaftar,
Pansel kemudian melakukan seleksi yang dibagi menjadi beberapa tahap,
tahap pertama yaitu seleksi administrasi. Terhadap calon yang telah
memenuhi kelengkapan-kelengkapan administratif tersebut kemudian
diwajibkan untuk mengikuti test tertulis. Setelah test tertulis calon
yang lulus kemudian dilakukan profile assessment test yang dilakukan
konsultan psikologi dan manajemen profesional. Tahap terakhir yang harus
dilalui oleh calon adalah tahap fit and proper test. Dari
tahapan-tahan tersebut kemudian Pansel mengajukan usulan nama-nama
calon kepada Ketua MA. Pada proses yang lalu Pansel mengajukan 9 calon
Hakim Ad Hoc yang terdiri dari 3 orang untuk tingkat PN, 3 untuk
tingkat PT dan 3 untuk tingkat MA.
Pada Pengadilan Niaga dan HAM proses rekrutmennya hampir sama, yaitu
MA membentuk Tim Seleksi. Tim tersebut kemudian menjaring calon-calon
hakim ad hoc, umumnya target penjaringan dilakukan pada kalangan
akademisi. Para calon tersebut kemudian mengikuti pelatihan khusus yang
diadakan oleh MA bekerja sama dengan pihak luar. Hasil pelatihan
khusus tersebut kemudian menjadi dasar bagi MA untuk mengusulkan calon
hakim ad hoc kepada Presiden.
Untuk Pengadilan PHI secara normatif terdapat perbedaan yang cukup
substansial dengan dalam hal pengangkatan hakim ad hoc dengan pengadilan
khusus lainnya. Dalam UU ini disebutkan bahwa pengangkatan hakim ad
hoc dilakukan dengan cara organisasi Pengusaha dan Serikat Buruh
mengusulkan nama kepada Menteri (Tenaga Kerja) untuk kemudian usulan
tersebut diserahkan kepada Ketua MA, dan Ketua MA mengusulkan nama-nama
tersebut kepada Presiden untuk disahkan. Dari ketentuan ini tampaknya
pola rekrutmen tidak lagi dapat menggunakan mekanisme rekrutmen terbuka
seperti pada Pengadilan Korupsi maupun mekanisme penjaringan seperti
pada pengadilan HAM dan Niaga.
7. Susunan Majelis
Dalam semua UU yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman dikatakan
bahwa semua pengadilan memeriksa dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Mengenai hal ini
hampir di semua Pengadilan Khusus mengatur pengkhususan pula. Pengadilan
yang memeriksa dengan 3 orang hakim majelis yaitu pada pengadilan
Niaga, Pajak, PHI dan Perikanan, akan tetapi pada pengadilan Niaga dan
Pajak dimungkinkan untuk diperiksa dengan hakim tunggal.[8] Pada
Pengadilan PHI pengaturan mengenai majelis ini diatur lebih spesifik
lagi, yaitu pada setiap perkara majelis harus berisi 1 orang hakim
kariri, 1 orang hakim ad hoc yang diusulkan oleh organisasi pengusaha
dan 1 orang hakim ad hoc yang diusulkan oleh serikat buruh. Susunan
majelis seperti ini merupakan tampaknya mengadopsi konsep P4P/D.
Pada Pengadilan Ekonomi tidak disebutkan secara tegas berapa jumlah
hakim yang harus memeriksa perkara tindak pidana ekonomi. Hanya saja
dalam Pasal 35 UU Darurat No. 7 Tahun 1955 dikatakan bahwa dalam setiap
Pengadilan ditempatkan satu orang hakim atau lebih yang semata-mata
ditugaskan untuk memeriksa perkara tindak pidana ekonomi. Selain itu
dalam Pasal 42 dikatakan pada tingkat Pengadilan Tinggi Ekonomi
pemeriksaan dilakukan secara collegial dengan 3 orang hakim. Dari kedua
hal ini dapat disimpulkan bahwa pada tingkat pertama pemeriksaan dapat
dilakukan oleh 1 orang hakim saja.
Pada Pengadilan Anak pemeriksaan perkara disemua tingkat dilakukan
dengan majelis tunggal, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dapat
ditetapkan pemeriksaan dilakukan oleh 3 orang hakim. Sedangkan pada
Pengadilan HAM dan Korupsi pemeriksaan dilakukan dengan 5 orang hakim
majelis pada semua tingkatan pengadilan.
Dari semua pengadilan khusus yang di dalamnya terdapat hakim ad hoc
sebenarnya terdapat suatu masalah, yaitu pada tingkat Peninjauan
Kembali. Umumnya undang-undang hanya memberikan kewenangan kepada hakim
ad hoc di tingkat MA hanya untuk memeriksa perkara yang dimintakan
Kasasi, seperti misalnya yang diatur dalam Pasal 33 UU No. 26 Tahun 2000
dan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 2002. Pada Pengadilan PHI dan Perikanan
pengaturan mengenai hal ini cukup fleksibel karena pada kedua pengadilan
khusus tersebut hakim ad hoc pada tingkat MA tidak secara khusus
diatur diadakan dalam kaitannya dengan perkara/permohonan kasasi akan
tetapi diatur secara umum saja seperti misalnya pada Pasal 64 UU No. 2
Tahun 2004 yang mengatur mengenai Hakim Ad Hoc pada MA. Jika melihat
pada alasan mengapa diperlukan adanya hakim ad hoc pada pengadilan
Korupsi dan HAM di mana hakim ad hoc diadakan karena kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap kinerja hakim karir maka sudah
sepantasnyalah pada pemeriksaan permohonan Peninjauan Kembali juga
mengikutsertakan hakim ad hoc dalam susunan majelisnya.
8. Pembentukan Pengadilan Khusus Pasca Penyatuan Atap
Beberapa waktu yang lalu Presiden telah mengeluarkan Perpu No. 1
Tahun 2005 tentang Penundaan Pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2004.
Penerbitan Perpu tersebut terjadi karena adanya permohonan dari MA
kepada Presiden karena MA belum siap untuk melaksanakan UU tersebut
khususnya yang berkaitan dengan pengoperasian Pengadilan PHI.
Ketidaksiapan MA ini salah satunya disebabkan oleh jangka waktu yang
ditetapkan oleh UU dirasa terlalu singkat, sementara terdapat
kendala-kendala teknis di lapangan seperti anggaran, rekrutmen hakim ad
hoc dan lain sebagainya yang menjadi tanggung jawab MA. Di sisi lain
pihak MA juga mengeluhkan munculnya beberapa pengadilan khusus yang
proses penyusunan UU nya kurang melibatkan pihak MA.[9]
Masalah-masalah ini muncul sebenarnya merupakan satu implikasi dari
program penyatuan atap yang diamanatkan oleh UU No. 35 Tahun 1999 yang
kemudian ditindaklanjuti oleh UU No. 4 Tahun 2004. Dengan kedua UU
tersebut maka fungsi administratif, finansial dan administratif yang
awalnya berada di bawah kewenangan Pemerintah kini menjadi tanggung
jawab MA. Pembentukan pengadilan khusus yang diamanatkan oleh
undang-undang tentunya mempunyai implikasi terhadap hal-hal tersebut.
Jika pembentukan pengadilan khusus dilakukan pada masa sebelum penyatuan
atap mungkin permasalahan-permasalahan yang dikeluhkan oleh MA tidak
akan menjadi masalah, karena tentunya implikasi-implikasi anggaran,
finansial, organistatorial dan administratif yang berkaitan dengan
pembentukan pengadilan khusus ini akan menjadi beban pemerintah. Dan
oleh karena pemerintah merupakan pihak yang terlibat dalam proses
penyusunan undang-undang tentunya pemerintah lebih dapat mengantisipasi
masalah-masalah yang saat ini dikeluhkan oleh MA. Hal ini tampaknya
sulit bagi MA karena secara formil MA memang bukan pihak yang diberikan
hak untuk ikut merumuskan undang-undang.
Dengan penyatuan atap, akan tetapi pembentukan pengadilan khusus
tetap dilakukan dengan undang-undang yang merupakan kewenangan DPR dan
Presiden, tentunya masalah-masalah seperti ini potensial akan terus
terjadi. Di satu sisi, struktur ketatanegaraan kita memang tidak
mengatur hak MA dalam hal penyusunan undang-undang. Di sisi lain jika
kewenangan pembentukan pengadilan khusus menjadi kewenangan MA hal ini
juga bisa menimbulkan masalah lain. Tampaknya masalah mekanisme
pembentukan pengadilan khusus ini perlu kita pikirkan lebih serius lagi
agar masalah-masalah seperti yang terjadi saat ini tidak terjadi lagi
di kemudian hari.
Struktur Pengadilan Khusus
Istilah Pengadilan Khusus terkadang sering disalahartikan oleh masyarakat, seakan pengadilan khusus merupakan suatu pengadilan tersendiri yang memiliki struktur organisasi sebagaimana halnya Pengadilan-Pengadilan pada umumnya. Pandangan ini tampaknya semakin menguat setelah berdirinya Pengadilan Tipikor, terutama setelah Pengadilan Tipikor yang merupakan bagian dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dipindahkan ruang sidangnya ke gedung Upindo di kawasan Kuningan Jakarta Selatan.
Struktur Pengadilan Khusus
Istilah Pengadilan Khusus terkadang sering disalahartikan oleh masyarakat, seakan pengadilan khusus merupakan suatu pengadilan tersendiri yang memiliki struktur organisasi sebagaimana halnya Pengadilan-Pengadilan pada umumnya. Pandangan ini tampaknya semakin menguat setelah berdirinya Pengadilan Tipikor, terutama setelah Pengadilan Tipikor yang merupakan bagian dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dipindahkan ruang sidangnya ke gedung Upindo di kawasan Kuningan Jakarta Selatan.
Padahal jika dilihat undang-undang yang mengatur masing-masing
Pengadilan Khusus tersebut tidak ada yang mengatur mengenai struktur
organisasi dari Pengadilan Khusus tersebut, dengan pengecualian
Pengadilan Pajak. Namun mengenai Pengadilan Pajak ini menurut penulis
terjadi karena memang sedari awal Pengadilan Pajak dimaksudkan untuk
sebagai Badan Peradilan Khusus yang sejenis dengan Peradilan Umum,
Agama, TUN dan Militer. Hal ini terlihat dari kewenangan pembinaan
organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan pajak ini berada
dibawah Departemen Keuangan,[10] sementara pada saat itu tidak ada
satupun badan peradilan yang pembinaannya berada dibawah Departemen
Keuangan. Namun karena ternyata 5 bulan sebelum UU No.14 Tahun 2002 ini
disahkan amandemen UUD 1945 telah menutup kemungkinan berdirinya badan
peradilan baru selain yang telah ada maka akhirnya Pengadilan Pajak
‘dipaksakan’ untuk masuk dalam wilayah Peradilan TUN melalui UU No. 4
Tahun 2004.
Baik Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi, Anak, Niaga, HAM, Tindak
Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial, maupun Pengadilan
Perikanan pada dasarnya hanya mengatur pengkhususan mengenai hukum
acara termasuk di dalamnya mengenai majelis hakimnya, serta hal-hal
lain yang terkait langsung dengan proses persidangan.[11] Tidak ada
satupun dari undang-undang tersebut yang mengatur mengenai hal yang
berkaitan dengan organisasi pengadilannya, seperti Ketua dan Wakil
Ketua Pengadilan, Sekretaris, dan Panitera kepala sebagaimana halnya
pada pengadilan pada umumnya. Kesemua pengadilan khusus –kecuali
pengadilan Pajak- dalam undang-undangnya selalu disebutkan berada pada
Pengadilan Negeri setempat yang artinya merupakan bagian dari
Pengadilan Negeri itu sendiri.
Dalam konteks tersebut maka memang pengadilan khusus sebenarnya akan
lebih mudah dipahami dalam kerangka UU No. 14 Tahun 1970 dimana istilah
yang dipergunakan adalah Pengkhususan (differensiasi/spesialisasi)
bukannya Pengadilan Khusus. Dengan menggunakan istilah Pengkhususan
tersebut maka akan mudah dipahami bahwa yang saat ini dimaksud dengan
Pengadilan Khusus pada dasarnya tidak lebih dari pada Kamar Khusus dalam
pengadilan maupun lingkungan peradilan.[12]
Jika ditelusuri penggunaan istilah “Pengadilan Khusus” sebenarnya
baru dimulai pada tahun 1998, yaitu ketika pemerintah menerbitkan Perpu
No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan,[13]
dimana dalam Perpu tersebut dibentuk Pengadilan Niaga sebagai
Pengadilan Khusus. Selanjutnya hampir seluruh UU yang lahir setelah
tahun 1998 yang membentuk pengadilan khusus menggunakan istilah
Pengadilan Khusus, kecuali Pengadilan Pajak dan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Hingga saat ini penulis belum dapat mengetahui secara
pasti darimana istilah Pengadilan Khusus itu muncul, serta apakah
memang sedari awal penggunaan istilah Pengadilan Khusus tersebut
dimaksudkan sebagai suatu Pengadilan tersendiri yang telepas dari
Pengadilan Negeri (atau Pengadilan Agama/Pengadilan TUN/Pengadilan
Militer) ataukah sebenarnya sama dengan konsep yang telah ada dalam UU
No. 14 Tahun 1970 dan sebelumnya. Namun satu hal yang pasti dalam
kenyataannya semua UU yang mengatur mengenai Pengadilan Khusus tersebut
–apakah secara eksplisit mencantumkan istilah pengadilan khusus atau
tidak- pengaturannya pada prinsipnya sama, yaitu sama-sama menjadi
bagian dari pengadilan negeri yang ada.
ENDNOTE:
ENDNOTE:
*Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Kajian Putusan dictum edisi 4.
[1] Sebenarnya terdapat satu lagi undang-undang yang mengatur
mengenai Kekuasaan Kehakiman yang pernah ada di Indonesia, yaitu UU No.
19 Tahun 1948, tapi penulis belum berhasil mengakses UU tersebut.
[2] Khusus untuk pengadilan pajak, karena UU Pengadilan Pajak awalnya
memang ditujukan sebagai badan peradilan tersendiri maka pengaturan
hukum acaranya juga tersendiri, akan tetapi dengan dimasukkannya
pengadilan pajak di bawah lingkungan Peradilan TUN sementara belum
terdapat perubahan atas UU No. 4 Tahun2002, penulis belum dapat
mengetahui apakah setelah perubahan atas UU tersebut hukum acara yang
berlaku mengikuti UU No. 5 Tahun1986 atau tetap mengikuti UU No. 4
Tahun2002.
[3] Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, JS Badudu, Kompas 2003
[4] Blue Print Tipikor adalah kegiatan yang diprakarsai oleh Bappenas
yang di dalamnya melibatkan pihak-pihak dari lembaga-lembaga negara
yang terkait dengan pembentukan Pengadilan Tipikor. Kegiatan ini
dipimpin oleh Hakim Agung Prof. Paulus E Lotulung sebagai ketua
Steering Commitee yang dibantu oleh LeIP dan PSHK.
[5] Pengadilan pajak yang didirikan pada masa sistem dua atap awalnya
secara administratif, finansial, dan organisatoris akan berada di
bawah Menteri Keuangan, sebagaimana halnya peradilan umum dan TUN
berada di bawah Departemen Kehakiman. Dengan dialihkannya kekuasaan
eksekutif dalam hal peradilan ke MA serta adaya pembatasan lingkungan
peradilan, pengadilan ajak kemudian dijadikan pengadilan khusus.
dibawah lingkungan peradilan TUN. Secara organisatoris dan
administratif membuat hubungan antara Menteri Keuangan dengan
Pengadilan ini menjadi hilang.
[6] Tidak jelas mengapa lulusan syariah dapat menjadi hakim ad hoc
walaupun jika dilihat dari segi kompentensi terasa agak kurang tepat.
Cukup keras dugaan hal ini terjadi karena desakan dari kalangan lulusan
syariah. Desakan ini juga terjadi pada pembentukan UU Advokat No. 18
Tahun 2003, di mana pada akhirnya lulusan syariah dapat juga menjadi
advokat.
[7] Persyaratan ini terkesan ambigu, karena di satu sisi ketentuan
ini dapat ditafsirkan bahwa sarjana non hukum dapat menjadi hakim ad
hoc, tapi di sisi lain ketentuan keahlian di bidang hukum perikanan
membuka penafsiran bahwa gelar kesarjanaan hukum merupakan syarat
mutlak.
[8] Pada Pengadilan Niaga perkara yang dapat diperiksa dengan hakim
tunggal yaitu perkara niaga yang diatur oleh Peraturan Pemerintah, untuk
perkara niaga yang diatur oleh UU No. 4 tahun 1998 ini seperti
penundaan pembayaran utang dan perkara kepailitan dilakukan dengan
majelis.
[9] Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial: MA Terbentur Masalah Anggaran, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11361&cl=Berita
[10] Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
[11] Dalam Pengadilan Hubungan Industrial memang diadakan juga
Subkepaniteraan khusus yang dipimpin oleh Panitera Muda, namun hal ini
menurut penulis lebih pada aspek administrasi perkara yang masih masuk
dalam wilayah tekis yudisial.
[12] Dalam pasal 8 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum istilah
yang dipergunakan juga masih menggunakan istilah ‘pengkhususan’.
[13] Lihat Konsiderans Menimbang huruf f Perpu No. 1 tahun 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar