Selasa, 15 Mei 2012

Pengadilan-Pengadilan Khusus di Indonesia

Sumber : www.legalitas.org
Oleh: Arsil
[Penulis adalah Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indpendensi Peradilan (LeIP)].
 1.  Pengantar
Pengadilan khusus sebenarnya bukan merupakan barang baru di dunia peradilan Indonesia. Tercatat setidaknya dua pengadilan khusus pernah berdiri sebelum masuknya era reformasi, yaitu pengadilan ekonomi (UU Darurat No. 7 Tahun 1955) dan pengadilan anak (UU No. 3 Tahun 1997). Setelah masuknya era reformasi yang diawali dengan krisis moneter, pengadilan khusus mulai banyak didirikan. Pengadilan khusus yang pertama di era ini adalah pengadilan niaga, yang diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian diundangkan dengan UU No. 4 Tahun 1998, Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2000), Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30 Tahun 2002), Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004) dan yang terakhir yaitu Pengadilan Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004).
2. Perkembangan Pengaturan Pengadilan Khusus
Dalam setiap UU yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman, baik UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 maupun UU No. 4 Tahun 2000,[1] telah diatur mengenai pengadilan khusus dan peradilan khusus, hanya saja dalam setiap UU tersebut terdapat derajat ketegasan pengaturan yang berbeda-beda. Dalam UU No. 19 Tahun 1964, pengaturan mengenai pengadilan khusus tidak terlalu jelas. Dalam batang tubuh UU tersebut sama sekali tidak disebutkan mengenai keberadaan pengadilan khusus. Satu-satunya pengaturan yang mengindikasikan dapat dibentuknya pengadilan khusus atau spesialisasi dalam salah satu lingkungan peradilan terdapat dalam bagian penjelasan. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964 disebutkan:
(1) Undang-undang ini membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan Tata-Usaha Negara. Peradilan Umum antara lain meliputi Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah yang disebut “peradilan administratif” dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut “peradilan kepegawaian” dalam Pasal 21 Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian (Lembaran-Negara tahun 1961 No. 263; Tambahan Lembaran-Negara No.2312).
Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa pengadilan khusus dapat dibentuk hanya dalam lingkungan peradilan umum. Pokok permasalahan adalah UU tersebut tidak mengatur peraturan perundang-undangan dalam tingkatan apa yang diperlukan untuk membentuk kengadilan-pengadilan khusus tersebut. Hal ini berdampak pada siapa atau lembaga apa yang mempunyai kewenangan untuk membentuk pengadilan khusus. Selain itu pengaturan tersebut juga tidak memperlihatkan apa fungsi dari pembentukan pengadilan khusus.
Berbeda dengan UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 yang menggantikan UU tersebut kemudian mengatur sedikit lebih jelas mengenai pengadilan khusus, walaupun tetap pengaturannya masih dalam bagian penjelasan UU, bukan dalam batang tubuh. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) disebutkan:
(1) Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.
Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan UU.
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa pengaturan mengenai pengadilan khusus sudah relatif lebih tegas dari peraturan sebelumnya. Ketentuan ini membuka pintu untuk dibentuknya pengadilan-pengadilan khusus di semua lingkungan peradilan, tidak terbatas hanya pada Peradilan Umum semata. Pengaturan mengenai peraturan perundang-undangan apa yang dibutuhkan untuk membentuk pengadilan khusus tersebut juga sudah cukup jelas, yaitu UU. Jika dibandingkan kedua UU tersebut juga terlihat bahwa dalam hal lingkungan peradilan sendiri terjadi perubahan-perubahan. Jika sebelumnya lingkungan peradilan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus -yang terdiri dari Peradilan Agama dan Peradilan Militer-, dan Peradilan TUN, UU No. 14 Tahun 1970 membaginya hanya menjadi dua, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Khusus yang mana Peradilan Agama, TUN dan Militer digolongkan sebagai Peradilan Khusus.
Akan tetapi walaupun UU No. 14 Tahun 1970 membuka kemungkinan diadakannya pengkhususan pada setiap lingkungan peradilan hal itu ternyata tidak tercermin dalam UU yang mengatur mengenai masing-masing lingkungan peradilan. Dari empat UU yang mengatur mengenai Badan Peradilan, UU yang menyatakan dalam lingkungan peradilannya dapat diadakan pengkhususan hanyalah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sementara dalam tiga UU badan peradilan lainnya seperti UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sama sekali tidak menyebutkan satu kata pun mengenai hal ini. Hal ini tentunya menimbulkan satu pertanyaan, apakah dalam ketiga badan peradilan tersebut dapat dibentuk pengadilan khusus (pengkhususan) atau tidak.
Tidak diaturnya mengenai pengadilan khusus dalam tiga badan peradilan tersebut tampaknya memang bukan tanpa sengaja. Selain pada saat itu memang belum pernah ada pengadilan khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan selain peradilan umum, tiga badan peradilan lainnya itu sendiri sebenarnya secara inheren sudah dianggap merupakan pengkhususan dari peradilan umum sehingga mungkin akan sedikit ganjil jika dalam peradilan khusus tersebut diadakan pengkhususan lagi. Hal ini bisa terlihat dari penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tersebut.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, satu hal yang perlu dicatat dari kedua UU tersebut adalah bahwa istilah pengadilan khusus belum dikenal. Istilah pengadilan khusus dinyatakan secara tegas baru pada UU No. 4 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970.  Selain itu dalam UU No. 4 Tahun 2004 ini posisi pengadilan khusus tidak lagi ditempatkan dalam bagian penjelasan UU akan tetapi telah dimasukkan dalam bagian batang tubuh.
Pasal 15
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.
Penjelasan:
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Jika melihat dari perbandingan ketiga UU Kekuasaan Kehakiman di atas, tampaknya penegasan pengaturan pengadilan khusus dalam bagian batang tubuh dilakukan karena pada saat merumuskan UU No. 4 Tahun 2004, pengadilan khusus yang sudah didirikan memang sudah cukup banyak. Hal ini berbeda kondisinya ketika kedua UU sebelum dirumuskan, di mana sebelumnya pengadilan khusus yang ada atau pernah ada hanya satu, yaitu pengadilan ekonomi.
Ketidakjelasan mengenai apakah dalam lingkungan peradilan selain peradilan umum dapat dibentuk juga pengadilan khusus atau tidak seperti yang terjadi pada masa sebelumnya, kemudian dijawab dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 9A UU No. 9 Tahun 2004 ini akhirnya secara tegas dinyatakan bahwa dalam lingkungan peradilan TUN (juga) dapat dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan. Perubahan ini tampaknya terjadi karena dua hal, yaitu: pertama, untuk dapat membuat pengadilan pajak, dimana menurut UU, pada awalnya didirikan sebagai badan peradilan tersendiri, kemudian menjadi bagian dari Badan Peradilan TUN. Kedua, karena adanya perubahan cara pandang pembuat UU terhadap tiga badan/lingkungan peradilan selain peradilan umum yang dulu dianggap sebagai peradilan khusus menjadi tidak lagi dianggap sebagai peradilan khusus.
3. Dasar Pengkhususan
Kini muncul pertanyaan, kebutuhan apa yang diperlukan sebagai syarat pembentukan pengadilan khusus. Mengenai hal ini ternyata baik UU Kekuasaan Kehakiman maupun UU yang mengatur mengenai badan/lingkungan peradilan tidak mengaturnya kecuali bahwa landasan hukumnya haruslah undang undang. Sementara itu jika dilihat dari pengaturan dalam delapan UU yang mengatur pengadilan khusus yang ada dan pernah ada dasar pengkhususan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pengadilan yang kekhususannya karena hukum materil yang menjadi ruang lingkupnya, dan pengadilan yang kekhususannya karena subjek yang terlibat. Pengadilan khusus yang termasuk dalam kategori pertama yaitu pengadilan ekonomi, pengadilan niaga, pengadilan HAM, pengadilan pajak dan pengadilan perikanan. Pada keenam pengadilan ini kompentensi absolutnya berkaitan dengan objek hukum, maksudnya setiap perkara yang termasuk dalam objek hukum tertentu menjadi wewenang pengadilan ini. Pada pengadilan ekonomi setiap perkara tindak pidana ekonomi menjadi wewenang pengadilan ekonomi, pada pengadilan niaga setiap perkara kepailitan, penundaan kewajiban pembayaran utang dan HAKI merupakan wilayah pengadilan niaga. Pada pengadilan pajak, sengketa pajak yang menjadi ruang lingkupnya. Pada Pengadilan HAM memeriksa pelanggaran HAM berat, Pengadilan PHI memeriksa perselisihan hubungan industrial, dan pada pengadilan perikanan yaitu tindak pidana perikanan yang diatur dalam UU Perikanan. Tidak ada perkara yang termasuk dalam lingkup hukum tersebut dapat diselesaikan di luar pengadilan-pengadilan khusus tersebut.
Berbeda dari kategori pertama, pada kategori yang menjadi dasar kekhususan adalah subjek yang terlibat. Pada pengadilan anak, subjek yang menjadi sumber kekhususan adalah tersangka/terdakwanya, dalam hal ini anak yang berusia antara 8-18 tahun. Pada pengadilan korupsi, tidak semua perkara korupsi masuk ke dalam kompententsi absolutnya, hanya perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi saja yang dapat diperiksa dalam pengadilan ini. Sedangkan perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh pihak kejaksaan tetap diperiksa pada pengadilan negeri.
Berdasarkan pengkhususan-pengkhususan tersebut terlihat bahwa pengadilan korupsi merupakan pengadilan khusus yang paling berbeda dari yang lainnya. Dasar pengkhususan pada pengadilan ini membuka kemungkinan terjadinya disparitas putusan dalam perkara korupsi antara perkara korupsi yang diperiksa oleh pengadilan negeri dengan yang diperiksa oleh pengadilan korupsi. Di satu sisi kemungkinan disparitas ini memang mungkin dipandang negatif, akan tetapi di sisi lain hal ini sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong kinerja hakim karir. Pengadilan korupsi yang mayoritas diisi oleh hakim ad hoc dapat menjadi alat ukur apakah asumsi masyarakat bahwa pengadilan/ hakim karir sudah sedemikian korupnya benar atau tidak. Jika ternyata dalam perkara korupsi putusan dari pengadilan korupsi lebih baik daripada pengadilan negeri umum, maka asumsi publik tersebut tentunya bukan isapan jempol belaka, dan pengadilan harus berupaya untuk memperbaiki dirinya kalau tidak ingin kepercayaan publik hilang sepenuhnya.
Berdasarkan bidang hukum, ada lima pengadilan khusus yang merupakan pengadilan pidana, dua pengadilan khusus yang merupakan pengadilan perdata, serta satu pengadilan khusus yang termasuk bidang TUN. Yang masuk dalam bidang hukum pidana yaitu pengadilan ekonomi, pengadilan anak, pengadilan HAM, pengadilan korupsi dan pengadilan perikanan. Dari kelima UU yang mengaturnya, diatur juga mengenai hukum acara yang berbeda dengan perkara pidana pidana pada umumnya. Pada pengadilan HAM, pengadilan anak, dan pengadilan perikanan aturan KUHAP yang disimpangi, yaitu mengenai jangka waktu penahanan. Pada pengadilan HAM ketentuan jangka waktu tersebut diperpanjang melebihi aturan di KUHAP, sementara pada pengadilan anak dan pengadilan perikanan justru sebaliknya, masa penahanan pada setiap tahapan dipersingkat.
Pada pengadilan korupsi, keistimewaan yang diberikan oleh UU yaitu mengenai upaya paksa. Jika pada perkara pidana lainnya penyitaan harus dilakukan dengan seizin ketua pengadilan, hal ini tidak berlaku pada pengadilan korupsi. Perkara yang sudah masuk pada tahap penyidikan dan penuntutan juga tidak dapat dihentikan atau dikeluarkan SP3. Ketentuan mengenai segala macam izin, seperti izin untuk membuka rahasia bank, menahan serta menetapkan pejabat negara menjadi tersangka juga berbeda dari hukum acara pada umumnya.
Kesamaan lain dari setiap pengadilan ini yaitu pengaturan mengenai penyidik dan penuntut umum, dimana semuanya menuntut penyidik serta penuntut umumnya dengan keahlian tertentu. Perbedaannya, pada pengadilan korupsi, institusi yang menjadi penyelidik, penyidik dan penuntut umum tidak lagi kepolisian dan kejaksaan, akan tetapi KPK. Sementara pada pengadilan HAM yang berbeda hanya pada tahap penyelidikan, yaitu dilakukan bukan oleh kepolisian melainkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Pengadilan khusus yang berdasarkan hukum perdata yaitu pengadilan niaga dan pengadilan PHI, sementara yang termasuk pada pengadilan TUN yaitu pengadilan pajak. Pada ketiga pengadilan ini penyimpangan terhadap hukum acara yang berlaku cukup banyak.[2]  Selain hal-hal prosedural, keunikan dari hukum acara ketiga pengadilan ini yaitu pada tingkatan pengadilan. Pada pengadilan niaga dan PHI tingkatan pengadilan dipangkas menjadi 2 tingkat saja, yaitu pada tingkat pertama dan kasasi saja, sementara untuk banding tidak ada. Pada pengadilan pajak, pemangkasan tersebut lebih drastis lagi, putusan pengadilan pajak tingkat pertama merupakan putusan yang bersifat final yang tidak dapat diajukan banding maupun kasasi lagi, kecuali dalam hal tertentu peninjauan kembali oleh MA. Tujuan dari pemangkasan tingkatan pengadilan tersebut adalah untuk membuat proses penyelesaian dispute menjadi lebih cepat.
4. Pengadilan Khusus Sebelum dan Sesudah 1998
Era reformasi ternyata memiliki dampak yang cukup berarti dalam dunia peradilan di Indonesia mulai dari masuknya Hakim-Hakim Agung yang berasal dari kalangan non-hakim atau yang biasa disebut dengan Hakim Agung Non-Karir hingga diterapkannya sistem Satu Atap, yaitu digabungkannya fungsi adminstratif, finansial dan organisatoris yang awalnya berada di bawah Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung. Perubahan lainnya yaitu dengan mulai munculnya Pengadilan-Pengadilan Khusus yang berfungsi untuk memeriksa perkara-perkara tertentu yang ditetapkan undang-undang.
Dalam hal pembentukan Pengadilan Khusus pun era reformasi mempunyai dampak secara khusus. Dampak tersebut tercermin dari mulai diperkenalkannya Hakim Ad Hoc dalam setiap pengadilan-pengadilan khusus yang dibentuk pada era reformasi serta adanya pembatasan jangka waktu pemeriksaan perkara di pengadilan. Faktor yang menyebabkan diaturnya Hakim-Hakim Ad Hoc dan pembatasan jangka waktu ini didorong oleh semakin kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan. Pada masa orde baru hakim karir dipandang kurang independen dihadapan kekuasaan, merebaknya isu korupsi di dunia peradilan juga merupakan faktor yang mengurangi kepercayaan masyarakat tersebut. Faktor menurunnya kepercayaan publik terhadap hakim karir ini kemudian melahirkan hakim ad hoc.
Dalam hal pembatasan jangka waktu, faktor utamanya yaitu karena merebaknya anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan di pengadilan memakan waktu yang cukup lama. Anggapan ini sebenarnya cukup beralasan khususnya untuk pemeriksaan perkara di tingkat banding maupun kasasi, tidak jarang perkara di kedua tingkat tersebut memakan waktu  yang cukup lama. Asas peradilan cepat, sederhana serta murah kemudian hanya menjadi asas di atas kertas semata. Faktor lamanya pemeriksaan perkara di pengadilan tersebut kemudian disikapi oleh pembuat UU dengan jalan memberikan jangka waktu yang pasti pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut.
5. Pengaturan Mengenai Hakim Ad Hoc
Di antara enam pengadilan khusus yang mengatur mengenai hakim ad hoc tidak ada satu pun  yang memberikan pengertian yang cukup jelas mengenai apa yang dimaksud dengan hakim ad hoc itu. Sementara itu dalam Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia istilah ad hoc diartikan sebagai “istimewa untuk hal itu”.[3]  Satu hal yang sudah jelas dari pengaturan dalam undang-undang mengenai hakim ad hoc adalah bahwa hakim ad hoc berasal dari kalangan non hakim (karir), atau orang yang bukan berprofesi sebagai hakim yang diangkat sebagai hakim. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah apakah rekrutmen hakim ad hoc tersebut dilakukan per perkara atau direkrut untuk jangka waktu tertentu.
Dalam beberapa pengadilan khusus memang masalah ini sudah cukup jelas. UU Pengadilan Pajak misalnya, disebutkan bahwa hakim ad hoc dapat diadakan untuk perkara tertentu, sementara dalam pengadilan HAM dan PHI dikatakan bahwa hakim ad hoc direkrut untuk masa waktu lima tahun. Dari sini terlihat bahwa mengenai rekrutmen hakim ad hoc terdapat dua ‘preseden’, yaitu rekrutmen berdasarkan perkara tertentu dan rekrutmen berdasarkan jangka waktu tertentu. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah ternyata dalam beberapa pengadilan hal tersebut tidak diatur dengan tegas, seperti pada pengadilan niaga, korupsi, dan perikanan. Dalam penyusunan Blue Print Pengadilan Tindak Pidana Korupsi[4] hal masalah ini sempat mencuat, ada pendapat yang mengatakan bahwa rekrutmen hakim ad hoc seharusnya dilakukan per perkara, walaupun pada akhirnya disepakati bahwa rekrutmen tersebut sebaiknya dilakukan berdasarkan jangka waktu atau masa tugas mengikuti sebagaimana yang diatur dalam pengadilan HAM. Salah satu faktor yang menyebabkan pengaturan seperti dalam pengadilan HAM ini diikuti yaitu untuk efisiensi dan efektifitas, mengingat proses rekrutmen hakim ad hoc yang tentunya tidak bisa dilakukan secara cepat sementara terdapat pembatasan jangka waktu persidangan tentunya rekrutmen berdasarkan jangka waktu merupakan pilihan yang paling rasional.
Mengenai harus tidaknya hakim ad hoc ada dalam pengadilan khusus tersebut pengaturannya juga berbeda-beda. Tidak semua pengadilan khusus mewajibkan adanya hakim ad hoc. Pengadilan khusus yang mengatur hakim ad hoc secara fakultatif ada dua, yaitu pengadilan niaga dan pengadilan pajak. Dalam kedua pengadilan ini hakim ad hoc dapat diadakan dalam keadaan tertentu. Dalam kedua pengadilan ini pengaturannya juga terdapat sedikit perbedaan rumusan pengaturannya. Dalam pengadilan pajak disebutkan dengan tegas, bahwa hakim ad hoc dapat direkrut jika menyangkut perkara tertentu, sementara dalam pengadilan niaga hal tersebut tidak disebutkan dengan tegas. UU hanya menyebutkan pada pengadilan tingkat pertama dapat diangkat seorang ahli sebagai hakim ad hoc. Kesamaan di antara kedua pengadilan ini yaitu bahwa hakim ad hoc hanya dimungkinkan pada pengadilan tingkat pertama.
Pengadilan khusus yang mengatur hakim ad hoc sebagai syarat mutlak yaitu pengadilan HAM, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan PPHI, dan pengadilan perikanan. Persamaan dari keempat pengadilan ini adalah komposisi hakim ad hoc  lebih banyak dari komposisi hakim karir dalam Majelis Hakim-nya. lebih banyak dari yaitu hakim ad hoc diadakan di setiap tingkat pengadilan. Sementara itu, perbedaan dari keempatnya terutama berkaitan dengan persyaratan-persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc.
6. Syarat, Wewenang dan Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Pengaturan hakim ad hoc dalam semua UU pengadilan khusus adalah tidak seragam. Tidak semua UU tersebut mengatur mengenai syarat, tata cara serta hal-hal lain yang berkaitan dengan Hakim ad hoc secara jelas. UU yang mengatur mengenai tata cara pengangkatan, syarat dan lainnya yang paling minim yaitu pada pengadilan perikanan. Dalam UU No. 31 Tahun 2004 tersebut satu-satunya ketentuan yang mengatur mengenai syarat yaitu terdapat pada bagian penjelasan Pasal 78 ayat (1) yang mengatakan: ”Yang dimaksud dengan “hakim ad hoc” adalah seseorang yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan.”
a. Wewenang Pengangkatan
Mengenai wewenang pengangkatan umumnya di setiap pengadilan diatur bahwa hakim ad hoc diangkat oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung, hanya pengaturan dalam pengadilan pajak hal tersebut tidak jelas. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 ‘Dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa pajak tertentu yang memerlukan keahlian khusus, Ketua dapat menunjuk hakim ad hoc sebagai Hakim Anggota.’ Di sini tidak jelas siapa yang dimaksud dengan Ketua apakah Ketua Pengadilan atau Ketua MA yang memiliki wewenang tersebut. Akan tetapi tampaknya ketidakjelasan tersebut lebih disebabkan karena pada awalnya pengadilan pajak didirikan memang bukan sebagai pengadilan khusus akan tetapi peradilan khusus. Namun perubahan konstitusi yang membatasi lingkungan peradilan hanya ada empat yang menyebabkan peradilan pajak ini harus dirubah menjadi pengadilan khusus pajak. Selain perubahan konstitusi, proses penyatuan atap juga merupakan faktor yang membuat ketidakjelasan tersebut. Dalam UU tersebut dikatakan pengaturan lebih lanjut tata cara pengangkatan hakim ad hoc diatur dengan keputusan menteri, yang mana saat ini hal tersebut kemungkinan besar tidak akan dimungkinkan lagi.[5] Sedikit perbedaan terdapat pada pengadilan PHI. Pada pengadilan ini walaupun usulan pengangkatan menjadi wewenang Ketua MA, akan tetapi usulan MA tersebut harus didasari dari usulan yang diajukan oleh serikat buruh dan organisasi pengusaha.
b. Syarat Hakim Ad Hoc
Mengenai syarat-syarat formil bagi hakim ad hoc juga berbeda-beda, akan tetapi terdapat benang merah dari masing-masing pengadilan khusus tersebut, yaitu kompentensi. Umumnya syarat kompentensi tersebut diturunkan dalam bentuk gelar kesarjanaan dan pengalaman. Berdasarkan UU, tidak semua pengadilan khusus mensyaratkan lulusan fakultas hukum dan sejenisnya, cukup banyak juga pengadilan khusus yang tidak mewajibkan lulusan fakultas hukum sebagai syarat mutlak. Pengadilan Khusus yang mensyaratkan hanya gelar kesarjanaan hukum yaitu pngadilan PHI khusus bagi hakim ad hoc pada MA. Pengadilan khusus yang mensyaratkan lulusan fakultas hukum dan sejenisnya (Syariah atau lulusan PTIK)[6] yaitu pengadilan HAM dan korupsi.
Pada pengadilan niaga, pajak dan PHI, khusus untuk hakim ad hoc pada pengadilan negeri syarat yang berkaitan dengan gelar kesarjanaan tidak diatur secara spesifik. Bahkan pada pengadilan PHI tampaknya benar-benar hanya syarat formil belaka. Dalam UU nya disebutkan salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada pengadilan negeri yaitu berpendidikan serendah-rendahnya S1, tanpa dijelaskan S1 dari lulusan apa. Sementara pada pengadilan perikanan syaratnya yaitu lulusan dari perguruan tinggi bidang perikanan atau organisasi d ibidang perikanan dan memiliki keahlian dibidang hukum perikanan.[7]
Mengenai pengalaman di bidang tertentu pada pengadilan khusus tidak semua pengadilan khusus mensyaratkan dengan jelas berapa lama pengalaman di bidang tertentu tesebut dibutuhkan. UU yang mengatur secara tegas hanya pada Pengadilan Korupsi dan Pengadilan PHI. Pada pengadilan Korupsi pengalaman minimal di bidang hukum selama 15 tahun untuk Hakim tingkat PN dan PT, dan 20 tahun untuk tingkat MA. Pada Pengadilan PHI yaitu 5 tahun dibidang hubungan industrial baik untuk Hakim pada tingkat Pertama maupun MA. Pada pengadilan khusus lainnya tidak diatur secara jelas.
Khusus pada Pengadilan Niaga terdapat satu syarat formil lainnya yang tidak ada dalam pengadilan-pengadilan khusus lainnya, yaitu untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc sebelumnya harus terlebih dahulu lulus program pelatihan khusus pada Pengadilan Niaga.
c. Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Hingga saat ini Pengadilan Khusus yang telah memiliki Hakim Ad Hoc baru 3 pengadilan, yaitu Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, dan Pengadilan Korupsi. Dari keenam UU yang mengatur Pengadilan Khusus yang mengatur soal hakim ad hoc tersebut hanya UU No. 30 Tahun2002 saja yang menyatakan secara tegas adanya prinsip transparansi dan partisipasi. Pengaturan secara tegas ini ternyata mempunyai dampak nyata pada pelaksanaan proses rekrutmen hakim Ad Hoc tersebut. Jika dalam proses rekrutmen Hakim Ad Hoc Pengadilan Niaga dan HAM Mahkamah Agung melakukan proses rekrutmen tersebut secara tertutup, dalam proses rekrutmen Hakim Tipikor Mahkamah Agung membentuk sebuah Panitia Seleksi yang mengikutsertakan komponen civil society.
Tahap yang dilalui pada rekrutmen Hakim Ad Hoc Tipikor yaitu, MA membentuk Pansel, kemudian Pansel mengumumkan dibukanya pendaftaran Hakim Ad Hoc. Setelah calon-calon hakim ad hoc tersebut mendaftar, Pansel kemudian melakukan seleksi yang dibagi menjadi beberapa tahap, tahap pertama yaitu seleksi administrasi. Terhadap calon yang telah memenuhi kelengkapan-kelengkapan administratif tersebut kemudian diwajibkan untuk mengikuti test tertulis. Setelah test tertulis calon yang lulus kemudian dilakukan profile assessment test yang dilakukan konsultan psikologi dan manajemen profesional. Tahap terakhir yang harus dilalui oleh calon adalah tahap fit and proper test. Dari tahapan-tahan tersebut kemudian Pansel mengajukan usulan nama-nama calon kepada Ketua MA. Pada proses yang lalu Pansel mengajukan 9 calon Hakim Ad Hoc yang terdiri dari 3 orang untuk tingkat PN, 3 untuk tingkat PT dan 3 untuk tingkat MA.
Pada Pengadilan Niaga dan HAM proses rekrutmennya hampir sama, yaitu MA membentuk Tim Seleksi. Tim tersebut kemudian menjaring calon-calon hakim ad hoc, umumnya target penjaringan dilakukan pada kalangan akademisi. Para calon tersebut kemudian mengikuti pelatihan khusus yang diadakan oleh MA bekerja sama dengan pihak luar. Hasil pelatihan khusus tersebut kemudian menjadi dasar bagi MA untuk mengusulkan calon hakim ad hoc kepada Presiden.
Untuk Pengadilan PHI secara normatif terdapat perbedaan yang cukup substansial dengan dalam hal pengangkatan hakim ad hoc dengan pengadilan khusus lainnya. Dalam UU ini disebutkan bahwa pengangkatan hakim ad hoc dilakukan dengan cara organisasi Pengusaha dan Serikat Buruh mengusulkan nama kepada Menteri (Tenaga Kerja) untuk kemudian usulan tersebut diserahkan kepada Ketua MA, dan Ketua MA mengusulkan nama-nama tersebut kepada Presiden untuk disahkan. Dari ketentuan ini tampaknya pola rekrutmen tidak lagi dapat menggunakan mekanisme rekrutmen terbuka seperti pada Pengadilan Korupsi maupun mekanisme penjaringan seperti pada pengadilan HAM dan Niaga.
7. Susunan Majelis
Dalam semua UU yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa semua pengadilan memeriksa dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Mengenai hal ini hampir di semua Pengadilan Khusus mengatur pengkhususan pula. Pengadilan yang memeriksa dengan 3 orang hakim majelis yaitu pada pengadilan Niaga, Pajak, PHI dan Perikanan, akan tetapi pada pengadilan Niaga dan Pajak dimungkinkan untuk diperiksa dengan hakim tunggal.[8] Pada Pengadilan PHI pengaturan mengenai majelis ini diatur lebih spesifik lagi, yaitu pada setiap perkara majelis harus berisi 1 orang hakim kariri, 1 orang hakim ad hoc yang diusulkan oleh organisasi pengusaha dan 1 orang hakim ad hoc yang diusulkan oleh serikat buruh. Susunan majelis seperti ini merupakan tampaknya mengadopsi konsep P4P/D.
Pada Pengadilan Ekonomi tidak disebutkan secara tegas berapa jumlah hakim yang harus memeriksa perkara tindak pidana ekonomi. Hanya saja dalam Pasal 35 UU Darurat No. 7 Tahun 1955 dikatakan bahwa dalam setiap Pengadilan ditempatkan satu orang hakim atau lebih yang semata-mata ditugaskan untuk memeriksa perkara tindak pidana ekonomi. Selain itu dalam Pasal 42 dikatakan pada tingkat Pengadilan Tinggi Ekonomi pemeriksaan dilakukan secara collegial dengan 3 orang hakim. Dari kedua hal ini dapat disimpulkan bahwa pada tingkat pertama pemeriksaan dapat dilakukan oleh 1 orang hakim saja.
Pada Pengadilan Anak pemeriksaan perkara disemua tingkat dilakukan dengan majelis tunggal, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dapat ditetapkan pemeriksaan dilakukan oleh 3 orang hakim. Sedangkan pada Pengadilan HAM dan Korupsi pemeriksaan dilakukan dengan 5 orang hakim majelis pada semua tingkatan pengadilan.
Dari semua pengadilan khusus yang di dalamnya terdapat hakim ad hoc sebenarnya terdapat suatu masalah, yaitu pada tingkat Peninjauan Kembali. Umumnya undang-undang hanya memberikan kewenangan kepada hakim ad hoc di tingkat MA hanya untuk memeriksa perkara yang dimintakan Kasasi, seperti misalnya yang diatur dalam Pasal 33 UU No. 26 Tahun 2000 dan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 2002. Pada Pengadilan PHI dan Perikanan pengaturan mengenai hal ini cukup fleksibel karena pada kedua pengadilan khusus tersebut hakim ad hoc pada tingkat MA tidak secara khusus diatur diadakan dalam kaitannya dengan perkara/permohonan kasasi akan tetapi diatur secara umum saja seperti misalnya pada Pasal 64 UU No. 2 Tahun 2004 yang mengatur mengenai Hakim Ad Hoc pada MA. Jika melihat pada alasan mengapa diperlukan adanya hakim ad hoc pada pengadilan Korupsi dan HAM di mana hakim ad hoc diadakan karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja hakim karir maka sudah sepantasnyalah pada pemeriksaan permohonan Peninjauan Kembali juga mengikutsertakan hakim ad hoc dalam susunan majelisnya.
8. Pembentukan Pengadilan Khusus Pasca Penyatuan Atap
Beberapa waktu yang lalu Presiden telah mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2005 tentang Penundaan Pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2004. Penerbitan Perpu tersebut terjadi karena adanya permohonan dari MA kepada Presiden karena MA belum siap untuk melaksanakan UU tersebut khususnya yang berkaitan dengan pengoperasian Pengadilan PHI. Ketidaksiapan MA ini salah satunya disebabkan oleh jangka waktu yang ditetapkan oleh UU dirasa terlalu singkat, sementara terdapat kendala-kendala teknis di lapangan seperti anggaran, rekrutmen hakim ad hoc dan lain sebagainya yang menjadi tanggung jawab MA. Di sisi lain pihak MA juga mengeluhkan munculnya beberapa pengadilan khusus yang proses penyusunan UU nya kurang melibatkan pihak MA.[9]
Masalah-masalah ini muncul sebenarnya merupakan satu implikasi dari program penyatuan atap yang diamanatkan oleh UU No. 35 Tahun 1999 yang kemudian ditindaklanjuti oleh UU No. 4 Tahun 2004. Dengan kedua UU tersebut maka fungsi administratif, finansial dan administratif yang awalnya berada di bawah kewenangan Pemerintah kini menjadi tanggung jawab MA. Pembentukan pengadilan khusus yang diamanatkan oleh undang-undang tentunya mempunyai implikasi terhadap hal-hal tersebut. Jika pembentukan pengadilan khusus dilakukan pada masa sebelum penyatuan atap mungkin permasalahan-permasalahan yang dikeluhkan oleh MA tidak akan menjadi masalah, karena tentunya implikasi-implikasi anggaran, finansial, organistatorial dan administratif yang berkaitan dengan pembentukan pengadilan khusus ini akan menjadi beban pemerintah. Dan oleh karena pemerintah merupakan pihak yang terlibat dalam proses penyusunan undang-undang tentunya pemerintah lebih dapat mengantisipasi masalah-masalah yang saat ini dikeluhkan oleh MA. Hal ini tampaknya sulit bagi MA karena secara formil MA memang bukan pihak yang diberikan hak untuk ikut merumuskan undang-undang.
Dengan penyatuan atap, akan tetapi pembentukan pengadilan khusus tetap dilakukan dengan undang-undang yang merupakan kewenangan DPR dan Presiden, tentunya masalah-masalah seperti ini potensial akan terus terjadi. Di satu sisi, struktur ketatanegaraan kita memang tidak mengatur hak MA dalam hal penyusunan undang-undang. Di sisi lain jika kewenangan pembentukan pengadilan khusus menjadi kewenangan MA hal ini juga bisa menimbulkan masalah lain. Tampaknya masalah mekanisme pembentukan pengadilan khusus ini perlu kita pikirkan lebih serius lagi agar masalah-masalah seperti yang terjadi saat ini tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Struktur Pengadilan Khusus
Istilah Pengadilan Khusus terkadang sering disalahartikan oleh masyarakat, seakan pengadilan khusus merupakan suatu pengadilan tersendiri yang memiliki struktur organisasi sebagaimana halnya Pengadilan-Pengadilan pada umumnya. Pandangan ini tampaknya semakin menguat setelah berdirinya Pengadilan Tipikor, terutama setelah Pengadilan Tipikor yang merupakan bagian dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dipindahkan ruang sidangnya ke gedung Upindo di kawasan Kuningan Jakarta Selatan.
Padahal jika dilihat undang-undang yang mengatur masing-masing Pengadilan Khusus tersebut tidak ada yang mengatur mengenai struktur organisasi dari Pengadilan Khusus tersebut, dengan pengecualian Pengadilan Pajak. Namun mengenai Pengadilan Pajak ini menurut penulis terjadi karena memang sedari awal Pengadilan Pajak dimaksudkan untuk sebagai Badan Peradilan Khusus yang sejenis dengan Peradilan Umum, Agama, TUN dan Militer. Hal ini terlihat dari kewenangan pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan pajak ini berada dibawah Departemen Keuangan,[10] sementara pada saat itu tidak ada satupun badan peradilan yang pembinaannya berada dibawah Departemen Keuangan. Namun karena ternyata 5 bulan sebelum UU No.14 Tahun 2002 ini disahkan amandemen UUD 1945 telah menutup kemungkinan berdirinya badan peradilan baru selain yang telah ada maka akhirnya Pengadilan Pajak ‘dipaksakan’ untuk masuk dalam wilayah Peradilan TUN melalui UU No. 4 Tahun 2004.
Baik Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi, Anak, Niaga, HAM, Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial, maupun Pengadilan Perikanan pada dasarnya hanya mengatur pengkhususan mengenai hukum acara termasuk di dalamnya mengenai majelis hakimnya, serta hal-hal lain yang terkait langsung dengan proses persidangan.[11] Tidak ada satupun dari undang-undang tersebut yang mengatur mengenai hal yang berkaitan dengan organisasi pengadilannya, seperti Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan, Sekretaris, dan Panitera kepala sebagaimana halnya pada pengadilan pada umumnya. Kesemua pengadilan khusus –kecuali pengadilan Pajak- dalam undang-undangnya selalu disebutkan berada pada Pengadilan Negeri setempat yang artinya merupakan bagian dari Pengadilan Negeri itu sendiri.
Dalam konteks tersebut maka memang pengadilan khusus sebenarnya akan lebih mudah dipahami dalam kerangka UU No. 14 Tahun 1970 dimana istilah yang dipergunakan adalah Pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) bukannya Pengadilan Khusus. Dengan menggunakan istilah Pengkhususan tersebut maka akan mudah dipahami bahwa yang saat ini dimaksud dengan Pengadilan Khusus pada dasarnya tidak lebih dari pada Kamar Khusus dalam pengadilan maupun lingkungan peradilan.[12]
Jika ditelusuri penggunaan istilah “Pengadilan Khusus” sebenarnya baru dimulai pada tahun 1998, yaitu ketika pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan,[13] dimana dalam Perpu tersebut dibentuk Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan Khusus. Selanjutnya hampir seluruh UU yang lahir setelah tahun 1998 yang membentuk pengadilan khusus menggunakan istilah Pengadilan Khusus, kecuali Pengadilan Pajak dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hingga saat ini penulis belum dapat mengetahui secara pasti darimana istilah Pengadilan Khusus itu muncul, serta apakah memang sedari awal penggunaan istilah Pengadilan Khusus tersebut dimaksudkan sebagai suatu Pengadilan tersendiri yang telepas dari Pengadilan Negeri (atau Pengadilan Agama/Pengadilan TUN/Pengadilan Militer) ataukah sebenarnya sama dengan konsep yang telah ada dalam UU No. 14 Tahun 1970 dan sebelumnya. Namun satu hal yang pasti dalam kenyataannya semua UU yang mengatur mengenai Pengadilan Khusus tersebut –apakah secara eksplisit mencantumkan istilah pengadilan khusus atau tidak- pengaturannya pada prinsipnya sama, yaitu sama-sama menjadi bagian dari pengadilan negeri yang ada.
ENDNOTE:
*Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Kajian Putusan dictum edisi 4.
[1] Sebenarnya terdapat satu lagi undang-undang yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman yang pernah ada di Indonesia, yaitu UU No. 19 Tahun 1948, tapi penulis belum berhasil mengakses UU tersebut.
[2] Khusus untuk pengadilan pajak, karena UU Pengadilan Pajak awalnya memang ditujukan sebagai badan peradilan tersendiri maka pengaturan hukum acaranya juga tersendiri, akan tetapi dengan dimasukkannya pengadilan pajak di bawah lingkungan Peradilan TUN sementara belum terdapat perubahan atas UU No. 4 Tahun2002, penulis belum dapat mengetahui apakah setelah perubahan atas UU tersebut hukum acara yang berlaku mengikuti UU No. 5 Tahun1986 atau tetap mengikuti UU No. 4 Tahun2002.
[3] Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, JS Badudu, Kompas 2003
[4] Blue Print Tipikor adalah kegiatan yang diprakarsai oleh Bappenas yang di dalamnya melibatkan pihak-pihak dari lembaga-lembaga negara yang terkait dengan pembentukan Pengadilan Tipikor. Kegiatan ini dipimpin oleh Hakim Agung Prof. Paulus E Lotulung sebagai ketua Steering Commitee yang dibantu oleh LeIP dan PSHK.
[5] Pengadilan pajak yang didirikan pada masa sistem dua atap awalnya secara administratif, finansial, dan organisatoris akan berada di bawah Menteri Keuangan, sebagaimana halnya peradilan umum dan TUN berada di bawah Departemen Kehakiman. Dengan dialihkannya kekuasaan eksekutif dalam hal peradilan ke MA serta adaya pembatasan lingkungan peradilan, pengadilan ajak kemudian dijadikan pengadilan khusus. dibawah lingkungan peradilan TUN. Secara organisatoris dan administratif membuat hubungan antara Menteri Keuangan dengan Pengadilan ini menjadi hilang.
[6] Tidak jelas mengapa lulusan syariah dapat menjadi hakim ad hoc walaupun jika dilihat dari segi kompentensi terasa agak kurang tepat. Cukup keras dugaan hal ini terjadi karena desakan dari kalangan lulusan syariah. Desakan ini juga terjadi pada pembentukan UU Advokat No. 18 Tahun 2003, di mana pada akhirnya lulusan syariah dapat juga menjadi advokat.
[7] Persyaratan ini terkesan ambigu, karena di satu sisi ketentuan ini dapat ditafsirkan bahwa sarjana non hukum dapat menjadi hakim ad hoc, tapi di sisi lain ketentuan keahlian di bidang hukum perikanan membuka penafsiran bahwa gelar kesarjanaan hukum merupakan syarat mutlak.
[8] Pada Pengadilan Niaga perkara yang dapat diperiksa dengan hakim tunggal yaitu perkara niaga yang diatur oleh Peraturan Pemerintah, untuk perkara niaga yang diatur oleh UU No. 4 tahun 1998 ini seperti penundaan pembayaran utang dan perkara kepailitan dilakukan dengan majelis.
[9] Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial: MA Terbentur Masalah Anggaran,  http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11361&cl=Berita
[10] Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
[11] Dalam Pengadilan Hubungan Industrial memang diadakan juga Subkepaniteraan khusus yang dipimpin oleh Panitera Muda, namun hal ini menurut penulis lebih pada aspek administrasi perkara yang masih masuk dalam wilayah tekis yudisial.
[12] Dalam pasal 8 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum istilah yang dipergunakan juga masih menggunakan istilah ‘pengkhususan’.
[13] Lihat Konsiderans Menimbang huruf f Perpu No. 1 tahun 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar