Sabtu, 19 Mei 2012

Skripsi Analisis Yuridis Tentang Kekuatan Bukti Rekaman Suara Dalam Penyelesaian Sengketa Phone Banking


ANALISIS YURIDIS  TENTANG
 KEKUATAN BUKTI REKAMAN SUARA
 DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PHONE BANKING

 

 

Motto

*     viat justicia et pereat mundus: Jadilah keadilan walau dunia binasa atau biarkan keadilan ditegakkan walaupun langit harus jatuh. (Ferdinand I, Kaisar Romawi suci)


*     Surrender becomes victory when we yield to God (Kekalahan menjadi kemenangan ketika kita berserah kepada Tuhan)


*     Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan (Amsal I : 7).


*     Segala perkara dapat kutanggung didalam Dia yang memberi kekuatan Kepadaku (Filipi 4: 13)


*     Ragukan bahwa matahari itu bergerak, ragukan bahwa bintang-bintang itu api tapi jangan ragukan cinta Tuhan Yesus pada Kita.


Dipersembahkan kepada :
Tuhan Yesus Kristus Juruselamatku
Papa dan Mamaku tercinta dan tersayang
 Kakakku tercinta dan tersayang




Pacarku yang tercinta yang selalu setia menemaniku dalam suka maupun duka









BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Bank merupakan simbol kepercayaan masyarakat terhadap kondisi moneter suatu Negara. Besarnya kepercayaan masyarakat terhadap bank, memberi dampak bahwa apabila bank mengalami masalah, pengaruhnya cukup besar bagi sendi-sendi ekonomi Negara. Oleh karena itu bank sebagai pelaku usaha di bidang jasa yang melayani konsumen harus dikelolah berdasarkan prinsip kehati-hatian  (prudential principle).
Setelah dikeluarkaya berbagai paket deregulasi perbankan, khususnya pakto 27 1988, banyak berdiri sejumlah bank. Berdirinya bank-bank tersebut mendorong persaingan antar bank dengan segala keaneka ragaman yang diwujudkan  dalam bentuk produk perbankan serta berbagai aneka pelayanan.
Kemajuan teknologi perbankan di Indonesia pada 13 tahun belakangan ini berkisar pada penerapan teknologi, misalnya pemakaian ATM (Automatic Teller Machine) atau anjungan tunai mandiri dan berlanjut dengan penerapan teknologi melalui jaringan internet, video interaktif. Namun yang hampir terlupakan adalah adanya suatu jaringan teknologi yang dikenal dengan nama telepon, yang berperan didalam lintas pelayanan perbankan.
Transaksi perbankan melalui telepon ini dikenal dengan istilah Phone Banking.[1] Phone Banking adalah layanan perbankan bagi nasabah dengan memakai media telepon untuk berkomonikasi dalam melakukan transaksi. Layanan Phone Banking meliputi layanan perbankan, pembayaran, belanja, informasi, dan penanganan keluhan.
Kebijakan untuk memberikan pelayanan phone banking ini cenderung ditawarkan oleh bank dikarenakan adanya kompetisi antar bank dan desakan dari konsumen, untuk mengurangi jarak dan waktu serta meningkatkan efisiensi didalam melakukan penawaran akan pelayanan tersebut.
Layanan phone banking lebih efektif dari layanan bank pada umumnya karena phone banking ini terbuka setiap hari selam 24 jam. Dalam layanan ini nasabah dapat bertransaksi dengan cepat dan akurat tanpa harus datang ke kantor pusat maupun kantor cabang, sehingga nasabah dapat memperoleh informasi atau pelayanan setiap saat.
Bila melihat kemajuan teknologi perbankan sepintas hanya memberikan keamanan pada pihak bank saja, sedangkan tidak demikian halnya bagi konsumen.[2] Dari sudut perlindungan konsumen, penggunaan teknologi di bidang perbankan tidak cukup hanya menawarkan berbagai kemudahan pada konsumen tetapi pemanfaatanya harus diikuti pula dari segi keamanan dari konsumen, karena dalam praktek paling banyak dirugikan adalah konsumen/nasabah.
Dalam mengeluarkan suatu produk, bank sebagai pelaku usaha telah memikirkan secara matang mengenai berbagai produk, baik dari pelayanan yang diberikan maupun berbagai produk yang ditawarkan. Sebagai contoh bagi nasabah yang ingin melakukan transaksi melalui telepon harus memliki TIN (Telephone Identification Number) dan apabila belum menjadi nasabah harus melakukan pendaftaran terlebih dahulu dengan mengirimkan fotocopy identitas fotocopy kartu kredit dan surat pernyataan.
Dalam transaksi phone banking, bukti yang dipakai dalam transaksi ini adalah rekaman suara dari telepon yang dipakai oleh pihak bank[3] walaupun pada kenyataanya semua transaksi diatur oleh saluran dan sistem perbankan langsung.
Bukti dari transaksi yang digunakan merupakan hal penting apabila timbul sengketa atau perselisihan. Semua perselisihan mengenai hak-hak perdata semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang hakim untuk memutuskanya. Tugas hakim dalam hal ini adalah menetapkan hukum apa yang dapat dipakai bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Pada penyelesaian sengketa yang diajukan di muka hakim masing-masing pihak mengajukan dalilnya. Hakim disini harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil mana yang benar dan dalil-dalil mana yang tidak benar. Pada saat melakukan pemeriksaan, hakim wajib mengindahkan aturan-aturan tentang hukum pembuktian. Dengan tidak mengindahkan aturan-aturan tentang hukum pembuktian maka akan menjadi ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan.
Dalam proses pemeriksaan hakim mendasarkan pada suatu yang oleh undang-undang dikenal sebagai alat bukti, yaitu bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Dengan alat bukti tersebut masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya kepada hakim. Walaupun telah ditentukan mengenai alat-alat bukti hal ini tidak berarti melarang adanya alat-alat bukti lainya karena undang-undang yang berlaku sekarang ini dibuat seratus tahun yang lalu sedangkan saat ini dengan berkembangnya teknologi muncul pula beberapa alat baru seperti fotocopy, rekaman suara dan lain-lain yang dapat dipakai sebagai alat bukti. Dalm proses pembuktian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) alat bukti yang digunakan adalah barang/dan atau jasa, keterangan para pihak yang bersengketa, keterangan saksi dan/atau saksi ahli, surat dan/atau dokumen dan bukti-bukti lainya. Dengan adanya ketentuan mengenai alat bukti untuk menyelesaikan sengketa konsumen seperti di atas maka tidak menutup kemungkinan bagi alat bukti lain selai yang tidak disebutkan untuk dijadikan alat bukti yang dapat mendukung dalam proses pembuktian.
Ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga sebagaimana disebutkan di atas, dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dimana penanganannya dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
Realisasi terhadap Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai suatu lembaga khusus diwujudkan dengan dibentuknnya Keppres No. 90 tahun 2001 tentang pembentukan BPSK pada kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makasar.[4]
Berpijak pada uraian adanya alat-alat bukti yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa konsumen melalui pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) serta relevansinya dengan kekuatan bukti yang digunakan dalam transaksi phone banking maka peneliti ingin menganalisi secara yuridis kekuatan bukti rekaman suara sebagai bukti dari transaksi phone banking apabila timbul masalah yang membawa perkara untuk diselesaikan melalui pengadilan maupun diluar pengadilan dalam bentuk skripsi yang berjudul : Analisis Yuridis Tentang Kekuatan Bukti Rekaman Suara Dalam Penyelesaian Sengketa Phone Banking

B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka dapat di identifikasikan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Lemahnya penggunaan rekamana suara sebagai alat bukti di pengadilan.
2.      Kurangnya aturan khusus bukti rekaman suara dalam penyelesaian sengketa phone banking.
3.      Sulitnya bagi para pihak dalam menyakinkan hakim mengenai apa yang didalilkan dalam penyelesaian sengketa phone banking.
4.      Lemahnya tingkat kenyamanan dalam transaksi perbankan karena masih banyak nasabah yang dirugikan.
C.    Perumusan Masalah
Dari Identifiksasi masalah yang ada di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Apakah  kendala  yang dihadapi dalam penggunaan rekaman suara sebagai alat bukti ?
2.      Bagaimana kekuatan hukum bukti rekaman suara dalam penyelesaian sengketa phone banking ?

D.  Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui kendala  yang dihadapi dalam penggunaan rekaman suara sebagai alat bukti.
2.      Untuk mengetahui kekuatan hukum bukti rekaman suara dalam penyelesaian sengketa phone banking.



E.  Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis yang menjadi harapan setelah penelitian ini selesai dilaksanakan, adalah:
1.   Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Perdata terlebih khusus di bidang pembuktian.
2.   Hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan bahan bacaan guna pengembangan bidang-bidang ilmu terkait.
3.   Hasil penulisan ini dapat menjadi dasar atau perbandingan bagi pihak lain yang ingin menerapkan kembali konsep penulisan ini terhadap objek yang sama tetapi terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menuju kearah penelitian yang lebih baik dan lebih sempurna.

2.   Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan setelah penelitian ini dilaksanakan adalah:
1.   Hasil penelitian ini dapat menambah, memperkaya ilmu pengetahuan seorang sarjana hukum dalam prakteknya khususnya dalam Hukum Acara Perdata dan Perbankan di bidang pembuktian.
2.   Agar dapat menambah bahan-bahan pendukung  atau bahan referensi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado dalam Studi Hukum Acara Perdata dan khususnya dalam bidang pembuktian.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Kajian Teoritis
Teori Utilitas, teori ini dikembangkan oleh Jeremy Bentham, Jhon Stuart Mill, Rudolf Van Jhering. Menurut teori ini hukum akan memberikan jaminan kebahagian yang sebesar-besarnya bagi manusia dan jumlah yang sebanyak- banyaknya (the greatest good of the greatest number). Jadi unsur kemanfaatan/kefaedahan yang diutamakan dalam teori ini.
Para penganut teori utilitas mempunyai prinsip bahwa manusia akan melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan kebahgian atau tidak. Demikian pula dengan perundang-undangan, baik buruknya ditentukan pula memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasanya. Daya guna hukum menyangkut tiga sarana penting yaitu : individu, masyarakat dan budaya. Ketiga hal tersebut merupakan kebutuhan manusia untuk harus dijamin dan dijaga oleh hukum.[5]
Freirechtlehre (aliran ajaran hukum bebas). Ajaran hukum bebas sangat berkaitan dengan sistem penemuan hukum. Untuk menemukan keadilan dan kebenaran tidaklah semata-mata terdapat dalam Undang-undang, akan tetapi juga diluar Undang-undang. Menurut aliran ini pengadilan (hakim-hakim) dalam menangani tugas-tugas peradilan berupa kasus-kasus perkara bukan tidak terikat pada  Undang-undang. Ada keterikatan namun peranan utama tidaklah pada Undang-Undang, akan tetapi didalam Hukum.
Dengan pandangan seperti ini, aliran ini jelaslah tidak menyamakan hukum dengan Undang-Undang alias penentang legisme (Positifisme). Memang kehadiran filsafat hukum ini karena pandangan legisme Montesqiusen bahwa hakim hanyalah menyambung lidah atau corong (mulut) Undang-Undang terhadap peristiwa hukum (perkara-perkara) tidak menjalankan peranannya secara mandiri, tergantung Undang-Undang tidak dapat mengubah, menambah ataupun mengurangi Undang-Undang.[6]
Menurut Sudikno peran peradilan hanyalah dalam bentuk silogisme yang artinya bentuk berpikir logis dengan mengambil kesimpulan premis mayor (umum) dan premis minor (khusus). Premis mayor = Undang-Undang, barang siapa mencuri dihukum; disimpulakan premis minor, Suta mencuri (peristiwa perbuatan) maka Suta di hukum.[7]
Dalam sistem peradilan modern dewasa ini mendunia menganut ajaran hukum bebas seperti halnya di Indonesia nyata dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (tidak berlaku), maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 (tidak berlaku, maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pada dasarnya menganut ajaran hukum bebas, manakala suatu peristiwa hukum dalam perkara tidak ditemukan secara jelas apa yang terumus dalam Undang-Undang, padahal hakim yang bersangkutan harus mengadili dan memutus perkara diajukan (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).
Berdasarkan teori yang ada di atas peneliti menggunakn teori Freirechtlehre (aliran ajaran hukum bebas) yang dikembangkan oleh Sudikno untuk dijadikan acuan dalam penulisan skripsi ke depan didalam menjawab perumusan masalah dalam proposal ini.

B.  Kajian Konsepsional
A.  Tinjauan Mengenai Phone Banking
1.    Produk Phone Banking
Pada dasarnya nasabah memilih bank dalam bertransaksi adalah karena faktor-faktor yang sangat mendasar, misalnya untuk melakukan simpanan dana atau bertransaksi dengan memilih jarak lokasi bang yang terdekat. Banyaknya bank dengan berbagai macam produk dan kemudahan, membuat nasabah memilih bank yang memiliki kriteria pelayanan dan fasilitas yang terbaik dari bank-bank lainya.
Berkaitan dengan istilah barang dan atau jasa yang digunakan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, khusunya di bidang perbankan dikenal dengan istilah produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa, walaupun pada awalnya hanya megacu pada pengertian barang.
Dalam dunia perbankan misalnya, istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan. Jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk prestasi yang disediakan bagi konsumen. Salah satu produk perbankan pada sebuah bank swasta nasional (PT Bank X Tbk) adalah phone banking yang memberikan kemudahan bagi nasabahnya untuk bertransaksi. Dalam hal ini phone banking merupakan layanan informasi, penanganan keluhan, dan transaksi yang bersifat on line dilakukan dengan menggunakan teknologi telepon. Pemakaian telepon berdasarkan sistem phone banking mempunyai manfaat yang besar bagi kedua belah pihak baik konsumen maupun bank sebagai pelaku usaha. Dari sudut konsumen produk phone banking cukup memenuhi kebutuhan karena memberikan kemudahan-kemudahan yang berarti. Contohnya transaksi dapat dilakukan dimana saja tanpa harus datang ke kantor bank tersebut, informasi tentang keuangan dan pelayanan yang didapat adalah yang terbaru dan kemudahan-kemudahan lainya. Sedangkan keuntungan dari sudut bank adalah biaya penggunaan teknologi telepon jauh lebih rendah dibandingkan dengan pembukaan sebuah kantor untuk melayani nasabah. Phone banking  memiliki karakteristik utama, yaitu :
-          Nasabah dapat menggunakan telepon untuk melaksanakan semua kebutuhanya, kecuali penarikan tunai dan penempatan deposito.
-          Informasi yang diperoleh nasabah adalah informasi terbaru dan akurat.
-          Pelayanan yang diberikan langsung melalui operator atau melalui sistem respon suara otomat.
-          Pelayanan terbuka bagi nasabah setiap hari selama 24 jam.
Di dalam bertransaksi melalui phone banking terdapat perbedaan antara nasabah dengan non nasabah. Bagi nasabah bank X yang telah memiliki kartu ATM diwajibkan membuat TIN (Telephone Identificatoin Number)[8] sedangkan bagi yang tidak memiliki kartu ATM tetapi memiliki kartu kredit bank X diwajibkan melakukan pendaftaran terlebih dahulu dengan mengirimkan fotocopy kartu identitas, fotocopy kartu kredit (bagian depan dan belakang) dan surat pernyataan.
Layanan phone banking terdiri dari :
1.      Layanan Transaksi Phone Banking
Layanan ini memberikan kemudahan bagi pengguna phone banking, khususnya untuk melakukan transfer yang meliputu transfer antar rekening milik nasabah perorangan Bank X, transfer ke nasabah lain di Bank X dan transfer ke bank lain.
2.      Layanan Pembayaran
Layanan ini memberikan kemudahan untuk pembayaran telekomonikasi (Telkom, Exelkomindo, Komselindo, Indosat, Pro XL, Mentari, Simpati, Gesit, Central, On Line), pager PAM, PLN (Jakarta), tagihan kartu kartu kredit dan reksadana.
3.      Layanan Belanja
Layanan untuk pembelian majalah (Swa, Tempo) kebutuhan sehari-hari (susu balita, air mineral), elektronik (poduk Maspion, Komputer), hanphone (Nokia Ericcson), Aksesoris (Goldmart, Seiko, Alba, Silvermart), pemesanan hotel (Novutel, Mercurie, Ibis, Sofitel) dan lain-lain.[9]
BCA by Phone adalah salah satu produk perbankan elektronik yang disediakan membantu Anda untuk dapat menerima layanan informasi perbankan dan melakukan transaksi finansial non tunai melalui pesawat telepon (touch tone atau handphone). BCA by Phone merupakan layanan perbankan yang praktis, nyaman, aman dan user friendly. Praktis, Anda dapat langsung melakukan transaksi perbankan melalui pesawat telepon tanpa harus datang ke bank atau ATM BCA (kecuali ambil uang tunai).
User Friendly, Rekaman instruksi-instruksi yang mudah diikuti akan menuntun Anda dalam melakukan berbagai transaksi perbankan. Nyaman, Anda dapat langsung menuju layanan yang dikehendaki, tanpa harus menunggu dan mendengar semua instruksi selesai. Aman, BCA by Phone dilengkapi dengan sistem keamanan berlapis, yaitu Personal Identification Number (PIN) dan KeyBCA. KeyBCA harus dipergunakan jika Anda bertransaksi finansial seperti: transfer antar rekening di BCA, pembayaran tagihan ataupun pembelian pulsa isi ulang. KeyBCA, alat pengaman tambahan berfungsi menghasilkan password yang selalu berganti setiap kali Anda melakukan transaksi finansial sehingga transaksi Anda lebih Aman. Selain kelebihan itu BCA by Phone juga memberikan kemudahan berupa penambahan nomor akses BCA by Phone melalui ponsel. Anda cukup tekan 69123 pada ponsel, maka otomatis akan terhubung ke BCA by Phone. No Akses ini berlaku nasional, sehingga nasabah dapat mengakses nomor telepon ini dimanapun nasabah berada. Hal ini dimungkinkan karena BCA bekerja sama dengan operator GSM seperti: Indosat, Excelcomindo, dan Telkomsel.
Berikut adalah jenis-jenis layanan yang bisa nasabah lakukan melalui Phone Banking (Contoh BCA by phone) :
I. Transaksi Finansial
1.    Transfer antar rekening BCA
2.  Pembayaran
o    Tagihan kartu Kredit: BCA Card, Citibank, HSBC,GE Finance, Standart Chartered, ANZ Panin dan AMEX, BNI, Permata, dan Mega 
o    Tagihan Telepon: Telkom dan Esia
o    Tagihan Telepon Seluler: Telkomsel, Indosat, dan Xplor
o    Tagihan PLN
o    Tagihan PAM
3.  Isi Ulang Pulsa: Simpati, Mentari, dan IM3 Smart
4.  Pembelian Tiket Garuda
II. Informasi Rekening
  1. Informasi Saldo
  2. Informasi 10 transaksi terakhir
  3. Permintaan mutasi rekening koran melalui faksimili
  4. Permintaan bukti transaksi BCA by phone melalui faksimili
III. Informasi Kartu Kredit
  1. Informasi saldo tagihan
  2. Informasi data terakhir
  3. Permintaan tagihan terakhir melalui faksimili
IV. Informasi Umum Perbankan
  1. Informasi nilai tukar valuta asing
  2. Informasi suku bunga
  3. Informasi umum kartu kredit
V. Menu Administrasi
  1. Ubah PIN
  2. Aktivasi KeyBCA
  3. Tambah/Hapus daftar rekening penerima transfer
Layanan BCA by Phone ini terbuka untuk pemegang rekening/kartu:
  • BCA Prioritas
  • Tapres
  • Giro
  • BCA Dollar
  • BCA Card
  • Tahapan dengan Kartu Paspor Platinum
Untuk dapat menggunakan fasilitas ini, Nasbah harus terdaftar pada salah satu fasilitas yang telah disediakan oleh Bank-bank misalnya,fasilitas BCA by Phone. Sebagai tambahan keamanan salah satu Bankdilengkapi dengan kata knci dan sandi. Misalnya, KeyBCA. Tanpa KeyBCA, Anda tidak akan bisa melakukan transaksi finansial di BCA by Phone. Sebelum menggunakan phone banking nasabah harus melakukan registrasi. Misalnya contoh di suatu Bank seperti Bank BCA menggunakan Registrasi fasilitas BCA by Phone dan KeyBCA. Anda cukup mengisi formulir yang disediakan di kantor cabang BCA terdekat, kemudian Anda dapat mengambil PIN BCA by Phone 7 (tujuh) hari kerja kemudian dan KeyBCA* 10 (sepuluh) hari kerja kemudian dengan membawa bukti kepemilikan rekening dan kartu identitas. KeyBCA yang digunakan pada BCA by Phone sama dengan KeyBCA yang digunakan pada KlikBCA Individu. Apabila Anda sudah memiliki KeyBCA yang terhubung dengan KlikBCA Individu dan ingin melakukan transaksi finansial melalui BCA by Phone, Anda harus melakukan registrasi BCA by Phone dan tambah koneksi KeyBCA di kantor cabang BCA terdekat. KeyBCA hanya untuk nasabah perorangan.

2.    Sistem Kerja Phone Banking
Telepon sebagai pusat komonikasi untuk phone banking memberikan perubahan langsung pada pelayanan, khususnya dalam respon suara, sistem on line yang memungkinkan perwakilan operator secara simultan agar dapat melengkapi informasi pada nasabah.
Fungsi dari kemajuan telekomonikasi seperti identifikasi nomor telepon otomatis, diperlukan untuk melayani setiap permintaan nasabah. Identifikasi nomor telepon berguna untuk mengetahui nomor telepon yang masuk atau digunakan nasabah.
Perangkat telepon yang digunakan dalam phone banking, dipasang alat perekam suara dengan maksud agar transaksi yang terjadi saat itu dapat terekam dimana rekaman tersebut berguna sebagai bukti adanya transaksi. Bukti ini menjadi penting dan berguna di kemudian hari bila timbul sengketa. Penyimpanan rekaman suara ini ada jangka waktunya, yaitu tidak lebih dari enam bulan, hal ini diatur dalam internal memorandum Bank X. dibuatnya aturan demikian dengan asumsi bahwa setiap musibah mendapat laporan keuanganya setiap bulan dan dalam laporan keuanganya terdapat klausul “bila mana dalam waktu tujuh hari terhitung sejak tanggal September atau diterimanya rekening tidak ada sanggahan dari musibah nasabah dianggap telah mensetujui segala sesuatu yang termuat dalam rekening ini”. Jadi dengan sampainya rekaman suara ini dalam waktu enam bulan sudah merupakan tenggang waktu yang cukup.
Mekanisme kerja di dalam layanan perbankan pembayaran dan belanja adalah dengan secara nasabah menelpon ke nomor telepon pusat pelanggan Bank X dan telepon akan diterima oleh operator selanjutnya tugas operator adalah mengidentifikasi nasabah dan menanyakan transaski yang diinginkan oleh nasabah, kemudian melakukan konfirmasi dan verifikasi data. Setelah itu melakukan pendebetan dan instruksi pelaksanaan transaksi. Terakhir dilakukan konfirmasi uang dari keseluruhan transaksi. Di dalam teknisnya operator ini dilengkapi dengan perangkat kerja berupa aplikasi Call Center (Phone Banking) dan Help Desk.
Mekanisme kerja untuk layanan informasi dan keluhan, dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1.      Kelompok I terdiri dari informasi saldo dan valuta asing dibantu oleh komputer yang khusus deprogram valuta asing dan saldo.
2.      Kelompok II terdiri dari perincian mutasi, informasi produk dan penanganan keluhan, dilengkapi oleh komputer operasional dan agen kartu debit.
3.      Kelompok III terdiri dari informasi produk, informasi tagihan dan penanganan keluhan yang dilengkapi komputer khusus kartu kredit dan agen kartu kredit.[10]

3.    Para Pihak Dalam Transaksi Melalui Phone Banking
Para pihak yang terlibat dalam transksi phoene banking adalah :
1.      Bank, sebagai pelaku usaha yang menciptakan dan mengeluarkan produk berupa phone banking.
2.      Nasabah/non nasabah, sebagai konsumen pengguna fasilitas phone banking.
3.      Dalam transaksi phone banking bias juga melibatkan pihak ketiga yaitu mitra-mitra dari  Bank X yang turut menyediakan fasilitas yang ada.
Dengan adanya para pihak dalam transaksi phone banking, tentunya hal ini secara tidak langsung ada hak dan kewajiban dari para pihak.
Hubungan pelaku usaha dan konsumen sering terjadi hanya sebatas kesepakatan lisan mengenai harga atau barang dan atau jasa tanpa diikuti atau ditindak lanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan, dan hal inilah yang terjadi dalam transaksi phone banking.
Pada ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memang tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis, kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan dengan adanya formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata secara tegas dikatakan bahwa perjanjian adalah sah jika :
1.      Dibuat berdasarkan kata sepakat dari para pihak.
2.      Dibuat oleh mereka yang cakap.
3.      Memiliki objek perjanjian yang jelas.
4.      Didasarkan pada suatu kuasa yang halal.
Selanjudnya dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata ditegaskan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang di antara mereka. Artinya selama terjadi kesepakatan di antara para pihak mengenai “harga” yang harus dibayar oleh konsumen dan “barang dan atau jasa” yang wajib disediakan oleh pelaku usaha, maka perjanjian telah mengikat, baik untuk konsumen maupun untuk pelaku usaha, kecuali terdapat unsure paksaan, kekhilafan maupun penipuan atas diri konsumen ataupun pelaku usaha.
Untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan peraturan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Menurut Pasal 4 UUPK, konsumen memiliki hak sebagai berikut :
a.       Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
b.      hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.       hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.      hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.        hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.       hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.      hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.      hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.        hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain memperoleh hak tersebut supaya ada keseimbangan, konsumen juga diwajibkan untuk :
a.       membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.      beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.       membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.      mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Dalam Pasal 6 UUPK para pelaku usaha diberikan hak untuk :
a.       hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.      hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.       hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.      hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.       hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
a.       beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.      memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.       memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.      menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.       memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.       memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.      memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Dalam Pasal 4 dan 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan dan keselamtan konsumen dalam hal ini sebagai penggunan jasa phone banking merupakan hal penting dalam perlindungan konsumen. Jasa phone banking yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan atau keamanan jelas tidak layak diberikan pada nasabah. Selanjudnya, untuk menjamin bahwa suatu jasa yang dalam penggunaannya akan nyaman dan aman maka penggunan jasa diberikan hak untuk memilih jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan pengguna jasa dalam hal ini pengguna jasa phone banking maka berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil dan konpensasi sampai ganti rugi.



B.  Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugata benar-benar ada atau tidak. Untuk hal ini perlu dilakukan suatu pembuktian terhadap dasar gugatan dengan bantuan alat-alat bukti yang ada. Dengan adanya pembuktian berarti memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.
R. Subekti berpendapat bahwa “membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan”.[11]
Aturan-aturan tentang pembuktian dapat dijumpai dalam Reglemen Indonesia yang diperbaharui yang kemudian disingkat dengan R.I.B yang berlaku di Jawa dan Madura saja. Sedangkan untuk luar Jawa-Madura terdapat dalam Reglemen Daerah Seberang yang disingkat dengan R.D.S. ketentuan tentang berlakunya hukum acara tersebut berdasarkan Undang-Undang Darura No. 1 tahun 1951 tentang “Tindakan-Tindakan Untuk Menyelenggarakan Susunan Kekuasaan dan  Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil”.
Disamping itu hukum pembuktian terdapat pula di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam buku keempat diatur tentang Pembuktian dan Daluwarsa yang memuat aturan-aturan pokok tentang pembuktian perdata.[12]
Dengan adanya hukum positif yang mengatur mengenai pembuktian, maka untuk mengetahui apakah hukum positif ini mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian perkara di pengadilan ada 3 (tiga) teori yang digunakan sebagai pedoman, yaitu :
1.      Teori Pembuktian Bebas, teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya. Dengan teori ini dimungkinkan hakim memutuskan perkara tanpa didasarkan pada alat bukti di dalam undang-undang.[13]
2.      Teori  Pembuktian Negatif, menurut teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.[14]
3.      Teori Pembuktian Positif, menurut teori ini pembuktian didasarkan hanya pada alat-alat bukti yang disebut undang-undang, maksudnya tidak dibutuhkan lagi alat-alat bukti lain dalam hal ini keyakinan hakim.[15]
b.1. Hal-hal Yang Harus Dibuktikan
Pasal 163 HIR Menyatakan :
Barang siapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.

Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa yang harus dibuktikan dimuka sidang pengadilan itu tidak hanya peristiwa-peristiwa atau kejadian saja tetapi juga sutu hak
b.2. Hal-hal Yang Tidak Perlu Dibuktikan
Hak dan peristiwa yang tidak disangkal tidak perlu dibuktikan oleh para pihak yang berperkara di muka sidang pengadilan dan jika seorang telah mengakui apa yang telah didalilkan oleh lawanya, maka terlawan tidak perlu melakukan pembuktian sendiri tentang apa yang didalilkan.
Apabila hakim didalam memeriksa sutu sengketa mengetahui dengan nyata akan adanya sutu hak atau peristiwa maka adanya suatu hak atau peritiwa peristiwa tersebut tidak perlu adanya bukti lain lagi.
Suatu hak yang sudah diketahui oleh umum atau pada umumnnya hak dan peristiwa itu telah diketahui orang banyak juga tidak perlu dibuktikan.
b.3. Alat-Alat Bukti
Transaksi yang dilakukan melalui phone banking memunculkan salah satu persoalan hukum yang cukup pelik yaitu mengenai sistem pembuktian. Pada prinsipnya sistem hukum yang digunakan di Indonesia menentukan bahwa dokumen tertulis adalah merupakan alat bukti hukum yang utama.
Sampai saat ini sistem pembuktian hukum perdata masih menggunakan ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, HIR (untuk Jawa dan Madura) dan Rbg (untuk luar Jawa). Dalam sistem ini alat-alat bukti dalam perkara perdata (Pasal 164 HIR) terdiri dari :
Bukti Surat,
Bukti Saksi,
Persangkaan,
Pengakuan,
Sumpah
Semua itu dengan memperhatiakan dalam segala pasal di bawah ini.
Selain dari alat bukti yang telah dikutip di atas HIR masih mengenal alat bukti lain yaitu hasil pemeriksaan setempat, seperti yang ditentukan dalam pasal-pasal :
Pasal 153 (1) HIR yang menyatakan :
Jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka ketua boleh mengangkat satu atau dua orang  komisaris daripada dewan itu, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan kepada hakim.

Pasal 154 HIR yang menyatakan :
Jika pengadilan negeri menimbang, bahwa perkara itu dapat lebih terang, jika diperiksa atau dilihat oleh orang ahli, maka dapatlah ia mengangkat ahli itu, baik atas permintaan kedua pihak, maupun karena jabatannya.[16]

b.4. Asas-asas
a.       ACTORI INCUMBIT ONUS PROBANDI
Asas ini digunakan sebagai dasar apabila salah satu pihak mendalilkan adanya suatu hak atau peristiwa maka wajib membuktikanya dengan menunjuk pada alat bukti yang dianut oleh undang-undang.
b.      PERESUMPTION OF FAULT
Asas ini dugunakan dalam hal pembebanan pembuktian pada sengketa yang terjadi dimana tergugat harus membuktikan dirinya tidak bersalah.
c.       PACTA SUNT SERVANDA
Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian itu dibuat untuk dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya, karena itu apabilah para pihak sudah sepakat dan menuangkan kesepakatan itu dalam suatu perjanjian maka berdasarkan asas ini, pelaksanaan janji oleh masing-masing pihak itu akan mengikat sebagai kewajiban hukum.
d.      ASAS KEPASTIAN HUKUM
Kepastian hukum harus diciptakan melalui kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum, sehingga dengan adanya kepastian hukum maka akan tercipta suasana aman dan tentram di masyarakat.
e.       ASAS KEADILAN
Keadilan adalah memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya[17]
Setiap keadilan aka nada apabila setiap golongan merasa dirinya mendapat penghargaan yang sewajarnya dari golongan lain, sedangkan setiap golongan itu tidak merasa dirugikan karena perbuatan atau kegiatan golongan yang lain.[18]





BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
“Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research).”[19] Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.”[20]
“Penelitian tipe ini lazim disebut sebagai “studi dogmatik” atau yang dikenal dengan doctrinal research.”[21] “Penelitian tipe doktrinal (doctrinal research) adalah mirip dengan tipe penelitian hukum normatif.”[22] “Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik.”[23] “Dogmatik hukum bersifat teoritis-rasional, sehingga pengungkapannya terikat pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika deduktif. Disamping itu, maka dogmatik hukum memperhitungkan kecermatan, ketetapan dan kejelasan.”[24] “Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research) ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka.”[25] Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan tersebut mencakup:
1.      Penelitian terhadap asas-asas hukum
2.      Penelitian terhadap sitematik hukum
3.      Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4.      Perbandingan hukum
5.      Sejarah hukum.[26]

B. Variabel Penelitian
“variable penelitian ini adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.”[27] Menurut Abdulkadir Muhammad, “rumusan masalah dibuat sekhusus mungkin, tetapi tetap mencerminkan adanya hubungan antara variable.”[28] Berdasarkan masalah yang dirumuskan pada bab satu, maka dapatlah ditetapkan variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:
1.   Bagaimanakah Perlindungan Hukum Bagi pengarang/pencipta dan penerbit dilihat dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
C. Data dan Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data sekunder berdasarkan studi pustaka / studi literatur (library research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan antara:
1.      Bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang terdiri dari:
a.    Norma dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule) UUD 1945;
b.   Het Herzine Inlansreglement.
c.    Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
d.   Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang  Arbitrase dan Alternatif Penyelesain Sengketa.
e.    Keputusan Menperindang RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
2.    Bahan hukum sekunder yaitu buku-buku atau karya-karya ilmiah lain yang berkaitan pokok permasalahan yaitu meliputi pembuktian dan alat bukti menurut HIR maupun Hukum Perlindungan Konsumen.
3.    Bahan hukum Tertier
Yaitu Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri
a. Kamus hukum
b. Kamus bahasa Indonesia
c. Kamus Bahasa Inggris
d. Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat kabar , jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya ).[29]

D. Lagkah-Langkah Penelitian
1. Pengumpulan Data[30]
Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan, studi dokumen, dan studi catatan hukum.[31] Kepustakaan yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, buku karya tulis bidang hukum.
Kegiatan studi kepustakaan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.       Penentuan sumber data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier), berupa perundang-undangan, literatur di bidang ilmu pengetahuan hukum, dan kamus.
b.      Identifikasi data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier) yang diperlukan, yaitu proses mencari dan menemukan bahan hukum berupa ketentuan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan; judul buku, nama pengarang, cetakan, kota penerbit, penerbit, tahun terbit dan nomor halaman karya tulis bidang hukum.
c.       Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah (pokok bahasan atau subpokok bahasan), dengan cara pengutipan atau pencatatan.
d.      Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.[32]

2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
a.       Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah/variabel penelitian.
b.      Penandaan data (coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan, atau dokumen); pemegang hak cipta (penulis, tahun penerbitan); atau rumusan masalah/variabel penelitian (masalah pertama tanda A, masalah kedua tanda B, dan seterusnya).
c.       Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis mehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.
d.      Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah/variabel penelitian.[33]

3. Analisis Data dan Pembahasan
Menurut Abdulkadir Muhammad, “Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: (1) Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; (2) Data yang terkumpul umumnya berupa informasi; (3) Hubungan antara variabel tidak dapat diukur dengan angka ….”[34]
Kemudian menurut Hilman Hadikusuma, “penelitian yang hanya melakukan studi kepustakaan (data sekunder) tanpa melakukan penelitian lapangan (data primer). Laporan skripsi itu akan hanya bersifat deskripsi analitis berdasarkan pendekatan masalah yang bersifat normatif-jurudis.”[35]
Penelitian ini juga memusatkan perhatiannya pada hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang abstrak, hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan perundang-undangan. Menurut Bambang Sunggono, “Pemusatan perhatian yang demikian ini akan membawa kepada penggunaan metode normatif dalam menggarap hukum. Sesuai dengan cara pembahasan yang bersifat analitis, maka metode ini disebut sebagai normatif analitis.”[36]
Menurut Dengan demikian, analisis data dilakukan secara kualitatif, konprehensif, dan lengkap. Analisis kualitatif artinya menuraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Konprehensif artinya analisis data dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlewatkan atau terlupakan, semuanya masuk dalam analisis.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.  Kendala Yang Dihadapi Dalam Penggunaan Rekaman Suara Sebagai Alat Bukti.
Dalam era modern ini segala sesuatu yang bersifat instant sangat digemari oleh kebanyakan orang. Begitu banyak orang yang berusaha menemukan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan aktifitasnya. Sifat menusia yang demikianlah yang menjadi dasar bagi para pelaku bisnis perbankan untuk menyediakan layanan perbankan dengan menawarkan berbagai mecam kemudahan bagi para nasabahnya agar mereka merasa nyaman menjadi nasabah di bank yang bersangkutan. Salah satu kemudahan yang ditawarkan dalam dunia perbankan adalah proses transaksi yang dapat dilakukan tanpa harus datang ke bank yang bersangkutan ataupun ATM-nya. System tersebut merupakan system Mobile Banking atau biasa disingkan m-Banking. M-Banking ini merupakan fasilitas perbankan melelui alat komunikasi bergerak seperti Handphone. Dengan penyediaan fasilitas yang hampir sama dengan ATM kecuali system tarik tunai.
Sebagian besar bank di Indonesia telah menggunakan system ini sebagai salah satu layanan perbankan mereka, beberapa diantaranya adalah BCA, BRI, dan Bank Mandiri. Berikut ini akan dibahas system m-Banking dari ketiga bank tersebut.
BANK CENTRAL ASIA ( BCA )
Dari website resminya www.klikbca.com nasabah dapat mengetahui beberapa layanan perbankan dari BCA yang dapat dilakukan secara mobile. Dalam pelayanan mobile banking, BCA sebagai salah satu bank terkemuka menyediakan layanan BCA By Phone, m-BCA, dan SMS BCA. BCA By Phone adalah produk perbankan elektronik yang disediakan untuk membantu nasabah untuk dapat menerima informasi perbankan dan melakukan transaksi financial non tunaimelalui pesawat telepon ( touch tone atau handphone ). Layanan BCA by Phone merupakan layanan yang praktis karena nasabah tidak perlu datang ke BCA atau ATM untuk bertransaksi , aman karena BCA by Phone dilengkapi dengan system keamanan berlapis yaitu PIN dan Key, dan user friendly karena rekaman instruksi-instruksi mudah diikuti dan sangat membantu dalam bertransaksi.
Jenis-jenis layanan BCA by-phone :
1. Transaksi Finansial
• Transfer antar rekening BCA
• Pembayaran tagihan kartu kredit, tagihan telepon, tagihan telpon seluler, tagihan PLN, dan tagihan PAM.
• Isi ulang pulsa
• Pembelian tiket Garuda
2.    Informasi Rekening
• Informasi saldo
• Informasi 10 transaksi terekhir
• Permintaan mutasi rekening Koran melalui faksimili
• Permintaan bukti transaksi BCA by phone melalui faksimili
3.    Informasi Kartu Kredit
• Informasi saldo tagihan
• Informasi data terakhir
• Permintaan data terakhir melaluifaksimili
4.    Informasi Umum pebankan
• Inforamasi nilai tukar valuta asing
• Informasi suku bunga
•Informasi umum kartu kredit
5. Menu Administrasi
• Mengubah PIN
• Aktivasi Key BCA
• Menambah/ menghapus daftar rekening penerima teransfer
Layanan BCA by Phone ini dapat dinikmati oleh para nasabah pemegang rekening / kartu BCA Prioritas, Tapres, Giro, BCA Dollar, BCA Card, dan Tahapan dengan Kartu Paspor Platinum.[37]
m-BCA merupakan fasilitas yang diberikan kepada para nasabah untuk bertransaksi secara mudah melalui telepon genggam yang menggunakan kartu XL, Indosat, dan Telkomsel. Berbeda dengan BCA by Phone, m-BCA merupakan jenis layanan yang dapat dilakukan tanpa melakukan panggilan, cukup dengan memilih menu melalui HP dan jawaban akan diberikan melalui SMS. Para nasabah tidak perlu takut untuk melakukan transaksi dengan m-BCA karena fitur ini telah dilengkapi dengan system proteksi yang maksimal dan penggunaan Pin dalam melakukan transaksi. Keamanan dari PIN nasabah akan dijamin selama nasabah tidak membocorkan sendiri PIN miliknya kepada orang lain.
Transaksi yang dapat dilakukan melali m-BCA adalah :
1.      M-Info, Informasi yang tersedia dalam m-info ini adalah :
• Informasi saldo
• Mutasi rekening
• Info kurs
• Info suku bunga tabungan / deposito rupiah / deposito valas
• Info kode bank
• Info kode perusahaan
• Info nomor kupon undian Gebyar Tahapan BCA
• Info saldo dan transaksi kartu kredit BCA
2.      M-Transfer
• Transfer ke rekening BCA
• Transfer ke rekening bank lain
3.      M-Payment
Pembayaran berbagai macam tagihan kartu kredit, PLN, PAM, handphone, telepon, asuransi, dll
4. M-commerce Pembelian pulsa isi ulang, kartu Blitz, saham, dll
5. M-admin Aktivasi, danti PIN dal lain-lain.[38]
SMS BCA adalah layanan informasi perbankan yang dapat diakses langsung oleh nasabah melalui telepon seluler dengan media SMS. Sama halnya dengan BCA by Phone dan m-BCA, SMS BCA juga merupakan layanan informasi perbankan yang mudah, praktis, dan nyaman. Informasi yang bisa diperoleh melalui SMS BCA ini adalah :
1. Informasi saldo
2. Informasi mutasi rekening
3. Informasi nomor kupon undian Gebyar Tahapan BCA
4. Informasi kurs
5. Informasi rekening deposito
6. Registrasi Informasi Kartu Kredit BCA
7. Penghapusan registrasi Informasi Kartu Kredit BCA
8. Informasi Limit kartu kredit BCA
9. Informasi tagihan Kartu Kredit BCA
10. Informasi Transaksi Kartu Kredit BCA
11. Pembelian pulsa isi ulang
Namun sayangnya, SMS BCA belum menyediakan layanan untuk melakukan transfer dan pembayaran tagihan seperti BCA by Phone maupun m-BCA.[39]
Bank Madiri yang menggunakan slogan “ Karena Waktu Anda Begitu Berharga” memberikan solusi bagi para nasabahnya untuk melakukan transaksi perbankan dengan lebih efektif dan efisien tanpa harus membuang waktu dengan mengantre atau mendatangi kantor cabang dan ATM mandiri. Solusi yang diberikan adalah penggunaan Layanan Mandiri Call dan Mandiri SMS.
Mandiri Call merupakan layanan perbankan otomatis 24 jam yang dapat dilakukan melalui telepon atau ponsel. Layanan ini membuat para nasabah lebih mudah dan lebih bebas dalam melakukan transaksi tanpa harus terikat dengan batasan ruang dan waktu. Transaksi yang dapat dilakukan dengan Mandiri Call adalah :
1. Transfer antar rekening Bank Mandiri
2. Pembayaran tagihan :
• Listrik (PLN)
• PAM
• Telepon / handphone
• Kartu kredit’
• Tiket pesawat / kereta Api
• Iklan
• Internet
• Telebisi berlangganan
• PBB
• Pendidikan
• Asuransi
3. Pembelian isi ulang pulsa
4. Pembukuan deposito rupiah
5. Informasi saldo rekening dan 10 transaksi terakhir
6. Informasi suku bunga, kurs, rekening pinjaman.[40]
MANDIRI SMS merupakan layanan perbankan yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi perbankan melalui SMS dari ponsel nasabah. Mandiri sms ini merupakan layanan yang menawarkan kemudahan, fleksibilitas, eisiensi dan dan waktu yang tak terbatas. Jenis transaksi yang dapat dilakukan antara lain :
1. Transfer uang antar rekening Bank Mandiri maupun bank lain
2. Cek saldo tabungan, rekening valas, dan pinjaman
3. Informasi
• Tagihan Mandiri Visa
• 5 transaksi terakhir rekening
• Suku bungs deposito, suku bunga tabungan dan kurs valuta asing
4. Pembayaran tagihan Mandiri VISA, Telkom, PLN, telpon genggam, dll
5. Pembelian voucher isi ulang
6. Notifikasi SMS
7. Perubahan PIN.[41]
BANK RAKYAT INDONESIA ( BRI )
Bank Rakyat Indnesia sebagai bank miliki negra juga tidak mau kalah dengan pesaingnya yang lain baik dari golongan bank negri maupun swasta. Dalam pelayanannya, BRI juga memberikan layanan mobile banking bagi para nasabahnya, layanan tersebut berupa SMS Banking BRI, mATM bersama, dan Phone Bankng BRI.
Sms banking BRI adalah layanan perbankan BRI dengan menggunakan Plain SMS dengan kode akses 3300 sebagai nomor tujuan. Jenis transaksi yang dapat dilakukan adalah :
1. Info saldo
2. Transfer antar rekening BRI
3. Pembayaran tagihan kartu kredit BRI, Citibank, dll
4. Pembelian pulsa isi ulang
5. Ganti PIN SMS BRI
6. Informasi transaksi
mATM Bersama adalah layanan Mobile banking yang bekerjasama dengan ATM Bersama yang teah mempunyai 67 Bank Member yang tergabung di dalamnya. Menu mATM bersama akan menjadi default menu pada pengguna katru Telkomsel. Fitur transaksi yang diberikan dalam m-ATM Bersama adalah :
1. Info saldo
2. Transfer antar bank / pembayaran kartu kredit BRI
Phone Banking BRI adalah fasilitas layanan melalui telepon sekama 24 jam yang menyediakan informasi dan transaksi produk Perbankan melalui mesin. Transaksi yang dapat dilakukan antara lain :
1. Informasi saldo
2. Informasi produk banking
3. Informasi suku bunga BRI
4. Transfer antar rekening BRI
5. Pembayaran tagihan listrik, telpon, tagihan telpopn seluler pasca bayar, tagihan kartu kredit, tagihan cicilan kredit kendaraan
6. Pembelian pulsa telpon seluler
Dari tinjauan secara singkat mengenai produk layanan dalam dunia perbankan secara elektronik di atas yang memberikan manfaat maupun kemudahan-kemudahan bagi para penyedia jasa maupun konsumen/nasabah dalam dunia perbankan, tapi sebaliknya ditengah kemudahan itu jika terjadi suatu kesalahan dalam penggunaan produk phone banking para pihak akan saling mengklaim bahwa merekalah yang benar, bahkan hingga berujung pada penyelesaian melalui jalur hukum. Oleh karena itu pihak bank tentunya tidak mau dirugikan dalam hal ini. Untuk mengantisipasi masalah tersebut pihak bank menyimpan bukti rekaman suara dalam transaksi phone banking untuk dijadikan bukti di pengadilan nanti. Namun dalam prakteknya masih terdapat kendalala yang dihadapi dalam penggunaan bukti rekaman suara tersebut dalam  hukum pembuktian yang dianut KUHAP khususya Pasal 184 mengenai bukti petunjuk.
Berikut ini kendala atau hal-hal yang di hadapi dalam penggunaan bukti petunjuk dalam Sistem Hukum Acara di Indonesia adalah sebagai berikut:
A.1 Informasi Elektronik Belum Serupa Dengan Surat
Rekaman elektronik audiovisual dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Sayangnya, sering hakim memposisikan hasil cetak informasi elektronik bukan sebagai surat, kecuali jika dibuat oleh dan/atau dicetak di hadapan pejabat yang berwenang. Baru-baru ini pemerhati hukum mempertanyakan kembali kedudukan informasi elektronik dalam sistem hukum nasional, khususnya dalam praktek hukum acara pidana, terutama penerapannya pada kasus Tempo dan TI-KPU. Satu hal yang cukup memprihatinkan adalah masih banyak ahli hukum yang berasumsi bahwa keberadaan informasi elektronik kurang bernilai secara hukum hanya karena sifatnya yang rentan akan perubahan. Asumsi ini tidak salah, tetapi kurang pas penerapannya. Dengan alasan bentuknya yang elektronik, kehadirannya di persidangan sering diabaikan dan tak digali lebih lanjut oleh para hakim untuk dijadikan petunjuk. Padahal, mestinya hakim wajib menggali lebih lanjut, mencari kesesuaian dengan informasi yang diperoleh dari surat, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa. Bahkan, sesuai perkembangan zaman, hakim diharapkan cukup tahu dan mengikuti perkembangan teknologi yang ada atau paling tidak dapat menggalinya dengan baik dari keterangan ahli.
Selain itu, masih sering terjadi salah paham tentang bagaimana memperlakukan keberadaan informasi dengan medianya. Kehadiran informasi memang tak lepas dari suatu media, dan setiap media tentu punya karakter dan keunikan tersendiri. Oleh karena itu, sepatutnya hakim memperhatikan bagaimana mekanisme informasi itu dilekatkan (fiksasi) pada suatu media, baik pada kertas (cetak) maupun media elektronik(analog maupun digital, phone banking).
Mekanisme pembuktian dalam bentuk rekaman suara phone banking dengan digital memang berbeda. Dalam mekanisme analog konvensional, penyimpanan data tidak mempunyai metadata (data yang menerangkan data itu sendiri) sebagaimana lazimnya dilakukan dalam dunia digital. Walau keduanya tetap memerlukan keterangan ahli untuk meyakinkan validitasnya, rekaman suara konvensional relatif lebih sulit mekanismenya karena tergantung pada subjektivitas keterangan ahli forensik.
Agar keterangan ahli forensik terjamin objektivitas dan validitasnya, maka alat-alat yang digunakan dalam memeriksa harus tersertifikasi. Bagaimana mungkin menganalisis suara seseorang hanya dengan mengandalkan aplikasi umum multimedia tanpa standarisasi dan jaminan produk yang baik (tak ada garansi fitness for particular purpose). Oleh karena itu, ahli forensik harus menggunakan aplikasi khusus dengan standarisasi yang jelas, ia harus mengetahui dan dapat menerangkan bagaimana alat-alatnya itu bekerja, sehingga sampai pada suatu keterangan yang berguna bagi hukum.
Sebagian ahli hukum menyatakan bahwa informasi elektronik hanya dapat dikategorikan sebagai barang bukti dan/atau paling jauh sebagai alat bukti petunjuk. Hal ini tak sepenuhnya tepat. Informasi berupa rekaman elektronik audiovisual (foto,rekaman suara, dan video) memang dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Namun, informasi elektronik tekstual sebenarnya hampir identik dengan keberadaan surat, hanya medianya belum dikertaskan. Sayangnya, sering hakim memposisikan hasil cetak informasi elektronik bukan sebagai surat, kecuali jika ia dibuat oleh dan/atau dicetak di hadapan pejabat yang berwenang.
Ironisnya, penjelasan Pasal 41 KUHAP menyatakan bahwa yang termasuk "surat" adalah surat kawat, surat teleks, dan sejenisnya, yang mengandung suatu berita. Padahal jelas-jelas berita dalam surat kawat atau teleks sebenarnya bentuk asalnya adalah pesan elektronik yang disampaikan secara elektronik pula, yang kemudian dikertaskan. Sungguh suatu "mekanisme hukum yang inkonsisten" jika informasi elektronik dikenal sebagai surat untuk kepentingan proses penyitaan oleh para penyidik, sementara ia tak dapat dikenal sebagai surat dalam proses pemeriksaan atau pembuktian berdasarkan Pasal 184 KUHAP oleh para hakim. Oleh karena itu, mestinya objektif pemikiran hukumnya adalah diarahkan pada bagaimana menerima kehadiran informasi elektronik itu sebagaimana layaknya surat, terlepas apakah ia telah dicetak atau belum. Jelas, sejak dari bentuk elektroniknya ia harus telah bernilai secara hukum, tetapi baru dapat menjadi alat bukti jika telah terjamin validitasnya.
Sebenarnya kehadiran informasi selain kertas (elektronik) cukup lama dikenal dalam sistem hukum nasional. Paling tidak ia diakui sebagai "arsip" berdasarkan UU No. 7/1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan. Selanjutnya, informasi elektronik juga dikenal sebagai "dokumen perusahaan" berdasarkan UU No. 8/1997 tentang Dokumentasi Perusahaan.
A.2 Kesaksian Palsu
Dalam perkembangannya, keberadaan informasi elektronik diakui sebagai "alat bukti lain" selain 184 KUHAP berdasarkan Pasal 38 UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 27 UU No. 16/2003 jo UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Pasal 26 (a) UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ringkasnya, ia dikatakan sebagai alat bukti baru yang merupakan pelengkap dari alat-alat bukti yang telah dikenal dalam Pasal 184 KUHAP (surat, petunjuk, keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa) dan bukan merupakan bagian dari kategorisasi alat bukti yang telah dikenal itu. Tampaknya, pemikiran ini cenderung keliru.
Sebagai konsekuensinya, timbul dua pendapat. Satu pendapat yang menyatakan bahwa informasi elektronik hanya layak diterima dalam lingkup pembuktian tindak pidana tertentu saja, sebagaimana disebutkan secara jelas dalam UU Terorisme, UU Pencucian Uang, dan UU Korupsi. Pendapat lain yang menyatakan bahwa seharusnya ia juga dapat diterima di pengadilan untuk semua tindak pidana di luar itu. Paling tidak, semestinya ia juga dapat dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk atau bahkan surat, sepanjang ia dapat diyakini validitas isinya oleh hakim.
Penjelasan Pasal 3 PP No. 8/1999 menyatakan bahwa suatu dokumen yang bentuk aslinya adalah elektronik tak perlu di-hardcopy-kan terlebih dahulu untuk mempunyai kekuatan pembuktian. Sekilas ini dirasa cukup baik. Namun, jika hakim langsung percaya kepada suatu informasi elektronik tanpa harus melihat validitasnya, ketentuan ini jelas akan sangat membahayakan. Dalam sudut pandang hukum informasi dan komunikasi, suatu proses pemeriksaan dan/atau pembuktian sebenarnya hanyalah mekanisme hukum untuk membuat jelas suatu perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Objektifnya adalah forum untuk menghadirkan semua informasi yang terkait dengan hal itu dalam semua media sepanjang hal itu valid. Di sini hakim seharusnya menggunakan kecerdasannya untuk tidak terkunci kepada penamaan media penyimpan informasi itu sendiri secara konvensional (kertas), melainkan harus melihat dan memperhatikan sejauh mana keunikan setiap media itu, sehingga ia akan memperoleh informasi untuk mendapat keyakinannya.
Majelis hakim tak boleh hanyut oleh pemikiran yang menyatakan bahwa Pasal 184 KUHAP bersifat limitatif (artinya, alat bukti yang dikenal hanya ada 5), di luar itu tak ada lagi kecuali untuk tindak pidana tertentu. Oleh karena kepentingan hukum dalam proses pembuktian menghendaki fleksibilitas, sepatutnya hakim berprinsip, seharusnya semua informasi dapat dihadirkan dan/atau diterima di pengadilan sepanjang informasi itu relevan dengan kasus dan terjamin validitasnya, serta diperoleh dengan cara-cara yang sesuai hukum.
Prinsip ini dianut oleh negara maju, meski dalam penerapannya mereka juga membuat prosedur-prosedur khusus untuk itu dengan pemikiran real evidence, hearsay evidence, derived evidence, dan sebagainya. Hakim harus jeli melihat bahwa memang tak semua informasi langsung dipercaya validitasnya, tetapi juga jangan langsung menampiknya sebagai sesuatu yang bernilai secara hukum.
Dari semua pemikiran itu, patut dipertanyakan bagaimana mekanisme penerimaannya di pengadilan. Hakim perlu punya pedoman bagaimana ia memeriksa validitas informasi elektronik agar jangan sampai suatu informasi yang tak terjamin keutuhannya akan mengakibatkan terpidananya seseorang. Meski hal itu harus terjawab berdasarkan kecerdasan hakim dalam menggali alat bukti, petunjuk yang sekarang ini tak begitu digali oleh hakim yang terkesan sangat pasif dan berlindung di balik "kejelasan kata-kata" dalam UU. Bukankah jika dirasakan kurang jelas, justru hakim yang harus membuatnya jelas bagi masyarakat? Pada sisi yang lain, hakim juga harus memberikan sanksi kepada orang yang jelas-jelas menampik keterkaitannya dengan suatu informasi yang dihadirkan ke pengadilan, sekiranya ternyata secara teknologi memang benar orang itu terkait. Paling tidak ia telah memberikan keterangan palsu dan semestinya dikenai pidana. Misalnya, ada seseorang yang menyatakan bahwa keberadaan suara pada alat rekam dikatakan bukan merupakan suaranya, dan/atau menampik pesan elektronik yang telah dikirimkannya. Jika ternyata dapat dibuktikan oleh ahli forensik bahwa memang itu merupakan suaranya dan/atau pesannya, maka berarti ia telah berbohong tidak hanya kepada majelis hakim, tetapi juga kepada publik. Akan lebih baik jika ia juga dikenai pasal untuk tindak pidana lain selain kesaksian palsu, seperti penipuan, menyebarkan kebohongan, atau bahkan menghina pengadilan. Sehubungan dengan kebutuhan itu, hakim perlu suatu ketentuan hukum yang dapat menjadi pedoman bagaimana prosedur-prosedur dalam melihat validitas informasi elektronik. Informasi "yang layak dipercaya" adalah yang berasal dari "sistem yang layak dipercaya" karena sistem telah terjaga dan terjamin berjalan sebagaimana mestinya, kecuali didapat bukti lain. Untuk memahami hal tersebut, hakim perlu mempelajari pola pemikiran dalam RUU Informasi dan Transaksi Elektronik yang tengah dibahas di DPR.
A.3 Alat-Alat Bukti
Alat-alat bukti yang dikenal dalam Pasal 26 (a) UU 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 27 UU No. 16/2003 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU No. 2/2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi UU, dan Pasal 38 UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah:
1.      Alat-alat bukti dalam KUHAP,
2.      Alat bukti lain yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
3.      Dokumen yang mencakup data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (a) tulisan, suara atau gambar (b) peta, rancangan, foto atau sejenisnya (c) huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Semua ketentuan itu dapat dikatakan sebagai lex generalis dari KUHP karena keberadaan Pasal 284 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah UU ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan UU ini dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada UU tertentu sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi.[42]
B.  Kekuatan Hukum Bukti Rekaman Suara Dalam Penyelesaian Sengketa Phone Banking
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugata benar-benar ada atau tidak. Untuk hal ini perlu dilakukan suatu pembuktian terhadap dasar gugatan dengan bantuan alat-alat bukti yang ada. Dengan adanya pembuktian berarti memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.
R. Subekti berpendapat bahwa “membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan”.[43]
Aturan-aturan tentang pembuktian dapat dijumpai dalam Reglemen Indonesia yang diperbaharui yang kemudian disingkat dengan R.I.B yang berlaku di Jawa dan Madura saja. Sedangkan untuk luar Jawa-Madura terdapat dalam Reglemen Daerah Seberang yang disingkat dengan R.D.S. ketentuan tentang berlakunya hukum acara tersebut berdasarkan Undang-Undang Darura No. 1 tahun 1951 tentang “Tindakan-Tindakan Untuk Menyelenggarakan Susunan Kekuasaan dan  Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil”.
Disamping itu hukum pembuktian terdapat pula di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam buku keempat diatur tentang Pembuktian dan Daluwarsa yang memuat aturan-aturan pokok tentang pembuktian perdata.[44]
Transaksi yang dilakukan melalui phone banking memunculkan salah satu persoalan hukum yang cukup pelik yaitu mengenai sistem pembuktian. Pada prinsipnya sistem hukum yang digunakan di Indonesia menentukan bahwa dokumen tertulis adalah merupakan alat bukti hukum yang utama.
Sampai saat ini sistem pembuktian hukum perdata masih menggunakan ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, HIR (untuk Jawa dan Madura) dan Rbg (untuk luar Jawa). Dalam sistem ini alat-alat bukti dalam perkara perdata (Pasal 164 HIR) terdiri dari :
Bukti Surat,
Bukti Saksi,
Persangkaan,
Pengakuan,
Sumpah
Semua itu dengan memperhatiakan dalam segala pasal di bawah ini.
Selain dari alat bukti yang telah dikutip di atas HIR masih mengenal alat bukti lain yaitu hasil pemeriksaan setempat, seperti yang ditentukan dalam pasal-pasal :
Pasal 153 (1) HIR yang menyatakan :
Jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka ketua boleh mengangkat satu atau dua orang  komisaris daripada dewan itu, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan kepada hakim.

Pasal 154 HIR yang menyatakan :
Jika pengadilan negeri menimbang, bahwa perkara itu dapat lebih terang, jika diperiksa atau dilihat oleh orang ahli, maka dapatlah ia mengangkat ahli itu, baik atas permintaan kedua pihak, maupun karena jabatannya.[45]

Jika kita melihat dalam Pasal 4 dan 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan dan keselamtan konsumen dalam hal ini sebagai penggunan jasa phone banking merupakan hal penting dalam perlindungan konsumen. Jasa phone banking yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan atau keamanan jelas tidak layak diberikan pada nasabah. Selanjudnya, untuk menjamin bahwa suatu jasa yang dalam penggunaannya akan nyaman dan aman maka penggunan jasa diberikan hak untuk memilih jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan pengguna jasa dalam hal ini pengguna jasa phone banking maka berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil dan konpensasi sampai ganti rugi.
Dalam praktek jika terjadi penyimpangan sebagian ahli hukum menyatakan bahwa informasi elektronik hanya dapat dikategorikan sebagai barang bukti dan/atau paling jauh sebagai alat bukti petunjuk. Hal ini tak sepenuhnya tepat. Informasi berupa rekaman elektronik audiovisual (foto,rekaman suara, dan video) memang dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Namun, informasi elektronik tekstual sebenarnya hampir identik dengan keberadaan surat, hanya medianya belum dikertaskan. Sayangnya, sering hakim memposisikan hasil cetak informasi elektronik bukan sebagai surat, kecuali jika ia dibuat oleh dan/atau dicetak di hadapan pejabat yang berwenang.
Ironisnya, penjelasan Pasal 41 KUHAP menyatakan bahwa yang termasuk "surat" adalah surat kawat, surat teleks, dan sejenisnya, yang mengandung suatu berita. Padahal jelas-jelas berita dalam surat kawat atau teleks sebenarnya bentuk asalnya adalah pesan elektronik yang disampaikan secara elektronik pula, yang kemudian dikertaskan. Sungguh suatu "mekanisme hukum yang inkonsisten" jika informasi elektronik dikenal sebagai surat untuk kepentingan proses penyitaan oleh para penyidik, sementara ia tak dapat dikenal sebagai surat dalam proses pemeriksaan atau pembuktian berdasarkan Pasal 184 KUHAP oleh para hakim. Oleh karena itu, mestinya objektif pemikiran hukumnya adalah diarahkan pada bagaimana menerima kehadiran informasi elektronik itu sebagaimana layaknya surat, terlepas apakah ia telah dicetak atau belum. Jelas, sejak dari bentuk elektroniknya ia harus telah bernilai secara hukum, tetapi baru dapat menjadi alat bukti jika telah terjamin validitasnya.
Untuk itu penulis berpendapat bahwa hakim harus bertindak secara arif, adil dan bijaksana untuk menggali suatu kebenaran materil serta harus bersikap aktif dalam melakukan suatu penemuan hukum. “Menurut Sudikno peran peradilan hanyalah dalam bentuk silogisme yang artinya bentuk berpikir logis dengan mengambil kesimpulan premis mayor (umum) dan premis minor (khusus). Premis mayor = Undang-Undang, barang siapa mencuri dihukum; disimpulakan premis minor, Suta mencuri (peristiwa perbuatan) maka Suta di hukum.[46]
Dalam sistem peradilan modern dewasa ini mendunia menganut ajaran hukum bebas, manakala suatu peristiwa hukum dalam perkara tidak ditemukan secara jelas apa yang terumus dalam Undang-Undang, padahal hakim yang bersangkutan harus mengadili dan memutus perkara diajukan (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004). Oleh sebab itu hakim harus bebas untuk mengadili dan tidak bersifat kaku yang hanya berpatokan pada Undang-undang saja. Sehingga suatu kepastian hukum dalam sistem peradilan di Indonesia dapat terlaksana dengan baik.




BAB V
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Setelah Peneliti meneliti dan membahas mengenai Analisi Yuridis Tentang Kekuatan Bukti Rekaman Suara Dalam Penyelesaian Sengketa Phone Banking maka dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Masih terdapatnya kendala yang dihadapi dalam proses pembuktian di pengadilan khususnya penggunaan rekaman suara phone banking, karena masih banyak pandangan yang berkembang dimasyarakat kalau bukti berupa informasi elektronik tidak dapat digunakan dalam proses persidangan, ataupun kalau dapat digunakan, fungsinya tidak lebih dari pelengkap. Banyak yang masih berorientasi pada dokumen cetak yang dikuatkan dengan tanda tangan. Hal ini memang tidak salah, tapi alangkah baiknya kalau memang arah dan tujuan dari dokumen cetak dan tanda tangan “basah” tersebut adalah untuk tujuan otentifikasi dan otorisasi, kita dapat mulai melakukan pemahaman yang dikembangkan ke arah penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan digital.
2.      Masih Dilematisnya kekuatan hukum bukti rekaman phone banking karena kurangnya kemauan hakim-hakim di pengadilan Indonesia untuk meng-interpretasikan email atau informasi elektronik lainnya sebagai alat bukti. Untuk diperlukan keinginan yang kuat bagi aparat hukum untuk selalu meng-update pengetahuan. Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum yang paling berpotensi untuk mendukung penggunaan informasi elektronik sebagai alat bukti melalui putusannya sudah saatnya lebih membuka mata terhadap perkembangan teknologi. Terlepas dari hakim memiliki hak untuk menentukan pandangannya sendiri.
B.  SARAN
1.      Diharapkan bagi para pihak untuk yang terlibat dalam transaksi phone banking untuk selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi dan memperhatikan prosedur hukum yang berlaku, sehingga tidak terjadi kendala maupun hambatan dalam transaksi phone banking.
2.      Diharapkan bagi para hakim untuk lebih menggali kebenaran materil dan mempertimbangkan secara arib, adil dan bijaksana dan bersikap bebas dalam menyikapi, dan mengadili permasalahan phone banking. Karena suda saatnyalah sistem pembuktian dalam Hukum Acara Pidana dari zaman peninggalan kolonial Belanda untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman, karena Ilmu Hukum itu sifatnya dinamis bukan statis.





DAFTAR PUSTAKA

Arikunto Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6. Jakarta: Bina Aksara.

Bauer L. 1995.  Developing and Implementing Strategies for Retail Financial Institutions. Dublin : Rafferty Publicatoins.

Hadikumsuma Hilman. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1. Bandung: Mandar Maju.

Latifulhayat Atif. 2001. Aspek Hukum Pembuktian Transaksi Perbankan Melalui Internet Dalam Kerangka RUU Teknologi Informasi, Makalah Seminar Informasi, Fakultas Hukum, Unpad.

Mertokusumo Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty.

Muhammad Abdulkadir. 2004.  Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Shofie Yusuf. 2000.  Perlindungan dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Rahardjo Satjipto. 2000. Pengantar Ilmu Hukum,cet 5. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ridwan Halim A. 1996. Hukum Acara Perdata Dalam Tanya Jawab. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Sidharta Arief B. Diktat Kuliah Pengantar Ilmu Hukum

_________ Soedjono. 1991. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri. 1995.  Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Subekti R. 2001. Hukum Pembuktian, Cetakan ke 13. Jakarta : Pradnya Paramita.
           
_________Bambang. 2003. Metodologi Penlitian Hukum, cet. 4. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sunggono Bambang. 2003. Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Von Gerber K. F. dan Laban Paul. 1997. Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), cet. 8. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Waluyo Bambang. 1996. Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.




http://www.klikbca/individual/silver/product.html?s=12. diakses pada tanggal 16 November 2011.

http://www.klikbca.com/individual/silver/product.html?s=10. diakses pada tanggal 16 November 2011.



                [1] L Bauer, Developing and Implementing Strategies for Retail Financial Institutions, (Dublin : Rafferty Publicatoins, 1995), hal. 153.
                [2] Yusuf Shofie, Perlindungan dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 35.
                [3] Shifie, Ibid. hal. 54.
                [4] Atif Latifulhayat, Aspek Hukum Pembuktian Transaksi Perbankan Melalui Internet Dalam Kerangka RUU Teknologi Informasi, Makalah Seminar Informasi, Fakultas Hukum, Unpad, 2001.
      [5] Satjipto Rahardjo,Pengantar Ilmu Hukum,cet 5.(Bandung:Citra Aditya Bakti,2000).hal 25.

                [6] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 2001), hal. 39.
                [7] Ibid. hal. 40.      
                [8] TIN adalah sandi rahasia berjumlah 6 angka yang dimiliki setiap pemegang kartu sebagai akses ke phone banking. TIN digunakan sebagai alat verifikasi untuk penanganan keluhan pemegang kartu dan pemindabukuan dana.
                [9] Atif Latifulhayat, Aspek Hukum Pembuktian Transaksi Perbankan Melalui Internet Dalam Kerangka RUU Teknologi Informasi, Makalah Seminar Informasi, Fakultas Hukum, Unpad, 2001.
                [10] Atif Latifulhayat, Aspek Hukum Pembuktian Transaksi Perbankan Melalui Internet Dalam Kerangka RUU Teknologi Informasi, Makalah Seminar Informasi, Fakultas Hukum, Unpad, 2001.
                [11] R. Subekti, Hukum Pembuktian, Cetakan ke 13, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), hal. 10.
                [12] A. Ridwan Halim, Hukum Acara Perdata Dalam Tanya Jawab, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996), hal. 45.
                [13] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hal. 133.
                [14] Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hal. 27.
                [15] Ibid, hal. 28.
                [16]Mertokusumo, Op Cit, hal. 38.
                [17] B Arief Sidharta, Diktat Kuliah Pengantar Ilmu Hukum
                [18] Soedjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 50.

[19] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13-14; Lihat juga Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 184.

[20] Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 52.

[21] Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 86.

[22] Bambang Sunggono, Ibid., hal. 93.

[23] Abdulkadir Muhammad, Op. cit.

[24] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc. cit., hal. 4; Bandingkan dengan “rechtsdogmatiek” dari K. F. von Gerber dan Paul Laban, lihat, Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), cet. 8, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 85.

[25] Ibid., hal. 13-14; Lihat, Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.,; Lihat Juga, Hilman Hadikumsuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 65-66.

[26] Ibid., hal. 13-14.

[27] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6, (Jakarta: Bina Aksara, 1989) hal. 89, 90, 92.

[28]  Abdulkadir Muhammaad, Loc. cit., hal. 62.
                [29]  Abdulkadir, Op. cit., hal. 56.

[30] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125; Lihat juga, Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184.

[31] Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184; Lihat juga Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 125.

[32] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125.

[33] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hal. 125.

[34] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 92.

[35] Hilman Hadikumsuma, Loc. cit., hal. 120, 121.

[36] Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 68, 186;
  [38]http://www.klikbca/individual/silver/product.html?s=12.
[39] http://www.klikbca.com/individual/silver/product.html?s=71
[40] http://www.bankmandiri.co.id/article/call-syarat-dan-ketentuan.asp

[41] http://www.bankmandiri.co.id/article/823148017834.asp?article_id=823148017834
[42] BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, Judul : jenis-jenis keajhatan komputer, halaman.52-54

                [43] R. Subekti, Hukum Pembuktian, Cetakan ke 13, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), hal. 10.
                [44] A. Ridwan Halim, Hukum Acara Perdata Dalam Tanya Jawab, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996), hal. 45.
                [45]Mertokusumo, Op Cit, hal. 38.
                [46] Ibid. hal. 40.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar