ANALISIS YURIDIS
TENTANG
KEKUATAN BUKTI
REKAMAN SUARA
DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA PHONE BANKING
Surrender becomes victory when we yield to God (Kekalahan menjadi kemenangan ketika kita berserah kepada Tuhan)
Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan (Amsal I : 7).
Segala perkara dapat kutanggung didalam Dia yang memberi kekuatan Kepadaku (Filipi 4: 13)
Ragukan bahwa matahari itu bergerak, ragukan
bahwa bintang-bintang itu api tapi jangan ragukan cinta Tuhan Yesus pada Kita.
Dipersembahkan
kepada :
Tuhan Yesus Kristus Juruselamatku
Papa dan Mamaku tercinta dan tersayang
Kakakku tercinta dan tersayang
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bank merupakan
simbol kepercayaan masyarakat terhadap kondisi moneter suatu Negara. Besarnya
kepercayaan masyarakat terhadap bank, memberi dampak bahwa apabila bank
mengalami masalah, pengaruhnya cukup besar bagi sendi-sendi ekonomi Negara.
Oleh karena itu bank sebagai pelaku usaha di bidang jasa yang melayani konsumen
harus dikelolah berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudential
principle).
Setelah
dikeluarkaya berbagai paket deregulasi perbankan, khususnya pakto 27 1988,
banyak berdiri sejumlah bank. Berdirinya bank-bank tersebut mendorong
persaingan antar bank dengan segala keaneka ragaman yang diwujudkan dalam bentuk produk perbankan serta berbagai
aneka pelayanan.
Kemajuan
teknologi perbankan di Indonesia pada 13 tahun belakangan ini berkisar pada
penerapan teknologi, misalnya pemakaian ATM (Automatic
Teller Machine) atau anjungan tunai mandiri dan berlanjut dengan penerapan
teknologi melalui jaringan internet, video interaktif. Namun yang hampir
terlupakan adalah adanya suatu jaringan teknologi yang dikenal dengan nama
telepon, yang berperan didalam lintas pelayanan perbankan.
Transaksi
perbankan melalui telepon ini dikenal dengan istilah Phone Banking.[1] Phone Banking adalah layanan perbankan
bagi nasabah dengan memakai media telepon untuk berkomonikasi dalam melakukan
transaksi. Layanan Phone Banking
meliputi layanan perbankan, pembayaran, belanja, informasi, dan penanganan keluhan.
Kebijakan untuk
memberikan pelayanan phone banking ini
cenderung ditawarkan oleh bank dikarenakan
adanya kompetisi antar bank dan desakan dari konsumen, untuk mengurangi jarak
dan waktu serta meningkatkan efisiensi didalam melakukan penawaran akan
pelayanan tersebut.
Layanan phone banking lebih efektif dari layanan
bank pada umumnya karena phone banking
ini terbuka setiap hari selam 24 jam. Dalam layanan ini nasabah dapat
bertransaksi dengan cepat dan akurat tanpa harus datang ke kantor pusat maupun
kantor cabang, sehingga nasabah dapat memperoleh informasi atau pelayanan
setiap saat.
Bila melihat
kemajuan teknologi perbankan sepintas hanya memberikan keamanan pada pihak bank
saja, sedangkan tidak demikian halnya bagi konsumen.[2]
Dari sudut perlindungan konsumen, penggunaan teknologi di bidang perbankan
tidak cukup hanya menawarkan berbagai kemudahan pada konsumen tetapi
pemanfaatanya harus diikuti pula dari segi keamanan dari konsumen, karena dalam
praktek paling banyak dirugikan adalah konsumen/nasabah.
Dalam
mengeluarkan suatu produk, bank sebagai pelaku usaha telah memikirkan secara
matang mengenai berbagai produk, baik dari pelayanan yang diberikan maupun
berbagai produk yang ditawarkan.
Sebagai contoh bagi nasabah yang ingin melakukan transaksi melalui telepon
harus memliki TIN (Telephone
Identification Number) dan apabila belum menjadi nasabah harus melakukan
pendaftaran terlebih dahulu dengan mengirimkan fotocopy identitas fotocopy
kartu kredit dan surat pernyataan.
Dalam transaksi phone banking, bukti yang dipakai dalam
transaksi ini adalah rekaman suara dari telepon yang dipakai oleh pihak bank[3]
walaupun pada kenyataanya semua transaksi diatur oleh saluran dan sistem
perbankan langsung.
Bukti dari
transaksi yang digunakan merupakan hal penting apabila timbul sengketa atau
perselisihan. Semua perselisihan mengenai hak-hak perdata semata-mata termasuk
kekuasaan atau wewenang hakim untuk memutuskanya. Tugas hakim dalam hal ini
adalah menetapkan hukum apa yang dapat dipakai bagi kedua belah pihak yang
bersengketa. Pada penyelesaian sengketa yang diajukan di muka hakim
masing-masing pihak mengajukan dalilnya. Hakim disini harus memeriksa dan
menetapkan dalil-dalil mana yang benar dan dalil-dalil mana yang tidak benar.
Pada saat melakukan pemeriksaan, hakim wajib mengindahkan aturan-aturan tentang
hukum pembuktian. Dengan tidak mengindahkan aturan-aturan tentang hukum
pembuktian maka akan menjadi ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan.
Dalam proses
pemeriksaan hakim mendasarkan pada suatu yang oleh undang-undang dikenal
sebagai alat bukti, yaitu bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan
sumpah. Dengan alat bukti tersebut masing-masing pihak berusaha membuktikan
dalilnya kepada hakim. Walaupun telah ditentukan mengenai alat-alat bukti hal
ini tidak berarti melarang adanya alat-alat bukti lainya karena undang-undang
yang berlaku sekarang ini dibuat seratus tahun yang lalu sedangkan saat ini
dengan berkembangnya teknologi muncul pula beberapa alat baru seperti fotocopy,
rekaman suara dan lain-lain yang dapat dipakai sebagai alat bukti. Dalm proses
pembuktian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) alat bukti yang
digunakan adalah barang/dan
atau jasa, keterangan para pihak yang bersengketa, keterangan saksi dan/atau
saksi ahli, surat dan/atau dokumen dan bukti-bukti lainya. Dengan adanya
ketentuan mengenai alat bukti untuk menyelesaikan sengketa konsumen seperti di
atas maka tidak menutup kemungkinan bagi alat bukti lain selai yang tidak
disebutkan untuk dijadikan alat bukti yang dapat mendukung dalam proses
pembuktian.
Ketentuan Pasal
45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian
sengketa konsumen melalui lembaga sebagaimana disebutkan di atas, dilakukan
oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang bertugas untuk
menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dimana penanganannya
dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
Realisasi
terhadap Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai suatu lembaga
khusus diwujudkan dengan
dibentuknnya Keppres No. 90 tahun 2001 tentang pembentukan BPSK pada kota
Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung
Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makasar.[4]
Berpijak pada
uraian adanya alat-alat bukti yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa
konsumen melalui pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
serta relevansinya dengan kekuatan bukti yang digunakan dalam transaksi phone banking maka peneliti ingin
menganalisi secara yuridis kekuatan bukti rekaman suara sebagai bukti dari
transaksi phone banking apabila
timbul masalah yang membawa perkara untuk diselesaikan melalui pengadilan
maupun diluar pengadilan dalam bentuk skripsi yang berjudul : Analisis Yuridis Tentang Kekuatan Bukti
Rekaman Suara Dalam Penyelesaian Sengketa Phone Banking
B.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka dapat di
identifikasikan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Lemahnya
penggunaan rekamana suara sebagai alat bukti di pengadilan.
2. Kurangnya
aturan khusus bukti rekaman suara dalam penyelesaian sengketa phone banking.
3. Sulitnya
bagi para pihak dalam menyakinkan hakim mengenai apa yang didalilkan dalam
penyelesaian sengketa phone banking.
4. Lemahnya
tingkat kenyamanan dalam transaksi perbankan karena masih banyak nasabah yang
dirugikan.
C.
Perumusan
Masalah
Dari Identifiksasi masalah yang ada di atas dapat dirumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah
kendala yang dihadapi dalam penggunaan rekaman suara
sebagai alat bukti ?
2. Bagaimana
kekuatan hukum bukti rekaman suara dalam penyelesaian sengketa phone banking ?
D.
Tujuan
Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui kendala
yang dihadapi dalam penggunaan rekaman suara sebagai alat bukti.
2.
Untuk mengetahui kekuatan
hukum bukti rekaman suara dalam penyelesaian sengketa phone banking.
E.
Manfaat
Penelitian
1.
Manfaat
Teoritis
Adapun manfaat teoritis
yang menjadi harapan setelah penelitian ini selesai dilaksanakan, adalah:
1. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan
ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Perdata terlebih khusus di bidang
pembuktian.
2. Hasil
penelitian ini dapat menambah perbendaharaan bahan bacaan guna pengembangan
bidang-bidang ilmu terkait.
3. Hasil
penulisan ini dapat menjadi dasar atau perbandingan bagi pihak lain yang ingin
menerapkan kembali konsep penulisan ini terhadap objek yang sama tetapi
terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menuju kearah penelitian yang
lebih baik dan lebih sempurna.
2.
Manfaat
Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang
diharapkan setelah penelitian ini dilaksanakan adalah:
1. Hasil
penelitian ini dapat menambah, memperkaya ilmu pengetahuan seorang sarjana
hukum dalam prakteknya khususnya dalam Hukum Acara Perdata dan Perbankan di
bidang pembuktian.
2. Agar
dapat menambah bahan-bahan pendukung
atau bahan referensi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Manado dalam Studi Hukum Acara Perdata dan khususnya dalam
bidang pembuktian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kajian
Teoritis
Teori Utilitas,
teori ini dikembangkan oleh Jeremy Bentham, Jhon Stuart Mill, Rudolf Van
Jhering. Menurut teori ini hukum akan memberikan jaminan kebahagian yang
sebesar-besarnya bagi manusia dan jumlah yang sebanyak- banyaknya (the greatest good of the greatest number).
Jadi unsur kemanfaatan/kefaedahan yang diutamakan dalam teori ini.
Para penganut
teori utilitas mempunyai prinsip bahwa manusia akan melakukan tindakan-tindakan
untuk mendapatkan kebahgian atau tidak. Demikian pula dengan
perundang-undangan, baik buruknya ditentukan pula memberikan kepada setiap
orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasanya. Daya guna hukum
menyangkut tiga sarana penting yaitu : individu, masyarakat dan budaya. Ketiga
hal tersebut merupakan kebutuhan manusia untuk harus dijamin dan dijaga oleh
hukum.[5]
Freirechtlehre
(aliran ajaran hukum bebas). Ajaran hukum bebas sangat berkaitan dengan sistem penemuan hukum. Untuk menemukan
keadilan dan kebenaran tidaklah semata-mata terdapat dalam Undang-undang, akan
tetapi juga diluar Undang-undang. Menurut aliran ini pengadilan (hakim-hakim)
dalam menangani tugas-tugas peradilan berupa kasus-kasus perkara bukan tidak
terikat pada Undang-undang. Ada
keterikatan namun peranan utama tidaklah pada Undang-Undang, akan tetapi didalam Hukum.
Dengan pandangan
seperti ini, aliran ini jelaslah tidak menyamakan hukum dengan Undang-Undang
alias penentang legisme (Positifisme). Memang kehadiran filsafat hukum ini
karena pandangan legisme Montesqiusen bahwa hakim hanyalah menyambung lidah
atau corong (mulut) Undang-Undang terhadap peristiwa hukum (perkara-perkara)
tidak menjalankan peranannya secara mandiri, tergantung Undang-Undang tidak
dapat mengubah, menambah ataupun mengurangi Undang-Undang.[6]
Menurut Sudikno
peran peradilan hanyalah dalam bentuk silogisme yang artinya bentuk berpikir
logis dengan mengambil kesimpulan premis mayor (umum) dan premis minor
(khusus). Premis mayor = Undang-Undang, barang siapa mencuri dihukum;
disimpulakan premis minor, Suta mencuri (peristiwa perbuatan) maka Suta di
hukum.[7]
Dalam sistem
peradilan modern dewasa ini mendunia menganut ajaran hukum bebas seperti halnya
di Indonesia nyata dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (tidak berlaku),
maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 (tidak berlaku, maupun Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004, pada dasarnya menganut ajaran hukum bebas, manakala suatu
peristiwa hukum dalam perkara tidak ditemukan secara jelas apa yang terumus
dalam Undang-Undang, padahal hakim yang bersangkutan harus mengadili dan
memutus perkara diajukan (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).
Berdasarkan
teori yang ada di atas peneliti menggunakn teori Freirechtlehre (aliran ajaran hukum bebas) yang dikembangkan oleh
Sudikno untuk dijadikan acuan dalam penulisan skripsi ke depan didalam menjawab
perumusan masalah dalam proposal ini.
B.
Kajian
Konsepsional
A.
Tinjauan
Mengenai Phone Banking
1.
Produk
Phone Banking
Pada
dasarnya nasabah memilih bank dalam bertransaksi adalah karena faktor-faktor
yang sangat mendasar, misalnya untuk melakukan simpanan dana atau bertransaksi
dengan memilih jarak lokasi bang yang terdekat. Banyaknya bank dengan berbagai
macam produk dan kemudahan, membuat nasabah memilih bank yang memiliki kriteria
pelayanan dan fasilitas yang terbaik dari bank-bank lainya.
Berkaitan
dengan istilah barang dan atau jasa yang digunakan dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, khusunya di bidang perbankan dikenal dengan istilah
produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa, walaupun pada
awalnya hanya megacu pada pengertian barang.
Dalam
dunia perbankan misalnya, istilah produk dipakai juga untuk menamakan
jenis-jenis layanan perbankan. Jasa diartikan sebagai setiap layanan yang
berbentuk prestasi yang disediakan bagi konsumen. Salah satu produk perbankan
pada sebuah bank swasta nasional (PT Bank X Tbk) adalah phone banking yang memberikan kemudahan bagi nasabahnya untuk
bertransaksi. Dalam hal ini phone banking
merupakan layanan informasi, penanganan keluhan, dan transaksi yang bersifat on
line dilakukan dengan menggunakan teknologi telepon. Pemakaian telepon
berdasarkan sistem phone banking
mempunyai manfaat yang besar bagi kedua belah pihak baik konsumen maupun bank
sebagai pelaku usaha. Dari sudut konsumen produk phone banking cukup memenuhi kebutuhan karena memberikan
kemudahan-kemudahan yang berarti. Contohnya transaksi dapat dilakukan dimana
saja tanpa harus datang ke kantor bank tersebut, informasi tentang keuangan dan
pelayanan yang didapat adalah yang terbaru dan kemudahan-kemudahan lainya.
Sedangkan keuntungan dari sudut bank adalah biaya penggunaan teknologi telepon
jauh lebih rendah dibandingkan dengan pembukaan sebuah kantor untuk melayani
nasabah. Phone banking memiliki karakteristik utama, yaitu :
-
Nasabah dapat
menggunakan telepon untuk melaksanakan semua kebutuhanya, kecuali penarikan
tunai dan penempatan deposito.
-
Informasi yang
diperoleh nasabah adalah informasi terbaru dan akurat.
-
Pelayanan yang
diberikan langsung melalui operator atau melalui sistem respon suara otomat.
-
Pelayanan terbuka bagi
nasabah setiap hari selama 24 jam.
Di
dalam bertransaksi melalui phone banking
terdapat perbedaan antara nasabah dengan non nasabah. Bagi nasabah bank X yang
telah memiliki kartu ATM diwajibkan membuat TIN (Telephone Identificatoin Number)[8]
sedangkan bagi yang tidak memiliki kartu ATM tetapi memiliki kartu kredit bank
X diwajibkan melakukan pendaftaran terlebih dahulu dengan mengirimkan fotocopy
kartu identitas, fotocopy kartu kredit (bagian depan dan belakang) dan surat
pernyataan.
Layanan
phone banking terdiri dari :
1. Layanan
Transaksi Phone Banking
Layanan ini memberikan
kemudahan bagi pengguna phone banking,
khususnya untuk melakukan transfer yang meliputu transfer antar rekening milik
nasabah perorangan Bank X, transfer ke nasabah lain di Bank X dan transfer ke
bank lain.
2. Layanan
Pembayaran
Layanan ini memberikan
kemudahan untuk pembayaran telekomonikasi (Telkom, Exelkomindo, Komselindo,
Indosat, Pro XL, Mentari, Simpati, Gesit, Central, On Line), pager PAM, PLN
(Jakarta), tagihan kartu kartu kredit dan reksadana.
3. Layanan
Belanja
Layanan untuk pembelian
majalah (Swa, Tempo) kebutuhan sehari-hari (susu balita, air mineral), elektronik
(poduk Maspion, Komputer), hanphone (Nokia Ericcson), Aksesoris (Goldmart, Seiko, Alba, Silvermart), pemesanan hotel (Novutel,
Mercurie, Ibis, Sofitel) dan
lain-lain.[9]
BCA by Phone
adalah salah satu produk perbankan elektronik yang
disediakan membantu Anda untuk dapat menerima layanan informasi perbankan dan
melakukan transaksi finansial non tunai melalui pesawat telepon (touch tone
atau handphone). BCA by Phone merupakan layanan
perbankan yang praktis, nyaman, aman dan user friendly. Praktis,
Anda dapat langsung melakukan transaksi perbankan melalui pesawat telepon tanpa
harus datang ke bank atau ATM BCA (kecuali ambil uang tunai).
User
Friendly, Rekaman
instruksi-instruksi yang mudah diikuti akan menuntun Anda dalam melakukan
berbagai transaksi perbankan. Nyaman, Anda dapat langsung menuju layanan
yang dikehendaki, tanpa harus menunggu dan mendengar semua instruksi selesai. Aman, BCA by Phone dilengkapi dengan sistem keamanan berlapis, yaitu Personal Identification Number (PIN) dan
KeyBCA. KeyBCA harus dipergunakan jika Anda bertransaksi finansial seperti:
transfer antar rekening di BCA, pembayaran tagihan ataupun pembelian pulsa isi
ulang. KeyBCA, alat pengaman tambahan berfungsi menghasilkan password yang
selalu berganti setiap kali Anda melakukan transaksi finansial sehingga
transaksi Anda lebih Aman. Selain kelebihan itu BCA by
Phone juga memberikan kemudahan berupa penambahan nomor akses BCA by Phone melalui ponsel. Anda cukup
tekan 69123 pada ponsel, maka
otomatis akan terhubung ke BCA by Phone.
No Akses ini berlaku nasional, sehingga nasabah dapat mengakses nomor telepon
ini dimanapun nasabah berada. Hal ini dimungkinkan karena BCA bekerja sama
dengan operator GSM seperti: Indosat, Excelcomindo, dan Telkomsel.
Berikut adalah jenis-jenis layanan yang bisa nasabah lakukan melalui Phone Banking (Contoh BCA by phone) :
I.
Transaksi Finansial
1. Transfer antar rekening
BCA
2. Pembayaran
o
Tagihan kartu Kredit: BCA Card, Citibank,
HSBC,GE Finance, Standart Chartered, ANZ Panin dan AMEX, BNI, Permata, dan Mega
o
Tagihan Telepon: Telkom dan Esia
o
Tagihan Telepon Seluler:
Telkomsel, Indosat, dan Xplor
o
Tagihan PLN
o
Tagihan PAM
3. Isi Ulang Pulsa:
Simpati, Mentari, dan IM3 Smart
4. Pembelian Tiket Garuda
II. Informasi Rekening
- Informasi Saldo
- Informasi 10 transaksi terakhir
- Permintaan mutasi rekening koran melalui faksimili
- Permintaan bukti transaksi BCA by phone melalui faksimili
III. Informasi Kartu Kredit
- Informasi saldo tagihan
- Informasi data terakhir
- Permintaan tagihan terakhir melalui faksimili
IV. Informasi Umum Perbankan
- Informasi nilai tukar valuta asing
- Informasi suku bunga
- Informasi umum kartu kredit
V. Menu Administrasi
- Ubah PIN
- Aktivasi KeyBCA
- Tambah/Hapus daftar rekening penerima transfer
Layanan BCA by Phone ini terbuka untuk pemegang
rekening/kartu:
- BCA Prioritas
- Tapres
- Giro
- BCA Dollar
- BCA Card
- Tahapan dengan Kartu Paspor Platinum
Untuk dapat menggunakan fasilitas ini, Nasbah harus terdaftar pada salah satu
fasilitas yang telah disediakan oleh Bank-bank misalnya,fasilitas BCA by Phone. Sebagai tambahan keamanan salah satu Bankdilengkapi dengan kata knci dan
sandi. Misalnya, KeyBCA.
Tanpa KeyBCA, Anda tidak akan bisa melakukan transaksi finansial di BCA by Phone. Sebelum menggunakan phone banking
nasabah harus melakukan registrasi. Misalnya contoh di suatu Bank seperti Bank
BCA menggunakan Registrasi fasilitas BCA by Phone dan KeyBCA. Anda cukup mengisi formulir yang
disediakan di kantor cabang BCA terdekat, kemudian Anda dapat mengambil PIN BCA
by Phone 7 (tujuh) hari kerja
kemudian dan KeyBCA* 10 (sepuluh) hari kerja kemudian dengan membawa bukti
kepemilikan rekening dan kartu identitas. KeyBCA yang digunakan pada BCA by Phone sama dengan KeyBCA yang
digunakan pada KlikBCA Individu. Apabila Anda sudah memiliki KeyBCA yang
terhubung dengan KlikBCA Individu dan ingin melakukan transaksi finansial
melalui BCA by Phone, Anda harus melakukan registrasi BCA by Phone dan tambah
koneksi KeyBCA di kantor cabang BCA terdekat. KeyBCA hanya untuk nasabah
perorangan.
2.
Sistem
Kerja Phone Banking
Telepon
sebagai pusat komonikasi untuk phone
banking memberikan perubahan langsung pada pelayanan, khususnya dalam
respon suara, sistem on line yang memungkinkan perwakilan operator secara
simultan agar dapat melengkapi informasi pada nasabah.
Fungsi
dari kemajuan telekomonikasi seperti identifikasi nomor telepon otomatis,
diperlukan untuk melayani setiap permintaan nasabah. Identifikasi nomor telepon
berguna untuk mengetahui nomor telepon yang masuk atau digunakan nasabah.
Perangkat telepon yang
digunakan dalam phone banking,
dipasang alat perekam suara dengan maksud
agar transaksi yang terjadi saat itu dapat terekam dimana rekaman tersebut
berguna sebagai bukti adanya transaksi.
Bukti ini menjadi penting dan berguna di kemudian hari bila timbul sengketa.
Penyimpanan rekaman suara ini ada jangka waktunya, yaitu tidak lebih dari enam
bulan, hal ini diatur dalam internal memorandum Bank X. dibuatnya aturan
demikian dengan asumsi bahwa setiap musibah mendapat laporan keuanganya setiap
bulan dan dalam laporan keuanganya terdapat klausul “bila mana dalam waktu tujuh
hari terhitung sejak tanggal September atau diterimanya rekening tidak ada
sanggahan dari musibah nasabah dianggap
telah mensetujui segala sesuatu yang termuat dalam rekening ini”. Jadi dengan
sampainya rekaman suara ini dalam waktu enam bulan sudah merupakan tenggang
waktu yang cukup.
Mekanisme
kerja di dalam layanan perbankan pembayaran dan belanja adalah dengan secara
nasabah menelpon ke nomor telepon pusat pelanggan Bank X dan telepon akan
diterima oleh operator selanjutnya tugas operator adalah mengidentifikasi
nasabah dan menanyakan transaski yang diinginkan oleh nasabah, kemudian
melakukan konfirmasi dan verifikasi data. Setelah itu melakukan pendebetan dan
instruksi pelaksanaan transaksi. Terakhir dilakukan konfirmasi uang dari
keseluruhan transaksi. Di dalam teknisnya operator ini dilengkapi dengan
perangkat kerja berupa aplikasi Call
Center (Phone Banking) dan Help Desk.
Mekanisme
kerja untuk layanan informasi dan keluhan, dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
:
1. Kelompok
I terdiri dari informasi saldo dan valuta asing dibantu oleh komputer yang
khusus deprogram valuta asing dan saldo.
2. Kelompok
II terdiri dari perincian mutasi, informasi produk dan penanganan keluhan,
dilengkapi oleh komputer operasional dan agen kartu debit.
3. Kelompok
III terdiri dari informasi produk, informasi tagihan dan penanganan keluhan
yang dilengkapi komputer khusus kartu kredit dan agen kartu kredit.[10]
3.
Para
Pihak Dalam Transaksi Melalui Phone
Banking
Para
pihak yang terlibat dalam transksi phoene
banking adalah :
1. Bank,
sebagai pelaku usaha yang menciptakan dan mengeluarkan produk berupa phone banking.
2. Nasabah/non
nasabah, sebagai konsumen pengguna fasilitas phone banking.
3. Dalam
transaksi phone banking bias juga melibatkan pihak ketiga yaitu mitra-mitra
dari Bank X yang turut menyediakan
fasilitas yang ada.
Dengan
adanya para pihak dalam transaksi phone
banking, tentunya hal ini secara tidak langsung ada hak dan kewajiban dari
para pihak.
Hubungan
pelaku usaha dan konsumen sering terjadi hanya sebatas kesepakatan lisan
mengenai harga atau barang dan atau jasa tanpa diikuti atau ditindak lanjuti
dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak
yang bersangkutan, dan hal inilah yang terjadi dalam transaksi phone banking.
Pada
ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, memang tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis, kecuali
untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan dengan
adanya formalitas.
Dalam
Pasal 1320 KUHPerdata secara tegas dikatakan bahwa perjanjian adalah sah jika :
1. Dibuat
berdasarkan kata sepakat dari para pihak.
2. Dibuat
oleh mereka yang cakap.
3. Memiliki
objek perjanjian yang jelas.
4. Didasarkan
pada suatu kuasa yang halal.
Selanjudnya
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata ditegaskan bahwa setiap perjanjian yang
telah dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya sebagai
undang-undang di antara mereka. Artinya selama terjadi kesepakatan di antara
para pihak mengenai “harga” yang harus dibayar oleh konsumen dan “barang dan
atau jasa” yang wajib disediakan oleh pelaku usaha, maka perjanjian telah
mengikat, baik untuk konsumen maupun untuk pelaku usaha, kecuali terdapat
unsure paksaan, kekhilafan maupun penipuan atas diri konsumen ataupun pelaku
usaha.
Untuk
memberikan kepastian hukum dan kejelasan akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
para pihak Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan peraturan
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Menurut
Pasal 4 UUPK, konsumen memiliki hak sebagai berikut :
a. Hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau
jasa.
b. hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain
memperoleh hak tersebut supaya ada keseimbangan, konsumen juga diwajibkan untuk
:
a. membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Dalam
Pasal 6 UUPK para pelaku usaha diberikan hak untuk :
a. hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
c. hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d. hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pelaku
usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
a. beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Dalam
Pasal 4 dan 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terlihat bahwa masalah
kenyamanan, keamanan dan keselamtan konsumen dalam hal ini sebagai penggunan
jasa phone banking merupakan hal
penting dalam perlindungan konsumen. Jasa phone
banking yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan atau keamanan jelas
tidak layak diberikan pada nasabah. Selanjudnya, untuk menjamin bahwa suatu
jasa yang dalam penggunaannya akan nyaman dan aman maka penggunan jasa
diberikan hak untuk memilih jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas
keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan
yang merugikan pengguna jasa dalam hal ini pengguna jasa phone banking maka berhak untuk didengar, memperoleh advokasi,
pembinaan, perlakuan yang adil dan konpensasi sampai ganti rugi.
B.
Pembuktian
Dalam
suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu
hubungan hukum yang menjadi dasar gugata benar-benar ada atau tidak. Untuk hal
ini perlu dilakukan suatu pembuktian terhadap dasar gugatan dengan bantuan
alat-alat bukti yang ada. Dengan adanya pembuktian berarti memberikan kepastian
kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.
R.
Subekti berpendapat bahwa “membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan”.[11]
Aturan-aturan
tentang pembuktian dapat dijumpai dalam Reglemen Indonesia yang diperbaharui
yang kemudian disingkat dengan R.I.B yang berlaku di Jawa dan Madura saja.
Sedangkan untuk luar Jawa-Madura terdapat dalam Reglemen Daerah Seberang yang
disingkat dengan R.D.S. ketentuan tentang berlakunya hukum acara tersebut
berdasarkan Undang-Undang Darura No. 1 tahun 1951 tentang “Tindakan-Tindakan
Untuk Menyelenggarakan Susunan Kekuasaan dan
Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil”.
Disamping
itu hukum pembuktian terdapat pula di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dalam buku keempat diatur tentang Pembuktian dan Daluwarsa yang memuat
aturan-aturan pokok tentang pembuktian perdata.[12]
Dengan
adanya hukum positif yang mengatur mengenai pembuktian, maka untuk mengetahui
apakah hukum positif ini mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian
perkara di pengadilan ada 3 (tiga) teori yang digunakan sebagai pedoman, yaitu
:
1. Teori
Pembuktian Bebas, teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan
kepadanya. Dengan teori ini dimungkinkan hakim memutuskan perkara tanpa
didasarkan pada alat bukti di dalam undang-undang.[13]
2. Teori Pembuktian Negatif, menurut teori ini harus
ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa
ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.[14]
3. Teori
Pembuktian Positif, menurut teori ini pembuktian didasarkan hanya pada
alat-alat bukti yang disebut undang-undang, maksudnya tidak dibutuhkan lagi
alat-alat bukti lain dalam hal ini keyakinan hakim.[15]
b.1. Hal-hal Yang Harus Dibuktikan
Pasal
163 HIR Menyatakan :
Barang siapa yang
mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian
untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu
harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.
Dari
bunyi pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa yang harus dibuktikan dimuka
sidang pengadilan itu tidak hanya peristiwa-peristiwa atau kejadian saja tetapi
juga sutu hak
b.2. Hal-hal Yang Tidak Perlu Dibuktikan
Hak
dan peristiwa yang tidak disangkal tidak perlu dibuktikan oleh para pihak yang
berperkara di muka sidang pengadilan dan jika seorang telah mengakui apa yang
telah didalilkan oleh lawanya, maka terlawan tidak perlu melakukan pembuktian
sendiri tentang apa yang didalilkan.
Apabila
hakim didalam memeriksa sutu sengketa mengetahui dengan nyata akan adanya sutu
hak atau peristiwa maka adanya suatu hak atau peritiwa peristiwa tersebut tidak
perlu adanya bukti lain lagi.
Suatu
hak yang sudah diketahui oleh umum atau pada umumnnya hak dan peristiwa itu
telah diketahui orang banyak juga tidak perlu dibuktikan.
b.3. Alat-Alat Bukti
Transaksi
yang dilakukan melalui phone banking memunculkan salah satu persoalan hukum
yang cukup pelik yaitu mengenai sistem pembuktian. Pada prinsipnya sistem hukum
yang digunakan di Indonesia menentukan bahwa dokumen tertulis adalah merupakan
alat bukti hukum yang utama.
Sampai
saat ini sistem pembuktian hukum perdata masih menggunakan ketentuan yang diatur
dalam KUHPerdata, HIR (untuk Jawa dan Madura) dan Rbg (untuk luar Jawa). Dalam
sistem ini alat-alat bukti dalam perkara perdata (Pasal 164 HIR) terdiri dari :
Bukti Surat,
Bukti Saksi,
Persangkaan,
Pengakuan,
Sumpah
Semua itu dengan
memperhatiakan dalam segala pasal di bawah ini.
Selain
dari alat bukti yang telah dikutip di atas HIR masih mengenal alat bukti lain
yaitu hasil pemeriksaan setempat, seperti yang ditentukan dalam pasal-pasal :
Pasal
153 (1) HIR yang menyatakan :
Jika ditimbang perlu atau
ada faedahnya, maka ketua boleh mengangkat satu atau dua orang komisaris daripada dewan itu, yang dengan
bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan
pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan kepada hakim.
Pasal
154 HIR yang menyatakan :
Jika pengadilan negeri
menimbang, bahwa perkara itu dapat lebih terang, jika diperiksa atau dilihat
oleh orang ahli, maka dapatlah ia mengangkat ahli itu, baik atas permintaan
kedua pihak, maupun karena jabatannya.[16]
b.4. Asas-asas
a. ACTORI
INCUMBIT ONUS PROBANDI
Asas
ini digunakan sebagai dasar apabila salah satu pihak mendalilkan adanya suatu
hak atau peristiwa maka wajib membuktikanya dengan menunjuk pada alat bukti
yang dianut oleh undang-undang.
b. PERESUMPTION
OF FAULT
Asas
ini dugunakan dalam hal pembebanan pembuktian pada sengketa yang terjadi dimana
tergugat harus membuktikan dirinya tidak bersalah.
c. PACTA
SUNT SERVANDA
Asas
ini mengandung arti bahwa perjanjian itu dibuat untuk dilaksanakan oleh para
pihak yang membuatnya, karena itu apabilah para pihak sudah sepakat dan
menuangkan kesepakatan itu dalam suatu perjanjian maka berdasarkan asas ini,
pelaksanaan janji oleh masing-masing pihak itu akan mengikat sebagai kewajiban
hukum.
d. ASAS
KEPASTIAN HUKUM
Kepastian
hukum harus diciptakan melalui kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum, sehingga
dengan adanya kepastian hukum maka akan tercipta suasana aman dan tentram di
masyarakat.
e. ASAS
KEADILAN
Keadilan
adalah memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya[17]
Setiap
keadilan aka nada apabila setiap golongan merasa dirinya mendapat penghargaan
yang sewajarnya dari golongan lain, sedangkan setiap golongan itu tidak merasa
dirugikan karena perbuatan atau kegiatan golongan yang lain.[18]
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis
Penelitian
“Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
atau penelitian hukum kepustakaan (library research).”[19]
Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau
kaidah yang berlaku. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif
tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi,
undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.”[20]
“Penelitian
tipe ini lazim disebut sebagai “studi dogmatik” atau yang dikenal dengan doctrinal
research.”[21]
“Penelitian tipe doktrinal (doctrinal research) adalah mirip dengan tipe
penelitian hukum normatif.”[22]
“Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik.”[23]
“Dogmatik hukum bersifat teoritis-rasional, sehingga pengungkapannya terikat
pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika deduktif. Disamping itu,
maka dogmatik hukum memperhitungkan kecermatan, ketetapan dan kejelasan.”[24]
“Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library
research) ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data
sekunder belaka.”[25] Menurut
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan tersebut mencakup:
1.
Penelitian
terhadap asas-asas hukum
2.
Penelitian
terhadap sitematik hukum
3.
Penelitian
terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4.
Perbandingan
hukum
5.
Sejarah
hukum.[26]
B.
Variabel Penelitian
“variable
penelitian ini adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian.”[27]
Menurut Abdulkadir Muhammad, “rumusan masalah dibuat sekhusus mungkin, tetapi
tetap mencerminkan adanya hubungan antara variable.”[28]
Berdasarkan masalah yang dirumuskan pada bab satu, maka dapatlah ditetapkan
variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimanakah Perlindungan Hukum Bagi pengarang/pencipta dan
penerbit dilihat dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
C. Data dan Sumber Data
Adapun
yang menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data
sekunder berdasarkan studi pustaka / studi literatur (library research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan
antara:
1. Bahan
hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang terdiri dari:
a. Norma
dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule)
UUD 1945;
b.
Het
Herzine Inlansreglement.
c. Undang-Undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
d. Undang-Undang
No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesain Sengketa.
e. Keputusan
Menperindang RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
2. Bahan
hukum sekunder yaitu buku-buku atau karya-karya ilmiah lain yang berkaitan
pokok permasalahan yaitu meliputi pembuktian dan alat bukti menurut HIR maupun
Hukum Perlindungan Konsumen.
3. Bahan
hukum Tertier
Yaitu Bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri
a.
Kamus hukum
b.
Kamus bahasa Indonesia
c.
Kamus Bahasa Inggris
d.
Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat kabar , jurnal hukum,
majalah dan lain sebagainya ).[29]
D. Lagkah-Langkah Penelitian
1.
Pengumpulan Data[30]
Pengumpulan data dilakukan melalui
kegiatan studi kepustakaan, studi dokumen, dan studi catatan hukum.[31]
Kepustakaan yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, buku karya tulis
bidang hukum.
Kegiatan studi kepustakaan dilakukan
dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.
Penentuan sumber data
sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier),
berupa perundang-undangan, literatur di bidang ilmu pengetahuan hukum, dan
kamus.
b.
Identifikasi data
sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier) yang
diperlukan, yaitu proses mencari dan menemukan bahan hukum berupa ketentuan
dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan; judul buku, nama pengarang,
cetakan, kota penerbit, penerbit, tahun terbit dan nomor halaman karya tulis
bidang hukum.
c.
Inventarisasi data yang
relevan dengan rumusan masalah (pokok bahasan atau subpokok bahasan), dengan
cara pengutipan atau pencatatan.
d.
Pengkajian data yang
sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan
masalah.[32]
2.
Pengolahan Data
Data
yang sudah terkumpul kemudian diolah. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data
yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan
dengan masalah/variabel penelitian.
b. Penandaan data (coding), yaitu memberikan catatan atau
tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan,
atau dokumen); pemegang hak cipta (penulis, tahun penerbitan); atau rumusan
masalah/variabel penelitian (masalah pertama tanda A, masalah kedua tanda B,
dan seterusnya).
c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang
data secara teratur, berurutan, logis mehingga mudah dipahami dan
diinterpretasikan.
d. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data
menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah/variabel
penelitian.[33]
3. Analisis Data dan Pembahasan
Menurut
Abdulkadir Muhammad, “Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif,
dengan alasan: (1) Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; (2)
Data yang terkumpul umumnya berupa informasi; (3) Hubungan antara variabel
tidak dapat diukur dengan angka ….”[34]
Kemudian
menurut Hilman Hadikusuma, “penelitian yang hanya melakukan studi kepustakaan
(data sekunder) tanpa melakukan penelitian lapangan (data primer). Laporan
skripsi itu akan hanya bersifat deskripsi analitis berdasarkan pendekatan
masalah yang bersifat normatif-jurudis.”[35]
Penelitian
ini juga memusatkan perhatiannya pada hukum sebagai sistem peraturan-peraturan
yang abstrak, hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, terlepas
dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan perundang-undangan. Menurut
Bambang Sunggono, “Pemusatan perhatian yang demikian ini akan membawa kepada
penggunaan metode normatif dalam menggarap hukum. Sesuai dengan cara pembahasan
yang bersifat analitis, maka metode ini disebut sebagai normatif analitis.”[36]
Menurut
Dengan demikian, analisis data dilakukan secara kualitatif, konprehensif, dan
lengkap. Analisis kualitatif artinya menuraikan data secara bermutu dalam
bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif.
Konprehensif artinya analisis data dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek
sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlewatkan
atau terlupakan, semuanya masuk dalam analisis.
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Kendala Yang
Dihadapi Dalam Penggunaan Rekaman Suara Sebagai Alat Bukti.
Dalam
era modern ini segala sesuatu yang bersifat instant sangat digemari oleh
kebanyakan orang. Begitu banyak orang yang berusaha menemukan
kemudahan-kemudahan dalam menjalankan aktifitasnya. Sifat menusia yang
demikianlah yang menjadi dasar bagi para pelaku bisnis perbankan untuk
menyediakan layanan perbankan dengan menawarkan berbagai mecam kemudahan bagi
para nasabahnya agar mereka merasa nyaman menjadi nasabah di bank yang
bersangkutan. Salah satu kemudahan yang ditawarkan dalam dunia perbankan adalah
proses transaksi yang dapat dilakukan tanpa harus datang ke bank yang
bersangkutan ataupun ATM-nya. System tersebut merupakan system Mobile Banking
atau biasa disingkan m-Banking. M-Banking ini merupakan fasilitas perbankan
melelui alat komunikasi bergerak seperti Handphone. Dengan penyediaan fasilitas
yang hampir sama dengan ATM kecuali system tarik tunai.
Sebagian
besar bank di Indonesia telah menggunakan system ini sebagai salah satu layanan
perbankan mereka, beberapa diantaranya adalah BCA, BRI, dan Bank Mandiri.
Berikut ini akan dibahas system m-Banking dari ketiga bank tersebut.
BANK CENTRAL ASIA ( BCA )
Dari website resminya
www.klikbca.com nasabah dapat mengetahui beberapa layanan perbankan dari BCA
yang dapat dilakukan secara mobile. Dalam pelayanan mobile banking, BCA sebagai
salah satu bank terkemuka menyediakan layanan BCA By Phone, m-BCA, dan SMS BCA. BCA By Phone adalah produk perbankan elektronik
yang disediakan untuk membantu nasabah untuk dapat menerima informasi perbankan
dan melakukan transaksi financial non tunaimelalui pesawat telepon ( touch tone atau handphone ). Layanan BCA by Phone merupakan layanan yang praktis karena nasabah tidak perlu
datang ke BCA atau ATM untuk bertransaksi , aman karena BCA by Phone dilengkapi dengan system keamanan
berlapis yaitu PIN dan Key, dan user
friendly karena rekaman instruksi-instruksi mudah diikuti dan sangat
membantu dalam bertransaksi.
Jenis-jenis layanan BCA by-phone :
1. Transaksi Finansial
• Transfer antar rekening BCA
• Pembayaran tagihan kartu kredit,
tagihan telepon, tagihan telpon seluler, tagihan PLN, dan tagihan PAM.
• Isi ulang pulsa
• Pembelian tiket Garuda
2.
Informasi Rekening
• Informasi saldo
• Informasi 10 transaksi terekhir
• Permintaan mutasi rekening Koran
melalui faksimili
• Permintaan bukti transaksi BCA by phone melalui faksimili
3.
Informasi Kartu Kredit
• Informasi saldo tagihan
• Informasi data terakhir
• Permintaan data terakhir melaluifaksimili
4.
Informasi Umum pebankan
• Inforamasi nilai tukar valuta
asing
• Informasi suku bunga
•Informasi umum kartu kredit
5. Menu Administrasi
• Mengubah PIN
• Aktivasi Key BCA
• Menambah/ menghapus daftar
rekening penerima teransfer
Layanan
BCA by Phone ini dapat dinikmati oleh
para nasabah pemegang rekening / kartu BCA Prioritas, Tapres, Giro,
BCA Dollar, BCA Card, dan Tahapan dengan Kartu Paspor Platinum.[37]
m-BCA merupakan fasilitas yang diberikan
kepada para nasabah untuk bertransaksi secara mudah melalui telepon genggam
yang menggunakan kartu XL, Indosat, dan Telkomsel. Berbeda dengan BCA by Phone,
m-BCA merupakan jenis layanan yang dapat dilakukan tanpa melakukan panggilan,
cukup dengan memilih menu melalui HP dan jawaban akan diberikan melalui SMS.
Para nasabah tidak perlu takut untuk melakukan transaksi dengan m-BCA karena
fitur ini telah dilengkapi dengan system proteksi yang maksimal dan penggunaan
Pin dalam melakukan transaksi. Keamanan dari PIN nasabah akan
dijamin selama nasabah tidak membocorkan sendiri PIN miliknya kepada orang
lain.
Transaksi
yang dapat dilakukan melali m-BCA adalah :
1.
M-Info, Informasi yang tersedia dalam m-info ini adalah :
•
Informasi saldo
• Mutasi
rekening
• Info
kurs
• Info
suku bunga tabungan / deposito rupiah / deposito valas
• Info
kode bank
• Info
kode perusahaan
• Info
nomor kupon undian Gebyar Tahapan BCA
• Info
saldo dan transaksi kartu kredit BCA
2.
M-Transfer
• Transfer
ke rekening BCA
• Transfer
ke rekening bank lain
3.
M-Payment
Pembayaran
berbagai macam tagihan kartu kredit, PLN, PAM, handphone, telepon, asuransi,
dll
4.
M-commerce Pembelian pulsa isi ulang, kartu Blitz, saham, dll
SMS BCA adalah layanan informasi perbankan
yang dapat diakses langsung oleh nasabah melalui telepon seluler dengan media
SMS. Sama halnya dengan BCA by Phone dan m-BCA, SMS BCA juga merupakan layanan
informasi perbankan yang mudah, praktis, dan nyaman. Informasi yang bisa
diperoleh melalui SMS BCA ini adalah :
1. Informasi saldo
2. Informasi mutasi rekening
3. Informasi nomor kupon undian Gebyar
Tahapan BCA
4. Informasi kurs
5. Informasi rekening deposito
6. Registrasi Informasi Kartu Kredit
BCA
7. Penghapusan registrasi Informasi
Kartu Kredit BCA
8. Informasi Limit kartu kredit BCA
9. Informasi tagihan Kartu Kredit
BCA
10. Informasi Transaksi Kartu Kredit
BCA
11. Pembelian pulsa isi ulang
Namun sayangnya, SMS BCA belum
menyediakan layanan untuk melakukan transfer dan pembayaran tagihan seperti BCA
by Phone maupun m-BCA.[39]
Bank Madiri yang menggunakan slogan
“ Karena Waktu Anda Begitu Berharga” memberikan solusi bagi para nasabahnya
untuk melakukan transaksi perbankan dengan lebih efektif dan efisien tanpa
harus membuang waktu dengan mengantre atau mendatangi kantor cabang dan ATM
mandiri. Solusi yang diberikan adalah penggunaan Layanan Mandiri Call dan
Mandiri SMS.
Mandiri
Call
merupakan layanan perbankan otomatis 24 jam yang dapat dilakukan melalui
telepon atau ponsel. Layanan ini membuat para nasabah lebih mudah dan lebih
bebas dalam melakukan transaksi tanpa harus terikat dengan batasan ruang dan
waktu. Transaksi yang dapat dilakukan dengan Mandiri Call adalah :
1. Transfer antar rekening Bank
Mandiri
2. Pembayaran tagihan :
• Listrik (PLN)
• PAM
• Telepon / handphone
• Kartu kredit’
• Tiket pesawat / kereta Api
• Iklan
• Internet
• Telebisi berlangganan
• PBB
• Pendidikan
• Asuransi
3. Pembelian isi ulang pulsa
4. Pembukuan deposito rupiah
5. Informasi saldo rekening dan 10
transaksi terakhir
6. Informasi suku bunga, kurs,
rekening pinjaman.[40]
MANDIRI SMS merupakan layanan perbankan yang
dapat digunakan untuk melakukan transaksi perbankan melalui SMS dari ponsel
nasabah. Mandiri sms ini merupakan layanan yang menawarkan kemudahan,
fleksibilitas, eisiensi dan dan waktu yang tak terbatas. Jenis transaksi yang
dapat dilakukan antara lain :
1. Transfer uang antar rekening Bank Mandiri maupun bank
lain
2. Cek saldo tabungan, rekening valas, dan pinjaman
3. Informasi
• Tagihan Mandiri Visa
• 5 transaksi terakhir rekening
• Suku bungs deposito, suku bunga tabungan dan kurs valuta
asing
4. Pembayaran tagihan Mandiri VISA, Telkom, PLN, telpon
genggam, dll
5. Pembelian voucher isi ulang
6. Notifikasi SMS
BANK RAKYAT INDONESIA ( BRI )
Bank
Rakyat Indnesia sebagai bank miliki negra juga tidak mau kalah dengan
pesaingnya yang lain baik dari golongan bank negri maupun swasta. Dalam
pelayanannya, BRI juga memberikan layanan mobile banking bagi para nasabahnya,
layanan tersebut berupa SMS Banking BRI, mATM bersama, dan Phone Bankng BRI.
Sms banking BRI adalah layanan perbankan BRI dengan menggunakan Plain SMS dengan kode akses 3300 sebagai nomor tujuan. Jenis transaksi yang dapat dilakukan adalah :
Sms banking BRI adalah layanan perbankan BRI dengan menggunakan Plain SMS dengan kode akses 3300 sebagai nomor tujuan. Jenis transaksi yang dapat dilakukan adalah :
1.
Info saldo
2.
Transfer antar rekening BRI
3.
Pembayaran tagihan kartu kredit BRI, Citibank, dll
4.
Pembelian pulsa isi ulang
5.
Ganti PIN SMS BRI
6.
Informasi transaksi
mATM Bersama adalah layanan Mobile banking yang bekerjasama dengan ATM
Bersama yang teah mempunyai 67 Bank Member yang tergabung di dalamnya. Menu
mATM bersama akan menjadi default menu pada pengguna katru Telkomsel. Fitur
transaksi yang diberikan dalam m-ATM Bersama adalah :
1. Info saldo
2. Transfer antar bank / pembayaran kartu kredit BRI
Phone Banking BRI adalah fasilitas layanan melalui
telepon sekama 24 jam yang menyediakan informasi dan transaksi produk Perbankan
melalui mesin. Transaksi yang dapat dilakukan antara lain :
1. Informasi saldo
2. Informasi produk banking
3. Informasi suku bunga BRI
4. Transfer antar rekening BRI
5. Pembayaran tagihan listrik,
telpon, tagihan telpopn seluler pasca bayar, tagihan kartu kredit, tagihan cicilan kredit
kendaraan
6. Pembelian pulsa telpon seluler
Dari tinjauan secara singkat mengenai
produk layanan dalam dunia perbankan secara elektronik di atas yang memberikan
manfaat maupun kemudahan-kemudahan bagi para penyedia jasa maupun
konsumen/nasabah dalam dunia perbankan, tapi sebaliknya ditengah kemudahan itu
jika terjadi suatu kesalahan dalam penggunaan produk phone banking para pihak akan saling mengklaim bahwa merekalah yang
benar, bahkan hingga berujung pada penyelesaian melalui jalur hukum. Oleh
karena itu pihak bank tentunya tidak mau dirugikan dalam hal ini. Untuk
mengantisipasi masalah tersebut pihak bank menyimpan bukti rekaman suara dalam
transaksi phone banking untuk
dijadikan bukti di pengadilan nanti. Namun dalam prakteknya masih terdapat
kendalala yang dihadapi dalam penggunaan bukti rekaman suara tersebut
dalam hukum pembuktian yang dianut KUHAP
khususya Pasal 184 mengenai bukti petunjuk.
Berikut ini kendala atau hal-hal yang di hadapi dalam
penggunaan bukti petunjuk dalam Sistem Hukum Acara di Indonesia adalah sebagai
berikut:
A.1 Informasi Elektronik Belum Serupa Dengan Surat
Rekaman elektronik audiovisual
dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Sayangnya, sering hakim memposisikan
hasil cetak informasi elektronik bukan sebagai surat, kecuali jika dibuat oleh
dan/atau dicetak di hadapan pejabat yang berwenang. Baru-baru ini pemerhati
hukum mempertanyakan kembali kedudukan informasi elektronik dalam sistem hukum
nasional, khususnya dalam praktek hukum acara pidana, terutama penerapannya
pada kasus Tempo dan TI-KPU. Satu hal yang cukup memprihatinkan adalah masih
banyak ahli hukum yang berasumsi bahwa keberadaan informasi elektronik kurang
bernilai secara hukum hanya karena sifatnya yang rentan akan perubahan. Asumsi
ini tidak salah, tetapi kurang pas penerapannya. Dengan alasan bentuknya yang
elektronik, kehadirannya di persidangan sering diabaikan dan tak digali lebih
lanjut oleh para hakim untuk dijadikan petunjuk. Padahal, mestinya hakim wajib
menggali lebih lanjut, mencari kesesuaian dengan informasi yang diperoleh dari surat,
keterangan ahli, dan keterangan terdakwa. Bahkan, sesuai perkembangan zaman, hakim
diharapkan cukup tahu dan mengikuti perkembangan teknologi yang ada atau paling
tidak dapat menggalinya dengan baik dari keterangan ahli.
Selain itu, masih sering
terjadi salah paham tentang bagaimana memperlakukan keberadaan informasi dengan
medianya. Kehadiran informasi memang tak lepas dari suatu media, dan setiap
media tentu punya karakter dan keunikan tersendiri. Oleh karena itu, sepatutnya
hakim memperhatikan bagaimana mekanisme informasi itu dilekatkan (fiksasi) pada
suatu media, baik pada kertas (cetak) maupun media elektronik(analog maupun
digital, phone banking).
Mekanisme pembuktian dalam
bentuk rekaman suara phone banking
dengan digital memang berbeda. Dalam mekanisme analog konvensional, penyimpanan
data tidak mempunyai metadata (data yang menerangkan data itu sendiri)
sebagaimana lazimnya dilakukan dalam dunia digital. Walau keduanya tetap
memerlukan keterangan ahli untuk meyakinkan validitasnya, rekaman suara
konvensional relatif lebih sulit mekanismenya karena tergantung pada
subjektivitas keterangan ahli forensik.
Agar keterangan ahli forensik
terjamin objektivitas dan validitasnya, maka alat-alat yang digunakan dalam
memeriksa harus tersertifikasi. Bagaimana mungkin menganalisis suara seseorang
hanya dengan mengandalkan aplikasi umum multimedia tanpa standarisasi dan
jaminan produk yang baik (tak ada garansi fitness
for particular purpose). Oleh karena itu, ahli forensik harus menggunakan
aplikasi khusus dengan standarisasi
yang jelas, ia harus mengetahui dan dapat menerangkan bagaimana alat-alatnya itu bekerja, sehingga sampai pada suatu
keterangan yang berguna bagi hukum.
Sebagian ahli hukum menyatakan
bahwa informasi elektronik hanya dapat dikategorikan sebagai barang bukti
dan/atau paling jauh sebagai alat bukti petunjuk. Hal ini tak sepenuhnya tepat.
Informasi berupa rekaman elektronik audiovisual (foto,rekaman suara, dan video)
memang dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Namun, informasi elektronik
tekstual sebenarnya hampir identik dengan keberadaan surat, hanya medianya
belum dikertaskan. Sayangnya, sering hakim memposisikan hasil cetak informasi
elektronik bukan sebagai surat, kecuali jika ia dibuat oleh dan/atau dicetak di
hadapan pejabat yang berwenang.
Ironisnya, penjelasan Pasal 41
KUHAP menyatakan bahwa yang termasuk "surat" adalah surat kawat,
surat teleks, dan sejenisnya, yang mengandung suatu berita. Padahal jelas-jelas
berita dalam surat kawat atau teleks sebenarnya bentuk asalnya adalah pesan
elektronik yang disampaikan secara elektronik pula, yang kemudian dikertaskan. Sungguh
suatu "mekanisme hukum yang inkonsisten" jika informasi elektronik
dikenal sebagai surat untuk kepentingan proses penyitaan oleh para penyidik,
sementara ia tak dapat dikenal sebagai surat dalam proses pemeriksaan atau
pembuktian berdasarkan Pasal 184 KUHAP oleh para hakim. Oleh karena itu,
mestinya objektif pemikiran hukumnya adalah diarahkan pada bagaimana menerima
kehadiran informasi elektronik itu sebagaimana layaknya surat, terlepas apakah
ia telah dicetak atau belum. Jelas, sejak dari bentuk elektroniknya ia harus
telah bernilai secara hukum, tetapi baru dapat menjadi alat bukti jika telah
terjamin validitasnya.
Sebenarnya kehadiran informasi
selain kertas (elektronik) cukup lama dikenal dalam sistem hukum nasional.
Paling tidak ia diakui sebagai "arsip" berdasarkan UU No. 7/1971 tentang
Ketentuan Pokok Kearsipan. Selanjutnya, informasi elektronik juga dikenal
sebagai "dokumen perusahaan" berdasarkan UU No. 8/1997 tentang Dokumentasi
Perusahaan.
A.2 Kesaksian Palsu
Dalam perkembangannya,
keberadaan informasi elektronik diakui sebagai "alat bukti lain"
selain 184 KUHAP berdasarkan Pasal 38 UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, Pasal 27 UU No. 16/2003 jo UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, dan Pasal 26 (a) UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas
UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ringkasnya, ia
dikatakan sebagai alat bukti baru yang merupakan pelengkap dari alat-alat bukti
yang telah dikenal dalam Pasal 184 KUHAP (surat, petunjuk, keterangan saksi,
keterangan ahli, dan keterangan terdakwa) dan bukan merupakan bagian dari
kategorisasi alat bukti yang telah dikenal itu. Tampaknya, pemikiran ini
cenderung keliru.
Sebagai konsekuensinya, timbul
dua pendapat. Satu pendapat yang menyatakan bahwa informasi elektronik hanya
layak diterima dalam lingkup pembuktian tindak pidana tertentu saja,
sebagaimana disebutkan secara jelas dalam UU Terorisme, UU Pencucian Uang, dan
UU Korupsi. Pendapat lain yang menyatakan bahwa seharusnya ia juga dapat
diterima di pengadilan untuk semua tindak pidana di luar itu. Paling tidak,
semestinya ia juga dapat dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk atau bahkan
surat, sepanjang ia dapat diyakini validitas isinya oleh hakim.
Penjelasan Pasal 3 PP No.
8/1999 menyatakan bahwa suatu dokumen yang bentuk aslinya adalah elektronik tak
perlu di-hardcopy-kan terlebih dahulu untuk mempunyai kekuatan pembuktian.
Sekilas ini dirasa cukup baik. Namun, jika hakim langsung percaya kepada suatu
informasi elektronik tanpa harus melihat validitasnya, ketentuan ini jelas akan
sangat membahayakan. Dalam sudut pandang hukum informasi dan komunikasi, suatu
proses pemeriksaan dan/atau pembuktian sebenarnya hanyalah mekanisme hukum
untuk membuat jelas suatu perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Objektifnya
adalah forum untuk menghadirkan semua informasi yang terkait dengan hal itu
dalam semua media sepanjang hal itu valid. Di sini hakim seharusnya menggunakan
kecerdasannya untuk tidak terkunci kepada penamaan media penyimpan informasi
itu sendiri secara konvensional (kertas), melainkan harus melihat dan
memperhatikan sejauh mana keunikan setiap media itu, sehingga ia akan
memperoleh informasi untuk mendapat keyakinannya.
Majelis hakim tak boleh hanyut
oleh pemikiran yang menyatakan bahwa Pasal 184 KUHAP bersifat limitatif (artinya,
alat bukti yang dikenal hanya ada 5), di luar itu tak ada lagi kecuali untuk
tindak pidana tertentu. Oleh karena kepentingan hukum dalam proses pembuktian
menghendaki fleksibilitas, sepatutnya hakim berprinsip, seharusnya semua
informasi dapat dihadirkan dan/atau diterima di pengadilan sepanjang informasi itu
relevan dengan kasus dan terjamin validitasnya, serta diperoleh dengan
cara-cara yang sesuai hukum.
Prinsip ini dianut oleh negara
maju, meski dalam penerapannya mereka juga membuat prosedur-prosedur khusus
untuk itu dengan pemikiran real evidence,
hearsay evidence, derived evidence, dan sebagainya. Hakim harus jeli
melihat bahwa memang tak semua informasi langsung dipercaya validitasnya,
tetapi juga jangan langsung menampiknya sebagai sesuatu yang bernilai secara
hukum.
Dari semua pemikiran itu, patut
dipertanyakan bagaimana mekanisme penerimaannya di pengadilan. Hakim perlu
punya pedoman bagaimana ia memeriksa validitas informasi elektronik agar jangan
sampai suatu informasi yang tak terjamin keutuhannya akan mengakibatkan
terpidananya seseorang. Meski hal itu harus terjawab berdasarkan kecerdasan
hakim dalam menggali alat bukti, petunjuk yang sekarang ini tak begitu digali
oleh hakim yang terkesan sangat pasif dan berlindung di balik "kejelasan
kata-kata" dalam UU. Bukankah jika dirasakan kurang jelas, justru hakim yang
harus membuatnya jelas bagi masyarakat? Pada sisi yang lain, hakim juga harus
memberikan sanksi kepada orang yang jelas-jelas menampik keterkaitannya dengan
suatu informasi yang dihadirkan ke pengadilan, sekiranya ternyata secara
teknologi memang benar orang itu terkait. Paling tidak ia telah memberikan
keterangan palsu dan semestinya dikenai pidana. Misalnya, ada seseorang yang
menyatakan bahwa keberadaan suara pada alat rekam dikatakan bukan merupakan
suaranya, dan/atau menampik pesan elektronik yang telah dikirimkannya. Jika
ternyata dapat dibuktikan oleh ahli forensik bahwa memang itu merupakan suaranya
dan/atau pesannya, maka berarti ia telah berbohong tidak hanya kepada majelis hakim,
tetapi juga kepada publik. Akan lebih baik jika ia juga dikenai pasal untuk
tindak pidana lain selain kesaksian palsu, seperti penipuan, menyebarkan
kebohongan, atau bahkan menghina pengadilan. Sehubungan dengan kebutuhan itu,
hakim perlu suatu ketentuan hukum yang dapat menjadi pedoman bagaimana
prosedur-prosedur dalam melihat validitas informasi elektronik. Informasi
"yang layak dipercaya" adalah yang berasal dari "sistem yang layak
dipercaya" karena sistem telah terjaga dan terjamin berjalan sebagaimana mestinya,
kecuali didapat bukti lain. Untuk memahami hal tersebut, hakim perlu mempelajari
pola pemikiran dalam RUU Informasi dan Transaksi Elektronik yang tengah dibahas
di DPR.
A.3 Alat-Alat Bukti
Alat-alat bukti yang dikenal dalam Pasal 26 (a) UU
20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Pasal 27 UU No. 16/2003 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti
UU No. 2/2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom di
Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi UU, dan Pasal 38 UU No. 15/2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang adalah:
1.
Alat-alat bukti
dalam KUHAP,
2.
Alat bukti lain
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
3.
Dokumen yang
mencakup data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat dibaca dan/atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (a) tulisan, suara atau gambar
(b) peta, rancangan, foto atau sejenisnya (c) huruf, tanda, angka, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca
atau memahaminya.
Semua ketentuan itu dapat
dikatakan sebagai lex generalis dari KUHP karena keberadaan Pasal 284 ayat (2)
KUHAP, yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah UU ini diundangkan,
maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan UU ini dengan pengecualian
untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada UU tertentu sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi.[42]
B.
Kekuatan
Hukum Bukti Rekaman Suara Dalam Penyelesaian Sengketa Phone Banking
Dalam
suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu
hubungan hukum yang menjadi dasar gugata benar-benar ada atau tidak. Untuk hal
ini perlu dilakukan suatu pembuktian terhadap dasar gugatan dengan bantuan
alat-alat bukti yang ada. Dengan adanya pembuktian berarti memberikan kepastian
kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.
R.
Subekti berpendapat bahwa “membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan”.[43]
Aturan-aturan
tentang pembuktian dapat dijumpai dalam Reglemen Indonesia yang diperbaharui
yang kemudian disingkat dengan R.I.B yang berlaku di Jawa dan Madura saja.
Sedangkan untuk luar Jawa-Madura terdapat dalam Reglemen Daerah Seberang yang
disingkat dengan R.D.S. ketentuan tentang berlakunya hukum acara tersebut
berdasarkan Undang-Undang Darura No. 1 tahun 1951 tentang “Tindakan-Tindakan
Untuk Menyelenggarakan Susunan Kekuasaan dan
Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil”.
Disamping
itu hukum pembuktian terdapat pula di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dalam buku keempat diatur tentang Pembuktian dan Daluwarsa yang memuat
aturan-aturan pokok tentang pembuktian perdata.[44]
Transaksi
yang dilakukan melalui phone banking memunculkan salah satu persoalan hukum
yang cukup pelik yaitu mengenai sistem pembuktian. Pada prinsipnya sistem hukum
yang digunakan di Indonesia menentukan bahwa dokumen tertulis adalah merupakan
alat bukti hukum yang utama.
Sampai
saat ini sistem pembuktian hukum perdata masih menggunakan ketentuan yang
diatur dalam KUHPerdata, HIR (untuk Jawa dan Madura) dan Rbg (untuk luar Jawa).
Dalam sistem ini alat-alat bukti dalam perkara perdata (Pasal 164 HIR) terdiri
dari :
Bukti Surat,
Bukti Saksi,
Persangkaan,
Pengakuan,
Sumpah
Semua itu dengan
memperhatiakan dalam segala pasal di bawah ini.
Selain
dari alat bukti yang telah dikutip di atas HIR masih mengenal alat bukti lain
yaitu hasil pemeriksaan setempat, seperti yang ditentukan dalam pasal-pasal :
Pasal
153 (1) HIR yang menyatakan :
Jika ditimbang perlu
atau ada faedahnya, maka ketua boleh mengangkat satu atau dua orang komisaris daripada dewan itu, yang dengan
bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan
pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan kepada hakim.
Pasal
154 HIR yang menyatakan :
Jika pengadilan negeri
menimbang, bahwa perkara itu dapat lebih terang, jika diperiksa atau dilihat
oleh orang ahli, maka dapatlah ia mengangkat ahli itu, baik atas permintaan
kedua pihak, maupun karena jabatannya.[45]
Jika kita melihat dalam
Pasal 4 dan 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terlihat bahwa masalah
kenyamanan, keamanan dan keselamtan konsumen dalam hal ini sebagai penggunan
jasa phone banking merupakan hal
penting dalam perlindungan konsumen. Jasa phone
banking yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan atau keamanan jelas
tidak layak diberikan pada nasabah. Selanjudnya, untuk menjamin bahwa suatu
jasa yang dalam penggunaannya akan nyaman dan aman maka penggunan jasa
diberikan hak untuk memilih jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas
keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan
yang merugikan pengguna jasa dalam hal ini pengguna jasa phone banking maka berhak untuk didengar, memperoleh advokasi,
pembinaan, perlakuan yang adil dan konpensasi sampai ganti rugi.
Dalam praktek jika terjadi
penyimpangan sebagian ahli hukum menyatakan bahwa informasi elektronik hanya
dapat dikategorikan sebagai barang bukti dan/atau paling jauh sebagai alat
bukti petunjuk. Hal ini tak sepenuhnya tepat. Informasi berupa rekaman
elektronik audiovisual (foto,rekaman suara, dan video) memang dapat
dikategorikan sebagai petunjuk. Namun, informasi elektronik tekstual sebenarnya
hampir identik dengan keberadaan surat, hanya medianya belum dikertaskan.
Sayangnya, sering hakim memposisikan hasil cetak informasi elektronik bukan
sebagai surat, kecuali jika ia dibuat oleh dan/atau dicetak di hadapan pejabat
yang berwenang.
Ironisnya, penjelasan Pasal 41
KUHAP menyatakan bahwa yang termasuk "surat" adalah surat kawat,
surat teleks, dan sejenisnya, yang mengandung suatu berita. Padahal jelas-jelas
berita dalam surat kawat atau teleks sebenarnya bentuk asalnya adalah pesan
elektronik yang disampaikan secara elektronik pula, yang kemudian dikertaskan.
Sungguh suatu "mekanisme hukum yang inkonsisten" jika informasi
elektronik dikenal sebagai surat untuk kepentingan proses penyitaan oleh para
penyidik, sementara ia tak dapat dikenal sebagai surat dalam proses pemeriksaan
atau pembuktian berdasarkan Pasal 184 KUHAP oleh para hakim. Oleh karena itu,
mestinya objektif pemikiran hukumnya adalah diarahkan pada bagaimana menerima
kehadiran informasi elektronik itu sebagaimana layaknya surat, terlepas apakah
ia telah dicetak atau belum. Jelas, sejak dari bentuk elektroniknya ia harus
telah bernilai secara hukum, tetapi baru dapat menjadi alat bukti jika telah
terjamin validitasnya.
Untuk
itu penulis berpendapat bahwa hakim harus bertindak secara arif, adil dan
bijaksana untuk menggali suatu kebenaran materil serta harus bersikap aktif
dalam melakukan suatu penemuan hukum. “Menurut
Sudikno peran peradilan hanyalah dalam bentuk silogisme yang artinya bentuk
berpikir logis dengan mengambil kesimpulan premis mayor (umum) dan premis minor
(khusus). Premis mayor = Undang-Undang, barang siapa mencuri dihukum;
disimpulakan premis minor, Suta mencuri (peristiwa perbuatan) maka Suta di
hukum.[46]
Dalam sistem
peradilan modern dewasa ini mendunia menganut ajaran hukum bebas, manakala suatu
peristiwa hukum dalam perkara tidak ditemukan secara jelas apa yang terumus
dalam Undang-Undang, padahal hakim yang bersangkutan harus mengadili dan
memutus perkara diajukan (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004). Oleh sebab itu hakim harus bebas untuk mengadili dan
tidak bersifat kaku yang hanya berpatokan pada Undang-undang saja. Sehingga
suatu kepastian hukum dalam sistem peradilan di Indonesia dapat terlaksana
dengan baik.
BAB V
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setelah
Peneliti meneliti dan membahas mengenai Analisi Yuridis Tentang Kekuatan Bukti
Rekaman Suara Dalam Penyelesaian Sengketa Phone
Banking maka dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Masih terdapatnya kendala
yang dihadapi dalam proses pembuktian di pengadilan khususnya penggunaan
rekaman suara phone banking, karena
masih banyak pandangan yang berkembang dimasyarakat
kalau bukti berupa informasi elektronik tidak dapat digunakan dalam proses
persidangan, ataupun kalau dapat digunakan, fungsinya tidak lebih dari
pelengkap. Banyak
yang masih berorientasi pada dokumen cetak yang dikuatkan dengan tanda tangan.
Hal ini memang tidak salah, tapi alangkah baiknya kalau memang arah dan tujuan
dari dokumen cetak dan tanda tangan “basah” tersebut adalah untuk tujuan
otentifikasi dan otorisasi, kita dapat mulai melakukan pemahaman yang
dikembangkan ke arah penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan digital.
2.
Masih
Dilematisnya kekuatan hukum bukti rekaman phone
banking karena kurangnya kemauan hakim-hakim di
pengadilan Indonesia untuk meng-interpretasikan email atau informasi elektronik
lainnya sebagai alat bukti. Untuk diperlukan keinginan yang kuat bagi aparat
hukum untuk selalu meng-update pengetahuan. Hakim sebagai salah satu unsur
penegak hukum yang paling berpotensi untuk mendukung penggunaan informasi
elektronik sebagai alat bukti melalui putusannya sudah saatnya lebih membuka
mata terhadap perkembangan teknologi. Terlepas dari hakim memiliki hak untuk
menentukan pandangannya sendiri.
B.
SARAN
1.
Diharapkan bagi
para pihak untuk yang terlibat dalam transaksi phone banking untuk selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi
dan memperhatikan prosedur hukum yang berlaku, sehingga tidak terjadi kendala
maupun hambatan dalam transaksi phone
banking.
2.
Diharapkan bagi
para hakim untuk lebih menggali kebenaran materil dan mempertimbangkan secara
arib, adil dan bijaksana dan bersikap bebas dalam menyikapi, dan mengadili
permasalahan phone banking. Karena
suda saatnyalah sistem pembuktian dalam Hukum Acara Pidana dari zaman
peninggalan kolonial Belanda untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman,
karena Ilmu Hukum itu sifatnya dinamis bukan statis.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto
Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6. Jakarta: Bina Aksara.
Bauer
L. 1995. Developing and Implementing Strategies for Retail Financial
Institutions. Dublin : Rafferty Publicatoins.
Hadikumsuma
Hilman. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum,
cet. 1. Bandung: Mandar Maju.
Latifulhayat
Atif. 2001. Aspek Hukum Pembuktian
Transaksi Perbankan Melalui Internet Dalam Kerangka RUU Teknologi Informasi,
Makalah Seminar Informasi, Fakultas Hukum, Unpad.
Mertokusumo Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata
Indonesia. Yogyakarta : Liberty.
Muhammad
Abdulkadir. 2004. Hukum dan
Penelitian Hukum, cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Shofie
Yusuf. 2000. Perlindungan dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung : Citra
Aditya Bakti.
Rahardjo Satjipto. 2000. Pengantar Ilmu Hukum,cet 5. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ridwan
Halim A. 1996. Hukum Acara Perdata Dalam
Tanya Jawab. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Sidharta Arief B. Diktat Kuliah Pengantar Ilmu Hukum
_________ Soedjono. 1991. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum.
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Soekanto
Soerjono dan Mamudji Sri. 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, cet. 4. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Subekti R. 2001. Hukum
Pembuktian, Cetakan ke 13. Jakarta : Pradnya Paramita.
_________Bambang. 2003. Metodologi
Penlitian Hukum, cet. 4. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sunggono
Bambang. 2003. Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Von
Gerber K. F. dan Laban Paul. 1997. Ilmu Negara (Pengantar, Metode,
dan Sejarah Perkembangan), cet. 8. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Waluyo
Bambang. 1996. Sistem Pembuktian Dalam
Peradilan Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
http://www.bankmandiri.co.id/article/call-syarat-dan-ketentuan.asp.diakses pada tanggal 15 November 2011.
http://www.bankmandiri.co.id/article/823148017834.asp?article_id=823148017834.diakses pada tanggal
15 November 2011
http://www.klikbca.com/individual/silver/product.html?s=71.diakses pada tanggal
16 November 2011.
http://www.klikbca.com/individual/silver/product.html?s=10. diakses pada tanggal 16 November
2011.
[19] Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),
hal. 13-14; Lihat juga Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum,
cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 184.
[20] Abdulkadir Muhammad, Hukum
dan Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 52.
[21] Bambang Sunggono, Metodologi
Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 86.
[22] Bambang Sunggono, Ibid.,
hal. 93.
[23] Abdulkadir Muhammad, Op.
cit.
[24] Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji, Loc. cit., hal. 4; Bandingkan dengan “rechtsdogmatiek”
dari K. F. von Gerber dan Paul Laban, lihat, Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar,
Metode, dan Sejarah Perkembangan), cet. 8, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hal. 85.
[25] Ibid., hal.
13-14; Lihat, Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.,; Lihat Juga, Hilman
Hadikumsuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet.
1, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 65-66.
[26] Ibid., hal.
13-14.
[27] Suharsimi Arikunto,
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6, (Jakarta: Bina Aksara,
1989) hal. 89, 90, 92.
[28] Abdulkadir Muhammaad, Loc. cit., hal. 62.
[30] Abdulkadir Muhammad, Loc.
cit, hal. 125; Lihat juga, Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184.
[31] Bambang Sunggono, Loc.
cit., hal. 184; Lihat juga Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 125.
[32] Abdulkadir Muhammad, Loc.
cit, hal. 125.
[33] Abdulkadir Muhammad, Loc.
cit, hal. 125.
[34] Abdulkadir Muhammad, Loc.
cit., hal. 92.
[35] Hilman Hadikumsuma, Loc.
cit., hal. 120, 121.
[36] Bambang Sunggono, Loc.
cit., hal. 68, 186;
[38]http://www.klikbca/individual/silver/product.html?s=12.
[42] BisTek
Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, Judul : jenis-jenis keajhatan komputer, halaman.52-54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar