Minggu, 13 Mei 2012

Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan (Vonis)


                  Berdasarkan prinsip pemisahan kekuasan, fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, merupakan cabang-cabang kekuasan yang terpisah satu sama lain. Dengan diterapkannya sistim pemisahan kekuasaan dan prinsip check and balances antara lembaga-lembaga negara, struktur ketatanegaraan Republik Indonesia yang terdiri dari tiga cabang kekuasaan tersebut, saling mengontrol dan saling mengimbangi satu sama lain. Tiga kekuasaan tersebut yakni, kekuasaan eksekutif oleh presiden dan wakil presiden, kekuasaan lelegislatif oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (terdiri atas DPR dan DPRD), dan Kekuasaan Kehakiman oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
                  Kekuasaan kehakiman sebagai satu kesatuan sistim, berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi tidak dikenal dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi baru terdapat dalam Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945. sebelum adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945, kekuasan kehakiman hanya terdiri atas badan-badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah agung.
                  Dalam lingkungan Mahkamah Agung, terdapat empat lingkup peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Sebelumnya, administrasi Peradilan Umum berada di bawah Departemen Kehakiman, administrasi Peradilan Agama berada di bawah Departemen Agama, dan Peradilan Militer di bawah organisasi tentara. Namun kini, keempat lingkup peradilan tersebut berada di bawah satu atap, yaitu Mahkamah Agung. Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, yamg berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dala lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal senada dituangka juga dalam Pasal 2 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman[1], dan Pasal 10 ayat (2) yang lebih spesifik berbunyi: “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”.
                  Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk:
  • Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
  • Sengketa kewenangan (kompetensi pengadilan);
  • Permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht);
  • Menguji Perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang (juditial review).
                  Selain beberapa hal tersebut, Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk memberikan pendapat hokum atas pemerintahan presiden ataupun lembaga Negara lainnya. Hal ini dianggap perlu agar Mahkamah Agung benar-benar dapat berfungsi sebagai rumah keadilan bagi siapa saja dan lembaga mana saja yang memerlukan pendapat hukum mengenai suatu masalah yang dihadapi[2].  Mengenai hal ini, diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman[3], yang berbunyi: “Mahkamah agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hokum pada lembaga negara dan lembaga pemerintah apabila diminta”.
                  Pasal 24 Amandemen Undang-undang Dasar 1945 jo. Pasal 1 Undang-undang No.4 Thun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. Ketentuan tersebut mengandung makana bahwa kekuasan kehakiman itu bebas dari segala campur tangan kekuasaan ekstra yudisial. Sehingga kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman tidak diperkenankan untuk turut campur tangan dalam urusan pengdialan. Cabang kekuasaan lainnya hanya dapat saling mengontrol dengan sistem check and balances, tanpa turut campur tangan.
                  Namun apabila kita telusuri lebih lanjut, pada Pasal 4 ayat (3) Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan: “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945”. Pernyataan ini mengandung makna pengecualian bagi Pasal 1 yang disebutkan sebelumnya. Maksudnya, mengenai campur tangan dalam kekuasaan kehakiman diperbolehkan sejauh yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.
                  Dalam Pasal 14 Amandemen Undang-undang Dasar 1945, secara umum dapat disimpulkan mengenai adanya intervensi atau campur tangan di bidang kekuasaan yudisial, yang dilakukan oleh Presiden. Jadi mengenai pemberian grasi yang menyangkut dalam linkup kekuasaan yudisial (peradilan). Dengan pengabulan grasi, seseorang dapat lebih ringan, berkurang, atau bahkan hapus sama sekali pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim.
                  Seperti diketahui sebelumnya, permohonan grasi hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dilawan dengan upaya hukum biasa, tapi dapat dengan jalan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa menurut KUHAP (Undang-undang No.8 Tahun 1981), terdiri dari: perlawanan (verzet), banding, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa terdiri atas: kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukun tetap.
                  Bila diperinci lebih lanjut, putusan pengadilan dapat berupa:
1. bebas dari segala tuntutan (vrijspraak);
2. lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging);
3. pemidanaan (veroordelend vonnis).
                  Putusan pengadilan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaan eksekusinya dilaksanakan oleh jaksa, dan pengawasannya dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal pemgajuan permohonan grasi, tidak dapat menunda pelaksanaan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
                  Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berupa pemidanaan dalam bentuk apapun, tidak dapat dibatalkan dan diberikan putusan oleh kekuasaan pemerintahan di luar lingkup badan peradilan. Dengan kata lain, putusan tersebut tidak dapat diganggu gugat. Pemberian grasi bukan dimaksudkan untuk menganulir hukum atau membatalkan hukum. Hukum telah ditegakkan. Pemberian grasi sifatnya hanya memberikan pengampunan, tanpa meniadakan kesalahan terpidana.


[1] Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 08
[2] Jimly Ashiddiqe,  Op.Cit, hlm.193
[3] Lembaran Negara RI Tahun 2004 No.08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar