Berbagai Cara Penafsiran Dalam Ilmu Hukum
OLEH: VANDERIK WAILAN, SH
1. Metode
Penafsiran Hukum
a. Penafsiran gramatikal merupakan cara
penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna
ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau
bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari
pada hanya sekedar “membaca undang-undang”. Di sini ketentuan atau kaidah hukum
(tertulis) diartikan menurut arti kalimat atau bahasa sebagaimana diartikan
oleh orang biasa yang menggunakan bahasa secara biasa (sehari-hari). [1]
b. Penafsiran historis merupakan suatu
interpretasi yang luas yang juga meliputi interpretasi sejarah
perundang-undangan. Sedangkan interpretasi sejarah perundang-undangan bersifat
lebih sempit, yaitu menyelidiki maksud pembuat peraturan dalam menetapkan
peraturannya. Penafsiran hukum atau perundang-undangan menurut sejarah ini ada
dua macam, yakni penafsiran menurut sejarah hukum (rechthistorische
interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah penetapan peraturan
perundang-undangan (wethistorische interpretatie). Penafsiran yang
pertama merupakan penafsiran yang luas dan meliputi penafsiran yang kedua, yang
merupakan penafsiran yang sempit. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki
asal-usul sampai berlakunya suatu peraturan perundang-undangan saat ini di
masyarakat, dari suatu sistem hukum lain yang sekarang masih berlaku di suatu
negeri lain. Menurut pandangan Poentang Moerad, Penafsiran sejarah dalam
penetapan undang-undang yang lebih sempit adalah penafsiran hukum yang hanya
menyelidiki maksud pembuat undang-undang menetapkan suatu peraturan
perundang-undangan. Untuk itu, dapat dilakukan dengan mempelajari
dokumen-dokumen yang berisi tentang proses terjadinya suatu undang-undang mulai
dengan diajukannya rancangan undang-undang ke DPR, nota pengantar dari
pemerintah, pembahasa dalam siding-sidang di DPR sampai dengan suatu rancangan
disahkan dan diundangkan dalam lembaran Negara.[2] Undang-undang itu tidak terjadi begitu saja. Undang-undang
selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk mengatur yang dapat
dijelaskan secara historis. Setiap pengaturan dapat dilihat sebagai satu
langkah dalam perkembangan masyarakat. Suatu langkah yang maknanya dapat
dijelaskan apabila langkah-langkah sebelumnya diketahui juga. Ini meliputi
seluruh lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang.[3]
c. Penafsiran sistematis yaitu penafsiran
yang memperhatikan susunan kata-kata yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal
lainnya baik dalam undang-undang itu sendiri maupun undang-undang lainnya [4]
d. Penafsiran teleologis (sosiologis), hukum adalah gejala
sosial sehingga setiap peraturan hukum mempunyai tujuan sosial. Akan tetapi
tujuan sosial peraturan perundang-undangan tidak senantiasa dapat diketahui
dari kata-kata perundang-undangan itu sendiri. Karena itu hakim harus selalu
mencarinya dengan melakukan penafsiran.
Dalam
penafsiran sosiologis suatu peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan
situasi sosial yang baru. Peraturan perundang-undangan yang sudah usang tetapi
masih berlaku diaktualisasikan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi
kebutuhan hukum masa kini. Jadi penafsiran sosiologis adalah suatu penafsiran
untuk memahami suatu peraturan hukum, sehingga peraturan hukum tersebut dapat
diterapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.[5]
e. Penafsiran Interdisipliner, penafsiran jenis ini biasa
dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu
hukum. Di sini digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum. Hakim akan
melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber
pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu
hukum.[6]
f. Penafsiran multidisipliner, berbeda dengan penafsiran
interdisipliner yang masih berada dalam
rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran multidisipliner
seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya
diluar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini
hakim membutuhkan verivikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.[7] Hakim dalam menyikapi suatu permasalahan yang berkaitan
dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang sebenarnya tidak ada hubungannya
dengan ilmu hukum, tetapi karena suatu perkara yang diperiksa, hakim memerlukan
kejelasaan akan suatu makna dalam peraturan perundang-undangan atau suatu makna
perbuatan terdakwa, maka hakim memerlukan bantuan ahli dari disiplin ilmu yang
relevan untuk membantunya mencari penjelasan tersebut, dan biasanya keterangan
tersebut diberikan di depan persidangan dalam bentuk keterangan ahli, yang
merupakan salah sati alat bukti dalam perkara pidana.[8]
2.
Metode Konstruksi Hukum
a. Penafsiran analogis yaitu penafsiran dengan memberi
ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga
suatu peristiwa yang tidak cocok dengan peraturannya, dianggap sesuai dengan
bunyi peraturan itu.[9] Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan
suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan
unsur dengan perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung oleh
peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim
kemudian memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada perkara
yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan hukum bagi
keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur
dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk
hukum) lain.
b. Penafsiran a contrario yaitu penafsiran dengan
cara melawankan pengertian antara soal yang dihadapi dengan masalah yang diatur
dalam suatu pasal undang-undang. Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan
peraturan perundang-undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu
menerapkan suatu peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk
diselesaikan oleh peraturan itu.
c. Penghalusan hukum, Penghalusan hukum dilakukan apabila
penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan
yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan
atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi
ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila
di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan
perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit
lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan (bersifat restriktif).
C. Kepastian Hukum dan Kemerdekaan
Ada dua aliran yang berkembang tentang sebatas
mana seorang hakim bisa menemukan hukum, yaitu penganut doktrin sensclair dan
penganut penemuan hukum harus selalu dilakukan. Di sinilah terjadi benturan
antara kepastian hukum dan kemerdekaan. Kendati menerima penafsiran, aliran
pertama menghendaki agar lingkaran peraturan itu tidak diterobos keluar.
Metode-metode penafsiran yang dipakai, seperti penafsiran gramatikal, historis,
sistematis misalnya, tetap harus berlangsung dalam lingkaran undang-undang.
Aliran tersebut bahkan menerima konsekuensi disebut mengabadikan ketidakadilan
manakala suatu peraturan dinilai tidak adil, maka demi kepastian “kepastian
dari ketidakadilan” atau kepastian yang tidak adilpun diterima sebagai resiko
atau ongkos yang harus dibayar. Di sisi lain, kemerdekaan tidak bisa menerima
peraturan yang dirasa tidak adil dan karena itu memilih melakukan pembebasan
dan keluar dari lingkaran peraturan yang ada. Inilah esensi dari aliran
Realisme.
Penegakan hukum itu bukan semata-mata
pekerjaan mesin yang otomatis dan linier, akan tetapi penuh kreatifitas. Pekerjaan menemukan hukum adalah pekerjaan
kreatif dan di situlah terletak penafsiran. Penafsiran yang kreatif dan
inovatif merupakan salah satu kritik atas metode penemuan hukum yang
positivistik yang berkembang di abad 19 (sembilan belas) yang merupakan
pengaruh ajaran Trias
Politica Montesquieu. Trias Polica memberikan pemisahan yang jelas antara
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan tersebut menentukan batas yang
tegas bagi penegakan hukum sehingga tidah boleh sama sekali memasuki ranah
perbuatan hukum. Penemuan hukum didirikan sebagai bagian dari penerapan aturan
terhadap kenyataan dan aturan itu hanya diberikan oleh undang-undang. Suatu
putusan tidak boleh dibatalkan atas pertimbangan yang sifatnya umum, melainkan
hanya manakala terjadi kesalahan dalam penerapan undang-undang. Hakim tidak
diperbolehkan “mengganggu” undang-undang dengan putusannya. Kodifikasi yang
merupakan ciri positivisme beranggapan bahwa legislatif dengan segala
kekuatannya telah mengatur semua kejadian yang akan datang. Tidak ada
kekosongan dan cacat di dalamnya, sehingga penafsiran adalah sebuah kegiatan
yang tidak diperlukan bahkan dianggap berlebihan. Memang undang-undang sebagai
karya manusia mengandung cacat, akan tetapi itu harus dikembalikan pada badan
legislatif. Bukan menjadi tugas hakim untuk memberikan penafsiran guna
mengurangi cacat atau kekosongan itu. Sumber hukum tersebar pada berbagai
sumber lain. Sejak kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh badan legislatif, maka
hakim muncul sebagai pusat yang baru (Judge Made Law). [10]
[1] Mochtar,
Kusumaatmadja, dan Arief Sidharta, Pengantar
Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung:
Alumni, 1999), hlm .100.
[2] Poentang,
Moerad, Ibid, hlm. 91.
[3] Sudikno
,Mertokusumo, , Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2005 ), hlm. 17
[4] J.B. Daliyo,
Ibid, hlm.13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar