Selasa, 15 Mei 2012

Berbagai Cara Penafsiran Dalam Ilmu Hukum 

OLEH: VANDERIK WAILAN, SH


1. Metode Penafsiran Hukum
a.       Penafsiran gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari pada hanya sekedar “membaca undang-undang”. Di sini ketentuan atau kaidah hukum (tertulis) diartikan menurut arti kalimat atau bahasa sebagaimana diartikan oleh orang biasa yang menggunakan bahasa secara biasa (sehari-hari). [1]
b.      Penafsiran historis merupakan suatu interpretasi yang luas yang juga meliputi interpretasi sejarah perundang-undangan. Sedangkan interpretasi sejarah perundang-undangan bersifat lebih sempit, yaitu menyelidiki maksud pembuat peraturan dalam menetapkan peraturannya. Penafsiran hukum atau perundang-undangan menurut sejarah ini ada dua macam, yakni penafsiran menurut sejarah hukum (rechthistorische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah penetapan peraturan perundang-undangan (wethistorische interpretatie). Penafsiran yang pertama merupakan penafsiran yang luas dan meliputi penafsiran yang kedua, yang merupakan penafsiran yang sempit. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal-usul sampai berlakunya suatu peraturan perundang-undangan saat ini di masyarakat, dari suatu sistem hukum lain yang sekarang masih berlaku di suatu negeri lain. Menurut pandangan Poentang Moerad, Penafsiran sejarah dalam penetapan undang-undang yang lebih sempit adalah penafsiran hukum yang hanya menyelidiki maksud pembuat undang-undang menetapkan suatu peraturan perundang-undangan. Untuk itu, dapat dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen yang berisi tentang proses terjadinya suatu undang-undang mulai dengan diajukannya rancangan undang-undang ke DPR, nota pengantar dari pemerintah, pembahasa dalam siding-sidang di DPR sampai dengan suatu rancangan disahkan dan diundangkan dalam lembaran Negara.[2] Undang-undang itu tidak terjadi begitu saja. Undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk mengatur yang dapat dijelaskan secara historis. Setiap pengaturan dapat dilihat sebagai satu langkah dalam perkembangan masyarakat. Suatu langkah yang maknanya dapat dijelaskan apabila langkah-langkah sebelumnya diketahui juga. Ini meliputi seluruh lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang.[3]
c.       Penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang memperhatikan susunan kata-kata yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu sendiri maupun undang-undang lainnya [4]
d.      Penafsiran teleologis (sosiologis), hukum adalah gejala sosial sehingga setiap peraturan hukum mempunyai tujuan sosial. Akan tetapi tujuan sosial peraturan perundang-undangan tidak senantiasa dapat diketahui dari kata-kata perundang-undangan itu sendiri. Karena itu hakim harus selalu mencarinya dengan melakukan penafsiran.
                  Dalam penafsiran sosiologis suatu peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan situasi sosial yang baru. Peraturan perundang-undangan yang sudah usang tetapi masih berlaku diaktualisasikan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum masa kini. Jadi penafsiran sosiologis adalah suatu penafsiran untuk memahami suatu peraturan hukum, sehingga peraturan hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.[5]
e.       Penafsiran Interdisipliner, penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum. Hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.[6]
f.       Penafsiran multidisipliner, berbeda dengan penafsiran interdisipliner yang masih berada dalam  rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya diluar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verivikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.[7] Hakim dalam menyikapi suatu permasalahan yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan ilmu hukum, tetapi karena suatu perkara yang diperiksa, hakim memerlukan kejelasaan akan suatu makna dalam peraturan perundang-undangan atau suatu makna perbuatan terdakwa, maka hakim memerlukan bantuan ahli dari disiplin ilmu yang relevan untuk membantunya mencari penjelasan tersebut, dan biasanya keterangan tersebut diberikan di depan persidangan dalam bentuk keterangan ahli, yang merupakan salah sati alat bukti dalam perkara pidana.[8]
        2.  Metode Konstruksi Hukum
a.       Penafsiran analogis yaitu penafsiran dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang tidak cocok dengan peraturannya, dianggap sesuai dengan bunyi peraturan itu.[9] Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan unsur dengan perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.
b.      Penafsiran a contrario yaitu penafsiran dengan cara melawankan pengertian antara soal yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu.
c.       Penghalusan hukum, Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan (bersifat restriktif).
      C. Kepastian Hukum dan Kemerdekaan
             Ada dua aliran yang berkembang tentang sebatas mana seorang hakim bisa menemukan hukum, yaitu penganut doktrin sensclair dan penganut penemuan hukum harus selalu dilakukan. Di sinilah terjadi benturan antara kepastian hukum dan kemerdekaan. Kendati menerima penafsiran, aliran pertama menghendaki agar lingkaran peraturan itu tidak diterobos keluar. Metode-metode penafsiran yang dipakai, seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis misalnya, tetap harus berlangsung dalam lingkaran undang-undang. Aliran tersebut bahkan menerima konsekuensi disebut mengabadikan ketidakadilan manakala suatu peraturan dinilai tidak adil, maka demi kepastian “kepastian dari ketidakadilan” atau kepastian yang tidak adilpun diterima sebagai resiko atau ongkos yang harus dibayar. Di sisi lain, kemerdekaan tidak bisa menerima peraturan yang dirasa tidak adil dan karena itu memilih melakukan pembebasan dan keluar dari lingkaran peraturan yang ada. Inilah esensi dari aliran Realisme.
 Penegakan hukum itu bukan semata-mata pekerjaan mesin yang otomatis dan linier, akan tetapi penuh kreatifitas. Pekerjaan menemukan hukum adalah pekerjaan kreatif dan di situlah terletak penafsiran. Penafsiran yang kreatif dan inovatif merupakan salah satu kritik atas metode penemuan hukum yang positivistik yang berkembang di abad 19 (sembilan belas) yang merupakan pengaruh ajaran Trias Politica Montesquieu. Trias Polica memberikan pemisahan yang jelas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan tersebut menentukan batas yang tegas bagi penegakan hukum sehingga tidah boleh sama sekali memasuki ranah perbuatan hukum. Penemuan hukum didirikan sebagai bagian dari penerapan aturan terhadap kenyataan dan aturan itu hanya diberikan oleh undang-undang. Suatu putusan tidak boleh dibatalkan atas pertimbangan yang sifatnya umum, melainkan hanya manakala terjadi kesalahan dalam penerapan undang-undang. Hakim tidak diperbolehkan “mengganggu” undang-undang dengan putusannya. Kodifikasi yang merupakan ciri positivisme beranggapan bahwa legislatif dengan segala kekuatannya telah mengatur semua kejadian yang akan datang. Tidak ada kekosongan dan cacat di dalamnya, sehingga penafsiran adalah sebuah kegiatan yang tidak diperlukan bahkan dianggap berlebihan. Memang undang-undang sebagai karya manusia mengandung cacat, akan tetapi itu harus dikembalikan pada badan legislatif. Bukan menjadi tugas hakim untuk memberikan penafsiran guna mengurangi cacat atau kekosongan itu. Sumber hukum tersebar pada berbagai sumber lain. Sejak kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh badan legislatif, maka hakim muncul sebagai pusat yang baru (Judge Made Law). [10]


[1] Mochtar, Kusumaatmadja, dan Arief SidhartaPengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm .100.
[2]    Poentang, Moerad, Ibid, hlm. 91.
[3] Sudikno ,Mertokusumo, , Mengenal Hukum  Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit   Liberty, 2005 ), hlm. 17
[4]  J.B. Daliyo, Ibid, hlm.13.
                [5]  Pontang, Moerad, Ibid, hlm. 92.
            [6]  Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2010),hlm. 72.
               [7] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung : Penerbit Alumni, 2000), hlm. 12.
           [8]  Yudha Bhakti Ardhiwisastra op.cit. hlm.74.
               [9]  J.B. Daliyo,  op.cit. hlm. 114.
          [10] Satjipto, RahardjoPenafsiran Hukum yang Progresif”,(Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar